"Eyang nggak ngasih tau siapa-siapa loh, Lin!"Aline yang tengah berdiri di balkon kontan menoleh, menatap Murti yang muncul dari dalam rumah. Aline tersenyum, ia menganggukkan kepala tanda mengerti. "Aline ngerti, Yang. Tadi papa Budi bilang kalo sebenarnya dia kirim anak buahnya ngawasin rumah Eyang. Mungkin dari anak buahnya itu lantas ketahuan kalo Aline di sini." jelas Aline lalu melangkah mendekati tempat di mana Murti duduk. "Yowis, intinya jelas bukan Eyang kan yang kasih tau posisi kamu di sini?"Aline kembali mengangguk, tersenyum manis lalu menyandarkan kepala di bahu Murti. Murti tersenyum, mengelus puncak kepala Aline dengan lembut. "Bener bukan anak Adam to? Feeling Eyang tuh sebenarnya dari kemarin juga bilang gitu. Cuma nggak ada bukti." Murti bisa sedikit bernapas legas, cucunya ini tidak jadi cerai, kan? "Entah. Nunggu mas Adam dulu deh, Yang!" balas Aline lirih. Murti tersenyum, "Masuk dulu aja yuk, anginnya agak gede, bawa debu."Aline mengangkat kepalanya, me
"Yang ..."Murti yang hendak menyusul Budi dan Beni di luar rumah kontan tersenyum ketika mendapati sosok itu muncul dari balik pintu. Hatinya lega luar biasa, akhirnya datang juga orang yang sudah sejak tadi dinanti-nanti. "Dari rumah sakit langsung ke sini?" Murti menerima jabat tangan Adam, cucu menantunya itu dengan penuh hormat mencium punggung telapak tangannya. "Iya Eyang, Aline ada, kan, Yang?" tanya Adam dengan raut wajah tidak sabar. "Naiklah. Kamarnya paling ujung. Dia udah nungguin kamu dari tadi." bisik Murti yang tentu tidak lupa dengan bagaimana kegalauan Aline selama di sini. Adam mengangguk, ia langsung menuju ke tangga tanpa banyak bicara. Murti kembali tersenyum, ia melangkah menuju pintu depan guna menyusul dua lelaki itu. Tentang apa yang mau dibicarakan Adam dan Aline? Biar itu jadi urusan mereka. Yang jelas Murti mau semua tetap baik-baik saja. Pintu itu benar ada di paling ujung. Langkah Adam sedikit melambat, jantungnya berdegup kencang. Apa yang akan Ali
"Aku nggak tau harus jawab apa!" gumam Aline akhirnya. Ia kembali memalingkan wajah, enggan menatap wajah lelah dan syok Adam yang masih tetap berada di tempatnya. Adam mendesah, ia pun nampak menundukkan wajah sambil beberapa kali menghirup udara banyak-banyak. Aline meliriknya sekilas sambil menyeka air mata yang menitik dari mata. Ia pun melakukan hal yang sama, menyusut air mata dengan jemari. "Aku capek, Mas. Aku mau istirahat. Bisa nggak ganggu aku dulu?"Kini wajah Adam terangkat, menatap Aline dengan tatapan kecewa dan putus asa. Adam lantas menganggukkan kepala. Bangkit dari posisinya lalu berdiri di depan Aline yang masih terduduk di ranjang. "Aku ngerti kalo ini masih sulit buat kamu terima. Tapi demi Allah, Lin ... bagiku kamu cuma satu-satunya! Aku nggak pernah ada hubungan dengan wanita lain, siapapun itu!" jelas Adam masih berusaha meyakinkan. Dia dan Rosa murni hanya partner untuk menjaga dan membahagiakan Reval, tidak lebih dari itu. "Aku pusing. Mau tidur. Mas bi
Meja makan penuh dengan banyak masakan khas Jogja, namun di mata Adam semua ini sama sekali tidak menggairahkan. Tidak membuatnya berselera sama sekali. Kalau saja perutnya tidak seperih ini, agaknya Adam lebih memilih untuk tidak makan dan bersimpuh di depan sang istri untuk mengemis maaf. Ia tengah menyuapkan nasi dengan malas, ketika tiba-tiba suara derit kursi beradu dengan lantai mengejutkan Adam. "Makan yang kenyang, terus istirahat. Susul istrimu di kamar."Adam tertegun, sosok itu duduk dengan begitu tenang dan tak lama setelah dia duduk, ada seorang pegawai di rumah itu yang langsung menyodorkan secangkir teh hangat dengan sepiring kecil gula batu. "Tapi, Yang, Al--""Nggak baik suami-istri satu rumah tapi tidurnya misah. Sudahlah ... cepat habiskan makananmu, kau baru saja habis dari perjalanan jauh, kan?"Adam tersenyum getir, apakah dia nanti akan diusir Aline macam tadi? Tapi tidak ada salahnya mencoba. Dia masih harus berusaha keras meyakinkan sang istri tentang semua
