Melati tidak terima dengan apa yang bapaknya lakukan dan langsung merajuk kepada lelaki itu."Bapak kenapa, sih?""Kenapa apanya, Lati?" tanya sang bapak.Namun, Melati yang sebenarnya memiliki sikap keras kepala dan tidak bisa menerima masukan atau diatur langsung saja meronta."Kenapa enggak bela, aku tadi? Kenapa Bapak ajak aku pulang? Bapak enggak sayang lagi kah sama aku?" tuduh Melati dengan raut wajah cemerut.Kini baru bisa kepala desa sadari, jika caranya dalam mendidik anak salah. Memanjakan gadis kesayangannya dan memperlakukan Melati layaknya ratu telah membuat putrinya menjadi pribadi yang keras.Namun, bukan tanpa alasan lelaki itu melakukan hal tersebut. Setelah kehilangan sang istri, waktu melahirkan Melati membuat kepala desa tidak ingin adanya penyesalan didalam dirinya seumur hidup."Bapak bukannya enggak mau belain kamu, Lati. Tapi ... Pak Rendy itu orang yang penting dalam proyek pembangunan yang Bapak kelola. Apa kamu mau, Bapak kehilangan uang yang banyak dari
Tangis Herlina semakin menjadi-jadi, bahkan ketika mereka berada di dalam bis membuat penumpang yang lain merasa begitu terganggu dengan sikap wanita tersebut."Kita mau ke mana, Mas?" tanya Kirana pelan, walaupun gadis itu sangat takut kepada Bambang. Akan tetapi, rasa penasarannya lebih tinggi. Sebab, sedari tadi sang kakak hanya diam tanpa mau memberitahukan tujuan mereka. Kirana juga tidak ingin menjadi gelandangan dan tidur di pinggir jalan."Nanti kamu akan tahu," jawab Bambang singkat seraya menatap kearah luar jendela. Di zaman teknologi yang begitu canggih seperti sekarang, semuanya menjadi mudah. Bambang memesan tiket bis secara online ia ingin secepatnya pergi dan meninggalkan rasa sakit yang mendera di dalam hatinya.Bukan hanya karena wanita yang amat ia cintai bersama dengan lelaki lain, akan tetapi wanita yang telah melahirkannya kedunia ini merupakan dalang dari sebuah hubungan yang seharusnya tidak pernah terjadi antara dirinya dan Melati.Andaikan saja Bambang bisa m
Budi yang sudah terbiasa akan sikap sang ibu hanya tergelak, kemudian berlalu begitu saja. Sedangkan Bambang yang melihat perilaku Budi hanya bisa membuang nafas panjang.Bambang sangat paham akan kondisi Budi yang membuat adiknya itu harus pergi menjauh dari mereka semenjak kepergian sang bapak.Mereka berdua sangat berbeda dari segi mana pun, begitupun dengan perhatian yang ditunjukkan oleh sang ibu."Dasar! Anak durhaka!" pekik Herlina yang begitu kesal karena diabaikan oleh Budi dan kini menatap ke arah Bambang yang begitu dingin ketika melihatnya."Ibu harus bisa tinggal di sini, jika tidak? Aku enggak bisa berbuat apa-apa." Setelah mengatakan hal itu Bambang berlalu menyusul Budi masuk ke kamar.Bambang melihat Budi yang tengah mengemas pakaiannya dan meletakkan beberapa lembar baju ke dalam lemari kecil yang terbuat dari plastik."Di, apa kamu enggak keberatan kamu tinggal di sini?"Budi hanya menatap sekilas kearah Bambang kemudian menggeleng pelan dan melanjutkan aktivitasnya
