Mendengar pertanyaan pak Sugeng, ibu Renata menoleh terkejut, menatap suaminya sesaat lalu mengalihkan pandangan ke depan sembari menghela napas berat. Mulutnya terasa dikunci. Tak tahu harus menjawab apa. Benar kata pak Sugeng, nasi sudah menjadi bubur. "Renata, demi nama baik keluarga Saka Abadi. Kamu harus memilih," sambung pak Sugeng melihat istrinya tak kunjung angkat bicara. Ibu Renata tetap bergeming, menelan saliva, berkali-kali menarik napas panjang. Kedua matanya terpejam, mengingat kembali permintaan ibu kandungnya sebelum meninggal dunia. "Hanya kamu pewaris sah Saka Abadi. Kamu adalah saksi, sesakit apapun hati Mama, tidak pernah meminta cerai pada papamu. Mama hanya minta, tolong jaga nama baik keluarga kita, Renata. Jangan sampai anak keturunan Saka Abadi rumah tangganya berakhir dengan perceraian." Permintaan mamanya kembali teringang di telinganya. Wanita yang hidupnya dipenuhi luka hati. Luka hati yang digoreskan lelaki bernama Wirawan Saka Abadi. Ayah kandun
Pertanyaan ibu Renata membuat Angelica mendongakkan kepala. Membalas tatapan tajam wanita yang telah melahirkan Darren. "Kapan ya? Lupa. Emang kenapa?" tanya Angelica sembari mengunyah. "Kamu itu benar-benar anak kurang ajar. Hari ini temui Mamamu! Kasihan dia."Angelica mencibir, melanjutkan sarapannya. "Kasihan karena mamaku penyakitan? Udah takdirnya kali, Ma."Pak Sugeng menggelengkan kepala mendengar jawaban Angelica. Tidak ada lagi yang menanggapi ucapan Angelica. Dalam hati, ibu Renata hanya mengasihani nasib sahabatnya itu yang memiliki suami tidak setia, yang memiliki anak tidak perhatian. Ibu Renata dan pak Sugeng menyudahi sarapan. Wanita tua itu mengantar suaminya yang hendak pergi ke kantor sampai depan rumah. "Hati-hati, Mas.""Iya, Sayang."Pak Sugeng meng3cup kening istrinya lalu masuk mobil. Tidak hanya pak Sugeng yang keluar rumah, Angelica pun sama. "Mau kemana kamu?" tanya ibu Renata sinis."Kerja. Mau kemana lagi memangnya? Aku kan menantu Mama yang bukan i
"Tuan ...." Kedua mata Sabrina membeliak mendapat perlakuan manis suaminya. Wajah Sabrina semakin bersemu merah karena terkejut dan malu. "Supaya kamu semangat masaknya," kata Darren mengusap lembut bib1r Sabrina. "Terima kasih, Tuan." Sabrina tersenyum, tersipu malu, meninggalkan Darren yang masih mematung di tempat. "Sama-sama, Sayang."Hati Darren benar-benar bahagia. Keberadaan Sabrina dalam kehidupannya memberi perubahan dalam diri. "Darren!" Panggilan ibu Renata membuat langkah Darren tepat di depan pintu kamar. Pegangan tangan pada handle pintu terlepas. Darren menoleh, melihat ibu Renata berjalan ke arahnya. "Gimana Sabrina? Apa dia dipijat kandungannya dan minum jamu supaya rahimnya lebih subur?" telisik ibu Renata menyilangkan kedua tangan di depan d4da. Darren menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan wanita yang selama ini dihormati. "Iya. Dia minum jamu penyubur kandungan. Jamunya juga dibawa ke sini.""Dipijat juga?""Enggak. Tukang pijatnya meninggal. Jad