Aline seketika membeku. Ia lihat betul wajah Adam mendekat. Bahkan Aline sudah bisa merasakan hembusan napas dari sang suami. Kenapa Aline tidak bergerak? Menjauhkan wajah misalnya, kenapa hanya terdiam? Ia masih hendak mendebat dirinya sendiri ketika tiba-tiba, ia merasakan benda lembut nanti kenyal itu membungkam mulutnya dan meledakkan sesuatu yang ada dalam dirinya. Benci itu .... Kecurigaan itu .... Rasa marah dan kecewa yang beberapa hari ini menggerogoti hati Aline mendadak seperti lenyap entah kemana. Aline terbungkam, ia pasrah dan terdiam ketika bibir itu menyentuh dan menghancurkan semua tembok yang semula ia bangun demi menjaga jarak dengan lelaki itu bahkan dalam pikiran sekalipun. Adam menciumnya dengan begitu lembut, penuh bergairah yang sukses ikut memetikkan sesuatu di dalam diri Aline. Aline baru mulai sepenuhnya bisa menikmati sentuhan itu ketika perlahan-lahan Adam melepaskan pagutan bibir mereka. "Jangan pergi dari sisiku, Sayang. Kumohon!" bisik Adam lirih d
Aline tertegun, sorot mata itu terlihat sangat menginginkan dirinya. Jujur Aline pun sama. Ia begitu merindukan sosok ini. Dan penjelasan Adam perihal apa hubungan dia dengan Rosa dan Reval, jujur begitu melegakan hati Aline. Walaupun setelah ini, diam-diam tentu Aline harus mencari tahu sendiri tentang semua ini. "Jangan malam ini, Mas. Aku nggak bisa." tolak Aline halus. Ia ingin lihat, apa benar Adam bukan tipe pemaksa? Apakah dia akan menerima dengan lapang dada penolakan Aline? Atau dia malah emosi dan membuka sisi lain dirinya yang tidak Aline ketahui? Kita akan lihat nanti. Adam tersenyum, ia menghela napas panjang. Mendekatkan wajahnya lalu mengecup bibir Aline, hanya sebentar. Adam menarik kembali wajahnya lalu menatap Aline dengan saksama. "It's okay. Aku ngerti." ia segera menyingkir dari atas tubuh Aline, merebahkan tubuh di sisi Aline dan meraih tubuh itu ke dalam pelukannya. "Kalau begitu, tidur meluk kamu boleh, kan?"Mau tidak mau Aline tersenyum, ia menganggukkan
Aline terkesiap ketika tubuh Adam kembali menindihnya. Mata mereka saling pandang, dan sedetik kemudian mereka tertawa lirih bersamaan. "Nggak akan ada yang mengetuk pintu, kan?" tanya Adam tanpa memalingkan wajah. "Aman. Kecuali kalo ada hal mendesak dan penting sekali, pasti akan ada yang mengetuk." jawab Aline santai, ia merasakan betul, suhu tubuh Adam sudah meningkat. Tawa Adam kembali pecah, namun hanya sebentar karena Adam lantas meraup dan melumat bibir Aline dengan penuh semangat. Tangannya mencengkeram tangan Aline, mengunci jemari itu di dalam jemarinya. Seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas, bukan? Maka dari itu Adam sama sekali tidak berhenti melumat dan menikmati bibir Aline yang pasrah dan bahkan beberapa kali membalas pagutan bibir Adam. Tidak ada obrolan apapun, bahkan ketika pagutan bibir mereka terlepas. Antara Adam dan Aline seolah seperti berkomunikasi dengan tatapan mata. Adam mulai perlahan melakukan apa yang ingin dia lakukan. Mungkin sesuatu yang Alin
"Mas tapi nggak usah segitunya juga ih!" tentu Aline menolak. Dikira enak kemana-mana ada yang mengawal begitu? Dia suka kebebasan! "Nggak usah begitu gimana? Ini semua demi memastikan keselamatan kamu, Sayang!" tangan Adam mencengkeram bahu sang istri, menatap Aline dengan tatapan yang sangat serius. Aline mendesah, ia balas menatap Adam dengan tatapan protes dan tidak setuju. Bisa jadi orang itu sudah sembuh atau bahkan sudah lupa dengan apa yang terjadi. Untuk apa terlalu takut? "Mas, aku jarang keluar rumah. Jadi buat apa sih pakai cari supir sama pengawal?" paling Aline hanya pergi ke rumah mama, apakah juga perlu dikawal? Berasa anak presiden saja! Sudah helaan napas kasar terdengar. Wajah yang tadi memancarkan kebahagiaan dan rasa puas yang teramat sangat, kini berubah gusar dan frustasi. Aline tersenyum, melingkarkan tangan ke tubuh sang suami dan mendekapnya erat-erat. "Sudahlah, aku janji akan selalu waspada dan hati-hati kalo kemana-mana. Jadi tolong ... jangan terlalu
