(POV BU SULIS)Tiga puluh tahun silam Mas Bayu kepergok berselingkuh di belakangku, yang membuatku sakit suamiku itu kerap menemui wanita itu secara diam-diam. Sedangkan aku di rumah sambil mengasuh anak ke tiga kami.Saat aku bertanya, kenapa ia pulang malam? Ia selalu mengatakan jika ia habis mencari angin dengan bapak-bapak di pos ronda, tetapi aku ragu dengan jawabannya karena setiap ia pulang pasti ada aroma parfum wanita yang menempel di bajunya.Seperti malam ini, Mas Bayu pulang larut malam lagi. Entah apa yang ia lakukan dengan selingkuhannya itu di luar sana. Sedangkan aku, semalaman begadang untuk mengurus bayi kami yang rewel. Tetapi aku hanya bisa diam, berbicara pun rasanya percuma karena pasti ujung-ujungnya kami bertengkar."Aaahh, tuh anak nangis terus susui dulu sana! Berisik tau nggak, ganggu tidurku aja!" ujar Mas Bayu sambil melemparkan bantal ke arahku.Aku langsung menoleh menatap lelaki itu dengan tatapan tajam, aku sudah muak dengan tingkah lakunya yang selalu
(POV BU SULIS)Dahulu aku tidak pernah ikut program keluarga berencana, sehingga setiap tahunnya aku selalu melahirkan seorang anak. Tetapi di saat mengandung anak ke tiga Mas Bayu malah berselingkuh dengan janda itu.Tentu saja aku tak terima anak pertamaku dibawa olehnya, dan hari itu juga aku mencari informasi keberadaan Mas Bayu di Kota. Akhirnya aku berhasil mendapatkan alamat rumahnya setelah ibu berhasil menyuap banyak orang untuk buka suara."Ingat Lis, balas sakit hatimu itu dengan cara cantik dan jangan lupa bawa Gilang kembali ke rumah ini!" ucap Ibu ketika aku hendak pergi.Di kota akhirnya aku berhasil menemukan tempat tinggal Mas Bayu dan Rista yang baru, yang membuatku miris ternyata mereka mengontrak sebuah rumah kecil di permukiman warga yang kumuh.Meski wajah Rista sudah tidak cantik lagi ternyata hal itu tidak memudarkan cinta Mas Bayu padanya, bahkan yang ku dengar dari para tetangga mereka juga sudah menikah. Seandainya Mas Bayu setia, tentu ia akan hidup enak be
(POV BU SULIS)Tahun demi tahun berganti dengan cepat, kini ke dua anakku sudah tumbuh dewasa. Sejak menginjak remaja pun aku sudah mengenalkan bisnis rahasia ini pada mereka.Awalnya aku takut mereka akan menolak mengembangkan bisnis ini, tetapi karena aku sering memanjakan mereka dengan uang banyak akhirnya mereka pun bisa menerimanya. Karena yang terpenting bagi kedua putraku itu ia bisa menikmati hidup enak tanpa kekurangan uang. "Bu, aku menyukai Sarah, salah satu wanita yang bekerja di apartemen ini, dan aku juga sudah berhasil menjalin hubungan baik dengannya. Apa Ibu setuju jika aku menikahinya?" tanya Rama.Jujur aku tidak setuju dengan keinginan anak bungsuku itu, seharusnya ia menikah dengan gadis desa saja, karena aku lebih suka gadis desa yang polos ketimbang gadis kota yang terpelajar."Rama, di desa kita itu juga ada banyak gadis yang cantik, kamu tinggal pilih mau yang mana biar Ibu yang lamarkan untukmu," jawabku."Tapi aku sudah nyaman dengannya, Bu dan aku ingin men
(POV BU SULIS)Hingga tiba saatnya Rama dan Sarah kembali ke desa, aku menyambut baik wanita itu dan memperlakukannya bagaikan ratu di rumah ini. Dengan harapan Sarah mau menerima bisnis rahasia yang kujalani, nantinya.Setelah ia melahirkan, aku begitu bahagia karena ternyata bayi yang di lahirkan Sarah di hargai dengan harga yang sangat fantastis lantaran bayi mungil itu memiliki paras yang sangat cantik seperti ibunya. Akhirnya kami bertiga menikmati hasil penjualan bayi itu untuk bersenang-senang di kota meninggalkan Sarah di rumah. Satu hari satu malam kami menginap di apartemen untuk berpesta dengan mengundang beberapa rekan bisnisku.Namun, saat kami pulang ke desa aku terkejut kala mendengar kabar jika Edy menghilang tanpa meninggalkan jejak apapun. Edy merupakan pengawal yang paling kupercaya dan ia juga orang yang paling bisadiandalkan ketika aku memberinya sebuah perintah.Aku mencoba menyelidiki kasus menghilangnya Edy, dengan berbagai cara tetapi tetap saja aku tidak men
(POV SARAH)"Gawat! Nyonya Sulis dan Tuan Rama datang," ucap wanita itu panik.Ternyata pertempuran ini belum selesai, aku segera meneguk segelas air hingga tandas"Ayo kita lawan mereka!" ucapku sambil menatap mereka dengan tatapan yakin.Sementara Kak Dimas terlihat berpikir sejenak, lalu ia mengambil senapan dan mempersiapkannya."Gawat, mereka datang dengan banyak pengawal dan mereka juga membawa beberapa orang wanita. Bagaimana ini?" tanya salah satu wanita yang menjadi tahanan ibu.'Beberapa orang wanita? Apa mereka membawa para tahanan di ruang bawah tanah itu, kesini?" gumamku pelan.Mereka semua terlihat panik, ada yang berlari kesana-kemari untuk mencari tempat persembunyian dan ada juga yang bersemangat untuk ikut melawan Sulis dan kedua anaknya."Ayo kita lawan mereka, kalian ambil senjata yang ada untuk berjaga-jaga!" ucapku tegas."Kalian di sana dan kalian di sini bersamaku," titah Kak Dimas.Akhirnya kami bersiap sambil bersembunyi di balik pintu besi, ada yang berdir
(POV SARAH)Teman wanitaku? Apa itu Mbak Wati? Memang tadi ia ikut menyerang tetapi aku sama sekali tidak melihatnya saat baku tembak di luar. Mungkin saja saat itu ia mengejar Sulis yang melarikan diri."Akhirnya perempuan jahat ini tertangkap!""Ayo kita bunuh dia!""Ya, bunuh saja dia. Dia sudah membuat hidup kami sengsara selama ini!""Dasar perempuan biadab! Kamu tega memisahkan aku dengan adikku yang ada di kota! Kamu harus bertanggung jawab!"Pantas saja warga sekitar terlihat biasa saja tidak mencurigai Sulis sama sekali, ternyata yang di jadikan tahanan itu para wanita yang berasal dari kota bukan dari desa ini.Suasana terdengar riuh, para wanita itu terus berteriak memaki-maki Sulis. Aku pun beringsut turun dari ranjang lalu melangkah keluar sambil membawa belati dengan tangan bergetar.Rasa lelahku kian hilang kala mendengar ada Sulis di dalam bangunan ini, rasanya aku sudah tidak sabar ingin menyiksa wanita itu dan bertanya dimana keberadaan anakku saat ini.Dan benar saja
(Pov Wati)Dulu aku hanyalah seorang pemulung, aku tidak memiliki keluarga dan tempat tinggal yang layak di Kota.Di kota aku hanya tinggal di tempat pembuangan sampah, di sebuah gubug yang di bangun dengan terpal dan kayu-kayu sisa sebagai penyangganya.Gubug ini tentu saja tidak dihuni secara gratis, aku menyewa tempat ini dengan membayar dua ratus ribu setiap bulannya. Nominal yang cukup besar untuk orang sepertiku. Tak hanya itu lantai gubug ini juga beralaskan kardus-kardus bekas atau apa saja asalkan aku dan adikku Lisa bisa tidur nyenyak. Ya, Lisa adalah anak dari seorang ibu yang sebelumnya tinggal di gubug ini. Namun, beberapa saat kemudian ibunya meninggal dan sejak itulah kami menjadi saudara lalu berjuang keras bersama untuk melanjutkan hidup.Hingga suatu ketika aku bertemu Bu Sulis saat aku sedang memulung di tempat pembuangan sampah di Kota ini."Hei Nak, siapa namamu? Apa setiap hari kamu selalu memulung di tempat ini?" tanya Bu Sulis ketika aku sedang beristirahat.A