Pukul satu dini hari Bambang sudah dibangunkan oleh Budi dan diajak ke pasar, setelah kejadian kemarin membuat Bambang yang tidak terbiasa bangun sepagi itu pun berusaha mengumpulkan tekadnya.Ia ingin menganti piring dan mangkuk kaca yang dipecahkan Kirana, entah bagaimana gadis itu sampai membuat kegaduhan lalu menjatuhkan lemari tempat Budi menyusun piring serta mangku kaca.Karena merasa tidak enak hati dan ingin belajar lebih kepada Budi, guna menambah wawasannya tentang dunia luar yang selama ini belum pernah ia rasakan sebelumnya."Di, apakah aman meninggalkan ibu dan Kirana berduaan saja di rumah?" tanya Bambang yang kini duduk disamping Budi yang tengah menyetir mobil pickup. Di dalam hati Bambang timbul rasa cemas akan ibu dan adik perempuannya yang mereka tinggal di rumah berduaan saja.Budi hanya menatap sekilas tanpa berkomentar atas apa yang baru saja Bambang ucapkan membuat ia merasa semakin tidak tenang."Di, aku enggak enak hati ini," keluh Bambang."Enggak papa, Mas
"Jika Ibu tidak ingin makan? Enggak papa! Tapi, jangan menghina!" teriak Bambang.Deru nafas Bamabang terasa terpacu, sebenarnya ia tidak terbiasa ribut didepan rezeki. Akan tetapi, hatinya benar-benar kesal akan sikap sang ibu yang tidak pernah bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan.Berkali-kali ia mengelus dada, berusaha untuk bersabar menghadapi ibunya. Namun, Bambang tetap tidak bisa mengendalikan diri."Ibu tidak pernah bekerja! Jadi, Ibu tidak tahu bagaimana susahnya mendapatkan uang! Yang Ibu tahu hanya meminta, semenjak bapak hidup dulu. Sekarang masih sama!" Bambang sampai mengungkit sang bapak yang telah tiada seking geramnya kepada sang ibu yang kini menatap lekat wajahnya."Apa kamu ingin menjadi anak durhaka, Bang?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh sang ibu membuat Bamabang tersenyum kecil seraya menggeleng pelan tidak percaya dengan ancaman yang selalu wanita itu ucapkan jika disudutkan.Budi yang tidak ingin ikut campur bergegas menarik Kirana menjauh dari Bambang,
Beberapa minggu berlalu, semenjak kejadian tempo hari Herlina tidak pernah berani lagi untuk menentang permintaan Bambang.Wanita itu benar-benar takut akan kemarahan putranya tersebut dan hanya bisa menurut ketika Bambang meminta dirinya untuk berubah.Seperti saat ini, walaupun Herlina begitu jengkel. Akan tetapi, ia tidak bisa menolak permintaan Bamabang yang menyuruhnya menjadi buruh cuci."Kir! Apa kamu hanya diam saja? Hah!" bentak Herlina kesal ketika melihat anak gadisnya yang sedari tadi hanya menatap tumpukan cucian didepannya tanpa mau bergerak sama sekali.Benar-benar hal yang belum pernah Herlina lakukan selama ini, dulu ketika Bamabang masih bersama Mawar. Tentu saja semua pekerjaan Herlina limpahkan kepada sang menantu."Aku jijik, Bu!" kata Kirana dengan jujur seraya mendorong pelan satu bak penuh pakaian kotor yang entah siapa-siapa saja yang punya gadis itu tidak tahu.Semuanya terjadi sebab Budi yang memberikan ide untuk menjadikan Herlina dan Kirana sebagai buruh c
"Kirana!" pekik Herlina dengan geram serta mata melotot tajam ke arah Kirana yang mematung ditempatnya berdiri.Gadis itu tidak sengaja menjatuhkan piring kaca yang baru saja dibeli oleh Bambang untuk menganti piring Budi yang dipecahkan oleh Kirana tempo hari.Tangan Kirana gemetar menghadapi kemarahan sang ibu yang terlihat dari sorot matanya penuh dengan kilatan."Ada apa?" tanya Budi yang baru saja masuk dan melihat keadaan disana, sudah bisa ia tebak apa yang membuat sang ibu menjadi marah.Tanpa banyak berbicara, Budi memunguti serpihan kaca seraya sesekali melirik wajah sang adik yang terlihat pucat.Setelah itu Budi menaruh pecahan kaca tersebut ke dalam kantong plastik dan meletakkan ke tong sampah."Sudah selesai, jangan marah-marah lagi, Bu," ucap Budi dengan santai, kemudian menarik pelan pergelangan tangan sang adik untuk menjauh dari ibu mereka yang nampak masih begitu marah.Budi membawa Kirana duduk di halaman luar yang terdapat sebuah bangku terbuat dari kayu tepat be