"Kamu serius?"Bukan pertanyaan lain yang Kelvin lemparkan, ia langsung mencecar Aleta begitu mereka bertemu di depan kantor Aleta. Tidak salah kalau sampai Kelvin masih tidak percaya dengan keputusan yang Aleta buat, pasalnya sejak dulu Aleta selalu menolak permintaan Beni untuk bergabung di perusahaan keluarga dan sekarang? "Bisa kita pending nanti untuk interview-nya? Bantuin dulu dong!" Aleta langsung menarik tangan Kelvin masuk ke gedung. Kelvin pun menurut saja, ia membiarkan Aleta membawanya masuk ke dalam gedung, melangkah ke sofa yang ada di loby gedung. "Tolong bantuin bawa ke mobil, ya?" pinta Aleta dengan seulas senyum manis. Sejenak Kelvin tertegun, ada dua kardus di sana. Kelvin mengalihkan pandangan, menatap Aleta yang masih mengukir senyum manis di wajah. "Ka-kamu beneran resign?" tanya Kelvin seolah masih tidak percaya. Kini tawa Aleta tergelak, ia mencubit gemas pipi Kelvin, membuat Kelvin memekik antara terkejut dan kesakitan dibuatnya. "Kamu pikir aku tadi h
"Vin, kamu handle proyek yang ini, ya?"Berkas-berkas itu dihantarkan Beni secara langsung ke mejanya, membuat Kelvin segera meraih dan membacanya dengan saksama. Nilai proyek ini sangat jauh di bawah proyek dengan Irfan, tapi bagi Kelvin, itu bukan masalah yang serius. Selama ia tidak harus sering bertemu dengan lelaki itu, semua lebih dari cukup. "Deal! Kelvin sangat berterimakasih sama Papa." ucap Kelvin sembari tersenyum. Beni balas tersenyum, ia menepuk bahu Kelvin dengan lembut."Sebenarnya Papa ingin kamu tetap di sana, Vin. Nilai proyek dan prospek ke depannya sangat menjanjikan untuk kariermu, tapi sayang...."Kelvin tersenyum, "Tidak apa, Pa. Bukankah ini yang Kelvin minta? Setidaknya keputusan ini tidak membuat Aleta terus menerus khawatir."Beni kembali tersenyum, setuju dengan apa yang Kelvin katakan barusan. Misi visi mereka sama, yaitu membuat Aleta bahagia dan itu sudah mutlak. "Baiklah kalau begitu, Vin. Kamu bisa pelajari dulu untuk proyek baru mu, kalau ada pert
"Ke kantor pak Beni, Pak?"Hendra terkejut, hari ini tidak ada jadwal meeting dengan perusahaan Beni, lantas untuk apa Irfan meminta untuk diantarkan ke sana. "Iya, kesana. Emangnya tadi saya bilang kita mau kemana, Hen?"Kalimat tanya yang dilemparkan balik pada Hendra adalah sebuah penegasan bahwa Irfan tidak main-main dengan ucapannya. Hendra menghela napas panjang, ia mengangguk pelan sembari mempersilahkan Irfan melangkah lebih dulu. Hendra kembali teringat pada sosok Kelvin. Apakah Irfan minta diantar ke sana hanya agar bisa melihat Kelvin? Hendra terus memunculkan siluet wajah Kelvin dalam pikiran, memang kalau diperhatikan, ada beberapa bagian wajah yang mirip dengan Irfan. Kalau hanya sekilas, tidak akan ditemukan kemiripan itu, namun kalau diperhatikan dengan saksama, ada wajah Irfan di sana. "Kok ngelamun, Hen? Kenapa?"Pertanyaan itu kontan membuat Hendra tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati mata itu dengan memperhatikan dirinya. "Saya teringat putra Bapak, Pak
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di
“Jadi gimana?” cecar Irfan begitu Hendra duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Irfan.Nampak Hendra menghela napas panjang, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Hendra nampak fokus pada benda itu beberapa saat sampai kemudian ia menyodorkan ponselnya ke depan Irfan.Dengan segera Irfan meraih ponsel yang disodorkan padanya. Mata Irfan menyipit membaca rentetan data yang ada di sana, hingga kemudian mata itu membelalak ketika membaca nama orang tua dari lelaki yang hendak menikah dengan putri rekan bisnis Irfan.“Ye-Yeni?” tangan Irfan bergetar hebat, ia mengankat wajah, menatap Hendra yang nampak heran melihat perubahan pada wajah Irfan.“Betul, Pak. Itu ibu kandung dari si Kelvin.” jawab Hendra yang membuat Irfan segera menyandarkan tubuh di kursi.Otaknya mendadak blank. Jadi benar Kelvin adalah anak dari Yeni? Tapi belum tentu itu anak Irfan, kan? Bisa saja Kelvin adalah anak Yeni dengan suaminya, ada nama laki-laki yang tercatat sebagai ayah dari Kelvin d
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak