Teriakan ibu Renata sama sekali tidak dihiraukan Darren. Pak Sugeng memegang tangan wanita yang dicintainya itu. "Sayang, bicaramu sangat keterlaluan. Darren bukan robot yang bisa kamu atur sesukamu. Anak kita manusia yang punya akal, hati dan perasaan. Jangan sampai Darren membenci kita, Sayang. Aku mohon, kali ini dengarkan apa kataku.""Tapi, kalau Sabrina sampe dua bulan belum juga hamil gimana, Mas?" sentak ibu Renata menghalau tangan suaminya. Pak Sugeng hanya menghela napas berat."Pagi, Mama ... pagi, Papa ...." Belum sempat Pak Sugeng menjawab pertanyaan istrinya, Angelica datang ke ruang makan menyapa mereka. "Pagi, Angelica," balas Pak Sugeng, memaksakan bibir tersenyum. Terlihat sekali kalau ibu Renata sangat tidak menyukai kedatangan menantu pertamanya itu. Pandangan Angelica mengarah pada kursi Darren dan Sabrina. "Ma, Pa, Darren sama perempuan kampungan itu kemana? Mereka belum bangun? Tumben amat," celetuk Angelica. Namun, pertanyaan Angelica tak ada yang menjawa
Hati Darren sangat bahagia mendapat balasan pesan singkat dari Sabrina, wanita yang sangat ia cintai. Bibirnya menyunggingkan senyum sepanjang jalan menuju kantor. Kerinduannya pada Sabrina semakin besar. Darren sudah bertekad, pulang dari kantor akan menyusul Sabrina di kampungnya. Tiba di kantor, Darren berjalan cepat hendak ke ruangannya. Ia ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan hari ini. Jika pekerjaanya cepat selesai, Darren akan cepat bertemu Sabrina. Langkah Darren terhenti ketika melewati ruangan pak Sugeng. Dari kaca ruangan, Darren melihat kedua orang tuanya dan juga Pak Hendrik sedang berbincang. Dalam hati, ia bertanya. 'Sebenarnya mama dan papa ada urusan apa sampai memanggil pengacara keluarga?'Darren menggelengkan kepala, menghalau rasa penasaran. Dia tidak mau tahu urusan kedua orang tuanya. Yang jelas, sekarang Darren harus segera menyelesaikan pekerjaannya. ***Sedikit pun ibu Regina tak menyangka kalau ibu Renata mengajaknya bertemu. Usai melangsungkan per
Tidak menunggu lama, Niken sudah kembali lagi ke rumah Sabrina sembari membawa kunci. "Ini kunci rumah kamu. Kamu sekarang istirahat di dalam rumah saja" ucap Niken menatap lembut. Pandangannya beralih pada beberapa warga yang mulai memerhatikan Sabrina. "Iya, Teh.""Neng, sebentar. Teteh mau tanya. Boleh?" Niken mencekal pelan lengan Sabrina sembari menoleh pada lelaki yang duduk di atas teras. "Boleh. Tanya apa, Teh?""Itu ... itu suami kamu?" tanya NIken penasaran sembari melirik Pak Kodir. Sabrina mengulum senyum, menggelengkan kepala. "Bukan Teteh ... itu supir keluarganya suami saya." Jawaban Sabrina membuat Niken membeliakkan kedua mata. "Supir keluarga? Bukan suami kamu?""Bukan atuh, Teh," timpal Sabrina tersenyum. "Ya Allah, Neng ... semenjak kamu pergi dari kampung ini, sebenarnya banyak sekali gosip tentang kamu. Telinga Teteh sampe panas," ucap Niken pelan. Dia tahu, kalau sekarang sedang diperhatikan orang-orang yang menyebar gosip buruk tentang Sabrina. Kening Sa
"Dari mana saja, Mas? Semalaman enggak pulang?" Baru saja Pak Adyatama masuk ke dalam rumah, suara ibu Anita terdengar. Wanita yang telah melahirkan Angelica itu menghampiri suaminya. "Semalaman ngelembur di kantor. Aku tidur di kantor." Tidak mungkin Pak Adyatama berkata jujur. Lelaki itu mengalihkan pandangan, enggan membalas tatapan wanita yang mengidap penyakit komplikasi yang bermula dari penyakit diabetes. Salah satu alasan itulah yang membuat Pak Adyatama menikah lagi. Ibu Anita tidak bisa m3mu4skan h4sratnya hingga berulang kali Pak Adyatama bers3lingkuh. Dia sering menyuruh Angelica agar setia pada Darren, Pak Adyatama sendiri tidak bisa setia. Hanya dengan Regina saja dia melakukan pernikahan, itu pun karena Regina yang memaksa. Dengan wanita lain, hanya dijadikan tempat pel4mpiasan n4fsu saja. "Aku udah telepon orang kantor. Katanya dari siang kamu udah pergi. Kamu pergi kemana, Mas?" sentak ibu Anita melotot. Firasatnya sebagai seorang istri mengatakan jika suaminya me
Ibu Regina mendongak. Kedua matanya membeliak melihat kedatangan tiga orang yang berpakaian stylish. "Renata? Kamu Renata 'kan?" tanya ibu Regina sumringah, berdiri, hendak memeluk wanita yang telah melahirkan Darren. "Jangan sentuh aku!" tolak ibu Renata ketus. Memundurkan tubuhnya beberapa langkah. Dia sangat tidak suka berdekatan dengan Regina apalagi sampai disentuh. Gerakan ibu Regina seketika terhenti. Menelan saliva, memandang pak Sugeng dan Pak Hendrik bergantian. Ibu Renata menunjukkan ekspresi wajah datar, langsung duduk di kursi. Begitu pula pak Sugeng dan Pak Hendrik.Melihat sikap mereka, ibu Regina mencebik. 'Sombong sekali mereka. Mentang-mentang orang kaya. Mereka enggak tau aja kalau suamiku juga pengusaha yang kaya raya.' Ibu Regina bergumam dalam hati. Awalnya ia ingin bersikap baik pada Ibu Renata dan Pak Sugeng tapi melihat sikap ibu Renata, hatinya dipenuhi kebencian. "Silakan kalau kamu mau baca dulu dokumen itu. Enggak dibaca juga enggak masalah. Aku hanya
"Iya betul sekali. Suamiku bernama Adyatama. Wah ... ternyata suamiku pengusaha yang terkenal juga, ya?" Ibu Regina sangat sumringah suaminya dikenali pak Hendrik. Dia juga sangat yakin kalau Ibu Renata dan Pak Sugeng pasti mengenal Adyatama. Pak Sugeng dan ibu Renata penasaran. Mereka yang awalnya tak peduli, akhirnya melihat foto pernikahan ibu Regina dengan Pak Adyatama. "Apa kamu enggak tau kalau dia udah punya istri dan anak?" tanya ibu Renata ketus, tanpa menyebut nama Regina. Tatapannya sangat menusuk. "Memangnya kenapa kalau dia punya istri? Laki-laki itu boleh menikah lebih dari satu, dua atau tiga? Empat juga boleh." Tanpa rasa bersalah, ibu Regina menjawab pertanyaan ibu Renata. Mendengar jawaban ibu Regina, hati Ibu Renata sangat geram. Kedua telapak tangannya mengepal kuat, menunjukkan amarah di depan saudara kandung beda ibu itu. Jika bukan di tempat umum, ingin rasanya ibu Renata menyumpal mulut Ibu Regina. Wanita yang telah melahirkan Darren tiba-tiba teringat ibu
Ibu Renata dan pak Sugeng melenggang beriringan. Keduanya berdiri di depan pintu, sebelah tangan pak Sugeng terulur menekan bel. Tidak berselang lama, asisten rumah tangga Pak Adyatama membukakan pintu. "Nyonya Renata, Tuan Sugeng, apa kabar?" Asisten rumah tangga pak Adyatama yang telah bekerja di rumah itu bertahun-tahun lamanya memang sudah mengenal ibu Renata dan suaminya. Oleh karenanya, ia tak canggung menyapa. "Kabar kami baik. Anita ada?" Ibu Renata yang menjawab. "Ada. Silakan masuk, Nyonya, Tuan. Saya panggilkan Nyonya Anita dulu.""Terima kasih."Keduanya masuk ke ruang tamu yang sangat sunyi. Aura sunyi di rumah ini sangat terasa. Berbeda dengan rumah Wirawan. Walaupun kadang ibu Renata merasa kesepian tetapi masih ada pak Sugeng, Darren, Angelica, kedua asisten rumah tangganya dan juga sekarang ada Sabrina. Tapi di rumah ini, hanya Anita dan asisten rumah tangganya yang sudah sepuh. Apalagi sekarang Adyatama sudah menikah lagi. Ibu Renata sangat yakin kalau Pak Adyata
