Sore ini terlihat Mbak Wati yang sedang memasak Untuk makan malam nanti. Saking sibuknya ia tak menyadari keberadaan ku dibelakangnya."Ehh.. Nona. Bikin kaget saja," ucapnya sembari mengelus dada."Lagian serius amat sih, Mbak." ucapku tertawa."Kemari Nona, saya mau bicara."Untuk pertama kalinya Mbak Wati menarik lenganku untuk memulai pembicaraan. Ia celingukan kearah dalam, lalu mengambil sesuatu dari keranjang cucian."Apakah pakaian ini milik Nona?" tanya Mbak Wati padaku sembari mengeluarkan hoodie dan celana jeans yang ku sembunyikan di keranjang cucian."Cepat sembunyikan, Mbak." titahku pada Mbak Wati."Berarti benar ini milik Nona?" tanya Mbak Wati penasaran."Iya, memangnya kenapa? Awas ya jika kamu buka mulut dengan Ibu atau Mas Rama," ancamku padanya.Mbak Wati menghela nafas pelan."Sebenarnya apa yang Nona lakukan dengan memakai baju itu? Untung saja Edy dan yang lainnya tak berhasil menangkap Nona," ucap Mbak Wati khawatir."Apa kamu mau tahu, apa yang sudah aku laku
"Tolong jawab pertanyaanku, Mbak?""Sudah pasti iya, Nona. Kemana lagi jika bukan dijual?"Kaki ini rasanya tak kuat lagi menopang tubuh yang mulai lemas, aku terduduk bersimpuh dilantai dengan bergelimang air mata. Rasanya aku tak percaya dengan ucapan Mbak Wati barusan.Tidak! Tidak! Anakku tidak boleh dijual!Jari jemariku mengepal erat. "Keterlaluan kamu, Mas. Lihat saja, suatu saat nanti aku akan membunuhmu! Lihat saja, aku akan membuat kalian menyesal dengan perbuatan yang sudah kalian lakukan!" ucapku penuh amarah."Sabar. Bukan hanya Nona, tetapi kedua anak saya juga sudah menjadi korban kejahatan mereka. Dan saya harap yang ketiga ini bisa selamat," ucap Mbak Wati memelukku.Dunia rasanya hancur dan langit terasa runtuh. Anakku, darah dagingku dijual oleh ayahnya sendiri. Apa laki-laki itu pantas dipanggil seorang ayah?Dengan nafas yang masih terasa sesak, akupun berdiri lalu berjalan ke arah kursi di meja makan. Duduk disana dengan hati yang tak karuan. "Ayo, kita harus me
Mas Rama terasa merebahkan diri di belakangku, melingkarkan tangannya di pinggangku."Apa kamu ingin punya anak lagi, Rah?" bisik Mas Rama."Iya tentu saja," jawabku singkat."Kalau begitu, bagaimana kalau kita buat sekarang, sayang?" ucap Mas Rama mengendus tengkukku.Dengan segera aku menepis tubuhnya lalu duduk di tepi ranjang. Luka bekas lahiran sebelumnya saja belum kering, tetapi dia sudah meminta berhubungan intim lagi? Dasar pria gila."Kenapa, sayang?" Ia bangkit, mencoba merangkulku lagi dari belakang."Apa kamu mencintaiku, Mas?" tanyaku tanpa menoleh."Tentu saja, Mas sangat mencintaimu," ucapnya mencium pipi serta leherku.Entahlah, aku seolah tidak yakin kalau Mas Rama benar-benar mencintaiku. Rasanya aku tak ingin disentuh olehnya lagi. Rasanya aku ingin berteriak dan marah dihadapan wajahnya jika ia adalah seorang penjahat."Kalau kamu memang mencintaiku, tolong jangan menyentuhku ataupun meminta itu lagi sebelum aku siap, Mas. Ini belum ada empat puluh hari, belum sel
Walaupun terhalang beberapa perabotan, tetapi aku masih bisa melihat dengan jelas jika Mas Rama baru saja keluar dari kamar Mbak Wati dengan rambut yang acak-acakan seperti orang yang baru bangun tidur. Apakah suamiku itu semalaman tidur di kamar Mbak Wati? Apakah mungkin Mbak Wati hamil karenanya?Aku mengepalkan kedua tangan ini hingga urat-uratku timbul. "Awas saja kamu Mas jika dugaanku itu benar, seumur hidupku aku tidak akan memaafkanmu, aku benci kamu mas! Aku benci," gumamku pelan.Seketika dadaku bergemuruh hebat, sudut netra ini mulai memanas dilanda amarah yang kian menggunung. Kau sudah banyak menorehkan luka di hidupku, Mas. Kamu jahat!Tak berselang lama, Mbak Wati pun keluar dari kamarnya dengan rambut yang setengah basah, sepertinya ia habis mandi.Raut wajah terkejut tergambar jelas di wajah Mbak Wati, untuk beberapa saat kami pun saling bersitatap. Aku menatapnya dengan penuh amarah, sementara ia yang ketakutan."Nona," ucapnya seperti ketakutan.Aku hanya diam, men
