Rosa sudah bisa menebak siapa orang yang hendak dia temui ketika melihat mobil mewah yang di bawa oleh dua orang lelaki itu. Akhirnya, dia akan berhadapan juga dengan sosok itu, siapa lagi kalau bukan bapak dari Adam? Kaburnya Aline tentu membuat lelaki itu lantas kemudian bertindak, terlebih bukankah Adam sendiri sudah menceritakan perihal perjanjian yang sudah dia sepakati perihal Aline?Adam akan menyerah dan berhenti jadi dokter. Belajar mengurus dan mengelola hotel milik sang papa sebagai imbalan agar Aline dibawa kembali padanya. Agaknya Adam benar-benar sudah cinta mati pada gadis itu. Terbukti, kini dia rela melepaskan kariernya begitu saja, padahal Rosa tahu betul sejak dulu Adam selalu menolak dan bersikeras dengan pendiriannya sendiri.“Ini nggak bakalan lama, kan, Mas?” tanya Rosa yang tentu saja memikirkan shift kerjanya.“Kan saya udah carikan izin buat mbak Rosa?” nampak salah seorang dari lelaki itu menoleh, menatap Rosa dari jok depan.“Ya walaupun begitu saya tetep k
"KAU GILA!"Maki Aleta begitu Adam selesai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Tentang siapa Rosa dsn Reval, kenapa bisa anak itu memanggil Adam dengan sebutan papa dan bagaimana Aline lantas salah paham dengan hal itu. "Yakin itu bukan anak kamu? Kenapa kamu nggak berani cerita kalo bener anak itu bukan anak kamu?" maki Aleta yang nampak tidak terima.Adam mendesah, mengusap wajahnya lalu berusaha menjawab dengan sabar dan tenang. "Kesalahan aku di situ, Ta. Aku salah karena sejak awal tidak berani jujur padanya. Kedudukan aku terancam, papa akan gunakan itu sebagai senjata supaya aku berhenti jadi dokter." jelas Adam yang berusaha agar orang-orang bisa mengerti akan hal ini, walaupun rasanya sangat mustahil. "Tapi nggak gitu juga, Dam! Aline nggak bakalan ember kalo kamu kasih tau sejak awal dan menjelaskan semuanya. Kalo gini, sekarang mau gimana?"Ah! Mungkin Aleta benar. Bukan hanya Aleta, Rosa pun ada benarnya. Tapi sayang ... semuanya sudah terlambat dan tidak bisa dip
"Loh ... pak Beni?"Tentu Toni terkejut bukan main. Lelaki itu datang bersama beberapa orang. Apakah ini ada hubungannya dengan .... "Ibu ada, kan? Bilang kalo saya datang dan beliau punya tamu." jelas Beni lalu langsung bergegas masuk tanpa menunggu dipersilahkan. Beberapa orang nampak menunggu di mobil, orang-orang itu berpakaian serba hitam, membuat Toni sedikit takut melihat wajah kaku dan postur mereka. Sedetik kemudian Toni tersentak dari rasa terkejutnya. Ia segera memburu langkah dua lelaki itu yang menapaki tangga di pendopo depan. Bagaimana ini? Bukankah sesuai perintah mereka harus menyembunyikan Aline? Dan kalau seperti ini .... "Loh, Ben ... kok tekan kene?"Toni bisa bernapas sedikit lega, tanpa harus dia menghadap, majikannya itu sudah muncul dari dalam. "Iya, Bu. Maaf kalau tadi nggak sempet ngabarin."Murti yang terlihat terkejut itu membiarkan Beni meraih tangannya, ia lantas berpaling pada sosok lelaki di sebelah anaknya, tersenyum dan memberi salam selamat dat
"Eyang nggak ngasih tau siapa-siapa loh, Lin!"Aline yang tengah berdiri di balkon kontan menoleh, menatap Murti yang muncul dari dalam rumah. Aline tersenyum, ia menganggukkan kepala tanda mengerti. "Aline ngerti, Yang. Tadi papa Budi bilang kalo sebenarnya dia kirim anak buahnya ngawasin rumah Eyang. Mungkin dari anak buahnya itu lantas ketahuan kalo Aline di sini." jelas Aline lalu melangkah mendekati tempat di mana Murti duduk. "Yowis, intinya jelas bukan Eyang kan yang kasih tau posisi kamu di sini?"Aline kembali mengangguk, tersenyum manis lalu menyandarkan kepala di bahu Murti. Murti tersenyum, mengelus puncak kepala Aline dengan lembut. "Bener bukan anak Adam to? Feeling Eyang tuh sebenarnya dari kemarin juga bilang gitu. Cuma nggak ada bukti." Murti bisa sedikit bernapas legas, cucunya ini tidak jadi cerai, kan? "Entah. Nunggu mas Adam dulu deh, Yang!" balas Aline lirih. Murti tersenyum, "Masuk dulu aja yuk, anginnya agak gede, bawa debu."Aline mengangkat kepalanya, me
"Yang ..."Murti yang hendak menyusul Budi dan Beni di luar rumah kontan tersenyum ketika mendapati sosok itu muncul dari balik pintu. Hatinya lega luar biasa, akhirnya datang juga orang yang sudah sejak tadi dinanti-nanti. "Dari rumah sakit langsung ke sini?" Murti menerima jabat tangan Adam, cucu menantunya itu dengan penuh hormat mencium punggung telapak tangannya. "Iya Eyang, Aline ada, kan, Yang?" tanya Adam dengan raut wajah tidak sabar. "Naiklah. Kamarnya paling ujung. Dia udah nungguin kamu dari tadi." bisik Murti yang tentu tidak lupa dengan bagaimana kegalauan Aline selama di sini. Adam mengangguk, ia langsung menuju ke tangga tanpa banyak bicara. Murti kembali tersenyum, ia melangkah menuju pintu depan guna menyusul dua lelaki itu. Tentang apa yang mau dibicarakan Adam dan Aline? Biar itu jadi urusan mereka. Yang jelas Murti mau semua tetap baik-baik saja. Pintu itu benar ada di paling ujung. Langkah Adam sedikit melambat, jantungnya berdegup kencang. Apa yang akan Ali
"Aku nggak tau harus jawab apa!" gumam Aline akhirnya. Ia kembali memalingkan wajah, enggan menatap wajah lelah dan syok Adam yang masih tetap berada di tempatnya. Adam mendesah, ia pun nampak menundukkan wajah sambil beberapa kali menghirup udara banyak-banyak. Aline meliriknya sekilas sambil menyeka air mata yang menitik dari mata. Ia pun melakukan hal yang sama, menyusut air mata dengan jemari. "Aku capek, Mas. Aku mau istirahat. Bisa nggak ganggu aku dulu?"Kini wajah Adam terangkat, menatap Aline dengan tatapan kecewa dan putus asa. Adam lantas menganggukkan kepala. Bangkit dari posisinya lalu berdiri di depan Aline yang masih terduduk di ranjang. "Aku ngerti kalo ini masih sulit buat kamu terima. Tapi demi Allah, Lin ... bagiku kamu cuma satu-satunya! Aku nggak pernah ada hubungan dengan wanita lain, siapapun itu!" jelas Adam masih berusaha meyakinkan. Dia dan Rosa murni hanya partner untuk menjaga dan membahagiakan Reval, tidak lebih dari itu. "Aku pusing. Mau tidur. Mas bi
Meja makan penuh dengan banyak masakan khas Jogja, namun di mata Adam semua ini sama sekali tidak menggairahkan. Tidak membuatnya berselera sama sekali. Kalau saja perutnya tidak seperih ini, agaknya Adam lebih memilih untuk tidak makan dan bersimpuh di depan sang istri untuk mengemis maaf. Ia tengah menyuapkan nasi dengan malas, ketika tiba-tiba suara derit kursi beradu dengan lantai mengejutkan Adam. "Makan yang kenyang, terus istirahat. Susul istrimu di kamar."Adam tertegun, sosok itu duduk dengan begitu tenang dan tak lama setelah dia duduk, ada seorang pegawai di rumah itu yang langsung menyodorkan secangkir teh hangat dengan sepiring kecil gula batu. "Tapi, Yang, Al--""Nggak baik suami-istri satu rumah tapi tidurnya misah. Sudahlah ... cepat habiskan makananmu, kau baru saja habis dari perjalanan jauh, kan?"Adam tersenyum getir, apakah dia nanti akan diusir Aline macam tadi? Tapi tidak ada salahnya mencoba. Dia masih harus berusaha keras meyakinkan sang istri tentang semua
Aline seketika membeku. Ia lihat betul wajah Adam mendekat. Bahkan Aline sudah bisa merasakan hembusan napas dari sang suami. Kenapa Aline tidak bergerak? Menjauhkan wajah misalnya, kenapa hanya terdiam? Ia masih hendak mendebat dirinya sendiri ketika tiba-tiba, ia merasakan benda lembut nanti kenyal itu membungkam mulutnya dan meledakkan sesuatu yang ada dalam dirinya. Benci itu .... Kecurigaan itu .... Rasa marah dan kecewa yang beberapa hari ini menggerogoti hati Aline mendadak seperti lenyap entah kemana. Aline terbungkam, ia pasrah dan terdiam ketika bibir itu menyentuh dan menghancurkan semua tembok yang semula ia bangun demi menjaga jarak dengan lelaki itu bahkan dalam pikiran sekalipun. Adam menciumnya dengan begitu lembut, penuh bergairah yang sukses ikut memetikkan sesuatu di dalam diri Aline. Aline baru mulai sepenuhnya bisa menikmati sentuhan itu ketika perlahan-lahan Adam melepaskan pagutan bibir mereka. "Jangan pergi dari sisiku, Sayang. Kumohon!" bisik Adam lirih d
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny
"APAAA?"Wajah Adam memucat, ia menatap lurus dengan tatapan tidak percaya. Kacau sudah kalau begini! Bayangan bagaimana ribetnya mencelupkan testpack itu satu persatu tengah malam kembali terngiang dan sekarang, semuanya sia-sia. "Kok bisa?" tanya Adam setelah dia tersadar dari rasa terkejutnya. "Aleta ke sini, Mas. Nah kita lagi ngobrol, nyerempet bahas kehamilan aku. Aku nggak tau kalo Mama dateng dan tau-tau udah nonggol di belakang kita."Adam spontan menepuk jidatnya sambil geleng-geleng kepala. Mendadak kepalanya pusing. Setelah ini agaknya dia harus bersiap kena omel, mau bagaimana lagi? "Mama di mana sekarang?" "Lagi di depan, nelpon Papa. Aku masih di ruang makan sama Aleta." jawab suara itu lirih.Dengan sedikit kesal, Adam menghirup udara banyak-banyak. Ia menghembuskan napas perlahan-lahan dengan mata terpejam. Hanya beberapa detik, ia kembali membuka mata sambil menarik napas dalam. "Yaudah kalau begitu, Sayang. Kabari aja kalau ada apa-apa. Mas tutup dulu." desis A
"Morning, Beibs!"Aline hampir saja tersedak teh yang memenuhi mulutnya, ia menoleh dan terkejut mendapati Aleta yang sudah muncul sepagi ini dengan wajah sumringah. "Eh, tumben pagi buta udah sampe sini? Diusir sama mama?" tanya Aline asal, membuat Aleta melotot gemas ke arah saudara kembarnya. "Sembarangan!" desis Aleta yang langsung mencomot selembar roti yang ada di meja. "Nggak tidur di rumah aku kemarin, Lin."Dengan begitu santai ia meraih toples selai kacang, mengoleskan selain kacang di atas selembar roti yang dia ambil. "Eh, terus tidur di mana? Emperan toko?" kembali Aline bertanya asal, membuat Aleta rasanya ingin menelan bulat-bulat saudarinya ini kalau saja dia tidak sedang hamil. "Apartemen Kelvin, jangan ngomong mama tapi, ya?" jawabnya jujur apadanya, dia malas Aline makin ngelantur menebaknya tidur di mana. Mata Aline membulat, ia menatap Aleta dengan tatapan tidak percaya. Sementara Aleta, ia memasang wajah menyebalkan sambil mengoles permukaan roti dengan begi
"Vin ... sorry sebelumnya. Kalo boleh tau, lantas papa kandung kamu siapa, Vin?"Kelvin menghela napas panjang, ia menatap langit-langit kamar, sementara Aleta memeluk erat lengan Kelvin tanpa mengendorkan pelukan tangannya. "Kamu pasti nggak percaya kalo aku bilang ini, Ta!" desis Kelvin setengah tertawa lirih. "Memang siapa, Yang?" renggek Aleta mengeluarkan jurus merayunya. Kelvin meraih ponsel di atas nakas, nampak ia serius dengan ponselnya. Mengabaikan Aleta yang masih begitu penasaran dengan penjelasan Kelvin mengenai jati diri yang sebenarnya. Tak selang berapa lama, Kelvin menyerahkan ponsel ke arah Aleta, ponsel dengan artikel yang terpampang di layar ponsel itu. "Kenal orang ini?" Aleta menerima ponsel itu, menatap foto seorang lelaki yang Aleta sendiri sangat familiar dengan wajah itu. Mata itu membelalak, ia menoleh menatap Kelvin dengan tatapan tidak percaya. Lelaki dalam foto ini .... "Yang ... ini serius papa kandung kamu, Yang?"***"Mama kayaknya bener-bener ke
"Papa Feri itu bukan papa kandung aku, Ta."Suara itu begitu lirih, namun telinga Aleta masih cukup sehat dan normal untuk menangkapnya. Mata Aleta membulat, ia melihat ekspresi sedih yang tergambar di wajah itu. Sementara Aleta, ia masih begitu terkejut dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. "Mama sama papa bilang kalo cukup kami aja yang tahu tentang kenyataan ini. Bahkan orang tua mereka pun tidak ada yang tahu. Tapi aku rasa, kamu sebagai calon istri aku berhak tahu, bagaimana asal-usul lelaki yang bakalan nikahin kamu, Ta."Kelvin menghela napas panjang, ia memalingkan wajah, menatap langit-langit kamar dengan wajah sedikit putus asa. Sementara Aleta? Ia masih terkejut dan belum tahu hendak bicara apa. "Selain merasa kalah dalam segalanya sama Adam, fakta ini adalah salah satu faktor yang bikin aku mundur pas denger kamu mau dijodohin." suara itu kembali terdengar. "Memang siapa aku kalo dibandingin sama Adam? Aku cu--""Vin!" Aleta akhirnya bersuara, ia menyingkirkan g