Flashback onRuangan dengan dominan warna cokelat kayu dan putih membuat tenang dan nyaman siapa saja yang memandang. Di balik meja besar dengan logo CEO itu, seorang pria tampak gelisah dan kerutan di dahinya makin dalam seiring lembaran kertas yang di baliknya.Lalu detik berikutnya, pria itu langsung melempar berkas yang lumayan tebal itu ke lantai, “Kenapa bisa seperti ini? kenapa kita bisa gagal dengan rugi yang miliaran” desisnya pada sang asisten yang berdiri tak jauh dari sana.Tak selesai di sana, pria itu melempar seisi meja nya, menjatuhkan apa saja yang ada di atas meja itu, hingga luruh ke lantai. Mengeluarkan emosinya yang sudah membendung tak tertahankan, ia benci ketika harus kalah seperti ini.“Pak Yasa, kita memang tidak bisa menyaingi Daniswira Group pak…”BughPukulan tepat ia layangkan ke wajah asistennya itu hingga terkapar jatuh ke lantai, pria itu Yasa Zabran tak senang ketika mendengar nama rivalnya di sebut, “Sekali lagi kamu menyebut nama itu akan ku pecat
Caraka terdiam sambil melihat sekali lagi ke arah hpnya. Sama sekali tak ada balasan dari istrinya itu. Caraka mendesah frustasi, ia sangat kalut luar biasa menyadari kegilaannya semalam, ia hampir meniduri Ashana.Caraka menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi kerjanya, ia pusing bukan main. Ia merasa sangat bersalah pada Bellanca, padahal ia tau Bellanca sendiri yang memintanya meniduri Ashana. Tapi entah kenapa ia merasa seperti akan mengkhianati Bellanca jika ia terlalu lama bersama Ashana.Caraka menyadari seberapa besar pesona wanita itu, padahal ia hanya berdiri jauh darinya tapi cukup menarik perhatian dan hasratnya. Wanita itu memang seorang jalang, buktinya ia dengan mudah merayu orang lain.Caraka segera mewanti-wanti dirinya agar tak terjatuh pada rayuan wanita itu lagi. wanita itu cukup berbahaya, ia harus segera membuat wanita itu hamil dengan begitu ia tak akan punya keharusan untuk bertemu dengannya lagi dan yang terpenting mereka bisa bercerai secepatnya.Sibuk memi
Caraka dengan malas dan ogah-ogahan kembali datang ke apartemen Wira, tempat istri keduanya itu tinggal. Belum sampai di pintu apartemen, jantungnya berdetak tak nyaman. Pikirannya terasa kembali pada kejadian malam itu, lebih tepatnya pada penampilan Ashana yang tampak cantik dan manis di matanya.TingPintu lift terbuka, untunglah hanya Caraka satu-satunya penghuni di dalam sana. Caraka langsung menyentuh jantungnya yang berdetak tak karuan, “Sial, kenapa dengan diriku? Apa kesehatan ku tiba-tiba bermasalah?” ucapnya pelan merasa tak yakin. Padahal dari hasil tes kesehatannya semua normal saja.Lalu apa hubungan jantungnya ini bukan pada kesehatannya tapi pada Ashana, istri keduanya itu?Caraka langsung menggeleng, itu tak mungkin. Wanita jalang sepertinya tak mungkin bisa mempengaruhi dirinya sedemikian rupa. Caraka mengenyahkan semua ingatannya tentang Ashana bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.Tiba di depan pintu, Caraka merogoh kartu akses apartemen yang sama sekali tak ia
Caraka sama sekali tak memikirkan kondisi badan yang ada di bawah dirinya. Ia tak berniat untuk bermain lembut, menatap wajah istri keduanya ini selalu mengingatkannya akan fakta bahwa dia seorang jalang yang hanya menjual diri.Hal itu makin membuatnya bergerak kasar sesuka hati untuk memuaskan hasratnya yang sudah lama terabaikan. Caraka hanya terus menjilat dan menggigit di setiap kulit tubuh Ashana. Mengabaikan gerakan gelisah sebagai respon dari kekasarannya itu.Tak ingin melakukan foreplay lebih lama, Caraka menanggalkan semua pakaiannya secepatnya dan kembali menindih tubuh mungil Ashana. Menatap wajah yang sudah merah padam karena obat itu, Caraka menyeringai, “Ingat, ini kamu yang minta. Jangan salahkan jika aku berbuat kasar” ucapnya setengah hati.Mencoba memposisikan diri untuk segera memasuki adegan panas mereka. Tanpa aba-aba Caraka langsung menghujam masuk tanpa mempedulikan Ashana yang mungkin kesakitan.“Akhhh” pekik Ashana karena rasa sakit yang mendera hebat di pan
Ashana sama sekali tak bergerak dari tempatnya, ia masih menangis di antara selimut itu. Setelah menangis lama, ia baru sadar semua badannya terasa sakit, kepalanya menjadi pusing, belum lagi tenggorokannya yang terasa kering seakan mencukupi semua penderitaan nya di pagi ini.Seakan dunia mengejek, sinar matahari justru bersinar terang menyapa di balik gorden. Hembusan tipis angin masuk dengan izin dari sela gorden. Ashana merapatkan lagi selimutnya, ia tak sanggup untuk sekedar beranjak walaupun ia sangat haus saat ini.Tok tok tokDan saat itu pintu kamar terbuka setelah ketukan singkat itu, merasa heran tak mungkin jika itu Caraka. Ashana menoleh pelan untuk melihat pelaku. Dina, art baru itu masuk dengan wajah bahagia yang terpampang jelas, kedua tangannya membawa nampan penuh berisi sarapan.Melihat Ashana yang terbalut selimut itu, semakin melebarkan senyum Dina. Itu artinya rencananya semalam berhasil, tapi wajahnya berubah masam ketika melihat Ashana tak bergerak sama sekali,
Caraka dengan perasaan kesal dan marah bersamaan, langsung keluar dari kamar yang semalam menjadi saksi keganasannya. Ia tau pasti Ashana tak bisa bergerak dengan nyaman sekarang, pasti tubuh wanita itu kesakitan dan kelelahan. Karena itu, ia mencoba menahan emosinya dengan keluar dari kamar itu.Turun ke lantai 1 ia berjalan ke arah dapur, menemukan Dina yang terlihat bahagia pagi ini.“Selamat pagi Pak” sapanya.Caraka bahkan tak menjawab, “Bawakan sarapan untuk Ashana ke kamar atas, pastikan ia memakan sarapannya” perintahnya pada Dina yang membuat wanita itu sedikit diam.Tak ada jawaban Caraka kembali menatap Dina, “Apa kamu tidak bisa mendengar?” sarkasnya membuat Dina tersentak. “Bisa Pak, akan saya bawakan sarapan nya ke atas” ucapnya menunduk merasakan ngeri dan takut bersamaan.Mendengar itu, Caraka mengangguk. Tanpa basa basi, ia mengambil kunci mobilnya dan pergi meninggalkan apartemen. Ia masih harus pergi bekerja, meninggalkan Ashana dengan Dina tidak akan terlalu buruk.
Ashana mengerjap pelan ketika merasa silau dengan cahaya yang masuk ke matanya. Matanya terasa sakit ketika membuka mata, belum terbiasa dengan silaunya cahaya. Kembali memejamkan matanya lagi, setelah beberapa detik ia kembali membuka matanya dan mendapati plafon dengan desain modern berwarna krim.Berkedip lagi ketika merasakan pusing dan denyut nyeri yang terasa di tubuhnya, sebuah suara membuatnya menoleh. “Kamu sudah bangun?” Caraka dengan sabar duduk di sebelah ranjang Ashana, menunggu wanita itu hingga sepenuhnya sadar dari pingsannya.Wajah kesakitan itu berubah kaget ketika melihat Caraka ada di sampingnya. “Pak Caraka?...” ucapnya yang langsung ingin duduk tapi rasa sakit langsung menyebar di tubuhnya membuatnya meringis berhenti bergerak.Caraka langsung bangkit dari duduk nya dan mengulurkan tangan memegang lengan atas Ashana menahannya agar tak kembali bergerak, “Jangan bergerak, sebaiknya kamu kembali istirahat” ucap Caraka menuntun agar Ashana kembali merebahkan diri di
Caraka turun dari mobilnya setelah mengantarkan Ashana pulang kembali ke apartemen. Wanita itu memaksa untuk pulang tak ingin lagi menghabiskan malamnya di rumah sakit. Disanalah Caraka sadar di balik wajah teduh yang lebih sering polos itu ternyata wanita ini sangat keras kepala.Menghela napas, Caraka memasuki lift menuju penthouse miliknya. Ia sedikit merasa tak enak karena harus meninggalkan Ashana sendiri. Padahal wanita itu masih sakit dan terlebih penyebab wanita itu sakit adalah karena dirinya. Karena Caraka yang tak bisa menahan diri untuk terus memeluk Ashana sehingga lupa jika itu adalah pengalaman pertama untuknya.Ia merasa bersalah, mendongak menatap angka merah yang terus berganti hingga ke nomor lantai penthousenya. Ia tak bisa menemani Ashana malam ini karena ia harus bicara dengan Bellanca. Ia harus memberitahukan istrinya itu bahwa ia sudah tidur dengan Ashana agar permasalahan yang terus membuat mereka bertengkar tak ada lagi.Ia sudah merasa lelah jika harus terus