Usai membersihkan diri, keduanya menyantap makan malam yang sudah larut. Untung saja, Sabrina memasak. Ternyata Darren sejak siang belum makan. Dia ingin pekerjaannya cepat selesai dan segera bertemu dengan Sabrina. Sebelumnya dia belanja di pasar terdekat rumah diantar teh Niken. "Masakanmu lezat sekali, Sayang. Aku yakin, kalau mama makan masakanmu ini, dia pasti akan memujimu," ujar Darren sembari mengunyah. Sabrina hanya tersenyum tipis. Toh nyatanya, ibu Renata hanya menyukai masakannya saja bukan dirinya. "Terima kasih atas pujiannya, Tuan."Darren memerhatikan Sabrina yang duduk di kursi sebelahnya. "Sayang, aku minta sama kamu. Kalau di luar rumah Wirawan, jangan panggil aku 'Tuan'. Kamu boleh memanggilku Darren atau yang lainnya. Enggak enak didengarnya, Sayang."Sabrina langsung menoleh, mendengar permintaan suaminya. Ia membalas tatapan Darren yang penuh cinta. "Hm, tapi ... kalau didengar nyonya besar bagaimana? nanti saya dianggap enggak tau diri." Sabrina merundukkan
"Kalian mau kemana?" Pak Sugeng bertanya ketika Darren dan ibu Regina berpapasan dengannya di pintu depan. "Aku mau ---""Anterin aku pulang ke panti. Aku mau ambil beberapa pakaian ganti. Kalau boleh, aku mau nginap di sini sampai acara tahlilan mbakyu selesai," sela ibu Regina. Tidak ingin kalau pak Sugeng mengetahui kalau dirinya dan Darren menemui Angelica. "Boleh saja. Silakan."Setelahnya, Pak Sugeng masuk ke dalam rumah. Darren dan ibu Regina melanjutkan langkah, menuju tempat di mana Angelica ditahan. "Tante, kenapa enggak tinggal bersama kami saja?" tanya Darren ketika kendaraan yang mereka tumpangi melaju. "Enggak, Darren. Tante udah nyaman tinggal di panti."Jawaban ibu Regina membuat Darren terdiam seribu basa. Mereka baru bertemu beberapa jam, tapi Darren merasa kalau sudah sangat lama bertemu dengan ibu Regina. Mungkin karena diantara mereka terdapat ikatan darah. "Kenapa selama ini Tante enggak pernah muncul di acara keluarga kami?" tanya Darren heran. Mengingat k
Usai pemakaman, Ibu Regina bertanya kembali pada Darren. Di rumah itu hanya Darren yang bisa diajak bicara. Ibu Regina bertanya kenapa ibu Renata sampai ditusuk orang perutnya? Siapa pelakunya?Awalnya Darren tak ingin menjawab namun karena ibu Regina memaksa, akhirnya Darren mengatakannya. Kedua mata ibu Regina membeliak mendengar nama Angelica. "Jadi, yang membuat Mbakyuku meniggal Angelica juga?" ibu Regina teramat terkejut. "Iya, Tante. Tapi keadaan mama sempat membaik."Ibu Regina menggelengkan kepala berulang kali. Rasa sakit hati pada Angelica semakin besar. Anak dan kakaknya telah dibunuh wanita berhati iblis itu. Pandangan ibu Regina beralih pada ibu Anita yang menangis di depan pusara ibu Renata. Dengan kasar, ibu Regina mendorong tubuh ibu Anita hingga wanita itu terjungkang. "Munafik! Gara-gara anakmu, Mbak Renata meninggal! Anakmu, anak iblis! Dulu anakku yang dibunuhnya, sekarang kakakku!" Teriakan ibu Regina membuat ibu Anita dan orang lain terkejut. Mereka kasak-ku
