Malam itu, setelah seharian bekerja di perusahaan Glazer, Aisyah pulang dengan wajah lelah tetapi tetap bersemangat. Aditya duduk di kursi roda, menunggu istrinya di ruang tamu kontrakan kecil mereka. Begitu Aisyah masuk, ia langsung menghampiri suaminya dengan senyuman kecil."Mas, aku nggak tahu harus ketawa atau kesal dengan apa yang terjadi hari ini," ujar Aisyah."Apa yang terjadi, Sayang? Kamu kelihatan capek banget," tanya sang suami.Aisyah duduk di sebelah Aditya dan mulai menceritakan pengalamannya."Tadi Shintya nggak henti-hentinya ngomongin aku, Mas. Dia bilang aku nggak pantas kerja di sana, bilang aku cuma pengemis yang nyusahin Delon. Tapi aku diam aja, nggak mau terpancing," kata Aisyah. "Hah, Shintya memang nggak berubah ya? Mulutnya selalu nggak bisa dijaga. Aku tahu kamu kuat, tapi kalau dia terlalu kelewatan, jangan segan buat balas.""Bukan cuma Shintya, Mas. Ada Sera juga. Aku kira mereka bakal kerja sama buat nyerang aku, tapi ternyata mereka malah ribut sendi
Mendengar pertanyaan Aisyah, Aditya mengerutkan kening. Ia terlihat bingung, bahkan sedikit terganggu dengan topik yang tiba-tiba dibahas istrinya."Apa maksudmu, Sayang? Kenapa kamu tanya soal itu tiba-tiba?"Aisyah menghela napas, mencoba hati-hati dengan kata-katanya."Tadi di kantor, aku dengar obrolan orang-orang... mereka bilang kamu bukan keturunan asli keluarga Glazer, dan kedua orang tuamu bukan orang tua kandungmu."Aditya terdiam sejenak, menatap Aisyah dengan alis yang semakin mengerut."Itu pasti cuma gosip murahan. Aku dibesarkan oleh keluarga Glazer, mana mungkin itu benar?"Aisyah menundukkan kepala, merasa ragu melanjutkan. Tapi ia tahu ini penting untuk dibicarakan."Tapi aku pikir... bukankah kamu juga merasa mereka tidak pernah benar-benar akrab denganmu? Mungkin ini sebabnya. Apa kamu tidak pernah curiga selama ini?"Aditya tampak tertegun. Kata-kata Aisyah mengguncangnya, meskipun ia tidak ingin mempercayai apa yang ia dengar. Setelah beberapa saat terdiam, ia me
Malam itu, Aisyah dan Aditya duduk bersama di kontrakan mereka. Aisyah membuka pembicaraan dengan nada serius setelah mengingat sesuatu yang penting."Mas, aku mau cerita. Pas aku ke rumah Glazer kemarin, aku nemu sesuatu di kamar Kakek. Ada catatan yang kakek tinggalkan. Tapi anehnya, catatan itu ada sobekannya. Kayaknya penting banget." Aisyah mencoba meneliti kembali tulisan tersebut.Aditya mengerutkan dahi, mencoba mencerna informasi itu. Wajahnya menunjukkan campuran rasa penasaran dan frustrasi."Catatan apa, Sayang? Isinya tentang apa?""Nggak terlalu jelas, Mas. Tapi dari yang aku baca, kayaknya ada petunjuk soal masa kecilmu atau keluargamu. Mungkin Kakek tahu sesuatu tentang orang tua kandungmu."Aditya terdiam sejenak, matanya menatap jauh seolah mencoba mengingat kembali masa lalunya. Ia berbicara perlahan, suaranya penuh emosi."Aku nggak ingat banyak. Tapi ada potongan kenangan yang selalu terbayang. Dulu waktu kecil, aku sering mimpi tentang seorang wanita. Wajahnya ng
