Apa ini mimpi?
Azkiya mencoba mengumpulkan seluruh kesadarannya.
Tapi deru nafas Arza bahkan bisa Azkiya rasakan saat menyapu wajahnya.
Benar. Ini bukan mimpi.
Azkiya mengangkat kepalanya. Ia baru sadar jika yang menyangga kepalanya bukan bantal, melainkan tangan Arza.
Perempuan itu kemudian melirik ke bawah tubuhnya.
Matanya melotot seperti hendak keluar. Azkiya tak lagi bisa berkata-kata saat melihat tangan besar Arza kini tengah memeluk pinggangnya.
Jadi ini alasannya mengapa pinggang Azkiya terasa berat sedari tadi.
Degup jantungnya bertalu dengan amat cepat. Wajah dan seluruuh tubuh Azkiya juga memanas secara tiba-tiba.
Keadaan itu membuat Azkiya membeku sesaat. Ia benar-benar shock.
“Sejak kapan dirinya tidur dengan posisi seperti ini?” tanya Azkiya dalam hati.
Dengan pikiran yang semraut Azkiya hanya berfokus pada satu hal.
Yakni Azkiya harus bisa keluar dari keadaan terse
Bugh!!!Sebuah sepeda motor yang melaju dengan kecepatan tinggi menabrak seorang pejalan kaki yang tengah menyeberang hingga terpental cukup jauh.DanBrakk!!!Motor tersebut kehilangan kendali lalu menabrak trotoar. Akhirnya sang pengendara juga ikut terkapar dengan luka di kepalanya.Jalanan tersebut terlihat sepi karena sudah tengah malam. Tak ada satupun kendaraan yang lewat saat itu.Gelegar petir menyambar di tengah gelapnya malam. Disusul hujan yang turun dengan sangat deras.Pengendara motor tersebut membuka matanya perlahan. Ia sadar tapi tak bisa bergerak. Tubuhnya terasa sangat lemas dan tak berdaya.Terdengar suara rintihan minta tolong yang tersamarkan oleh suara hujan yang turun dengan deras. Dengan kesadaran yang hampir hilang pengendara motor itu mengedarkan pandangannya untuk mencari sumber suara tersebut.Ternyata suara tersebut berasal dari pejalan kaki yang terkapar di tengah jalan dengan darah yang terus mengalir dari kepalanya.Sang pengendara berusaha menggerak
Cengkraman tangan Arza mulai mengendur. Namun kebencian itu jelas masih tersorot lewat tatapan matanya yang tajam, seolah ingin menerkam. Azkiya masih membisu mencoba mencerna apa yang terjadi, tapi sedikitpun tidak dapat ia temukan titik masalahnya.Perlahan lelaki itu bergerak bangkit, langkah kakinya perlahan menjauh. Arza keluar menuju balkon kamar. Mata Azkiya tak henti-hentinya memandang pria itu, tentu dengan hati yang sudah remuk dan berbagai pertanyaan yang berjejal dalam pikiran.“Apa salahku?” gumam Azkiya pelan.Pedih menjalar dalam hati wanita dengan rambut panjang itu. Malam pengantin yang Azkiya harapkan ternyata amat jauh dari bayangannya. Apa yang salah dari dirinya pikir Azkiya. Arza sendiri yang bersedia menikahinya. Dia tidak pernah memohon apalagi memaksa lelaki itu.Tapi mengapa akhirnya menjadi seperti ini?Arza masih berdiri di balkon, pandangannya lurus ke depan. Sedangkan Azkiya hanya bisa terduduk di ranjang pengantin yang seharusnya ditempati mereka berdua.
Udara segar di pagi hari menyerbak menelisik setiap Azkiya menarik napas. Wanita itu tengah bersiap karena ia akan mulai kembali bekerja. Ya, bekerja sebagai pelayan di kafe milik suaminya sendiri. Namun kewajibannya untuk melayani Arza sebagai suami tidak ia sepelekan. Azkiya tidak ingin melalaikannya meski mungkin pernikahannya tidak sama layaknya seperti orang lain.Setelah bangun dan melaksanakan sholat subuh Azkiya langsung turun ke bawah untuk membuat sarapan. Sebelumnya baju untuk Arza juga telah Azkiya siapkan di sisi ranjang. Wanita itu bersikap selayaknya seorang istri meski Arza tak menganggapnya seperti itu.Tidak lama berselang Arza turun dan langsung pergi menuju teras, melihat hal itu Azkiya bergegas membuat teh untuk suaminya. Teh telah siap, kaki Azkiya perlahan melangkah menuju teras untuk menyuguhkan minuman itu. Terlihat Arza tengah sibuk dengan ponselnya. Lelaki itu terus menunduk hingga tak menyadari kedatangan Azkiya. Tangan Azkiya terulur untuk menaruh teh. Den
Mata Arza melirik dengan tajam. Sontak seluruh pegawai menunduk. Lalu perlahan mereka bubar tanpa mengatakan sepatah katapun. Arza memang terkenal sangat dingin kepada siapapun. Tak terkecuali pada sahabatnya Alwi yang juga merupakan manajer di kafe tersebut.Arza kembali melangkah pergi. menyisakan Azkiya dan Atifa yang masih terdiam. Di tempat mereka berdiri. Lantas Atifa langsung membawa Azkiya ke belakang. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan pada sahabatnya ini.“Kenapa kamu menikah tanpa memberitahuku?” todong Atifa tanpa basa-basi. Bibirnya mengerucut sebal. Azkiya hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu.“Maafkan aku, Fa. Ini sangat mendadak. Jadi aku tidak sempat memberitahumu,” tutur Azkiya menjelaskan.“Baiklah. Eh, tapi kenapa kamu masih memakai baju pelayan ini?” Dahi Atifa mengernyit saat bertanya hal itu.“Kamu istri dari pemilik tempat ini. Artinya kamu juga bos di sini, Kiya,” seloroh Atifa dengan polosnya.Kiya merupakan panggilan yang diberikan Atif
