Pukul satu dini hari Bambang sudah dibangunkan oleh Budi dan diajak ke pasar, setelah kejadian kemarin membuat Bambang yang tidak terbiasa bangun sepagi itu pun berusaha mengumpulkan tekadnya.Ia ingin menganti piring dan mangkuk kaca yang dipecahkan Kirana, entah bagaimana gadis itu sampai membuat kegaduhan lalu menjatuhkan lemari tempat Budi menyusun piring serta mangku kaca.Karena merasa tidak enak hati dan ingin belajar lebih kepada Budi, guna menambah wawasannya tentang dunia luar yang selama ini belum pernah ia rasakan sebelumnya."Di, apakah aman meninggalkan ibu dan Kirana berduaan saja di rumah?" tanya Bambang yang kini duduk disamping Budi yang tengah menyetir mobil pickup. Di dalam hati Bambang timbul rasa cemas akan ibu dan adik perempuannya yang mereka tinggal di rumah berduaan saja.Budi hanya menatap sekilas tanpa berkomentar atas apa yang baru saja Bambang ucapkan membuat ia merasa semakin tidak tenang."Di, aku enggak enak hati ini," keluh Bambang."Enggak papa, Mas
"Jika Ibu tidak ingin makan? Enggak papa! Tapi, jangan menghina!" teriak Bambang.Deru nafas Bamabang terasa terpacu, sebenarnya ia tidak terbiasa ribut didepan rezeki. Akan tetapi, hatinya benar-benar kesal akan sikap sang ibu yang tidak pernah bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan.Berkali-kali ia mengelus dada, berusaha untuk bersabar menghadapi ibunya. Namun, Bambang tetap tidak bisa mengendalikan diri."Ibu tidak pernah bekerja! Jadi, Ibu tidak tahu bagaimana susahnya mendapatkan uang! Yang Ibu tahu hanya meminta, semenjak bapak hidup dulu. Sekarang masih sama!" Bambang sampai mengungkit sang bapak yang telah tiada seking geramnya kepada sang ibu yang kini menatap lekat wajahnya."Apa kamu ingin menjadi anak durhaka, Bang?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh sang ibu membuat Bamabang tersenyum kecil seraya menggeleng pelan tidak percaya dengan ancaman yang selalu wanita itu ucapkan jika disudutkan.Budi yang tidak ingin ikut campur bergegas menarik Kirana menjauh dari Bambang,
Beberapa minggu berlalu, semenjak kejadian tempo hari Herlina tidak pernah berani lagi untuk menentang permintaan Bambang.Wanita itu benar-benar takut akan kemarahan putranya tersebut dan hanya bisa menurut ketika Bambang meminta dirinya untuk berubah.Seperti saat ini, walaupun Herlina begitu jengkel. Akan tetapi, ia tidak bisa menolak permintaan Bamabang yang menyuruhnya menjadi buruh cuci."Kir! Apa kamu hanya diam saja? Hah!" bentak Herlina kesal ketika melihat anak gadisnya yang sedari tadi hanya menatap tumpukan cucian didepannya tanpa mau bergerak sama sekali.Benar-benar hal yang belum pernah Herlina lakukan selama ini, dulu ketika Bamabang masih bersama Mawar. Tentu saja semua pekerjaan Herlina limpahkan kepada sang menantu."Aku jijik, Bu!" kata Kirana dengan jujur seraya mendorong pelan satu bak penuh pakaian kotor yang entah siapa-siapa saja yang punya gadis itu tidak tahu.Semuanya terjadi sebab Budi yang memberikan ide untuk menjadikan Herlina dan Kirana sebagai buruh c