(Pov Wati)"Ketempat baru kalian," jawabnya, membuatku bertanya-tanya sekaligus ketakutan."Ayo cepat! Mau jalan sendiri atau mau kami paksa, hah!?" tegasnya.Terpaksa aku mengikuti mereka di belakang sambil berpegangan tangan dengan adikku. Saat aku menoleh ke lantai atas, ternyata Bu Sulis sedang memperhatikan kami dengan senyum tipis di atas sana.Kecurigaanku terbukti saat kami memasuki sebuah gudang, lalu masuk ke sebuah ruangan di bawah tanah."Ki-kita mau kemana, Bang?" tanyaku pelan."Sudah, jangan banyak tanya! Kalian ikuti saja kami!" jawabnya ketus.Aku begitu terkejut saat sampai di ruangan bawah tanah, ternyata ada beberapa orang wanita sedang duduk dengan tatapan putus asa di balik jeruji besi."Kak, ini tempat apa? Aku takut!" tanya Lisa sambil mengeratkan pegangan."Mulai sekarang, ini tempat baru kalian! Ingat, kalian harus patuh kalau tidak akan ada resikonya."Tempat apa ini? Kenapa sekarang aku dan adikku harus ada di sini? Apa Nyonya Sulis sudah menjebakku?Kedua
(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t
Tiba di rumah Kevin."Syukurlah, kalian sudah sampai rumah, ayo masuk!" ucap Mbak Wati sambil membukakan pintu."Bagaimana keadaanmu, Dim?" tanya Mbak Wati pada Kak Dimas."Sudah lebih baik, Ti. Makasih ya disela-sela kesibukanmu mengurus Adinda kamu masih sempetin buat jengukin aku." Kak Dimas tersenyum manis.Ya, aku memang menceritakan pada Kak Dimas jika Mbak Wati selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya."Iya sama-sama.""Semoga kamu betah tinggal disini ya, Dim," sahut Kevin sambil tersenyum."Iya Vin, aku pasti betah tinggal disini kok, apalagi adaa..." Kak Dimas tidak melanjutkan ucapannya."Ada siapa hayoo? Ada Mbak Wati ya...?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Mbak Wati yang sedang menggendong Adinda pun tampak tersenyum dengan wajah memerah."Apa sih, Rah? Enggak kok.""Emm, ya udah deh. Yuk aku antar ke kamar, Kakak istirahat aja ya.""Maaf ya Rah, ngerepotin kamu jadinya," ujar kak Dimas."Nggak repot kok, masa ngurusin Kakak sendiri bilang repot
"Syukurlah Kakak sudah sadar," ucapku sambil berjalan ke ranjang rumah sakit dengan gembira. Kak Dimas perlahan membuka kelopak matanya dan berkata dengan susah payah."Air... Air..."Dengan cepat Mbak Wati mengambilkan gelas berisi air matang yang ada di atas nakas dan menyerahkannya padaku.Setelah meminum beberapa teguk air Kak Dimas melihat ke sekeliling."Sarah, kita ada dimana?""Kita ada di rumah sakit, Kak," jawabku."Rumah sakit?" Kak Dimas menatap ke depan dengan tatapan kosong sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu."Iya, Kakak mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari rumahku dan sudah beberapa hari ini Kakak mengalami koma.""Sudah berapa lama Kakak koma?" tanya Kak Dimas lagi."Lima hari.""Apa? Tapi Kakak merasa baru tidur beberapa jam saja," ucapnya sambil memegang kepalanya."Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kamu bisa mengalami kecelakaan, Dim?" tanya Mbak Wati."Saat perjalanan pulang dari rumah Kevin, pandangan mataku kabur karena cuaca malam
Kami kembali ke depan ruang ICU, Adinda pun sudah terlelap di pangkuan Kevin."Wati, kamu pulang saja ya biar aku dan Sarah saja yang menjaga Dimas. Kasihan Adinda kalau kita ajak tidur disini,” ucap Kevin pada Mbak Wati."Iya Mbak, kamu pulang sama Adinda ya, besok lagi saja kalau Mbak mau kesini," sahutku."Ya sudah kalau gitu Mbak pulang dulu ya Rah, Vin. Besok pagi aku akan kesini mengantarkan pakaian untuk kalian," ucap Mbak Wati."Iya Ti, supirku sudah menunggu di depan jadi kamu tidak perlu menunggu lama." "Iya, terimakasih.Mbak Wati pun akhirnya pulang ke rumah bersama Adinda.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya, aku merasakan leher ini begitu kaku dan nyut-nyutan, mungkin ini karena efek begadang semalaman di rumah sakit."Aargh..." Kevin pun terlihat merenggangkan tulang-tulangnya yang mungkin terasa kaku.Mata Kevin tampak berubah merah sebab tak tidur. Diliriknya jam yang tergantung di dinding rumah sakit, sudah menunjukkan pukul enam pagi."Sayang, Mas belikan sarap