Pukul tujuh pagi Mas Rama masih terlelap, entah berapa ronde yang ia lakukan dengan Mbak Wati semalam hingga jam segini Ia belum tersadar. Aku merasa suntuk, lalu berjalan keluar menuju halaman depan rumah, diujung pagar ada beberapa pengawal Ibu yang sedang duduk di pos penjagaan. "Bang, saya dapat informasi kalau ada pemuda yang datang menginap beberapa hari di salah satu penginapan. Katanya saat ini pemuda itu menghilang, tak ada di penginapannya. Apakah mungkin penyusup yang masuk dalam gudang perkebunan, pemuda itu?" ucap salah satu penjaga.Dari kejauhan aku masih bisa mendengar salah satu pengawal Ibu berbicara dengan Edy di pos penjagaan itu. Sekarang dadaku mulai berdebar, apakah mungkin yang mereka maksud itu adalah Kak Dimas?"Bisa jadi, karena warga disini tidak ada yang berani masuk ke gudang itu tanpa izin dan bisa jadi orang yang menyusup ke rumah ini lewat pintu belakang kemarin adalah dia," sahut Edy."Apa kamu tahu siapa nama pemuda itu?" tanya Edy lagi.Aku menela
Sebenarnya untuk apa Ibu menyimpan flashdisk yang berisi video ini? Apakah mereka sengaja merekam adegan-adegan tak pantas kami lalu video itu akan mereka jual?Keterlaluan !Tapi, kenapa harus aku?!Dengan tangan bergetar aku mematikan kembali laptop Ibu, lalu segera mengambil flashdisk yang menayangkan adegan ranjangku dengan Mas Rama yang tertancap pada laptop itu dan beberapa flashdisk lainnya, ini semua akan aku jadikan barang bukti suatu hari nanti. Dengan segera aku berjalan menuju lemari lain. Namun, aku tidak menemukan bukti apa-apa lagi, didalam sana hanya ada beberapa laci yang tak bisa kubuka karena terkunci rapat. Dalam salah satu laci aku menemukan sebuah belati yang begitu tajam, aku pun mengambilnya siapa tahu, suatu saat nanti benda itu akan berguna untukku.Lalu aku bergegas keluar dengan hati yang kacau, aku tak terima tubuhku dipertontonkan banyak orang, aku benar-benar sudah tidak tahan berada dalam keluarga ini.Ku buka pintu dengan perlahan sembari celingukan d
Perasaanku mendadak cemas, entah kemana Mbak Wati saat ini. Dia meninggalkanku sendirian di halaman belakang dengan mayat Edy dan kuburan yang ada didepan mataku.Tiba-tiba lampu besar didekat pintu dapur mendadak mati lalu dari pintu itu Mbak Wati keluar dengan membawa dua buah cangkul."Ayo Nona, kita gali kuburan ini."Hanya pencahayaan dari sinar rembulan yang cenderung gelap menambah kesan ngeri, memegang cangkul untuk pertama kalinya aku menghantamkannya ke tanah dengan sekuat tenaga. Mbak Wati menggali di ujung kanan sementara aku menggali di ujung kiri. Entah kekuatan dari mana tenagaku rasanya tidak ada habisnya."Ayo Nona, kita harus cepat sebelum ada penjaga lain yang datang kemari," ucap Mbak Wati dengan nafas ngos-ngosan.Keringat yang sudah membasahi wajah dan tubuhku sengaja tak kuhiraukan. Kami pun terus mencangkul tanah itu dengan kecepatan tinggi. Beruntung kami tidak terlalu kesulitan untuk mencangkul tanah ini, karena tanah ini sudah pernah digali orang lain sebelu
