"Aku nggak tau harus jawab apa!" gumam Aline akhirnya. Ia kembali memalingkan wajah, enggan menatap wajah lelah dan syok Adam yang masih tetap berada di tempatnya. Adam mendesah, ia pun nampak menundukkan wajah sambil beberapa kali menghirup udara banyak-banyak. Aline meliriknya sekilas sambil menyeka air mata yang menitik dari mata. Ia pun melakukan hal yang sama, menyusut air mata dengan jemari. "Aku capek, Mas. Aku mau istirahat. Bisa nggak ganggu aku dulu?"Kini wajah Adam terangkat, menatap Aline dengan tatapan kecewa dan putus asa. Adam lantas menganggukkan kepala. Bangkit dari posisinya lalu berdiri di depan Aline yang masih terduduk di ranjang. "Aku ngerti kalo ini masih sulit buat kamu terima. Tapi demi Allah, Lin ... bagiku kamu cuma satu-satunya! Aku nggak pernah ada hubungan dengan wanita lain, siapapun itu!" jelas Adam masih berusaha meyakinkan. Dia dan Rosa murni hanya partner untuk menjaga dan membahagiakan Reval, tidak lebih dari itu. "Aku pusing. Mau tidur. Mas bi
Meja makan penuh dengan banyak masakan khas Jogja, namun di mata Adam semua ini sama sekali tidak menggairahkan. Tidak membuatnya berselera sama sekali. Kalau saja perutnya tidak seperih ini, agaknya Adam lebih memilih untuk tidak makan dan bersimpuh di depan sang istri untuk mengemis maaf. Ia tengah menyuapkan nasi dengan malas, ketika tiba-tiba suara derit kursi beradu dengan lantai mengejutkan Adam. "Makan yang kenyang, terus istirahat. Susul istrimu di kamar."Adam tertegun, sosok itu duduk dengan begitu tenang dan tak lama setelah dia duduk, ada seorang pegawai di rumah itu yang langsung menyodorkan secangkir teh hangat dengan sepiring kecil gula batu. "Tapi, Yang, Al--""Nggak baik suami-istri satu rumah tapi tidurnya misah. Sudahlah ... cepat habiskan makananmu, kau baru saja habis dari perjalanan jauh, kan?"Adam tersenyum getir, apakah dia nanti akan diusir Aline macam tadi? Tapi tidak ada salahnya mencoba. Dia masih harus berusaha keras meyakinkan sang istri tentang semua
Aline seketika membeku. Ia lihat betul wajah Adam mendekat. Bahkan Aline sudah bisa merasakan hembusan napas dari sang suami. Kenapa Aline tidak bergerak? Menjauhkan wajah misalnya, kenapa hanya terdiam? Ia masih hendak mendebat dirinya sendiri ketika tiba-tiba, ia merasakan benda lembut nanti kenyal itu membungkam mulutnya dan meledakkan sesuatu yang ada dalam dirinya. Benci itu .... Kecurigaan itu .... Rasa marah dan kecewa yang beberapa hari ini menggerogoti hati Aline mendadak seperti lenyap entah kemana. Aline terbungkam, ia pasrah dan terdiam ketika bibir itu menyentuh dan menghancurkan semua tembok yang semula ia bangun demi menjaga jarak dengan lelaki itu bahkan dalam pikiran sekalipun. Adam menciumnya dengan begitu lembut, penuh bergairah yang sukses ikut memetikkan sesuatu di dalam diri Aline. Aline baru mulai sepenuhnya bisa menikmati sentuhan itu ketika perlahan-lahan Adam melepaskan pagutan bibir mereka. "Jangan pergi dari sisiku, Sayang. Kumohon!" bisik Adam lirih d
Aline tertegun, sorot mata itu terlihat sangat menginginkan dirinya. Jujur Aline pun sama. Ia begitu merindukan sosok ini. Dan penjelasan Adam perihal apa hubungan dia dengan Rosa dan Reval, jujur begitu melegakan hati Aline. Walaupun setelah ini, diam-diam tentu Aline harus mencari tahu sendiri tentang semua ini. "Jangan malam ini, Mas. Aku nggak bisa." tolak Aline halus. Ia ingin lihat, apa benar Adam bukan tipe pemaksa? Apakah dia akan menerima dengan lapang dada penolakan Aline? Atau dia malah emosi dan membuka sisi lain dirinya yang tidak Aline ketahui? Kita akan lihat nanti. Adam tersenyum, ia menghela napas panjang. Mendekatkan wajahnya lalu mengecup bibir Aline, hanya sebentar. Adam menarik kembali wajahnya lalu menatap Aline dengan saksama. "It's okay. Aku ngerti." ia segera menyingkir dari atas tubuh Aline, merebahkan tubuh di sisi Aline dan meraih tubuh itu ke dalam pelukannya. "Kalau begitu, tidur meluk kamu boleh, kan?"Mau tidak mau Aline tersenyum, ia menganggukkan
Aline terkesiap ketika tubuh Adam kembali menindihnya. Mata mereka saling pandang, dan sedetik kemudian mereka tertawa lirih bersamaan. "Nggak akan ada yang mengetuk pintu, kan?" tanya Adam tanpa memalingkan wajah. "Aman. Kecuali kalo ada hal mendesak dan penting sekali, pasti akan ada yang mengetuk." jawab Aline santai, ia merasakan betul, suhu tubuh Adam sudah meningkat. Tawa Adam kembali pecah, namun hanya sebentar karena Adam lantas meraup dan melumat bibir Aline dengan penuh semangat. Tangannya mencengkeram tangan Aline, mengunci jemari itu di dalam jemarinya. Seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas, bukan? Maka dari itu Adam sama sekali tidak berhenti melumat dan menikmati bibir Aline yang pasrah dan bahkan beberapa kali membalas pagutan bibir Adam. Tidak ada obrolan apapun, bahkan ketika pagutan bibir mereka terlepas. Antara Adam dan Aline seolah seperti berkomunikasi dengan tatapan mata. Adam mulai perlahan melakukan apa yang ingin dia lakukan. Mungkin sesuatu yang Alin
"Mas tapi nggak usah segitunya juga ih!" tentu Aline menolak. Dikira enak kemana-mana ada yang mengawal begitu? Dia suka kebebasan! "Nggak usah begitu gimana? Ini semua demi memastikan keselamatan kamu, Sayang!" tangan Adam mencengkeram bahu sang istri, menatap Aline dengan tatapan yang sangat serius. Aline mendesah, ia balas menatap Adam dengan tatapan protes dan tidak setuju. Bisa jadi orang itu sudah sembuh atau bahkan sudah lupa dengan apa yang terjadi. Untuk apa terlalu takut? "Mas, aku jarang keluar rumah. Jadi buat apa sih pakai cari supir sama pengawal?" paling Aline hanya pergi ke rumah mama, apakah juga perlu dikawal? Berasa anak presiden saja! Sudah helaan napas kasar terdengar. Wajah yang tadi memancarkan kebahagiaan dan rasa puas yang teramat sangat, kini berubah gusar dan frustasi. Aline tersenyum, melingkarkan tangan ke tubuh sang suami dan mendekapnya erat-erat. "Sudahlah, aku janji akan selalu waspada dan hati-hati kalo kemana-mana. Jadi tolong ... jangan terlalu
Adam tersenyum begitu ia keluar dari kamar mandi. Dilihatnya tubuh polos sang istri masih terbaring tanpa busana di atas ranjang. Kalau tidak ingat mereka tengah berada di rumah Murti dan harus segera bertolak untu kembali pulang, rasanya Adam ingin sekali lagi memacu tubuh itu sebagai kompensasi karena Aline sudah main pergi begitu saja meninggalkan dirinya."Sayang ... cepet mandi gih. Apa mau aku mandiin?" sebuah pertanyaan yang kontan membuat sosok itu bangkit dan menatapnya dengan tatapan kesal."Udah! Kok jadi terus-terusan!" protes Aline lalu bangkit dan melangkah masuk ke kamar mandi.Adam terkekeh, ia segera memakai pakaian bersih yang tadi pegawai Murti antarkan ke depan kamar. Untung sekali baju ini muat. Kalau tidak Adam tidak tahu harus pakai baju apa selama dia di sini.Selesai berpakaian, Adam lantas melangkah keluar kamar. Di saat yang sama, Asep sudah muncul dan berdiri di depan pintu."Mas Adam, ditunggu Eyang sama yang lain di meja makan." gumamnya sopan."Baik kalo
Suasana mendadak hening. Bahkan denting sendok yang beradu dengan cangkir pun terhenti. Semua mata fokus pada Aline. Wajah itu nampak sungguh-sungguh, tidak ada Kebohongan atau nada bercanda baik dari suara maupun ekspresinya. Budi menghela napas panjang, menyesap kopi dalam cangkir lalu kembali meletakkan cangkir pada tempatnya. "Kamu yakin, Lin?" tanya Budi tanpa mengalihkan pandangan dari sang menantu. "Tentu. Kebetulan dulu Aline kuliah juga ilmunya ada sedikit yang bisa dipakai, Pa. Aline nggak keberatan masuk jurusan perhotelan. Intinya nggak melenceng jauh. Beda sama mas Adam."Budi masih meneliti wajah itu. Hingga kemudian kembali helaan napas terdengar darinya. Membuat suasana makin tegang dan mendebarkan."Biar papa pikir dulu, Lin. Yang jelas papa terima ide dari kamu ini. Tapi papa butuh waktu untuk memutuskan." ujarnya kemudian.Aline mengangguk pelan, wajahnya nampak lega bukan main. Meskipun Budi belum memberikan jawaban dan persetujuan, setidaknya ia sudah menjabark