Bambang hanya mampu terdiam seribu bahasa setelah mendengar ucapan Budi, ternyata dirinya begitu berharap bisa kembali kepada Mawar dan hidup bersama seperti dulu.Setelah cukup lama terdiam, Bambang pun memilih berlalu dan masuk ke kamar, mengunci diri seraya merenungi nasibnya.Tidak bisa ia pungkiri jika hatinya begitu besar mencintai Mawar, terlebih Bambang sangat mengenal wanita itu."Dek, maafkan Mas. Apa yang bisa Mas lakukan untuk menebus semua rasa sakit yang telah kamu rasakan selama ini?" Bambang berbicara dengan dirinya sendiri, seolah tidak ada tempat untuknya mengadukan rasa sesak di dalam dadanya.Semakin memikirkan Mawar membuat Bambang merasa semakin bersalah, tapi ia ingin merubah dan menebus kesalahannya itu.Namun, dengan cara apa ia bisa membuat Mawar kembali lagi ke dalam pelukannya? Ingin sekali ia pergi dan menemui wanita itu, akan tetapi hatinya belum siap jika harus mendapatkan penolakan dari Mawar nantinya."Mas," suara panggilan Budi mengalihkan pikiran Bam
Wajah Mawar menjadi merah padam, semua itu gara-gara Budi. Ia benar-benar merasa begitu malu, bisa-bisanya lelaki itu datang diwaktu yang tidak tepat."Kamu ngomong apaan, sih, Di!" seru suaminya yang nampak terkejut seperti dirinya.Padahal, mereka berdua merupakan suami istri yang sah. Tapi, entah mengapa. Untuk sekedar bercumbu terasa begitu canggung, terlebih sampai diketahui oleh orang lain."Cih! Kalian memang tidak ingat waktu!" Setelah mengatakan hal demikian, Budi menutup kembali pintu kamar.Mawar membuang nafas panjang seraya mengusap dadanya yang terasa polong, setelah kepergian Budi.Ia merasa tidak aman tinggal di rumah ini, sebab gerak-gerik Mawar terbatas. Kemudian ia mengutarakan keinginannya kepada sang suami."Mas, nanti kita cari kontrakan, ya," pinta Mawar dengan raut wajah memelas membuat suaminya mengedus kasar."Bukan Mas enggak mau, Dek. Tapi, Mas enggak punya penghasilan yang tetap," jelas suaminya yang menyatakan keberatan.Memang benar apa yang lelaki itu u
Ternyata keributan antara Bambang dan Budi masih terus berlanjut, kepala Mawar benar-benar dibuat pusing oleh kedua lelaki tersebut.Ia mencoba menjadi penengah diantara keduanya, tapi malahan disalah artikan oleh sang suami."Kamu jangan membela Budi, Dek!" kata suaminya membuat Mawar membuang nafas panjang."Aku enggak membela Mas Budi, Mas! Aku hanya ingin, kalian berhenti bertengkar!" seru Mawar kesal."Kami bukan anak kecil, Mbak. Lagian, Mas Bambang sendiri yang salah! Masa Mbak dibuat mabuk!" seru Budi yang salah paham membuat Mawar memegangi kepalanya yang terus saja berdenyut sedari tadi.Padahal, ia baru saja sampai di rumah ini. Tapi, dirinya sudah dihadapkan dengan ujian yang begitu menohok."Kamu ngomong apa sih, Di? Mawar mabuk perjalanan! Karena tidak terbiasa naik mobil pickupmu!" tandas Bambang membuat Budi terdiam.Lelaki itu menatap ke arah Mawar, seolah meminta penjelasan. Melihat lirikan dari Budi membuat ia hanya mengangguk kecil."Cih! Kenapa Mbak enggak bilang
Pernikahan pada hakikatnya bukan tentang cinta dan perasaan sayang semata, akan tetapi tentang bagaimana komitmen pada kedua pasangan suami-isteri yang menjalani pernikahan tersebut.Apakah mereka mampu melewati setiap ujian dengan terus bersama? Ataukah, mereka memilih berjalan masing-masing dengan alasan tertentu. Semuanya kembali kepada kedua insan yang dulunya tidak saling mengenal, sampai pada akhirnya disatukan dalam sebuah ikatan suci.Inilah kisah yang harus dihadapi oleh Mawar, di mana ia kembali kepada Bambang untuk membina rumah tangganya yang sempat kandas."Mas, hari ini kita pulang ke rumah Mas?" tanya Mawar entah keberapa kali membuat suaminya nampak ilfil. Tapi, lelaki itu hanya mangut-mangut saja.Tangan Mawar yang sedari tadi mengemas pakaiannya tidak selesai-selesai, sebab di dalam hatinya begitu berat untuk meninggalkan rumah kedua orang tuanya yang begitu nyaman.Jika dibandingkan dengan tinggal satu atap dengan mertua serta ipar, tentu saja Mawar memilih tinggal
"Apa yang Mas lakukan?" pekik Mawar.Mawar benar-benar tidak percaya dengan apa yang tengah Bambang lakukan, hal yang tidak pernah ia lihat selama ini."Mas!" seru Mawar lagi, sebab suaminya seolah tengah asik sendiri dan mengabaikan apa yang baru saja ia katakan.Karena tidak tahan dengan kelakuan abstrak sang suami, Mawar lansung menarik tangan lelaki itu.Tiba-tiba saja cairan berwarna putih memuncah dan mengenai tangan Mawar yang langsung memekik."Mas Bambang!" Teriakknya dan membuat suara gaduh, Mawar langsung mengambil langkah mundur seraya menatap tajam ke arah suaminya."Kamu kenapa sih, Dek?" tanya suaminya yang membuat Mawar hanya bisa melongo."Kamu yang apa-apaan?" Seru Mawar tidak terima.Namun, bukannya menghentikan perbuatannya. Bambang malahan meneruskan aktivitas lelaki itu membuat Mawar kembali menjerit kesal."Mas! Hentikan!" Teriak Mawar membuat suaminya meletakan jari telunjuk di depan bibir seraya mendekat."Jangan teriak, Dek! Nanti orang-orang pikir kita teng
"Lalu, apa hubungannya dengan uang PHK, Mas?" Tanya Bambang penasaran.Mawar menatap lekat wajah suaminya yang nampak kebingungan, kemudian menggenggam erat tangan lelaki itu."Mas, aku ada niat baik. Aku pengen beget, jika Mas mau membantuku," jelas Mawar dengan raut wajah serius membuat suaminya nampak menelan silvernya kasar."Apa itu, Dek?" tanya Bambang ragu-ragu. Barulah Mawar menceritakan semuanya, mulai dari ia yang menemukan kejanggalan dalam proyek hotel yang sebelumnya ditangani oleh Rendy.Terlihat dengan jelas raut wajah Bambang berubah drastis, ketika Mawar menyebut nama Rendy.Tentu saja hal itu bisa Mawar lihat, akan tetapi ia terus saja bercerita tentang rencananya."Pokoknya, kita mulai dari awal lagi. Ya, Mas," kata Mawar membuat suaminya hanya mengaguk pelan sebagai jawaban, kemudian merebahkan tubuhnya.Mawar yang melihat hal itu menjadi patah semangat, seolah suaminya nampak begitu terpaksa."Mas ikhlas, enggak sih bantuin aku?" Tanya Mawar membuat suaminya itu
Mawar hanya bisa mengangguk kecil dan tersenyum terpaksa, sebagai jawaban atas permintaan Herlina tersebut."Aku usahakan, Bu," kata Mawar pelan seraya menutup pintu kamar tersebut.Padahal, dirinya baru saja kembali rujuk dengan Bambang. Tentu saja ia merasa begitu grogi, bahkan melebihi saat mereka baru menikah dulu.Langkah Mawar yang diayunkan secara perlahan, agar lambat sampai ke kamar sengaja ia lakukan.Degup jantung yang terus berlantun membuatnya menekan dada agar sedikit mengurangi rasa berdebarnya."Dek," panggil Bambang tiba-tiba membuat Mawar terlonjak kaget, sebab lelaki itu ternyata sudah berada dibelakangnya."Mas bikin aku kaget!" Gerutu Mawar yang membuat lelaki itu hanya nyengir seperti kuda dan melangkah masuk ke kamar.Sontak saja apa yang dilakukan oleh Bambang membuat Mawar kembali merasa berdebar dan mengikuti langkah lelaki itu dari belakang.Mawar mengekori Bambang sampai lelaki itu tiba-tiba saja berhenti dan membuat tubuh Mawar menabraknya."Aw!" Pekik Ma