"Kirana!" pekik Herlina dengan geram serta mata melotot tajam ke arah Kirana yang mematung ditempatnya berdiri.Gadis itu tidak sengaja menjatuhkan piring kaca yang baru saja dibeli oleh Bambang untuk menganti piring Budi yang dipecahkan oleh Kirana tempo hari.Tangan Kirana gemetar menghadapi kemarahan sang ibu yang terlihat dari sorot matanya penuh dengan kilatan."Ada apa?" tanya Budi yang baru saja masuk dan melihat keadaan disana, sudah bisa ia tebak apa yang membuat sang ibu menjadi marah.Tanpa banyak berbicara, Budi memunguti serpihan kaca seraya sesekali melirik wajah sang adik yang terlihat pucat.Setelah itu Budi menaruh pecahan kaca tersebut ke dalam kantong plastik dan meletakkan ke tong sampah."Sudah selesai, jangan marah-marah lagi, Bu," ucap Budi dengan santai, kemudian menarik pelan pergelangan tangan sang adik untuk menjauh dari ibu mereka yang nampak masih begitu marah.Budi membawa Kirana duduk di halaman luar yang terdapat sebuah bangku terbuat dari kayu tepat be
Bambang hanya mampu terdiam seribu bahasa setelah mendengar ucapan Budi, ternyata dirinya begitu berharap bisa kembali kepada Mawar dan hidup bersama seperti dulu.Setelah cukup lama terdiam, Bambang pun memilih berlalu dan masuk ke kamar, mengunci diri seraya merenungi nasibnya.Tidak bisa ia pungkiri jika hatinya begitu besar mencintai Mawar, terlebih Bambang sangat mengenal wanita itu."Dek, maafkan Mas. Apa yang bisa Mas lakukan untuk menebus semua rasa sakit yang telah kamu rasakan selama ini?" Bambang berbicara dengan dirinya sendiri, seolah tidak ada tempat untuknya mengadukan rasa sesak di dalam dadanya.Semakin memikirkan Mawar membuat Bambang merasa semakin bersalah, tapi ia ingin merubah dan menebus kesalahannya itu.Namun, dengan cara apa ia bisa membuat Mawar kembali lagi ke dalam pelukannya? Ingin sekali ia pergi dan menemui wanita itu, akan tetapi hatinya belum siap jika harus mendapatkan penolakan dari Mawar nantinya."Mas," suara panggilan Budi mengalihkan pikiran Bam
Bambang terus didorong oleh Budi, hingga pada akhirnya ia pun mau mengikuti saran dari sang adik untuk pergi menemui Mawar.Di dalam hati Bambang penuh akan berbagai macam prasangka, terlebih ia sangat mengenal bunda dan ayahnya Mawar.Bagaimana nantinya ia bisa menghadapi kedua orangtuanya Mawar? Terlebih setelah kejadian waktu itu. Semakin memikirkan semuanya membuat Bambang semakin tidak tenang."Di, kamu ikut masuk enggak?" tanya Bambang yang merasa enggan untuk turun dari mobil pickup Budi.Keadaan malam yang dingin menambah perasaan gelisah Bambang tentang bagaiman nantinya tanggapan dari keluarga Mawar.Tentu saja sebagai seorang laki-laki, Bambang diselimuti perasaan tidak gentle. Jika hanya memikirkan Mawar tanpa menanyakan langsung tentang perasaan wanita itu terhadapnya."Apa perlu aku ikut, Mas?" tanya Budi yang merasa sungkan, sebab sudah bukan ranahnya untuk ikut campur semakin dalam pada masalah sang kakak."Ya, perlu, lah! Setidaknya temani aku," pinta Bambang dengan r
Bambang terdiam seribu bahasa, entah setan mana yang merasukinya sampai lupa akan tujuan ia ke sini.Beberapa kali ia menghembuskan nafas panjang, mencoba menetralkan perasaan dan gelisah didada yang semakin kian menggerogoti hatinya."Maafkan, Mas, Dek. Sebenarnya, Mas ke sini ingin menemuimu," kata Bambang dengan jujur.Mawar nampak mengerutkan alisnya, kemudian mempertegas pernyataan Bambang barusan."Untuk apa, Mas mencari aku?" tanya Mawar.Bambang agak terkejut dengan pernyataan Mawar, akan tetapi hatinya sudah bertekad untuk menebus kesalahannya."Mas mau minta maaf, Dek. Mas bersalah," kata Bambang dengan menunduk dalam. Dirinya benar-benar menyesali perbuatan yang pernah ia lakukan dan keluarganya yang membuat Mawar terluka.Cukup sunyi menemani mereka, seolah tengah berperang dengan pikiran masing-masing sampai Budi angkat bicara."Mohon maaf, Mbak. Apakah orang tuanya ada di rumah?" Mawar menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Budi barusan, "emangnya kenapa?" tan
"Maksudmu apa? Mawar g1l4, gitu?" tanya Bambang.Budi hanya terhenyak mendengar ucapan Bambang dan meminta agar sang kakak menenangkan diri, agar ia bisa menjelaskan maksud yang sebenarnya."Coba Mas tenang dulu, ini yang buat aku enggak suka dari Mas. Terlalu cepat menyimpulkan tanpa menyelidikinya terlebih dahulu, coba tabayun dulu sebelum melakukan sesuatu."Bambang terdiam setelah mendengar ceramah Budi dan mengusap dadanya yang tiba-tiba saja berdetak cepat, bahkan terasa sesak.Setelah merasa agak mendingan, ia pun meminta Budi menjelaskan maksud dari ucapan adiknya barusan."Jadi, bagaimana maksudmu?""Begini, Mas. Ketika tadi Mas keluar, aku sempat berbincang dengan Mbak Mawar dan menyinggung masalah Mas yang ingin rujuk dengan Mbak Mawar. Tapi, aku enggak menyangka. Jika keadaannya Mbak Mawar malahan depresi seraya meraung-raung," jelas Budi memberitahu apa yang sebenarnya terjadi tadi.Bambang masih terdiam, sebab benar-benar tidak tahu akan kejadian tersebut. Memang benar,
Mawar mengerjap beberapa saat, ketika sebuah cahaya masuk dan menerpa wajahnya. Ia memutar bola matanya seraya menatap setiap sudut kamarnya.Ia pun menghela nafas pelan, kemudian meraih ponsel miliknya yang terletak di atas naskas untuk melihat jam berapa kah saat ini."Hufff, untuk hari ini aku enggak bekerja," gumamnya bernafas lega, kemudian dengan malas ia beranjak dari ranjang dan menuju ke kamar mandi.Menguyur seluruh tubuhnya dengan air dan memubuhi sabun disetiap lengkuknya, setelah selesai dengan rutinitas mandi. Mawar pun membawa langkahnya menuju ke lemari dan bergegas keluar dari kamar.Baru saja ia ingin masuk ke dapur, tiba-tiba saja indra penciumannya sudah disuguhkan dengan aroma sedap yang menggugah selera.Terlihat dari pintu sebuah punggung tegap dengan celemek tengah berada di depan kompor dan tidak berapa lama sang pemilik punggung itupun memutar tubuhnya."Selamat pagi, Dek," sapa Rendy seraya menghidangkan sepiring nasi goreng yang baru saja dimasak dengan tel
"Dek, kamu oke?" tanya Rendy seraya menakup kedua wajah Mawar yang nampak pucat.Tentu saja hal ini membuat Rendy tersiksa, ia begitu kesal akan kedatangan Bambang dan adiknya yang hanya membuat Mawar kembali terluka.Bahkan, di dalam hatinya Rendy tidak akan membiarkan kedua lelaki itu sampai menginjakkan kaki mereka ke rumah ini.Andaikan saja Mawar tidak memintanya untuk berpura-pura baik kepada Bambang, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi."Dek," panggil Rendy lagi, akan tetapi Mawar masih belum bisa meresponnya.Rendy merasa frustasi akan keadaan Mawar yang demikian, dengan penuh perhatian ia pun menuntun wanita yang amat dicintainya masuk ke kamar.Ia merebahkan tubuh Mawar di atas ranjang dan kemudian menutupinya dengan selimut, setelah itu Rendy berlalu keluar dari kamar dan membiarkan Mawar beristirahat setelah memastikan wanita itu terlelap.Rendy segera meraih ponselnya dan memainkan benda pipih itu untuk menelpon seseorang."Hallo, aku ingin kamu! Buat hidup Bambang