Azkiya masih terpaku di tempatnya berdiri. Sementara kedua insan berlainan jenis itupun sama-sama terdiam melihat Azkiya. Ria, wanita itu dengan santainya duduk di atas meja, tangannya tengah membelai wajah Arza. Sementara lelaki itu hanya diam.Melihat Azkiya terkejut sungguh membuat hati Arza bersorak senang. Rencananya membuat Azkiya terluka berjalan lancar. Ria yang melihat Azkiya terus terdiam menjadi bingung.“Siapa kamu?” tanya Ria dengan sinis.Pertanyaan wanita itu membuat Azkiya tersadar. Segera dia mengalihkan pandangannya ke bawah. Arza hanya tesenyum sinis sambil menatap istrinya yang gemetar.“Dia Azkiya,” ucap Arza menjawab pertanyaan Ria.Mata Ria membulat sejenak, namun senyum remeh segera dia lemparkan sambil menatap Azkiya. Lalu ia turun dari atas meja, perlahan mendekat pada Azkiya yang terus menunduk.“Oh, Azkiya. Pelayan yang tak tahu malu itu, ya. Kamu menikah dengan seorang bos kaya dan bermimpi menjadi ratu?” Ria tertawa remeh di hadapan Azkiya.Matanya memana
Di benaknya telah tersusun rencana untuk membuat Azkiya pergi dari hidup Arza. Ria berdiri.“Baiklah, aku pulang dulu, Sayang.” Wanita itu meraih tasnya.Ria menghampiri Azka, lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium. Tapi dengan segera Arza menghindar, ia menolak melakukan hal itu. Ria mendengkus kesal karena penolakan itu, tapi berusaha tetap baik di hadapan Arza. Ia tidak mau kehilangan sumber kekayaannya.“Pulanglah naik taksi! Maaf aku tidak bisa mengantarmu.” Arza berpura-pura baik.Arza mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. Menyodorkannya di hadapan wanita itu.“Ini untuk gantinya,” ujar Arza. Bagi Arza itu hanyalah ucapan terima kasih karena telah membantunya membuat Azkiya terluka, ia tidak benar-benar meminta maaf karena tidak bisa mengantarnya pulang.Sifat matre Ria bergejolak, tentu saja tidak ada alasan untuk menolak uang itu. Baginya uang adalah yang terpenting.Ria meraihnya dengan tersenyum. “Terima kasih, Sayang.”Ia tidak benar-benar tulus m
“Kau hanya menginginkan hartaku,” lirih Azka yang terus terpejam. Lalu setelahnya cekalan itu mengendur.Azkiya perlahan menarik tangannya. Matanya masih menatap Arza yang kini telah kembali tenang. Kaki Azkiya kembali melangkah menuju sofa tepat di depan ranjang, lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di sana. Semenjak kejadian di malam pengantin itu, Azkiya memang memutuskan untuk tidur di sofa. Tentu saja Azka tak peduli dengan keputusan Azkiya. Ia duduk sambil menekuk kedua lututnya, tangan kanan menopang kepala.Mata Azkiya masih setia memandang pria di hadapannya. Pikirannya menerawang jauh, ia mengingat bagaimana jantungnya berdegup kencang saat pertama kali bertemu dengan Arza. Parasnya yang indah tapi ternyata sikapnya begitu dingin. Ah, iya. Azkiya teringat kata-kata Arza tadi saat mengigau. Mungkinkah sebelumnya ia pernah dekat dengan perempuan lain lalu dikhianati? Ia juga menyebut soal harta. Apa ini ada kaitannya dengan Arza yang menganggap dirinya hanya menginginkan harta? Ber
“Apa kamu terlalu tua sampai memakai sabuk pengaman saja tidak pernah ingat?”celetuk Arza tanpa menoleh.Azkiya langsung menatap lelaki itu. Seperti biasa ekspresinya datar dan dingin. Tapi Azkiya tidak menyangka jika Aarza akan memperhatikannya. Tangan Azkiya bergerak meraih sabuk pengaman, saat akan memakainya ia teringat sesuatu. Tanpa sadar bibirnya mungilnya tersenyum.“Kenapa kamu tersenyum sendiri? Jiwamu sehat ‘kan?” seloroh Azka saat melihat perempuan di sampingnya tiba-tiba tersenyum.“Terima kasih karena sudah memakaikan sabuk pengaman padaku semalam,” ucap Azkiya sambil memakai sabuk pengaman. Mendengar hal itu membuat Arza tertawa sinis.“Jangan mengira yang tidak-tidak. Aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang nantinya akan merepotkanku.” Pandangannya tak sedikitpun beralih.“Ya. Apapun niatmu aku tetap berterima kasih,” tutur Azkiya menutupi kekecewaan yang mul