Semua orang terdiam termasuk Mawar yang masih mencerna baik-baik apa yang baru saja disampaikan oleh sang bunda. Hingga ia memekik cukup keras."Bunda!" Raut wajah Mawar memerah sebab merasa malu, hal yang paling ia takuti. Malahan di ucapkan oleh sang bunda, tentu saja semua orang yang berada di sana merasa geli hati.Mawar sampai merasa enggan untuk sekedar menatap wajah Bambang terlihat sedikit terkejut, tapi mana bisa dipungkiri. Jika mereka melakukan ijab kobul dan kembali tidur bersama lagi? Untuk tidak melakukan kewajiban tersebut."Apa kamu yakin, Dek? Tidak akan menyesali keputusanmu kali ini?' tanya Bambang memastikan membuat Mawar mengangguk cepat. "Ya, mana mungkin dia menyesal! Kalau dia yang ngotot mau rujuk lagi sama kamu, Bang!" Seru Arumi memebritahu membuat Mawar semakin merunduk, menahan prasaan malunya.Mendengar apa yang disampikan oleh Arumi membuat Bambang bergegas mendekati sang penghulu, Mawar yang sesekali mencuri pandangan ke arah Bambang nampak gugup."B
Tangan Mawar terasa begitu dingin, ia beberapa kali menatap ke arah ayah dan bundanya.Malam ini rencananya mereka akan melakukan ijab Kabul sesuai dengan apa yang sudah mereka sepakati."Kamu kenapa, War? Bukankah kamu sendiri yang ingin kembali rujuk dengan Bambang?" tanya Arumi yang melihat dengan jelas raut kegelisahan dari Mawar."Iya, Bun. Tapi, kenapa aku merasa gugup?" tanya Mawar memberitahukan apa yang saat ini tengah ia rasakan. Sangat berbeda dengan waktu dulu, ketika ia melajukan ijab Kabul pertama kalinya.Kali ini ia dihinggapi oleh perasaan gelisah yang tidak beralasan, entah dari bisikan setan yang terus menggoda. Atau karena ia takut menghadapi malam pertama bersama Bambang setelah sekian waktu mereka berpisah.Semakin memikirkan hal itu membuat Mawar berkeringat, ia berusaha mengatur nafasnya yang tiba-tiba terasa sesak."Kalian sudah siap?" tanya Arman yang tiba-tiba saja muncul membuat jantung Mawar semakin berdetak dengan kencang.Ia kembali menoleh ke arah sang
Tidak ada yang namanya penyesalan di awal, penyesalan selalu datang diakhir. Jika di awal, itu bukan namanya penyesalan. Tapi, pencoblosan.Mau tidak mau sekalipun, Bambang harus mau. Sebab, ia harus bertanggung jawab atas kesalahan yang dulu pernah diperbuat kepada Mawar.Ditemani sang ibu, Bambang berangkat ke gedung pengadilan untuk memenuhi undangan dari Mawar."Kamu harus ikhlas, Bang."Bambang hanya menatap sekilas ke arah sang ibu, semenjak hidup mereka susah dan rumah terbakar. Ibunya kini sangat berubah, seolah sudah mendapatkan hidayah dari Tuhan.Di satu sisi Bambang sangat bersyukur atas apa yang menimpa hidup mereka, sebab begitu banyak pelajaran berharga yang bisa ia petik. Namun, disisi lain. Ia juga merasa sedih. Karena, rumah peninggalan almarhum sang bapak telah rata dengan tanah. Hanya tersisa beberapa abu dan arang saja."Aku sudah iklas, Bu. Aku yang salah," kata Bambang menerima apapun keputusan hakim nanti.Sekalipun perpisahan ini harus terjadi, setidaknya ia t