Jam menunjukkan pukul 20.00 di restoran kecil dekat kantor Glazer. Aisyah, yang selesai lembur, dengan cepat memutuskan untuk mencari kerja paruh waktu agar bisa mendapatkan uang tambahan. Setelah berbicara dengan pemilik restoran, ia diterima untuk bekerja sebagai pencuci piring selama beberapa jam. Aisyah bekerja dengan giat, mengabaikan rasa lelah yang mendera tubuhnya. Ia hanya berpikir bagaimana bisa membawa pulang makanan untuk Aditya yang pasti kelaparan. Setelah selesai bekerja, pemilik restoran memberinya bayaran cukup untuk membeli makanan sederhana. Tanpa membuang waktu, Aisyah mampir ke warung untuk membeli nasi bungkus dan lauk. Dengan uang yang tersisa, ia membeli camilan kecil dan sebotol air mineral untuk dirinya sendiri. Saat tiba di rumah kontrakan, ia langsung membuka pintu dengan hati-hati agar tidak membangunkan Aditya. Aditya dari dalam kamar dengan suara pelan, "Sayangku, kamu baru pulang? Udah makan?" Aisyah tersenyum kecil, meski tubuhnya terasa lelah,
Aditya ingin mengalihkan pembicaraan agar istrinya tidak berfikir aneh-aneh. Dia menyerahkan segelas air putih untuk istrinya yang terlihat sangat lelah.Aditya dengan nada serius, "Sudahlah itu tidak penting, yang penting masalah kamu baik banget, Sayang. Tapi aku khawatir kalau kebaikanmu malah dimanfaatkan orang lain."Aisyah tersenyum tipis sambil mengelap tangannya lupa masalah Aditya digoda tetangganya, "Mas, kalau kita ada tetangga yang buruk, tugas kita bukan cuma mengeluh. Kita harus memberi contoh yang baik, siapa tahu mereka sadar dan berubah. Kan, nggak ada ruginya jadi orang baik."Aditya menghela napas, "Iya, aku ngerti, tapi kamu jangan sampai kelewatan, ya. Kalau kamu terus-menerus mengalah, nanti mereka malah jadi semena-mena. Ada batasnya, Sayang."Aisyah mengangguk pelan, "Aku tahu, Mas. Tapi aku percaya kalau kita tulus, lama-lama mereka juga akan tahu rasa. Lagian, nggak semua orang langsung berubah. Kadang kita harus sabar."Aditya mengusap kepala istrinya dengan
Aisyah dengan tegas menolaknya, "Maaf, Pak. Saya tidak tahu Anda sedang bercanda atau serius, tapi saya tidak akan pernah melakukan hal seperti itu."Pak Reza dengan santai, "Oh, jangan kaku begitu, Mbak Aisyah. Kesempatan seperti ini jarang datang. Lagipula, bukankah Anda butuh pekerjaan?"Aisyah berdiri dengan tegas."Terima kasih atas waktunya, Pak. Tapi saya tidak akan mengorbankan harga diri saya hanya untuk pekerjaan. Saya lebih baik pergi."Tanpa menunggu jawaban, Aisyah mengambil tasnya dan keluar dari ruangan itu. Perasaan kecewa dan marah bercampur dalam pikirannya, tetapi ia juga merasa lega karena tidak membiarkan dirinya jatuh dalam perangkap pria seperti itu.Saat sampai di rumah, Aditya langsung menyadari wajah Aisyah yang murung."Sayang, apa yang terjadi? Kamu kelihatan nggak baik-baik saja."Aisyah menceritakan semuanya kepada Aditya. Mendengar itu, Aditya merasa sangat marah, tetapi ia juga bangga pada istrinya yang tetap mempertahankan harga diri."Kamu nggak salah
Aditya yang selama ini hanya bisa mengandalkan kursi roda merasakan dorongan yang luar biasa saat melihat foto Aisyah dalam bahaya. Dengan penuh tekad, dia mencoba berdiri. Lututnya sempat gemetar, tetapi keinginannya untuk menyelamatkan istrinya mengalahkan rasa sakit yang selama ini dirasakannya.Aditya (dalam hati): "Aku harus bisa... Demi Aisyah dan bayi kami!"Dengan langkah perlahan namun pasti, Aditya berhasil berjalan tanpa bantuan kursi roda. Rasa haru bercampur dengan kemarahan membakar semangatnya. Dia segera mengambil jaket dan amplop tersebut, lalu bergegas menuju alamat yang disebutkan.Sesampainya di lokasi, Aditya menemukan dirinya berada di sebuah gudang tua yang terletak di pinggiran kota. Udara di dalam terasa lembap dan suram. Dia mendengar suara tawa dari salah satu sudut gudang. Itu adalah suara Shintya.Shintya berteriak, "Aditya... Aku tahu kamu akan datang. Lihat, aku sudah membuatmu bangkit dari kursi roda. Aku ini penyelamatmu, kan?"Aditya melihat Aisyah ya