Keluarga Wirawan berduka. Wanita yang selama ini mengharapkan cucu kini telah tiada ketika keinginannya itu dikabulkan Tuhan. Pak Sugeng duduk di samping jenazah ibu Renata sejak beberapa jam lalu. Belahan jiwanya telah hilang. Dibiarkan air mata membasahi wajah. Tak ada lagi sikapnya yang tegas, yang berwibawa dan yang berkharismatik. Kini, ia telah kehilangan semangat. "Pa, Papa makan dulu," ucap Darren mengingatkan sang papa yang seharian ini tidak ada makanan yang masuk ke dalam perut. "Nanti saja." Hanya itu jawaban yang terucap dari mulut lelaki yang ditinggal kekasih hatinya. Kekasih yang telah menemani hidupnya. Sabrina yang berada di dalam kamar, tengah memberi ASI pada kedua buah hatinya meneteskan air mata. Masih teringat jelas, bagaimana perhatiannya ibu Renata, bagaimana keinginan ibu Renata memiliki cucu. "Ya Allah, mohon kesabaran serta keikhlasan dalam hatiku ya Allah. Hamba tahu, semua ini sudah menjadi takdir-Mu."Rumah duka keluarga Wirawan semakin berjalan wak
Pak Sugeng bergegas keluar ruangan, hendak membeli brownies keinginan ibu Renata. Lelaki itu membeli brownies di toko yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Ia tak ingin berlama-lama meninggalkan ibu Renata. Hanya memakan waktu lima belas menit, pak Sugeng sudah kembali ke ruangan ibu Renata. Di dalam ruangan, terlihat ibu Renata sedang berbicara sendiri di depan handphone. "Lho, Mas. Cepat sekali belinya?" tanya ibu Renata heran. Ia lantas mematikan rekaman suara di handphone milik suaminya. Jangan sampai pak Sugeng tahu kalau ibu Renata meninggalkan pesan suara pada ponselnya. "Aku sengaja beli di toko kue terdekat. Ini aku beli dua. Ada yang pake toping keju dan ada yang enggak pake toping. Kamu mau makan yang mana dulu?" tanya pak Sugeng sembari menunjukan dua kotak brownies. Sengaja membeli dua supaya Ibu Renata memilih. "Aku mau toping keju. Mas, suapin aku ...," rengekan ibu Renata membuat hati pak Sugeng mencelos. Permintaan itu seperti mengisyaratkan sesuatu. "Tentu. A
"Aku harus bilang gitu, Anita. Umur orang enggak ada yang tau. Paling enggak kalau aku udah bilang, kamu bisa wujudin," jelas ibu Renata menatap sendu wanita yang napasnya turun naik karena kesal akan ucapannya. "G1la kamu, Renata! Bisa jadi umurku lebih dulu yang tamat daripada kamu." Sangat sewot ibu Anita menanggapi ucapan ibu kandung Darren. Ibu Renata meraih telapak tangan ibu Anita. Ia seolah memohon pada mantan besannya itu."Anita, aku mohon padamu. Kabulkan---""Stop!" sela Anita menghempaskan genggaman tangan ibu Renata. "Aku enggak mau dengar soal itu lagi. Renata, kamu pasti sembuh. Sekarang keinginan terbesarmu sudah Tuhan penuhi. Langsung dikasih dua, Renata. Kamu harus sembuh. Oke?" ucap ibu Anita. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sangat takut kalau sahabat dari semasa SMA-nya itu benar-benar pergi meninggalkannya. Dia sangat takut, jika apa yang dikatakan ibu Renata akan terjadi. Ibu Anita menggelengkan kepala, menghalau pikiran dan firasat buruk. Sesaat, terjad
"Mama Anita?" pekik Darren melihat mantan ibu mertuanya yang berdiri di hadapan. "Darren, apa Mama boleh menjenguk Mamamu?" suara ibu Anita bergetar. Ia takut sekali jika keluarga Wirawan membencinya karena perbuatan jahat anak semata wayangnya, Angelica."Boleh, Ma. Silakan masuk."Darren memberi ruang pada ibu Anita agar masuk ke dalam ruangan. Semuanya terkejut akan kedatangan ibu Anita. Wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anita?" gumam ibu Renata melihat sahabatnya datang menjenguk. Ibu Anita merasa sangat bersalah akan perbuatan jahat yang dilakukan Angelica pada ibu Renata. "Renata, Renata ...." Ibu Anita menghambur dalam pelukan wanita yang telah melahirkan Darren. Pak Sugeng menarik mundur kursi roda Sabrina agar tidak menghalangi Ibu Anita yang memeluk sahabatnya. "Aku minta maaf, Renata ... aku minta maaaff ...." Permohonan maaf diucapkan ibu Anita disela pelukan pada sahabatnya. Ibu Renata mengusap lembut punggung ibu Anita. "Kamu enggak perlu minta maaf, Anita. Ka