Wajah ibu Anita terlihat sendu. Angelica terkekeh mendengar harapan ibu Anita. Tidak hanya terkekeh, Angelica justru tertawa terbahak-bahak membuat ibu Anita mengerutkan dahi, merasa heran. Ibu Anita mengikuti langkah Angelica yang menuju ke sofa ruang keluarga. Mereka kini duduk santai di ruangan itu. "Kenapa kamu ketawa, Lica? Apa ... apa ucapan Mama ada yang lucu? Apa kamu menertawakan kesedihan Mama?" Ibu Anita duduk menyamping, memandang wajah anaknya yang cantik. Angelica menghentikan gelak tawa, menoleh, membalas tatapan ibu Anita. "Enggak, Ma. Aku enggak mungkin menertawakan kesedihan Mama. Aku hanya menertawakan harapan Mama yang bilang, supaya Darren enggak punya wanita idaman lain."Ibu Anita semakin tak mengerti maksud ucapan anaknya."Ma, sebelumnya aku mau tanya dulu. Apa ... mama Renata pernah ke sini? Pernah menemui Mama?" telisik Angelica menatap lekat wajah keriput ibu Anita. "Ya. Ibu Mertuamu semalam datang ke sini. Apa dia cerita padamu?""Oh pantesan ...." pe
"Kalau Mama masih enggak percaya sama omongan anak sendiri, ya gak apa-apa. Aku juga udah berusaha menerima Darren punya istri lagi. Ya ... mau bagaimana lagi, Ma? Mereka kan banyak uang. Punya kekuasaan. Dari pada aku diceraikan, rumah ini dan perusahaan disita karena banyak pinjam modal ke keluarga itu, mau enggak mau aku berkorban perasaan. Aku rela hidup menderita dipoligami daripada mama dan papa jadi gelandangan."Mendengar ucapan palsu Angelica, air mata ibu Anita tak dapat dicegah. Ia menangis, merangkul anaknya. "Ya Tuhan, Lica ... kenapa nasibmu seperti ini? Kenapa nasibmu hampir sama dengan Mama, Lica ...." Angelica langsung melepaskan pelukan mamanya. Dia menggelengkan kepala berulang kali. "Enggak, Ma. Nasib kita enggak sama. Aku sama Mama sangat berbeda nasibnya. Mama penyakitan, aku sehat. Lihat, aku sehat, Ma ...." dengan kasar, Angelica mengelak ucapan Ibu Anita. "Apa Mama enggak pernah bercermin? Cobalah, lihat penampilan Mama. Astaga ...." sambung Angelica. Sung
"Tentu saja Mama akan menyuruh Darren menceraikan istri keduanya. Lica, Mama ingin rumah tanggamu dengan Darren baik-baik saja. Enggak boleh ada orang ketiga," ujar ibu Anita pada wanita yang duduk di balik kemudi. Padahal menurut Angelica, lebih baik dianggap lunas ut4ng modal keluarganya saja dari pada mempertahankan rumah tangga. Berumah tangga juga percuma jika tidak bisa melakukan hubungan selayak suami istri. Mendengar jawaban mamanya, Angelica menghela napas berat. "Aku sih enggak yakin Darren mau menceraikan istri keduanya. Mereka udah saling mencintai. Mereka kayaknya udah enggak bisa dipisahin."Dalam hati, ibu Anita merasa iba dengan anak semata wayangnya. Dia hanya tertipu oleh kesedihan yang ditunjukan Angelica. Sesungguhnya yang membuat Angelica bersedih karena keluarganya bergantung pada keluarga Wirawan. Jika suatu saat Darren menceraikannya, maka rumah dan perusahaan yang dimiliki akan disita. Sudah dapat dipastikan, masa tua kedua orang tuanya akan jatuh miskin. "
"Kayaknya kamu sangat menyayangi perempuan itu, Renata. Kenapa? Kenapa kamu mengingkari janjimu, Renata? Kamu bilang, enggak akan membiarkan Darren menikah lagi. Sekarang buktinya apa? Kamu justru yang menyuruh Darren menikahi wanita enggak tau malu itu!" Emosi Ibu Anita tidak bisa ditahan lagi. Tatapannya pada ibu Renata sorot akan kebencian. "Anita, tadi udah aku katakan, kamu salah paham. Aku bisa menjelaskannya semua.""Enggak perlu!" tukas ibu Anita kecewa pada sahabatnya. Dia benar-benar tidak mengerti, kenapa ibu Renata yang dipercaya bisa menjaga Angelica, bisa membahagiakan Angelica justru sebaliknya. "Adanya wanita ini di rumahmu sudah menjawab semuanya. Aku benar-benar kecewa padamu, Renata. Kamu mertua yang jah4t. Kamu bukan lagi sahabatku, karena kamu... Kamu udah menyuruh Darren agar berpoligami. Aku benar-benar kecewa padamu, Renata. Giliran ibu Renata yang tersenyum mendengar kekecewaan yang disampaikan ibu Anita, bahkan ibu Renata sampai terkekeh. "Begitulah peras