Malam yang indah membuat Aditya kecanduan, "Wow gede milikmu, kamu sangat seksi. Aku suka tubuhmu!" "Mas Adit ayo kita mulai, tidak usah lama-lama. Aku juga suka milikmu," balas Aisyah melakukan pemanasan kecil. "Sayang, aku ingin masuk," bisik Aditya."Jangan buru-buru," kata Aisyah sambil tersenyum manis lalu memainkan milik suaminya. "Ah ah sayangku, itu enak banget. Kamu luar biasa sayangku," puji Aditya. "Benarkah?" Setelah Aisyah bermain puas, gantian Aditya memainkan peran pentingnya sampai istrinya menjerit keras, "Mas, ah aku sudah tidak tahan lagi." Suara ranjang reot, membuat mereka berdua sedikit tertawa."Mas, jangan keras-keras di dalam ada dedenya," bisik Aisyah."Oh, aku lupa kalau aku mau jadi ayah." Aditya memelankan permainannya dengan baik. Setelah puas mereka berdua berbaring telentang di atas ranjang.Tiba-tiba, bau masakan gosong memenuhi udara. Aditya terkejut dan berlari ke dapur."Apa yang terjadi?" Aisyah bertanya, mengikuti Aditya."Sepertinya masaka
Aditya tertawa kecil, menariknya lebih dekat. “Dulu kita melewati banyak cobaan, sekarang saatnya menikmati kebahagiaan kita.”Aisyah tersenyum malu, lalu menyandarkan kepalanya di dada suaminya.Aditya mulai mencium bibir istrinya, lalu berkata, "Sayang, bibir kamu manis sekali."Mereka berdua menikmati momen kebersamaan dalam kehangatan cinta yang selama ini mereka perjuangkan.Malam itu, tanpa gangguan, hanya ada mereka berdua—menghargai setiap detik yang mereka miliki sebagai pasangan suami istri yang saling mencintai.Hari-hari Aditya dan Aisyah kini dipenuhi dengan kebahagiaan sederhana. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga dengan penuh cinta dan saling mendukung.Setiap pagi, Aisyah menyiapkan sarapan sementara Aditya membantu merapikan rumah. “Abi, tolong ambilkan roti di lemari,” pinta Aisyah sambil menggoreng telur.Aditya dengan santai mengambil roti, lalu tiba-tiba memeluk Aisyah dari belakang. “Umi lebih enak daripada sarapan ini,” godanya.Aisyah hanya menggeleng samb
Tujuh tahun berlalu, Aditya dan Aisyah akhirnya berhasil membeli rumah sendiri—rumah sederhana namun penuh kebahagiaan. Mereka merasa bangga karena semuanya diperoleh dari hasil kerja keras sendiri, bukan dari warisan atau bantuan keluarga.Meskipun rumah mereka tidak semewah rumah keluarga Pak Daniel atau Glazer, bagi Aditya dan Aisyah, rumah ini adalah istana kecil mereka. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain memiliki tempat tinggal yang benar-benar hasil jerih payah sendiri.“Abi, kita sudah punya rumah sendiri, ya?” tanya Andre, yang kini sudah berusia 7 tahun, dengan mata berbinar.Aditya mengangguk, mengacak rambut putranya. “Iya, Nak. Rumah ini milik kita. Tidak besar, tapi penuh kebahagiaan.”Aisyah tersenyum melihat suami dan anaknya. “Yang penting rumah ini selalu hangat dengan cinta dan kebersamaan,” katanya lembut.Hidup sederhana, mereka tidak pernah kekurangan kebahagiaan. Setiap hari dipenuhi tawa Andre yang ceria, kerja keras Aditya yang pantang menyerah, dan kasi
Tiba-tiba…BRAK!Pintu kontrakan mereka dihantam keras dari luar. Aditya sigap meraih sebatang kayu di sudut ruangan, bersiap menghadapi siapa pun yang mencoba masuk. Aisyah mundur perlahan, melindungi bayinya yang mulai rewel."Siapa di luar?! Mau apa?!" bentak Aditya.Tidak ada jawaban, hanya suara napas berat yang terdengar di balik pintu. Kemudian, suara itu berbisik lirih, cukup untuk membuat bulu kuduk siapa pun berdiri."Aisyah… Kau harus mati!"Aisyah menahan napas, matanya membelalak. Suara itu… terdengar familiar, tetapi penuh kebencian.Aditya tidak menunggu lebih lama. Dengan cepat, dia membuka pintu dan mengayunkan kayunya… tetapi sosok di luar lebih cepat.Sebuah pisau berkilat meluncur ke arah Aditya!Dalam sepersekian detik, Aditya berhasil menangkis serangan itu, tetapi tangan kirinya tergores cukup dalam. Dia meringis, darah mulai mengalir.Aisyah berteriak panik, "Abi!"Di bawah cahaya lampu jalanan yang redup, akhirnya wajah pelaku terlihat jelas.Ternyata… Elsa! D
"Hmm, tidakkah cemburu istriku yang cantik ini." "Untuk apa aku cemburu," kata Aisyah sembari ingin beranjak dari duduknya.Dalam perjalanan pulang, Aditya melirik Aisyah yang bersandar di kursi mobil dengan mata setengah terpejam. Wajahnya masih pucat setelah kecelakaan tadi.Untuk mencairkan suasana, Aditya tiba-tiba berkata dengan nada menggoda, "Kayaknya Tante Rita sayang banget sama Andre, loh. Malah tadi dia bilang, ‘Duh, Om Aditya makin keren aja nih, gimana kalau sering-sering titip Andre di sini?’”Aisyah langsung membuka matanya dan menatap suaminya tajam. "Oh, jadi Tante Rita suka sama suami orang, ya?"Aditya menahan tawa. "Siapa tahu, kan? Aku sih nggak keberatan kalau tiap hari disediain teh manis sama senyuman maut."Aisyah menyilangkan tangan di dada, matanya menyipit. "Berani banget ya, kamu? Mau aku titipin Andre selamanya di sana sekalian?"Aditya tergelak, lalu dengan cepat menggenggam tangan Aisyah. "Hei, aku cuma bercanda, Sayang. Aku nggak tertarik sama siapa p
Pagi itu, Aisyah berjalan sendirian menuju rumah Paman Dirgantara. Hatinya sudah mantap. Dia harus mendengar kebenaran langsung dari mulut pamannya.Setibanya di sana, Paman Dirga tampak gugup melihat kedatangannya. "Aisyah... kenapa kamu datang pagi-pagi begini?"Aisyah menatapnya tajam. "Aku ingin kebenaran, Paman. Aku tahu Paman menyembunyikan sesuatu tentang kematian Ayah dan Ibu."Paman Dirga menarik napas panjang, lalu menatap ke arah jendela seolah memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Baiklah... aku akan mengaku."Aisyah menahan napas saat pamannya mulai berbicara."Kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa. Yang merencanakannya adalah Elsa dan Fransisco. Mereka bekerja sama dengan Kakek Glazer, tapi saat itu mereka hanya berpura-pura setia. Sebenarnya, mereka menyimpan dendam pada keluarga ayahmu."Aisyah tertegun. "Tapi... kenapa?""Elsa membenci keluarga Daniel karena dia dulu hanya dianggap sebagai wanita simpanan, bukan istri yang sah. Dia ingin menghancurkan kelua
Setelah pertemuan sebelumnya yang penuh emosi, Paman Dirgantara merasa perlu untuk berbicara lebih lanjut dengan Aisyah. Ia menyadari bahwa masa lalunya yang penuh kesalahan telah menciptakan jarak antara mereka. Dengan hati yang berat, ia memutuskan untuk mengunjungi Aisyah di kontrakannya.Saat tiba, Paman Dirgantara mengetuk pintu dengan ragu. Aisyah membukakan pintu dan terkejut melihat pamannya berdiri di ambang pintu."Paman Dirgantara? Ada apa lagi?" tanya Aisyah.Paman Dirgantara menundukkan kepala, menunjukkan penyesalan yang mendalam."Aisyah, aku datang untuk meminta maaf atas semua kesalahan yang telah kulakukan di masa lalu. Aku tahu aku telah mengecewakan banyak orang, termasuk dirimu," balas Paman.Aisyah terdiam, mencoba mencerna kata-kata pamannya."Aku juga ingin memberitahumu bahwa istriku sedang sakit kanker dan membutuhkan perawatan di rumah sakit. Aku telah mencoba meminta bantuan dari Sera, tetapi dia menolak. Aku tahu ini mungkin tidak pantas, tetapi bisakah ka