"Maksudmu apa? Mawar g1l4, gitu?" tanya Bambang.Budi hanya terhenyak mendengar ucapan Bambang dan meminta agar sang kakak menenangkan diri, agar ia bisa menjelaskan maksud yang sebenarnya."Coba Mas tenang dulu, ini yang buat aku enggak suka dari Mas. Terlalu cepat menyimpulkan tanpa menyelidikinya terlebih dahulu, coba tabayun dulu sebelum melakukan sesuatu."Bambang terdiam setelah mendengar ceramah Budi dan mengusap dadanya yang tiba-tiba saja berdetak cepat, bahkan terasa sesak.Setelah merasa agak mendingan, ia pun meminta Budi menjelaskan maksud dari ucapan adiknya barusan."Jadi, bagaimana maksudmu?""Begini, Mas. Ketika tadi Mas keluar, aku sempat berbincang dengan Mbak Mawar dan menyinggung masalah Mas yang ingin rujuk dengan Mbak Mawar. Tapi, aku enggak menyangka. Jika keadaannya Mbak Mawar malahan depresi seraya meraung-raung," jelas Budi memberitahu apa yang sebenarnya terjadi tadi.Bambang masih terdiam, sebab benar-benar tidak tahu akan kejadian tersebut. Memang benar,
Bambang terdiam seribu bahasa, entah setan mana yang merasukinya sampai lupa akan tujuan ia ke sini.Beberapa kali ia menghembuskan nafas panjang, mencoba menetralkan perasaan dan gelisah didada yang semakin kian menggerogoti hatinya."Maafkan, Mas, Dek. Sebenarnya, Mas ke sini ingin menemuimu," kata Bambang dengan jujur.Mawar nampak mengerutkan alisnya, kemudian mempertegas pernyataan Bambang barusan."Untuk apa, Mas mencari aku?" tanya Mawar.Bambang agak terkejut dengan pernyataan Mawar, akan tetapi hatinya sudah bertekad untuk menebus kesalahannya."Mas mau minta maaf, Dek. Mas bersalah," kata Bambang dengan menunduk dalam. Dirinya benar-benar menyesali perbuatan yang pernah ia lakukan dan keluarganya yang membuat Mawar terluka.Cukup sunyi menemani mereka, seolah tengah berperang dengan pikiran masing-masing sampai Budi angkat bicara."Mohon maaf, Mbak. Apakah orang tuanya ada di rumah?" Mawar menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Budi barusan, "emangnya kenapa?" tan
Bambang terus didorong oleh Budi, hingga pada akhirnya ia pun mau mengikuti saran dari sang adik untuk pergi menemui Mawar.Di dalam hati Bambang penuh akan berbagai macam prasangka, terlebih ia sangat mengenal bunda dan ayahnya Mawar.Bagaimana nantinya ia bisa menghadapi kedua orangtuanya Mawar? Terlebih setelah kejadian waktu itu. Semakin memikirkan semuanya membuat Bambang semakin tidak tenang."Di, kamu ikut masuk enggak?" tanya Bambang yang merasa enggan untuk turun dari mobil pickup Budi.Keadaan malam yang dingin menambah perasaan gelisah Bambang tentang bagaiman nantinya tanggapan dari keluarga Mawar.Tentu saja sebagai seorang laki-laki, Bambang diselimuti perasaan tidak gentle. Jika hanya memikirkan Mawar tanpa menanyakan langsung tentang perasaan wanita itu terhadapnya."Apa perlu aku ikut, Mas?" tanya Budi yang merasa sungkan, sebab sudah bukan ranahnya untuk ikut campur semakin dalam pada masalah sang kakak."Ya, perlu, lah! Setidaknya temani aku," pinta Bambang dengan r
Bambang hanya mampu terdiam seribu bahasa setelah mendengar ucapan Budi, ternyata dirinya begitu berharap bisa kembali kepada Mawar dan hidup bersama seperti dulu.Setelah cukup lama terdiam, Bambang pun memilih berlalu dan masuk ke kamar, mengunci diri seraya merenungi nasibnya.Tidak bisa ia pungkiri jika hatinya begitu besar mencintai Mawar, terlebih Bambang sangat mengenal wanita itu."Dek, maafkan Mas. Apa yang bisa Mas lakukan untuk menebus semua rasa sakit yang telah kamu rasakan selama ini?" Bambang berbicara dengan dirinya sendiri, seolah tidak ada tempat untuknya mengadukan rasa sesak di dalam dadanya.Semakin memikirkan Mawar membuat Bambang merasa semakin bersalah, tapi ia ingin merubah dan menebus kesalahannya itu.Namun, dengan cara apa ia bisa membuat Mawar kembali lagi ke dalam pelukannya? Ingin sekali ia pergi dan menemui wanita itu, akan tetapi hatinya belum siap jika harus mendapatkan penolakan dari Mawar nantinya."Mas," suara panggilan Budi mengalihkan pikiran Bam
