Percakapannya dengan Anes di taman waktu itu cukup banyak berpengaruh pada Arsyila. Sudah satu minggu sejak hari itu, Arsyila menunjukkan perubahan yang lebih baik. Gadis itu tak lagi mengisolasi dirinya di dalam kamar. Setidaknya Arsyila akan keluar sesekali dan berjalan-jalan ringan. Porsi makannya juga sedikit bertambah meskipun Arsyila masih belum bisa menghabiskan makanannya. Itensitas Arsyila melamun juga berkurang. Sekarang Arsyila mulai menyibukkan dirinya. Arsyila lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar di dalam kamarnya. Membaca beberapa modul fasion, menggambar beberapa design pakaian dan menggambar pola-pola dasar. Itu semua adalah materi yang Arsyila lewatkan di kelasnya. Sangat disayangkan mengingat Arsyila sudah sering membolos kuliah. Mungkin sudah lebih satu bulan Arsyila tidak absen di kelas? Entahlah, tapi Arsyila kini bertekad untuk belajar dengan giat dan mengejar ketertinggalannya.“Syila,” panggil suara bariton membuat Arsyila terk
Arsyila membuka matanya. Mata coklatnya terbelalak kala merasakan beban berat jatuh ke sebelah bahunya. Berat. Arsyila berubah panik menyaksikan tubuh Reyga yang tumbang menimpanya. Arsyila buru-buru memeluk tubuh Reyga erat merasakan bebannya semakin berat. Gadis itu berdiri dengan sempoyongan. Dengan panik Arsyila berteriak memanggil Anes dan bibi Esti untuk membantunya.“Sepertinya Tuan terlalu memaksakan dirinya. Asam lambungnya naik dan demamnya cukup tinggi,” ucap bibi Esti setelah memeriksa keadaan Reyga. Setelah berhasil membaringkan tubuh Reyga ke atas ranjang, Arsyila melepaskan sepatu Reyga dan menyimpan tas kerja suaminya. Sedangkan Anes sedang menjaga nyonya Sisilia di kamarnya.“A-apakah parah?” tanya Arsyila dengan cemas. Ini pertama kalinya Arsyila melihat Reyga tumbang.“Ini hanya efek kelelahan. Nyonya tidak perlu khawatir. Jika Tuan beristirahat beberapa hari, dia pasti akan pulih,” jawab bibi Esti tenang seolah yang dialami Reyga bukanl
“Jangan pergi.” Reyga kembali mengulangi perkataannya dengan suara yang serak. Pria itu menarik lengan Arsyila. Membuat Arsyila yang hampir beranjak mulai kembali duduk di sebelahnya.“Kau akhirnya bangun. Bagaimana perasaanmu?” Reyga menatap Arsyila linglung. Tak menanggapi pertanyaan Arsyila. Melihat bibir kering Reyga, menyadarkan Arsyila untuk mengambil air minum.“Oh, sebentar.” Arsyila berusaha melepaskan cengkraman Reyga di lengannya. Namun bukannya terlepas, Reyga justru semakin menariknya kuat. Arsyila terkejut. Gadis itu memekik saat tubuhnya jatuh menimpa tubuh Reyga. Arsyila yang panik buru-buru bangkit. Namun sepasang tangan kekar membuat tubuh Arsyila sulit bergerak. Arsyila menegang. Jantungnya mulai berdebar.“Aku senang kamu ada di sini.” Suara itu masih terdengar serak. Mata coklat Arsyila melebar bersamaan dengan tangan Reyga yang semakin memeluknya erat. Bagaimana posisinya bisa jadi seperti ini? Wajah Arsyila memerah. Tenggorokan Arsyila mendadak kering. Dengan
