Aline seketika membeku. Ia lihat betul wajah Adam mendekat. Bahkan Aline sudah bisa merasakan hembusan napas dari sang suami. Kenapa Aline tidak bergerak? Menjauhkan wajah misalnya, kenapa hanya terdiam? Ia masih hendak mendebat dirinya sendiri ketika tiba-tiba, ia merasakan benda lembut nanti kenyal itu membungkam mulutnya dan meledakkan sesuatu yang ada dalam dirinya. Benci itu .... Kecurigaan itu .... Rasa marah dan kecewa yang beberapa hari ini menggerogoti hati Aline mendadak seperti lenyap entah kemana. Aline terbungkam, ia pasrah dan terdiam ketika bibir itu menyentuh dan menghancurkan semua tembok yang semula ia bangun demi menjaga jarak dengan lelaki itu bahkan dalam pikiran sekalipun. Adam menciumnya dengan begitu lembut, penuh bergairah yang sukses ikut memetikkan sesuatu di dalam diri Aline. Aline baru mulai sepenuhnya bisa menikmati sentuhan itu ketika perlahan-lahan Adam melepaskan pagutan bibir mereka. "Jangan pergi dari sisiku, Sayang. Kumohon!" bisik Adam lirih d
Aline tertegun, sorot mata itu terlihat sangat menginginkan dirinya. Jujur Aline pun sama. Ia begitu merindukan sosok ini. Dan penjelasan Adam perihal apa hubungan dia dengan Rosa dan Reval, jujur begitu melegakan hati Aline. Walaupun setelah ini, diam-diam tentu Aline harus mencari tahu sendiri tentang semua ini. "Jangan malam ini, Mas. Aku nggak bisa." tolak Aline halus. Ia ingin lihat, apa benar Adam bukan tipe pemaksa? Apakah dia akan menerima dengan lapang dada penolakan Aline? Atau dia malah emosi dan membuka sisi lain dirinya yang tidak Aline ketahui? Kita akan lihat nanti. Adam tersenyum, ia menghela napas panjang. Mendekatkan wajahnya lalu mengecup bibir Aline, hanya sebentar. Adam menarik kembali wajahnya lalu menatap Aline dengan saksama. "It's okay. Aku ngerti." ia segera menyingkir dari atas tubuh Aline, merebahkan tubuh di sisi Aline dan meraih tubuh itu ke dalam pelukannya. "Kalau begitu, tidur meluk kamu boleh, kan?"Mau tidak mau Aline tersenyum, ia menganggukkan
Aline terkesiap ketika tubuh Adam kembali menindihnya. Mata mereka saling pandang, dan sedetik kemudian mereka tertawa lirih bersamaan. "Nggak akan ada yang mengetuk pintu, kan?" tanya Adam tanpa memalingkan wajah. "Aman. Kecuali kalo ada hal mendesak dan penting sekali, pasti akan ada yang mengetuk." jawab Aline santai, ia merasakan betul, suhu tubuh Adam sudah meningkat. Tawa Adam kembali pecah, namun hanya sebentar karena Adam lantas meraup dan melumat bibir Aline dengan penuh semangat. Tangannya mencengkeram tangan Aline, mengunci jemari itu di dalam jemarinya. Seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas, bukan? Maka dari itu Adam sama sekali tidak berhenti melumat dan menikmati bibir Aline yang pasrah dan bahkan beberapa kali membalas pagutan bibir Adam. Tidak ada obrolan apapun, bahkan ketika pagutan bibir mereka terlepas. Antara Adam dan Aline seolah seperti berkomunikasi dengan tatapan mata. Adam mulai perlahan melakukan apa yang ingin dia lakukan. Mungkin sesuatu yang Alin
"Mas tapi nggak usah segitunya juga ih!" tentu Aline menolak. Dikira enak kemana-mana ada yang mengawal begitu? Dia suka kebebasan! "Nggak usah begitu gimana? Ini semua demi memastikan keselamatan kamu, Sayang!" tangan Adam mencengkeram bahu sang istri, menatap Aline dengan tatapan yang sangat serius. Aline mendesah, ia balas menatap Adam dengan tatapan protes dan tidak setuju. Bisa jadi orang itu sudah sembuh atau bahkan sudah lupa dengan apa yang terjadi. Untuk apa terlalu takut? "Mas, aku jarang keluar rumah. Jadi buat apa sih pakai cari supir sama pengawal?" paling Aline hanya pergi ke rumah mama, apakah juga perlu dikawal? Berasa anak presiden saja! Sudah helaan napas kasar terdengar. Wajah yang tadi memancarkan kebahagiaan dan rasa puas yang teramat sangat, kini berubah gusar dan frustasi. Aline tersenyum, melingkarkan tangan ke tubuh sang suami dan mendekapnya erat-erat. "Sudahlah, aku janji akan selalu waspada dan hati-hati kalo kemana-mana. Jadi tolong ... jangan terlalu
Adam tersenyum begitu ia keluar dari kamar mandi. Dilihatnya tubuh polos sang istri masih terbaring tanpa busana di atas ranjang. Kalau tidak ingat mereka tengah berada di rumah Murti dan harus segera bertolak untu kembali pulang, rasanya Adam ingin sekali lagi memacu tubuh itu sebagai kompensasi karena Aline sudah main pergi begitu saja meninggalkan dirinya."Sayang ... cepet mandi gih. Apa mau aku mandiin?" sebuah pertanyaan yang kontan membuat sosok itu bangkit dan menatapnya dengan tatapan kesal."Udah! Kok jadi terus-terusan!" protes Aline lalu bangkit dan melangkah masuk ke kamar mandi.Adam terkekeh, ia segera memakai pakaian bersih yang tadi pegawai Murti antarkan ke depan kamar. Untung sekali baju ini muat. Kalau tidak Adam tidak tahu harus pakai baju apa selama dia di sini.Selesai berpakaian, Adam lantas melangkah keluar kamar. Di saat yang sama, Asep sudah muncul dan berdiri di depan pintu."Mas Adam, ditunggu Eyang sama yang lain di meja makan." gumamnya sopan."Baik kalo
Suasana mendadak hening. Bahkan denting sendok yang beradu dengan cangkir pun terhenti. Semua mata fokus pada Aline. Wajah itu nampak sungguh-sungguh, tidak ada Kebohongan atau nada bercanda baik dari suara maupun ekspresinya. Budi menghela napas panjang, menyesap kopi dalam cangkir lalu kembali meletakkan cangkir pada tempatnya. "Kamu yakin, Lin?" tanya Budi tanpa mengalihkan pandangan dari sang menantu. "Tentu. Kebetulan dulu Aline kuliah juga ilmunya ada sedikit yang bisa dipakai, Pa. Aline nggak keberatan masuk jurusan perhotelan. Intinya nggak melenceng jauh. Beda sama mas Adam."Budi masih meneliti wajah itu. Hingga kemudian kembali helaan napas terdengar darinya. Membuat suasana makin tegang dan mendebarkan."Biar papa pikir dulu, Lin. Yang jelas papa terima ide dari kamu ini. Tapi papa butuh waktu untuk memutuskan." ujarnya kemudian.Aline mengangguk pelan, wajahnya nampak lega bukan main. Meskipun Budi belum memberikan jawaban dan persetujuan, setidaknya ia sudah menjabark
Beni berada satu mobil bersama Budi. Mereka ditemani satu orang supir, sementara orang-orang Budi yang lain berada di depan membawa mobil Aline.Ada sedikit perasaan tidak enak Beni terhadap besannya ini. Ini berhubungan dengan permintaan yang Aline minta pagi tadi."Pak ... sebelumnya saya ingin meminta maaf kalau kesannya Aline lancang karena su--""Ah tidak! Sama sekali tidak!" potong Budi cepat. "Saya malah benar-benar tersentuh dengan bagaimana Aline mengorbankan diri demi suaminya. Saya bisa lihat dari sorot mata Aline kalo dia benar-benar tulus melakukan itu demi Adam, Pak."Ada sedikit kelegaan di dalam hati Beni. Ia takut jika Budi mengira ia memerintahkan Aline melakukan itu dan bertujuan untuk menguasai aset Budi sekeluarga, tapi ternyata pemikiran Budi lebih luas dan bijaksana."Sepertinya keputusan kita menikahkan mereka itu tidak salah." desis Beni dengan senyum merekah."Benar. Kenapa sejak dulu tidak Aline saja yang saya lamar buat Adam? Kan Aleta tidak harus sampai be
"Ya ampun mbak Aline kemana aja sih, Mbak? Mak ikut khawatir sama mbak Aline!" Mak Surati kontan histeris begitu melihat Aline muncul di depan pintu bersama Adam. Aline tersenyum, ia lantas mendekap wanita paruh baya yang kontan bercucuran air mata itu. "Lagi ngambek sama mas Adam, Mak. Maaf kalo udah bikin Mak jadi khawatir." desis Aline sambil mengusap-usap punggung mak Surati. "Wealah, Mbak ... jangan ngambek-ngambek lagi ya, Mbak. Ikut kepikiran Mak dari rumah." Aline terkekeh, "Ya kalo itu tergantung mas Adam sih, Mak. Kalo cari perkara lagi ya Aline ngambek." jawabnya sambil melirik sang suami. "Iya deh iya ... nggak cari gara-gara lagi kok, serius!" desis Adam yang sadar tengah dilirik sang istri dengan tatapan tidak menyenangkan. Mak Surati tertawa, ia lantas membukakan pintu untuk tuan dan nyonya rumah tersebut. Entah apa yang kemarin terjadi di antara sepasangan suami-istri itu, dia sendiri juga tidak tahu. Yang jelas nyonya rumah ini sudah kembali dan itu sudah sangat
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di
“Jadi gimana?” cecar Irfan begitu Hendra duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Irfan.Nampak Hendra menghela napas panjang, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Hendra nampak fokus pada benda itu beberapa saat sampai kemudian ia menyodorkan ponselnya ke depan Irfan.Dengan segera Irfan meraih ponsel yang disodorkan padanya. Mata Irfan menyipit membaca rentetan data yang ada di sana, hingga kemudian mata itu membelalak ketika membaca nama orang tua dari lelaki yang hendak menikah dengan putri rekan bisnis Irfan.“Ye-Yeni?” tangan Irfan bergetar hebat, ia mengankat wajah, menatap Hendra yang nampak heran melihat perubahan pada wajah Irfan.“Betul, Pak. Itu ibu kandung dari si Kelvin.” jawab Hendra yang membuat Irfan segera menyandarkan tubuh di kursi.Otaknya mendadak blank. Jadi benar Kelvin adalah anak dari Yeni? Tapi belum tentu itu anak Irfan, kan? Bisa saja Kelvin adalah anak Yeni dengan suaminya, ada nama laki-laki yang tercatat sebagai ayah dari Kelvin d
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny