Jangan pulang. Untuk sementara waktu. Mengingat ucapan Varen yang lalu, kini membuat Anne tersenyum. Ia tidak mungkin memilih untuk tidak pulang ke rumah, sekalipun pergi ke istana Pramam bukan lagi tujuan.“Rumah, ya?”Anne bergumam sendirian di tengah hingar-bingar dunia. Kendaraan berlalu lalang di depannya, terlihat padat dan terdengar bising sekali. Namun, semua itu tak ada apa-apanya dibanding dengan isi kepalanya sekarang.Dua matanya kini bengkak karena banyak menangis. Ingin mengadu pada siapa lagi jika nanti ambruk di tengah rumah ketika berhadapan dengan suami dan wanita simpanannya? Harus membuat alasan apalagi jika mereka bertanya tentang penyebab ia menangis tersedu-sedu selama beberapa jam terakhir?Anne mengeratkan genggaman di kemudi. Mengembuskan napas panjang nan berat sesaat sebelum menyalakan kendaraan roda empatnya. Tiap kali ia menarik napas, tiap kali ia juga menguatkan agar bisa menghadapi batu besar yang menyambutnya di rumah nanti.Varen Herlambang: Kalau ma
“Kenapa mukamu kayak panik sama gelisah itu, Ra?”Semenjak kepergian Anne ke butik, Pramam mendapati raut wajah Mara yang kurang enak dipandang. Kerap kali perempuan itu menggigiti kukunya. Kemudian berjalan mondar-mandir seperti sedang memikirkan sesuatu hal.Kini Mara mendesah panjang sebelum akhirnya duduk di sebelah Pramam. Tangannya bergerak melingkari lengan Pramam yang disambut dengan senyum lebar. Memang siapa laki-laki yang tak tergoda saat disentuh begitu oleh pujaan hati, sih? Tentu Pramam senang bukan kepalang.“Mas …” panggil Mara lembut.“Ada apa?”“Aku kayaknya mau balik ke apartemen kita, deh,” cetus Mara tanpa basa-basi.Mata Pramam melebar seketika. Ia melepas tautan Mara dan bangkit dari duduk. Sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku celana.“Jangankan kamu, aku aja nggak bisa ke sana untuk sementara waktu.”“Lho, kenapa?” Mara ikut bangkit, memangkas jarak dengan Pramam. “Mas Uki jadi jual apartemen itu?” katanya tak terima.Pramam menghela napas berat. Kepalanya m
“Permisi, Pak. Dari tadi pagi Bu Mara menghubungi saya, menanyakan soal Pak Pramam,” ujar Erin, sekretaris Pramam yang baru saja memasuki kamar hotel atasan. “Saya belum memberitahu Bu Mara pastinya, dikarenakan kondisi Bapak yang mabuk semalam dengan klien kita.”Pria itu memijat kepalanya pelan. Masih ada sisa pening dan perut yang tidak nyaman akibat alkohol yang dikonsumsinya. Kepalanya pun mengangguk mengerti.“Kalau istri saya bagaimana, Rin?” tanyanya. “Apa dia sempat menghubungi saya?”Erin menggeleng. “Bu Anne hanya sekali menanyakan pada saya berapa lama Bapak pergi ke Manila,” terangnya.Kening Pramam kontan berkerut-kerut. Tak menduga istrinya akan seabai itu dengan kepergiannya kali ini. Biasanya Anne paling rewel minta dikabari, tapi sekarang, mengapa sikapnya berubah cuek seperti itu, sih?“Sekali doang, Rin?”“Benar, Pak.”Mengembuskan napas berat, Pramam mendengkus sebal. “Ya Tuhan, Anne!” serunya frustasi. “Terus masalah apartemen itu gimana? Apa Varen sudah kasih ka