Angelica menghampiri mamanya, duduk di samping ibu Anita. "Ma, jangan percaya video itu. Itu bukan suaraku, Ma. Bu-bukan aku, Ma .... Itu, i-itu hanya rekayasa. Hanya editan."Angelica berusaha meyakinkan ibu Anita agar tidak percaya akan apa yang didengar dan dilihatnya. Ibu Anita menoleh, menatap lekat wajah anak semata wayangnya. "Ma ... percaya sama aku, Ma ... Itu ... Itu bukan a--" PLAAAKKk!Sebuah tamp4ran mendarat keras pada sebelah pipi Angelica. Napas ibu Anita terengah-engah, menatap Angelica yang memegang pipinya yang terasa kebas. Terlihat sekali emosi telah menguasai wanita yang telah melahirkan istri pertama Darren itu. "Masih untung kamu enggak diusir dari rumah ini! Masih untung Darren enggak menceraikanmu, Angelica! padahal mereka jelas-jelas punya bukti pers3lingkuhanmu! Anak enggak tau diri! Enggak tau diuntung! Mati saja kau, Angelicaaaa!" Dengan kasar, ibu Anita mendorong tubuh Angelica hingga terjatuh ke atas lantai. Hati Angelica sangat kecewa melihat reaksi
"Tadi apa kata dokter? Kamu ikut masuk juga ke ruangan dokter kan waktu Darren dipanggil?"Mertua dan menantu itu berjalan beriringan. Meski Sabrina agak sungkan, tapi sekarang dia tidak bisa menjaga jarak lagi dengan ibu Renata. Wanita yang telah melahirkan suaminya itu selalu berusaha mendekati Sabrina. Dia tampaknya mulai menyukai bahkan sudah menyayangi wanita yang berasal dari kampung itu. "Iya, Ma. Tadi saya ikut menemani Mas Darren ke dalam ruangan dokter Sasti. Hasilnya alhamdulillah negatif," jawab Sabrina, suaranya terdengar sangat lembut membuat hati ibu Renata tenang. "Syukurlah, Mama ikut senang," ucap ibu Renata mengajak Sabrina duduk di ruang keluarga. "Mbaaakk ... Mbak Tutiii ...." Panggilan ibu Renata membuat Mbak Tuti bergegas menghampiri. "Iya, Nyonya?" Setengah membungkuk Mbak Tuti bertanya. "Tolong buatin Es Jeruk peras dua. Buat saya dan buat Sabrina. Cepetan ya, Mbak!" titah ibu Renata pada salah satu asisten rumah tangganya. "Baik, Nyonya."Mbak Tuti lang
Angelica sangat terkejut mendengar ucapan Darren. Tidak menyangka Darren mengetahui penyakit yang dideritanya. Seingatnya, dia tidak bercerita pada siapapun. Lalu, Darren tahu dari siapa?"Jangan nuduh sembarangan kamu! A-aku enggak punya penyakit itu!" elak Angelica gugup. Sikapnya berubah salah tingkah. Darren menyunggingkan senyum sinis. "Kalau enggak punya penyakit itu, ngapain kamu ke sini? Dasar tukang bohong!"Belum sempat Angelica menanggapi, nama Darren sudah dipanggil asisten dokter. Darren dan Sabrina meninggalkan Angelica yang masih mematung di tempat. 'Sialan! tau dari siapa dia kalau aku punya penyakit itu? Argh!'gumam Angelica membalikkan badan, meninggalkan poly penyakit kulit dan kelamin. Angelica ke kantin lebih dulu, menunggu Darren dan Sabrina pergi dari rumah sakit. Usai menjalani pemeriksaan dan mengetahui hasilnya, Darren dan Sabrina tersenyum bahagia. Dokter Sasti sudah dapat memberikan hasilnya dari mendengar penuturan Darren dan melihat kondisi alat v1ta