"Kirana!" pekik Herlina dengan geram serta mata melotot tajam ke arah Kirana yang mematung ditempatnya berdiri.Gadis itu tidak sengaja menjatuhkan piring kaca yang baru saja dibeli oleh Bambang untuk menganti piring Budi yang dipecahkan oleh Kirana tempo hari.Tangan Kirana gemetar menghadapi kemarahan sang ibu yang terlihat dari sorot matanya penuh dengan kilatan."Ada apa?" tanya Budi yang baru saja masuk dan melihat keadaan disana, sudah bisa ia tebak apa yang membuat sang ibu menjadi marah.Tanpa banyak berbicara, Budi memunguti serpihan kaca seraya sesekali melirik wajah sang adik yang terlihat pucat.Setelah itu Budi menaruh pecahan kaca tersebut ke dalam kantong plastik dan meletakkan ke tong sampah."Sudah selesai, jangan marah-marah lagi, Bu," ucap Budi dengan santai, kemudian menarik pelan pergelangan tangan sang adik untuk menjauh dari ibu mereka yang nampak masih begitu marah.Budi membawa Kirana duduk di halaman luar yang terdapat sebuah bangku terbuat dari kayu tepat be
Beberapa minggu berlalu, semenjak kejadian tempo hari Herlina tidak pernah berani lagi untuk menentang permintaan Bambang.Wanita itu benar-benar takut akan kemarahan putranya tersebut dan hanya bisa menurut ketika Bambang meminta dirinya untuk berubah.Seperti saat ini, walaupun Herlina begitu jengkel. Akan tetapi, ia tidak bisa menolak permintaan Bamabang yang menyuruhnya menjadi buruh cuci."Kir! Apa kamu hanya diam saja? Hah!" bentak Herlina kesal ketika melihat anak gadisnya yang sedari tadi hanya menatap tumpukan cucian didepannya tanpa mau bergerak sama sekali.Benar-benar hal yang belum pernah Herlina lakukan selama ini, dulu ketika Bamabang masih bersama Mawar. Tentu saja semua pekerjaan Herlina limpahkan kepada sang menantu."Aku jijik, Bu!" kata Kirana dengan jujur seraya mendorong pelan satu bak penuh pakaian kotor yang entah siapa-siapa saja yang punya gadis itu tidak tahu.Semuanya terjadi sebab Budi yang memberikan ide untuk menjadikan Herlina dan Kirana sebagai buruh c
"Jika Ibu tidak ingin makan? Enggak papa! Tapi, jangan menghina!" teriak Bambang.Deru nafas Bamabang terasa terpacu, sebenarnya ia tidak terbiasa ribut didepan rezeki. Akan tetapi, hatinya benar-benar kesal akan sikap sang ibu yang tidak pernah bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan.Berkali-kali ia mengelus dada, berusaha untuk bersabar menghadapi ibunya. Namun, Bambang tetap tidak bisa mengendalikan diri."Ibu tidak pernah bekerja! Jadi, Ibu tidak tahu bagaimana susahnya mendapatkan uang! Yang Ibu tahu hanya meminta, semenjak bapak hidup dulu. Sekarang masih sama!" Bambang sampai mengungkit sang bapak yang telah tiada seking geramnya kepada sang ibu yang kini menatap lekat wajahnya."Apa kamu ingin menjadi anak durhaka, Bang?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh sang ibu membuat Bamabang tersenyum kecil seraya menggeleng pelan tidak percaya dengan ancaman yang selalu wanita itu ucapkan jika disudutkan.Budi yang tidak ingin ikut campur bergegas menarik Kirana menjauh dari Bambang,