Pertanyaan ibu Anita sarat penekanan. Tatapannya sangat tajam. Angelica memicingkan kedua mata, merasa kesal karena mamanya lagi dan lagi tidak membelanya justru membela orang lain. "Aku enggak bermaksud mencelakai dia. Tujuanku Sabrina dan calon anaknya!" tandas Angelica membalas tatapan ibu Anita tak kalah tajam. "Kenapa? Memangnya Sabrina melakukan kesalahan apa sama kamu, Lica?" Ibu Anita mencondongkan tubuh lebih ke depan. "Kesalahan apa?" Angelica mengulang pertanyaan mamanya. "Mama lupa, dia udah ngerebut kebahagiaanku! Gara-gara kedatangan dia di rumah itu, aku diusir! aku diceraikan. Hidupku hancur, kacau gara-gara dia! Dia enggak boleh lebih lama bahagia. Aku ingin ... aku ingin Sabrina hidupnya hancur dan menderita sepertiku!" Mendengar ucapan Angelica, ibu Anita menggelengkan kepala berulang kali. "Bodoh!" maki ibu Anita dipenuhi amarah. "Kamu sangat bodoh, Lica! Lihatlah ... akibat kebodohanmu, sekarang kamu di penjara! kamu akan mati di dalam sel sana, Lica!" sambun
Ibu Anita yang memutuskan pindah tempat tinggal terkejut mendengar kabar anak semata wayangnya menusuk perut ibu Renata. Kabar itu disampaikan oleh Jessi yang mengetahui keberadaan wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anak kurang ajar! Aku pikir dia sudah m4ti!" geram ibu Anita mengepalkan kedua telapak tangan di hadapan wanita yang wajahnya mirip Sabrina. Tiga bulan lalu, ibu Anita tanpa sengaja bertemu dengan Jessi di kantor keluarga Wirawan. Jessi kala itu menemani Mr. Whang meeting di kantor Darren. Singkat cerita hubungan mereka semakin dekat. Jessi yang telah kehilangan sosok ibu, seperti menemukan sosok ibu dalam diri ibu Anita. Begitu pula ibu Anita. Sampai akhirnya, ibu Anita memutuskan pindah rumah karena tak nyaman selalu didatangi ibu Regina. Sekarang ibu Anita tinggal di apartemen yang dulu ditempati Darren dan Sabrina. "Awalnya Angelica ingin menusuk Sabrina. Tapi, dihalangi mama Renata.""Ya Tuhan ... Kenapa anak itu selalu mencari masalah?" Ibu Anita menutup waja
Pak Sugeng bergegas menuju ruangan Sabrina yang letaknya cukup jauh. Sedangkan Darren berjalan, menghampiri jendela ruangan yang di dalamnya ada ibu Renata. Darren tak menyangka kalau ibu Renata yang menyelamatkan nyawa Sabrina dan calon anaknya. Ternyata ibu Renata sikapnya sudah benar-benar berubah. Sangat menyayangi dan perhatian pada Sabrina. Dari kejauhan, Darren melihat pergerakan jari ibu Renata. Lalu, perlahan-lahan kedua mata wanita tua itu terbuka. Mulutnya menganga, seolah sedang bicara. Menit berikutnya, perawat yang menjaga ibu Renata di dalam ruangan membuka pintu. "Sus, Mama saya sudah sadarkan diri?" tanya Darren tampak sumringah."Betul, Mas. Apa Mas keluarga pasien?""Saya anaknya, Sus.""Oh silakan masuk, Mas."Suster membuka pintu ruangan lebar, mempersilakan Darren masuk. Lalu, suster itu berjalan cepat, hendak memanggil dokter yang menangani kesehatan ibu Renata. "Mama!" pekik Darren berdiri di samping wanita yang telah melahirkannya. Ibu Renata mengulas sen