Pagi hari di kediaman keluarga Wirawan. Semua penghuni rumah itu sedang menikmati sarapan bersama. Wajah Sabrina terlihat sangat segar dan semakin cantik. Sedari tadi, diam-diam ibu Renata memerhatikan menantunya. Dalam hati, ia pun mengakui jika Sabrina memiliki kecantikan yang alami. Bukan cantik karena make up atau skincare. "Ma, aku enggak perlu ke rumah sakit, Males." Ucapan Darren menyentak lamunan Ibu Renata. Ia menoleh danberdehem, mengambil sepotong roti tawar panggang dan memberinya selai."Demi kesehatanmu, demi Sabrina, demi calon cucu Mama." Tanggapan ibu Renata singkat tapi sangat jelas, membuat Darren tak bisa berkutik lagi. "Saya temani ya, Mas? Boleh kan, Ma?" Ibu Renata dan yang lainnya menoleh pada Sabrina. Tidak biasanya Sabrina berbicara pada saat sarapan. Biasanya dia bicara ketika ditanya. "Hm ... boleh. Tapi, kalian enggak boleh keluyuran kemana-mana. Kamu mesti ingat, Darren. Jam lima harus berangkat ke Bali," tandas ibu Renata menatap lekat anak semata wa
"Enggak boleh! Kamu jangan egosi, Darren! Istrimu lagi hamil muda. Kandungannya masih rentan. Jakarta-Bali itu bukan jarak yang dekat."Tubuh Darren seketika lemas. Tangannya menggaruk kepala yang tak gatal. Darren benar-benar bimbang. Tidak mungkin sehari bolak-balik Jakarta - Bali. Menolak pun, Darren tidak akan bisa. Selama ini apapun perintah mamanya selalu dituruti. Tapi, yang dikatakan ibu Renata memang benar. Kandungan Sabrina masih sangat rentan. "Darren, kamu perbanyak puasa. Kata pak Ustad, puasa sunnah dapat menahan n4fsu," sambung ibu Renata. Berbicara sangat sungguh-sungguh. Belum sempat Darren menanggapi, Sabrina datang membawa potongan brownies yang masih mengepul. Kedua mata ibu Renata membeliak, senyumnya melebar. Hatinya begitu bahagia karena yang brownies yang diinginkan sudah ada di depan mata. "Ma, nih brownies-nya udah matang. Masih mengepul. Selamat mencicipi," kata Sabrina sumringah. Menyodorkan sepiring brownies yang sudah dipotong-potong. "Terima kasih, S
Ibu Renata kembali ke ruang keluarga. Bibirnya tak henti tersenyum membayangkan brownies buatan menantunya sudah matang. Pasti rasanya sangat lezat. "Ma, lihat Sabrina enggak?""Mau ngapain kamu nyariin Sabrina?" Ibu Renata balik bertanya. Intonasi suaranya agak ketus. "Ya kan, Sabrina istri aku, Ma. Gimana sih? Aku mau tidur tapi mau cari Sabrina dulu. Mama lihat enggak?"Ibu Renata memutar bola mata malas mendengar ucapan anak tunggalnya. "Sini kamu! Duduk dulu sama Mama. Sabrina aman. Dia lagi di dapur. Lagi bikinin brownies buat Mama!" Darren melepaskan cekalan tangan ibu Renata dari lengannya."Mama serius? Malam-malam begini nyuruh istriku bikin Brownies?""Bukan Ma--""Inget, Ma ... Sabrina lagi hamil. Dia lagi ngandung cucu Mama!" sela Darren mengingatkan ibu Renata. "Kamu pikir Mama udah pikun? Mama juga ingat! Bukan Mama yang nyuruh Sabrina, Darren. Dia sendiri yang mau. Mama juga enggak tau dia ada di dapur. Tadinya Mama nyuruh si Mbok dan Mbak Tuti. Eh pas Mama ke dap
Sedikitpun ibu Renata tidak terkejut mendengar kabar Angelica mengalami penyakit itu. Pikir ibu Renata, masih untung Angelica mengidap penyakit Gonore, bukan HIV. Tapi, sisi lain ibu Renata merasa kasihan pada ibu Anita. Sahabatnya itu pasti selalu memikirkan keadaan Angelica. "Ya sudah, jangan terlalu kamu pikirkan. Lebih baik kamu fokus saja dengan kesehatanmu. Masalah Angelica cukup didoakan, supaya dia cepat sembuh dari penyakitnya dan cepat sadar atas sikap buruknya."Ibu Anita terdiam, hanya terdengar helaan napas dan isak tangis yang tertahan. "Sekarang udah malam, kamu harus istirahat, Anita." Ibu Renata tidak ingin terlalu lama membahas tentang mantan menantunya itu. "Iya. Nanti aku istirahat. Re, terima kasih. Kamu selalu jadi pendengar setiaku. Dari dulu sampai sekarang. Terima kasih banyak.""Sudahlah, jangan terlalu berlebihan. Kita ini udah lama bersahabat. Wajar saja kalau aku demikian."Walau sifatnya agak keras, tapi ibu Renata tidak ingin berbangga hati atau gila