Begitu mendapat kabar dari Varen mengenai kedatangan Mama, Anne ingin segera pergi. Melupakan rencana matang yang sudah ia buat untuk menyaksikan Mara secara langsung di apartemen mewah Pramam. Beruntung Varen memiliki banyak ide untuk melancarkan rencana tersebut.“Anak buahku sudah pasang CCTV dan bersiap di area ini, jadi kamu nggak perlu khawatir kalau nanti nggak bisa lihat secara langsung,” terang Varen kala itu.Anne mengangguk penuh syukur. Lalu hendak turun dari mobil guna mencari taksi di sekitar, tapi Varen menahannya. Pria itu mengajaknya pergi bersama ke kafe yang menjadi tempat Mama berada.Anne mengeratkan pegangan di ujung blouse biru muda yang dikenakannya begitu menangkap keberadaan Mama tengah tertawa dengan Luisa Herlambang—ibu kandung Varen. Kemudian ada seorang pemuda yang asyik memainkan iPad. Tentu Anne tak salah mengira kalau adiknya ikut serta.“Mbak Ann!” Arian berseru memanggil bersama senyum merekahnya, membuat dua wanita di sampingnya refleks menoleh.“Ma
“Gue nggak sengaja ketemu Anne sama musuh bebuyutan lo di kafe, asisten gue kirim berkas foto itu ke supir lo. Selamat kena tikung musuh!” Begitulah isi pesan dari Erkan usai Pramam mendapatkan berkas dari Pak Yon barusan.Pramam mengetatkan rahang. Tatapannya terpaku pada beberapa lembar foto dari berkas yang ia buka. Ia tidak pernah meminta teman dekatnya itu untuk membuntuti siapa pun, apalagi istrinya sendiri.Akan tetapi, kebetulan yang Erkan dapatkan hari ini rupanya bermanfaat juga. Diam-diam, Anne bertemu dengan Mama, Arian, Luisa Herlambang, dan yang paling mengejutkan ada Varen juga di sana. Gambaran tersebut sudah cukup menunjukkan ada kehangatan dan kedekatan yang tak biasa.Tangannya mengepal, menyambar lembaran foto di pangkuan dan meremasnya sejalan dengan amarah yang meledak di dada. Matanya menyalang saat menghempaskan foto-foto tersebut ke jok mobil. Lantas ia berteriak sejadinya, tak peduli pendapat supir pribadinya yang mungkin bingung dengan sikap gilanya sekarang
Pramam mengerang untuk ke sekian kali. Jemarinya juga ikut sibuk meremas helaian rambut yang menutupi dahi ketika guyuran shower mengenai kepala. Mendapati ucapan pedas dari ibu mertua nyatanya sangat membuat kepalanya pening. Juga perasaan yang mendadak panas. “Apa yang diucapkan Mama emang benar, itu juga ketakutan Ibu yang nggak mau harta gue habis kalau bercerai sama Anne.” Ia menggeleng cepat saat itu juga. “Nggaklah, Anne nggak akan minta cerai dan gue nggak akan menceraikan dia. Gue nggak bisa hidup tanpa Anne.” Tak hanya egois, Pramam mengakui dirinya memang rakus. Kelewat malah. Namun, apa daya. Sejak beberapa tahun lalu, ia sudah tergila-gila pada Anne dan pencapaian terbesarnya adalah menjadikan wanita itu istri. Di sela-sela berpikir, Pramam mengambil sabun cair usai menekan atasnya. Ia membaluri cairan wangi itu ke seluruh permukaan tubuh. Lalu memberikan sampo di kepala, sudah cukup banyak aroma nikotin yang melekat di sana. Seandainya Mara ada di rumah, pasti Anne aka
“Biar aku yang ngomong ke Mama, kamu tenang aja.”Anne menepuk-nepuk pelan bahu Pramam saat keduanya tiba di kamar berdua. Pramam menoleh dan menatap lekat istrinya. Ia genggam tangan itu dan mengecupnya sebelum kepalanya bergerak menggeleng.“Nggak usah, Ann. Lagi pula apa yang dibicarakan Mama itu ada benarnya, nggak seharusnya Mara tinggal serumah sama kita.”Oh, tentu saja tidak boleh. Mara harus tetap tinggal di rumah ini agar Anne bisa memerhatikan gerak-gerik perselingkuhan suami dan wanita muda itu. Jika Mara pergi, maka urusan Anne bertambah rumit dan jelas sulit. Ia juga tidak bisa meminta bantuan terus pada Varen, kali ini dan seterusnya ia ingin mengusahakannya sendiri.“Mas … udah, ya?” balas Anne pelan seraya memohon. “Lebih baik kamu istirahat, perjalanan dari Manila pasti buat kamu capek.”Dua mata itu memejam sesaat. Pramam pun bangkit dari duduknya. “Aku mau ngerokok dulu sebentar,” katanya.“Mentang-mentang Mara nggak di rumah.”“Bisa aja kamu.” Pramam membalas deng
“Mbak Anne tanya terus, kapan aku pulang dari rumah teman,” keluh Mara pada Pramam begitu pria itu tiba di kamar hotelnya. “Mas Uki sendiri ya yang kasih alasan nginap di rumah teman?”Semula tangan Pramam memeluk pinggang Mara, sekarang ia mengambil jarak dan berdiri bersisian pada wanita mudanya. Urung menjawab, Pramam menghela napas berat sembari mengacak rambut hingga tampak berantakan. Masih ada sisa pening karena pengaruh minuman keras yang ia tenggak siang tadi bersama Erkan.“Mas?” Mara memanggil lagi, membuat Pramam mendengkus. “Sebenarnya ada apa, sih di rumah? Kalau memang aku nggak diijinkan lagi tinggal di sana, ngomong aja dari sekarang. Nggak perlu begini.”Baru kali ini Pramam mendengar keluhan Mara. Padahal selama beberapa minggu menetap di kediamannya, wanita muda itu tampak biasa saja, malah menerima. Lalu sekarang, mengapa ia justru terkesan kesal seperti ini, sih?“Mertuaku datang,” ujar Pramam singkat.“Terus kenapa?”Membuang napas berat, Pramam memijat pelan pe
“Mas, dari tadi kamu diam aja.” Mara menyeletuk pelan sembari menyorongkan piring berisi ikan asin yang baru diambil dari penggorengan. Asapnya mengepul dan memberikan aroma semerbak.“Gimana soal kantor?” tambahnya yang urung dibalas Pramam.Pramam akhirnya menoleh dan menanggapi, “Lancar, banyak proyek yang berhasil dan beberapa yang menang tender.”“Baguslah, klinikku juga mulai banyak pelanggannya.” Mara memaparkan dengan tenang, meski lidahnya kelu. Nyatanya mental yang sempat rusak itu belum sepenuhnya sembuh.Pramam mengangguk sembari meraih piring dan siap menyantapnya. Namun sebelum itu, ia kembali menatap Mara cukup lama.“Ra, ayo kita menikah.”Itu bukan ajakan, melainkan keharusan. Ia tak bisa membiarkan Mara hidup bersamanya tanpa ikatan apa pun. Ditambah ini semua atas permintaan Anne. Wanita itu tampaknya ingin sekali mereka melupakan Bagaskara.“Mas—“Pramam meraih tangan Mara dan menggenggamnya. Membuat bibir wanita itu bungkam seketika.“Kita nggak bisa begini terus.
“Mungkin semua anggota direksi, sudah mengetahui putra saya yang satu ini. Ares Basuki namanya, adik Pramam.” Dharma langsung memperkenalkan putra yang telah lama disembunyikannya begitu rapat dimulai. Tanpa basa-basi sekali.Pramam yang duduk di bangkunya kini mulai memanas. Melihat tampang Ares yang begitu percaya diri. Sementara di sebelahnya, Varen hanya bersikap santai. Tak terkejut sama sekali oleh pengumuman yang diberikan Dharma.“Jika rekan-rekan sekalian sudah tak bisa memercayakan perusahaan kita ini pada CEO sebelumnya, Ares bisa menggantikan. Kemampuannya juga mumpuni,” lanjut Dharma yang jelas mengesampingkan skill putra pertamanya yang jauh memiliki banyak pengalaman daripada Ares.Hingga kemudian, tangan Varen terangkat. Membuat Pramam terkejut dan beberapa anggota direksi yang lain.“Maaf menyanggah ucapan Anda, Pak Dharma. Tapi saya keberatan. Bagaimana bisa kami percaya pada Ares jika pengalamannya saja belum banyak?”Dharma mengerutkan kening. Mendadak bibirnya men
Anne tidak bisa mencegah kepergian Varen yang harus kembali ke Indonesia petang ini. Mengingat banyaknya pekerjaan si pria yang memiliki tanggungjawab besar menjadi direktur utama rumah sakit. Belum lagi bisnis Varen yang beragam.Pria itu kini sedang menilik arloji yang melingkar baik di pergelangan tangan. Kemudian menatap paspor sebelum beralih ke ponselnya yang mendadak berdering, menandakan sebuah notifikasi datang. Kemungkinan dari klien atau orangtuanya.“Kamu hati-hati di jalan. Salam buat tante sama om di rumah, ya.” Dan akhirnya ucapan itu meluncur juga dari mulutnya saat perasaannya yang campur aduk mulai mereda.Tangan Varen terangkat. Mendarat di kepala Anne dan membelainya pelan. “Siap laksanakan,” katanya yang kemudian beralih pada Rina. “Tolong dijaga ibunya ya, Rin. Sama titip buat Bagaskara.”“Baik, Pak.” Kepala Rina bergerak naik-turun. “Ini Bapak sama Ibu udah kayak pasangan suami-istri beneran, tapi sayang harus LDR-an,” tuturnya blak-blakan.Anne kontan memberika
Beberapa orang sudah mulai meninggalkan bangkunya. Namun dari pihak keluarga Pramam dan Anne masih betah di sana. Keduanya saling pandang satu sama lain, terlihat nyala api yang masih begitu membara dari mata Jayan Gumelar dan istrinya.Meski persidangan sudah usai dan putri mereka yang menang, tetap saja perasaan amarah masih bercokol di dada. Rasanya hasil ini belum sepenuhnya layak diterima. Padahal semua harta Pramam sudah diserahkan sebagian besar untuk Anne.“Pa ….” Pramam memanggil begitu mendekati ayah mertua. Tepatnya mantan ayah mertua yang tampak jelas memendam kekesalan terhadapnya. “Saya minta maaf sekali lagi atas semua ini. Semoga—““Lebih baik tutup mulutmu itu!” bentak Jayan Gumelar yang muak. “Sekalipun Anne yang menang dari kasus ini, jangan harap hidupmu bisa bahagia dengan wanita simpananmu itu, Pram.”Pramam tertegun. Ia menelan ludah kepayahan sebelum akhirnya mengangguk. “Apa yang diucapkan Papa memang benar, setelah ini saya akan berusaha lebih keras untuk men
Tepat sebulan sudah ia menetap di Saitama, Jepang. Tak seperti di negeri sendiri, Anne harus belajar mandiri. Pergi membeli keperluan hingga mengurus Bagaskara. Semula, ia diantar Arian dan ditemani sampai lima hari."Apa pun itu, kabari aku ya, Mbak. Mama dan Papa juga memaksa minta ditelepon Mbak setiap waktu." Begitulah permintaan Arian sebelum pergi. "Bang Varen juga jangan dilupain, dia juga termasuk orang penting yang wajib Mbak Anne kasih kabar!"Anne nyaris saja meneloyor kepala Arian kalau pemuda itu tak segera menghindar. Semakin ke sini, ada banyak yang menggodanya dengan melibatkan nama Varen. Sungguh, ia makin tak enak hati. Terlebih tempat yang ditinggalinya sekarang merupakan kondonium Varen. Pria itu membelinya secara cuma-cuma atas uang yang diterimanya saat ditunjuk menjadi direktur utama rumah sakit pertama kali.Lalu sekarang, pria itu tengah berkutat dengan beberapa kardus besar yang baru diantar jasa kirim. Anne yang masih menimang Bagaskara hanya memerhatikan da
Melihat bagaimana tampang kedua orangtuanya yang baru datang, Pramam bisa menyimpulkan jika sesuatu tidak sejalan dengan harapan. Mengingat kemarin, Bapak dan Ibu sudah berencana ingin menemui keluarga dari pihak Anne. Dan hasilnya besar kemungkinan buruk untuknya dan Mara.“Ibu dan Bapak udah mencoba segala cara. Kami pergi ke rumah Jayan dan bertemu Anne. Ya, istrimu itu sudah memutuskan, Pram. Dan rasanya tak bisa diganggu gugat lagi,” ungkap Ina Basuki mengawali percakapan bersama Pramam dan Mara yang diminta ikut serta.“Jadi, saya nggak bisa ketemu darah daging saya sekali ini saja, begitu?” tanggap Mara melalui layangan protesnya.“Nak Mara, saya sudah berusaha.” Kini Dharma yang mengambil alih. “Jadi, kamu harus menerima semua ini. Sebab jika kamu terus menentang dan ingin mengambil alih bayi itu, kemungkinan besar kamu akan dijebloskan ke penjara.”Kata penjara begitu menakutkan bagi mereka. Pramam pun tak pernah berpikir sampai sejauh itu efek yang diterimanya setelah menipu
Anne sudah menemukan nama yang tepat untuk bayinya. Maknanya indah dan cukup menggambarkan ketampanan si bayi. Siapa tahu jika sudah besar nanti, tak hanya penampilannya yang baik, tapi juga sifatnya. Menjadi sosok kuat dan pelindung bagi orang sekelilingnya.Itulah harapan yang terus digaungkan Anne sepanjang perjalanannya menuju kediaman Papa-Mama. Ia masih diantar supir pribadi yang dipekerjakan Papa untuknya. Di usia sedewasa ini, Anne masih dianggap sebagai putri kecil Papa yang harus mendapat pemantauan ekstra. Begitulah kira-kira alasan Papa ketika membujuknya beberapa waktu lalu.“Non, mau mampir dulu atau langsung ke rumah Bapak?”“Langsung aja ke rumah,” balasnya pada si supir.Jalanan saat itu cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 10 pagi. Sudah pasti jalanan tak padat merayap seperti pagi tadi atau sore ketika jam pulang kantor.Setengah jam berlalu, kendaraan yang ditumpanginya sudah tiba di pelataran rumah mewah ora
“Pram! Pramam!”Teriakan Ina yang terus memanggil satu nama itu membuat Pramam mengangkat wajah. Tubuhnya ikut bangkit bersama langkah yang diseret menuju sumber suara. Begitu berhasil membuka pintu, ia melihat ibunya sedang memapah Mara yang tampaknya lemas—entah karena apa.“Ada apa ini, Bu?” tanyanya langsung membantu menggendong Mara ke sofa. “Dia sakit?”Ina menggeleng panik. “Waktu di teras, Pak Yon udah lihat dia jalan lemas kayak gini,” terangnya. “Apa dia mabuk?”Pramam langsung memastikan keadaan Mara, tapi tak ada aroma minuman keras dari wanita itu. Hanya saja, tatapnya teralih pada pakaian Mara yang basah. Terlebih dari dadanya. Aneh, mengingat waktu itu belum memasuki musim penghujan dan keadaan di luar pun masih terang benderang.“Ra?” panggilnya pelan. “Kamu kenapa sebenarnya?”Wanita itu tak bereaksi. Tatapannya kosong dan makin membuat Pramam serta Ina bingung. Lantas Pramam mengangkat tubuh itu ke kamar agar Mara bisa istirahat lebih leluasa di sana.Setelah membar
Anne terhenyak. Batinnya bagai ditusuk tombak sewaktu menangkap presensi Mara tengah bersimpuh di hadapannya. Ia sempat melirik Sonya, asisten sekaligus sekretarisnya yang kini menunduk. Mungkin gadis itu juga tak bisa menyelesaikan masalah ini sebelum atasannya datang ke butik setelah beberapa waktu.“Sudah saya paksa, Bu, tapi dia tetap bersikeras menunggu di sini. Saya nggak bisa berbuat macam-macam, mengingat pelanggan sudah banyak yang datang.”Akhirnya Sonya membuka suara. Anne mengangguk setelah melepaskan napas panjangnya. Ia meminta anak buahnya untuk kembali ke kegiatannya masing-masing, lalu membiarkan Mara.“Apa mau kamu ke sini?”Dingin. Kesan Anne pada Mara sudah berubah drastis. Tak lagi ramah atau dipenuhi kehangatan saat bertutur kata. Setiap orang, bisa mengubah kepribadiannya setelah momen besar terjadi. Terlebih bagi Anne sendiri, ia sudah mengalami kejadian yang membuat hatinya pecah akibat pengkhianatan suami.“Mbak ….” Mara merangkak mendekati kedua kaki Anne ya