Konflik Keluarga MemanasKeesokan harinya, Elsa dan suaminya datang dengan wajah penuh amarah. Mereka ingin meminta agar membantu perusahaan Glazer yang diambang kebangkrutan."Pak Daniel! Keluarga Glazer sudah di ambang kebangkrutan! Aku akan melupakan semua dendam masa lalu agar kamu membantu perusahaan Glazer!" seru Elsa dengan mata penuh kebencian.Pak Daniel tetap tenang, "Aku tidak pernah menginginkan kehancuran keluarga Glazer. Aku justru ingin menebus kesalahan masa lalu, jika kalian tidak membuat masalah, aku akan membantu perusahaan Glazer. Tetapi sungguh sayang, dendam kalian kepadaku sampai sekarang."Elsa mendengus, "Jangan berlagak suci! Kau ingin menguasai semuanya! Aku tahu pasti semua perusahaanmu kamu kasih putra sulung mu."Arjuna mengepalkan tangan, rahangnya mengeras saat mendengar perusahaan ayahnya untuk Aditya."Ayah, ini tidak adil! Aku yang selalu di sisimu! Aku yang bertarung untuk keluarga kita, tapi kenapa kau malah memberikan semuanya kepada Aditya?! Aku
Malam itu masih penuh ketegangan. Pak Daniel menatap tajam ke arah Arjuna, mencoba memahami sumber kebencian putranya selama ini. "Aku ingin tahu yang sebenarnya, Arjuna." Suaranya bergetar, campuran amarah dan kesedihan. "Siapa yang menanamkan kebencian dalam dirimu terhadap kakakmu sendiri?" Arjuna menghela napas berat, menunduk sesaat. Lalu dia mengangkat kepalanya, menatap ayahnya dengan mata yang kini lelah dan penuh penyesalan. "Aku mencari tahu sendiri, Ayah. Setahun yang lalu, aku baru sadar kalau Andre yang selama ini kau cari ternyata adalah Aditya." Pak Daniel mengerutkan kening. "Dan kau memutuskan untuk menghancurkannya?" Arjuna menggertakkan giginya. "Aku... aku ingin mengambil tempatnya, Ayah! Aku ingin menjadi anak yang Ayah banggakan! Selama ini, semua orang membandingkan aku dengan seseorang yang bahkan aku tak tahu keberadaannya!" "Siapa yang memberitahumu tentang Andre sebenarnya?" Arjuna terdiam. Tangannya mengepal, lalu perlahan berkata, "Kakek Glaze
Saat malam tiba, Aditya mulai kewalahan merawat bayi mereka sendirian. Andre kecil rewel, menangis terus-menerus meskipun sudah disusui dan digendong.Dengan wajah lelah, Aditya akhirnya menelpon Aisyah lewat video call. Saat panggilan tersambung, wajah lembut Aisyah muncul di layar. "Ada apa, Mas? Kok nelpon malam-malam?" tanyanya dengan suara lembut.Aditya menghela napas sambil menampilkan wajah putus asanya di layar. "Sayang, aku nggak tahu lagi harus gimana. Andre nangis terus, aku udah coba segalanya. Kamu ada saran?"Aisyah tersenyum lembut melihat suaminya yang tampak lelah tetapi tetap berusaha. "Coba Mas gendong sambil menyanyikan sholawat atau lagu nina bobo. Kadang bayi suka tenang kalau dengar suara ayahnya."Aditya menurut, menggendong Andre kecil sambil bersenandung pelan. Perlahan-lahan tangisan bayi itu mulai mereda, matanya mengantuk, dan akhirnya ia tertidur di dada ayahnya.Aditya tersenyum lega. "Terima kasih, Sayang. Aku nggak tahu bisa apa tanpa kamu."Aisyah te