Aku berlari cepat menuju lemari pakaian Mbak Wati, beruntung sekali lemari itu cukup luas sehingga aku bisa masuk kedalamnya untuk bersembunyi."Wati sayang... Abang datang," ucap penjaga itu."Kemana sih si Wati?" Langkah kaki terdengar masuk ke dalam kamar ini. Aku mengintip dari celah pintu lemari, terlihat ada seorang penjaga Ibu yang sedang duduk di atas ranjang milik Mbak Wati."Apa lagi di kamar mandi? Emm, tunggu disini aja deh," ujarnya lagi.Padahal aku sudah lelah dan ingin membaringkan tubuh, tetapi sialnya aku malah terjebak didalam sini gara-gara lelaki itu.Hampir setengah jam aku berdiri di dalam lemari kamar ini, hingga akhirnya pintu dibuka dan sudah pasti itu Mbak Wati."Kemana aja sih kamu, Ti? Lama banget, abang udah nungguin dari tadi disini," ucap pria itu jengkel."Ehh... Bang Bobi. Saya habis dari kamar mandi," jawab Mbak Wati."Ya udah sini dong, Abang kepengen nih," Menjijikkan sekali mendengar ucapan pria itu, ternyata Mbak Wati tidak berbohong semua lelak
(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t
Tiba di rumah Kevin."Syukurlah, kalian sudah sampai rumah, ayo masuk!" ucap Mbak Wati sambil membukakan pintu."Bagaimana keadaanmu, Dim?" tanya Mbak Wati pada Kak Dimas."Sudah lebih baik, Ti. Makasih ya disela-sela kesibukanmu mengurus Adinda kamu masih sempetin buat jengukin aku." Kak Dimas tersenyum manis.Ya, aku memang menceritakan pada Kak Dimas jika Mbak Wati selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya."Iya sama-sama.""Semoga kamu betah tinggal disini ya, Dim," sahut Kevin sambil tersenyum."Iya Vin, aku pasti betah tinggal disini kok, apalagi adaa..." Kak Dimas tidak melanjutkan ucapannya."Ada siapa hayoo? Ada Mbak Wati ya...?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Mbak Wati yang sedang menggendong Adinda pun tampak tersenyum dengan wajah memerah."Apa sih, Rah? Enggak kok.""Emm, ya udah deh. Yuk aku antar ke kamar, Kakak istirahat aja ya.""Maaf ya Rah, ngerepotin kamu jadinya," ujar kak Dimas."Nggak repot kok, masa ngurusin Kakak sendiri bilang repot
"Syukurlah Kakak sudah sadar," ucapku sambil berjalan ke ranjang rumah sakit dengan gembira. Kak Dimas perlahan membuka kelopak matanya dan berkata dengan susah payah."Air... Air..."Dengan cepat Mbak Wati mengambilkan gelas berisi air matang yang ada di atas nakas dan menyerahkannya padaku.Setelah meminum beberapa teguk air Kak Dimas melihat ke sekeliling."Sarah, kita ada dimana?""Kita ada di rumah sakit, Kak," jawabku."Rumah sakit?" Kak Dimas menatap ke depan dengan tatapan kosong sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu."Iya, Kakak mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari rumahku dan sudah beberapa hari ini Kakak mengalami koma.""Sudah berapa lama Kakak koma?" tanya Kak Dimas lagi."Lima hari.""Apa? Tapi Kakak merasa baru tidur beberapa jam saja," ucapnya sambil memegang kepalanya."Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kamu bisa mengalami kecelakaan, Dim?" tanya Mbak Wati."Saat perjalanan pulang dari rumah Kevin, pandangan mataku kabur karena cuaca malam
Kami kembali ke depan ruang ICU, Adinda pun sudah terlelap di pangkuan Kevin."Wati, kamu pulang saja ya biar aku dan Sarah saja yang menjaga Dimas. Kasihan Adinda kalau kita ajak tidur disini,” ucap Kevin pada Mbak Wati."Iya Mbak, kamu pulang sama Adinda ya, besok lagi saja kalau Mbak mau kesini," sahutku."Ya sudah kalau gitu Mbak pulang dulu ya Rah, Vin. Besok pagi aku akan kesini mengantarkan pakaian untuk kalian," ucap Mbak Wati."Iya Ti, supirku sudah menunggu di depan jadi kamu tidak perlu menunggu lama." "Iya, terimakasih.Mbak Wati pun akhirnya pulang ke rumah bersama Adinda.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya, aku merasakan leher ini begitu kaku dan nyut-nyutan, mungkin ini karena efek begadang semalaman di rumah sakit."Aargh..." Kevin pun terlihat merenggangkan tulang-tulangnya yang mungkin terasa kaku.Mata Kevin tampak berubah merah sebab tak tidur. Diliriknya jam yang tergantung di dinding rumah sakit, sudah menunjukkan pukul enam pagi."Sayang, Mas belikan sarap