Semua orang yang ada di ruang tamu keluarga Wirawan terkejut mendengar keputusan talak yang dilontarkan Darren. Ibu Renata bahkan tak menyangka jika Darren menceraikan Angelica tanpa sepersetujuan dirinya. Darren telah mengambil keputusan sendiri. Sementara ibu Anita, meski awalnya terkejut tapi ia sudah pasrah. Sudah sewajarnya jika Darren menceraikan Angelica yang beberapa menit lalu sudah tidak menganggapnya ibu kandung lagi. Angelica sangat keterlaluan. Hanya karena Ibu Anita tidak mau membelanya, dia sudah tidak mau menganggap Ibu Anita sebagai Ibu kandungnya sendiri. "Kur4r ajar kamu, Darren! B4jingan!" Dengan kasar, Angelica mendorong tubuh Darren, tidak terima akan keputusan yang baru saja terucap. "Aku enggak mau cerai sama kamu! Aku enggak mau, Darren! Enggak mauuuu!" sambung Angelica berteriak histeris. Ibu Anita memejamkan kedua mata, membiarkan air mata membasahi wajah. Begitu pula ibu Renata. Dia tak mengeluarkan sepatah kata pun. Meski emosi dalam diri bergemuruh. Ing
Darren meninggalkan kamar Angelica. Ia bergegas memanggil dua asisten rumah tangga untuk membantu Angelica mengemasi barang-barangnya. "Kalian mau ngapain?" sentak Angelica ketika melihat Mbok Darmi dan Mbak Tuti memasuki kamarnya atas perintah Darren yang berdiri kembali di ambang pintu. "Aku yang suruh mereka membantumu." Jawaban Darren membuat Angelica menghela napas berat. Ia menghampiri Darren, menatap tajam lelaki yang sudah menjadi mantan suami. "Apa kamu yakin, gugatan ceraimu akan dikabulkan pengadilan?" tanya Angelica ketus. "Seribu persen yakin. Aku udah mengantongi beberapa bukti tentang pers3lingkuhanmu. Jangan banyak tanya lagi. Cepat, kamu kemasi semua barang-barangmu!" "Kurang aj4r kamu, Darren! J4hat! Aku enggak terima perlakuanmu dan mama Renata. Kamu tunggu saja pembalasanku! Tunggu, Darren!" ancam Angelica pada lelaki yang hatinya sangat bahagia. Bahagia karena sebentar lagi, istrinya hanya Sabrina seorang. Sorot mata Angelica penuh kebencian dan kekecewaan
Setelah kepergian Angelica dari rumah Wirawan, Darren bergegas masuk ke dalam kamar, menemui Sabrina. "Sayang ...." panggil Darren lembut pada wanita yang duduk gelisah di sisi tempat tidur. Sabrina berdiri, tersenyum menyambut kedatangan suaminya. "Tuan, bagaimana? Semuanya baik-baik saja, kan?" tanya Sabrina berdiri dekat dengan suaminya. Darren tersenyum manis, meng3cup pipi kanan dan kiri Sabrina. Lalu tersenyum manis pada wanita yang amat dicintai. "Alhamdulillah baik-baik saja. Angelica juga sudah pergi dari sini. Sekarang kamu aman di sini, Sayang ...." Darren mengangkat tubuh mungil Sabrina. Wanita berhijab itu terkejut akan aksi Darren yang mendadak. Tubuh Sabrina dihempaskan di atas tempat tidur. Wajah wanita itu langsung bersemu merah. Menahan malu. "Tuan ... apa enggak bisa nanti malam saja?" tanya Sabrina meringis. Ingin menolak langsung tak enak hati. Pasalnya Lima menit lalu Sabrina baru saja mandi. Masa iya dia harus mandi lagi?"Aku enggak tahan mencium wangi sabu
"Udah pulang, Mas?" tanya ibu Renata ketika mengetahui suaminya sudah sampai di rumah. "Udah. Malam ini aku enggak mau lembur di kantor dulu. Aku pengen istrihata. Badan dan kedua tanganku pegal. Mungkin karena faktor usia," keluh pak Sugeng duduk di sisi istrinya. Kepalanya bersandar ke kepala sofa sembari memejamkan kedua mata. Ibu Renata belum menceritakan tentang kejadian hari ini. Tadinya dia ingin bercerita kalau pak Sugeng pulang dari kantor. Tetapi, melihat kondisi suaminya yang kelelahan, Ibu Renata tak tega. "Sini, aku pijat tanganmu." Ibu Renata meraih telapak tangan suaminya. Pak Sugeng membuka kedua mata, tersenyum bahagia. "Terima kasih, Renata. Selama ini kamu jadi istri yang baik dan setia buatku," ucap Pak Sugeng mendaratkan kecup4n pada kening ibu Renata. "Sama-sama. Aku juga bersyukur memiliki suami yang setia dan bertanggung jawab sepertimu, Mas."Mengingat rumah tangga Anita, tentu saja ibu Renata merasa sangat bersyukur. Pak Sugeng bukan orang biasa seperti
"Angelica memang keterlaluan. Harusnya dari dulu kamu ceraikan dia, Darren," ujar pak Sugeng setelah mendengar cerita dari ibu Renata perihal kejadian tadi siang. "Kan dilarang mama, Pa." Dengan santainya Darren menjawab. Ibu Renata memutar bola mata malas. Kesal, karena Darren menyindir. "Kalau dia masih menganggap Anita sebagai ibu kandungnya, Mama akan tetap melarang kamu menceraikannya." Ibu Renata tak mau kalah dan tak mau disalahkan. Angelica boleh melawan dirinya tapi tidak boleh melawan ibu Anita yang tak lain wanita yang telah melahirkannya. "Semoga suatu saat Angelica sadar kalau perbuatannya salah besar dan dosa besar. Kamu Darren, secepatnya ke pengadilan untuk melakukan sidang perceraian. Jangan lupa juga, legalkan pernikahanmu dengan Sabrina. Sekarang istrimu hanya Sabrina."Senyum Darren mengembang sempurna mendengar penuturan papanya. Sedangkan ibu Renata justru membeliakkan kedua mata. "Jangan dilegalkan dulu, Pa! Sabrina belum kasih kita cucu. Tunggu sampai perni
Esok harinya, usai sarapan Darren bersiap-siap hendak ke pengadilan untuk mengajukan permohonan cerai untuk Angelica. Semua barang bukti sudah dipersiapkan. Darren juga didampingi pengacara keluarganya. Dia tidak mau nanti di persidangan dipersulit proses perceraiannya. "Pa, aku ke kantornya agak siangan. Mau ke pengadilan dulu," ucap Darren ketika di depan rumah. "Darren, kamu jangan kebanyakan libur kerja. Kasihan Papamu. Dia kecapekan nge-handle kerjaanmu," tukas ibu Renata menyela ucapan Darren dan pak Sugeng. "Siapa yang libur, Ma? Aku bilang agak siangan masuk kantornya," ralat Darren. "Halah, sama saja! Nanti juga enggak masuk.""Udahlah, Ma. Enggak usah ribut. Yang penting urusan perceraian Darren dan Angelica beres." Pak Sugeng menimpali. Darren tersenyum karena papanya masih membela. "Ma, aku titip Sabrina. Tadi dia lagi enggak enak badan," kata Darren sebelum masuk ke dalam mobil. "Lancang sekali kamu berani menyuruh Mama?""Ya maaf, Ma ... Ya udah deh, aku berangkat
Semalaman, Angelica tidur di dalam kamar hotel. Tidak ada tempat lain untunya berteduh. Andre ternyata tidak ada di kos-an. Menurut ibu kos, katanya Andre sudah pindah tempat kos. Angelica sangat kesal, lelaki itu pergi meninggalkannya tanpa mengirim pesan apapun. Bahkan sekarang nomor handphone Andre sudah tidak aktif lagi. Angelica pun menghubungi pak Adyatama, lelaki itu juga sama. Nomor handphone-nya tidak aktif. Pagi ini, Angelica mengitari sekeliling. Tidak ada sarapan yang sudah tersedia, tidak ada buah-buahan segar dan tidak ada aneka lauk yang tersaji di depan mata. Angelica memijat pelipis, kepalanya terasa pening. Ia benar-benar tak menyangka, dunia begitu mudah membalikkan keadaannya. Dulu dia diperlakukan sebagai ratu, sekarang?Lamunan Angelica tersentak ketika handphone-nya berdering. Dengan malas, Angelica mengambil handphone yang di letakkan di atas nakas. Panggilan dari pak Adyatama. Bibir Angelica menyunggingkan senyum, mengangkat panggilan papanya. "Papaaaa ...
Mendapat pertanyaan seperti itu, pak Adyatama salah tingkah. Dia meringis, seperti orang yang ragu menjawab. "Inget lho, Mas. Kamu udah janji cerein dia. Aku gak mau dia masih berstatus istrimu. Kalau sampai kamu masih ngejadiin istrimu, aku yang akan mundur!" ancam ibu Regina. Kedua mata melotot, menatap tajam lelaki bertubuh tambun itu. "Ehm, Ma!" Andre yang sedari tadi menjadi pendengar setia berdehem. Ibu Regina menoleh, mengalihkan pandangan pada anak semata wayangnya. "Kenapa, Dre?""Aku rasa, enggak usah maksa Papa untuk menceraikan istri pertamanya. Papa pasti punya pertimbangan khusus. Ya kan, Pa?" Andre yang kini memanggil pak Adyatama dengan panggilan 'papa' membuat hati lelaki bertubuh tambun itu menghela napas lega. "I-iya betul, Dre. Tapi ... tapi Papa janji, akan menceraikan Anita. Itu pasti."Ibu Regina tampak tak suka mendengar jawaban pak Adyatama. Dia menyudahi sarapan lebih dulu, lalu meninggalkan pak Adyatama dan Andre di ruang makan. "Pa, kalau Papa mau ke J
"Tadi apa kata dokter? Kamu ikut masuk juga ke ruangan dokter kan waktu Darren dipanggil?"Mertua dan menantu itu berjalan beriringan. Meski Sabrina agak sungkan, tapi sekarang dia tidak bisa menjaga jarak lagi dengan ibu Renata. Wanita yang telah melahirkan suaminya itu selalu berusaha mendekati Sabrina. Dia tampaknya mulai menyukai bahkan sudah menyayangi wanita yang berasal dari kampung itu. "Iya, Ma. Tadi saya ikut menemani Mas Darren ke dalam ruangan dokter Sasti. Hasilnya alhamdulillah negatif," jawab Sabrina, suaranya terdengar sangat lembut membuat hati ibu Renata tenang. "Syukurlah, Mama ikut senang," ucap ibu Renata mengajak Sabrina duduk di ruang keluarga. "Mbaaakk ... Mbak Tutiii ...." Panggilan ibu Renata membuat Mbak Tuti bergegas menghampiri. "Iya, Nyonya?" Setengah membungkuk Mbak Tuti bertanya. "Tolong buatin Es Jeruk peras dua. Buat saya dan buat Sabrina. Cepetan ya, Mbak!" titah ibu Renata pada salah satu asisten rumah tangganya. "Baik, Nyonya."Mbak Tuti lang
Angelica sangat terkejut mendengar ucapan Darren. Tidak menyangka Darren mengetahui penyakit yang dideritanya. Seingatnya, dia tidak bercerita pada siapapun. Lalu, Darren tahu dari siapa?"Jangan nuduh sembarangan kamu! A-aku enggak punya penyakit itu!" elak Angelica gugup. Sikapnya berubah salah tingkah. Darren menyunggingkan senyum sinis. "Kalau enggak punya penyakit itu, ngapain kamu ke sini? Dasar tukang bohong!"Belum sempat Angelica menanggapi, nama Darren sudah dipanggil asisten dokter. Darren dan Sabrina meninggalkan Angelica yang masih mematung di tempat. 'Sialan! tau dari siapa dia kalau aku punya penyakit itu? Argh!'gumam Angelica membalikkan badan, meninggalkan poly penyakit kulit dan kelamin. Angelica ke kantin lebih dulu, menunggu Darren dan Sabrina pergi dari rumah sakit. Usai menjalani pemeriksaan dan mengetahui hasilnya, Darren dan Sabrina tersenyum bahagia. Dokter Sasti sudah dapat memberikan hasilnya dari mendengar penuturan Darren dan melihat kondisi alat v1ta
Pagi hari di kediaman keluarga Wirawan. Semua penghuni rumah itu sedang menikmati sarapan bersama. Wajah Sabrina terlihat sangat segar dan semakin cantik. Sedari tadi, diam-diam ibu Renata memerhatikan menantunya. Dalam hati, ia pun mengakui jika Sabrina memiliki kecantikan yang alami. Bukan cantik karena make up atau skincare. "Ma, aku enggak perlu ke rumah sakit, Males." Ucapan Darren menyentak lamunan Ibu Renata. Ia menoleh danberdehem, mengambil sepotong roti tawar panggang dan memberinya selai."Demi kesehatanmu, demi Sabrina, demi calon cucu Mama." Tanggapan ibu Renata singkat tapi sangat jelas, membuat Darren tak bisa berkutik lagi. "Saya temani ya, Mas? Boleh kan, Ma?" Ibu Renata dan yang lainnya menoleh pada Sabrina. Tidak biasanya Sabrina berbicara pada saat sarapan. Biasanya dia bicara ketika ditanya. "Hm ... boleh. Tapi, kalian enggak boleh keluyuran kemana-mana. Kamu mesti ingat, Darren. Jam lima harus berangkat ke Bali," tandas ibu Renata menatap lekat anak semata wa
"Enggak boleh! Kamu jangan egosi, Darren! Istrimu lagi hamil muda. Kandungannya masih rentan. Jakarta-Bali itu bukan jarak yang dekat."Tubuh Darren seketika lemas. Tangannya menggaruk kepala yang tak gatal. Darren benar-benar bimbang. Tidak mungkin sehari bolak-balik Jakarta - Bali. Menolak pun, Darren tidak akan bisa. Selama ini apapun perintah mamanya selalu dituruti. Tapi, yang dikatakan ibu Renata memang benar. Kandungan Sabrina masih sangat rentan. "Darren, kamu perbanyak puasa. Kata pak Ustad, puasa sunnah dapat menahan n4fsu," sambung ibu Renata. Berbicara sangat sungguh-sungguh. Belum sempat Darren menanggapi, Sabrina datang membawa potongan brownies yang masih mengepul. Kedua mata ibu Renata membeliak, senyumnya melebar. Hatinya begitu bahagia karena yang brownies yang diinginkan sudah ada di depan mata. "Ma, nih brownies-nya udah matang. Masih mengepul. Selamat mencicipi," kata Sabrina sumringah. Menyodorkan sepiring brownies yang sudah dipotong-potong. "Terima kasih, S
Ibu Renata kembali ke ruang keluarga. Bibirnya tak henti tersenyum membayangkan brownies buatan menantunya sudah matang. Pasti rasanya sangat lezat. "Ma, lihat Sabrina enggak?""Mau ngapain kamu nyariin Sabrina?" Ibu Renata balik bertanya. Intonasi suaranya agak ketus. "Ya kan, Sabrina istri aku, Ma. Gimana sih? Aku mau tidur tapi mau cari Sabrina dulu. Mama lihat enggak?"Ibu Renata memutar bola mata malas mendengar ucapan anak tunggalnya. "Sini kamu! Duduk dulu sama Mama. Sabrina aman. Dia lagi di dapur. Lagi bikinin brownies buat Mama!" Darren melepaskan cekalan tangan ibu Renata dari lengannya."Mama serius? Malam-malam begini nyuruh istriku bikin Brownies?""Bukan Ma--""Inget, Ma ... Sabrina lagi hamil. Dia lagi ngandung cucu Mama!" sela Darren mengingatkan ibu Renata. "Kamu pikir Mama udah pikun? Mama juga ingat! Bukan Mama yang nyuruh Sabrina, Darren. Dia sendiri yang mau. Mama juga enggak tau dia ada di dapur. Tadinya Mama nyuruh si Mbok dan Mbak Tuti. Eh pas Mama ke dap
Sedikitpun ibu Renata tidak terkejut mendengar kabar Angelica mengalami penyakit itu. Pikir ibu Renata, masih untung Angelica mengidap penyakit Gonore, bukan HIV. Tapi, sisi lain ibu Renata merasa kasihan pada ibu Anita. Sahabatnya itu pasti selalu memikirkan keadaan Angelica. "Ya sudah, jangan terlalu kamu pikirkan. Lebih baik kamu fokus saja dengan kesehatanmu. Masalah Angelica cukup didoakan, supaya dia cepat sembuh dari penyakitnya dan cepat sadar atas sikap buruknya."Ibu Anita terdiam, hanya terdengar helaan napas dan isak tangis yang tertahan. "Sekarang udah malam, kamu harus istirahat, Anita." Ibu Renata tidak ingin terlalu lama membahas tentang mantan menantunya itu. "Iya. Nanti aku istirahat. Re, terima kasih. Kamu selalu jadi pendengar setiaku. Dari dulu sampai sekarang. Terima kasih banyak.""Sudahlah, jangan terlalu berlebihan. Kita ini udah lama bersahabat. Wajar saja kalau aku demikian."Walau sifatnya agak keras, tapi ibu Renata tidak ingin berbangga hati atau gila
Malam hari di kediaman keluarga Wirawan, Sabrina dan Ibu Renata sedang berbincang di ruang keluarga. Sedangkan Darren dan Pak Sugeng di ruang kerja. Mereka membahas proyek yang berada di luar kota tepatnya di kota Bali. Ada salah satu pengusaha sana yang ingin proyeknya dipegang perusahaan Darren. "Sabrina, mungkin minggu depan suamimu akan keluar kota. Ada proyek yang perlu pengawasan dia," ujar ibu Renata mengawali pembicaraan. Sabrina yang duduk berdekatan dengan ibu mertua cukup terkejut. Tidak menyangka jika Darren ditugaskan keluar kota padahal ia sedang hamil.. "Meskipun Darren di luar kota, kami akan menjagamu dengan baik. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu tinggal bilang sama Mama."Sabrina menganggukkan kepala, tersenyum manis. "Iya, Ma. Terima kasih." Hanya kalimat itu yang terucap dari mulut Sabrina. Ia masih takut salah jika berbincang dengan ibu Renata. "Darren melakukan itu demi masa depan anakmu juga. Kalau Darren enggak kerja keras, nanti kalian hidup miskin. Ya meman
Mendengar keinginan Andre, seketika otak Angelica berputar. Mencari ide agar bisa menolak keinginan anak kandung ibu Regina itu. Tidak mungkin Angelica melakukan hubungan suami istri dalam kondisi alat v1t4lnya seperti saat ini. "S-Sayang, aku ... aku baru saja datang bulan. Ja-jadi aku ... aku enggak bisa ma-main dulu." Suara Angelica bergetar. Tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. Bibir Andre yang sebelumnya tersenyum langsung meredup. Ia sangat kesal karena keinginannya tidak dapat dipenuhi padahal Andre sudah datang jauh-jauh dari Bandung ke Jakarta, sudah repot-repot membooking kamar hotel. "Cepatlah datang! Aku menunggumu!" Angelica memejamkan kedua mata. Andre memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu tanggapannya. Sudah dapat dipastikan, lelaki itu pasti marah. Tetapi, mau bagaimana lagi? Angelica pasti tidak bisa menikmati permainan Andre jika kondisi itunya masih sakit, perih dan panas. Setelahnya, Angelica membuka pintu rumah, menuju dapur, mengambil segelas air da
Lelaki yang duduk di samping Angelica berbisik. Angelica terkejut, menelan saliva, menghela napas berat. Ia tak langsung menjawab, pura-pura tak mendengar. Angelica memerhatikan penampilan sendiri. Ia tak mengenakan pakaian s3ksi, pakaiannya justru tertutup dan longgar. Tapi, kenapa lelaki yang duduk di sampingnya bertanya demikian?"Jangan pura-pura enggak dengar. Aku tau, kamu wanita peliharaan Mami Veni."Sontak, Angelica mendongak, menoleh dan memicingkan kedua mata menatap lelaki yang tengah menyeringai. "Ba-bagaimana kamu tau?" tanya Angelica heran. "Aku pernah melihatmu waktu nganterin si Bos. Kata si Bos, kamu sangat lezat. Kamu tenang saja, walaupun aku anak buah si Bos. Tapi, aku sehat. Aku banyak uang. Aku bisa membayarmu lebih besar dari si Bos. Permainanku juga sangat lembut. Enggak kayak si Bos," jelas lelaki sangat pelan tapi terdengar jelas di telinga. Angelica baru ingat lelaki yang duduk di sampingnya itu. Dia adalah lelaki yang mengantar klien terakhirnya ke kama