Malam hari di kediaman keluarga Wirawan, Sabrina dan Ibu Renata sedang berbincang di ruang keluarga. Sedangkan Darren dan Pak Sugeng di ruang kerja. Mereka membahas proyek yang berada di luar kota tepatnya di kota Bali. Ada salah satu pengusaha sana yang ingin proyeknya dipegang perusahaan Darren. "Sabrina, mungkin minggu depan suamimu akan keluar kota. Ada proyek yang perlu pengawasan dia," ujar ibu Renata mengawali pembicaraan. Sabrina yang duduk berdekatan dengan ibu mertua cukup terkejut. Tidak menyangka jika Darren ditugaskan keluar kota padahal ia sedang hamil.. "Meskipun Darren di luar kota, kami akan menjagamu dengan baik. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu tinggal bilang sama Mama."Sabrina menganggukkan kepala, tersenyum manis. "Iya, Ma. Terima kasih." Hanya kalimat itu yang terucap dari mulut Sabrina. Ia masih takut salah jika berbincang dengan ibu Renata. "Darren melakukan itu demi masa depan anakmu juga. Kalau Darren enggak kerja keras, nanti kalian hidup miskin. Ya meman
Mendengar keinginan Andre, seketika otak Angelica berputar. Mencari ide agar bisa menolak keinginan anak kandung ibu Regina itu. Tidak mungkin Angelica melakukan hubungan suami istri dalam kondisi alat v1t4lnya seperti saat ini. "S-Sayang, aku ... aku baru saja datang bulan. Ja-jadi aku ... aku enggak bisa ma-main dulu." Suara Angelica bergetar. Tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. Bibir Andre yang sebelumnya tersenyum langsung meredup. Ia sangat kesal karena keinginannya tidak dapat dipenuhi padahal Andre sudah datang jauh-jauh dari Bandung ke Jakarta, sudah repot-repot membooking kamar hotel. "Cepatlah datang! Aku menunggumu!" Angelica memejamkan kedua mata. Andre memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu tanggapannya. Sudah dapat dipastikan, lelaki itu pasti marah. Tetapi, mau bagaimana lagi? Angelica pasti tidak bisa menikmati permainan Andre jika kondisi itunya masih sakit, perih dan panas. Setelahnya, Angelica membuka pintu rumah, menuju dapur, mengambil segelas air da
Lelaki yang duduk di samping Angelica berbisik. Angelica terkejut, menelan saliva, menghela napas berat. Ia tak langsung menjawab, pura-pura tak mendengar. Angelica memerhatikan penampilan sendiri. Ia tak mengenakan pakaian s3ksi, pakaiannya justru tertutup dan longgar. Tapi, kenapa lelaki yang duduk di sampingnya bertanya demikian?"Jangan pura-pura enggak dengar. Aku tau, kamu wanita peliharaan Mami Veni."Sontak, Angelica mendongak, menoleh dan memicingkan kedua mata menatap lelaki yang tengah menyeringai. "Ba-bagaimana kamu tau?" tanya Angelica heran. "Aku pernah melihatmu waktu nganterin si Bos. Kata si Bos, kamu sangat lezat. Kamu tenang saja, walaupun aku anak buah si Bos. Tapi, aku sehat. Aku banyak uang. Aku bisa membayarmu lebih besar dari si Bos. Permainanku juga sangat lembut. Enggak kayak si Bos," jelas lelaki sangat pelan tapi terdengar jelas di telinga. Angelica baru ingat lelaki yang duduk di sampingnya itu. Dia adalah lelaki yang mengantar klien terakhirnya ke kama