Foto Syakila yang ditemukan Arsyila di kamar Reyga benar-benar membuat Arsyila kalut.Pemikiran bahwa Reyga yang sebenarnya mencintai Syakila sungguh menganggunya. Kepala Arsyila kembali kacau.Perasaannya bercampur aduk dan sulit dipilah. Arsyila merasa sedih dan bingung secara bersamaan. Arsyila tau dirinya sedih mengetahui Reyga yang merupakan suaminya mencintai wanita lain, yang tak lain adalah Syakila. Tapi Arsyila juga merasa bingung dengan alasannya merasa demikian. Bukankah itu hal yang wajar jika Reyga memang mencintai kakaknya. Mereka berdua adalah pasangan yang seharusnya menikah hari itu. Dari awal, wanita yang dilamar oleh Reyga adalah Syakila. Bukankah sudah pasti jika Reyga mencintai wanita yang dia lamar? Arsyila tertawa miris. Bola matanya berkaca-kaca. Arsyila merasa sangat bodoh karena percaya begitu saja saat Reyga mengatakan alasannya menikah hanya demi ibunya, nyonya Sisilia. Sekarang Arsyila sadar jika apa yang dikatakan Reyga hari itu h
Arsyila dalam suasana hati yang baik. Tentu Arsyila tak akan lupa pada kenyataan yang pernah menamparnya dan melemparkannya ke lubang paling gelap. Arsyila pikir dirinya akan terus terpuruk dan tenggelam dalam stres yang berkepanjangan. Patah hati memang mengerikan. Setelah dua kali dipatahkan dan dihancurkan tanpa ampun. Siapa yang akan tahan? Hati Arsyila dipatahkan oleh Ayah yang dipercayainya. Kemudian masih dihacurkan lagi oleh cinta pertamanya. Arsyila pikir setelah itu semua hatinya bakalan mati rasa untuk waktu yang lama. Tapi siapa yang menyangka bahwa Tuhan masih berbaik hati padanya. Rasanya seperti kepingan hatinya kembali disusun saat dirinya jatuh cinta pada Reyga.Rasanya seperti air yang diguyur di atas tanah yang tandus. Begitu menyegarkan dan menghidupkan lagi perasaan-perasaan yang sempat lumpuh. Arsyila bersenandung lirih. Tenggelam pada euforia akibat hormon jatuh cinta yang meluap dalam dirinya. Anes tak bisa berhenti tersenyum melihat perubahan yang terjadi pad
Zhou, itu nama yang selalu Arsyila tunggu untuk muncul di layar ponselnya. Kini akhirnya nama itu muncul juga. Seandainya pria itu menelponnya lebih awal, mungkin Arsyila akan merasa senang. Tapi sekarang Arsyila tak merasakan apa-apa. Arsyila menatap layar ponselnya cukup lama. Merasa ragu untuk menelpon Zhou balik. Setelah penolakan Zhou hari itu, mereka sama sekali belum bicara. Jadi apa yang harus Arsyila katakan ketika menelponnya? Tangan Arsyila yang memegang ponsel mulai berkeringat. Gadis itu mulai gugup dan gelisah setelah memberanikan diri membuat panggilan.“Nyonya!”Arsyila menjatuhkan ponselnya tepat ketika suara Anes mengejutkannya. Arsyila cepat -cepat memungut ponselnya dan mengurungkan panggilannya. Gadis itu segera berbalik ketika Anes masuk melalui pintu kamar yang setengah terbuka. “Ada apa Anes?”“Maaf, Nyonya. Itu … tuan baru saja menelpon.” Arsyila mengerutkan keningnya, melirik ke arah jam yang menunjukkan pukul tujuh mala
‘Damian Rowel’Itu adalah nama yang terukir di atas batu nisan. Hanya sekali membacanya, Arsyila langsung tau siapa pemilik makam yang dia datangi bersama Reyga sekarang.“Ini makam ayah.” Suara Reyga membuat Arsyila mengalihkan atensinya pada pria itu. “Maaf, harusnya aku membawamu kemari lebih awal,” lanjutnya dengan mata kelabu yang terlihat sendu. Arsyila mengikuti Reyga, berjongkok di samping makam ayah mertuanya.“Tidak. Terimakasih sudah membawaku ke makam paman—““Bukan paman. Panggil dia ayah,” tegas Reyga mengejutkan Arsyila. Reyga benar, bagaimanapun orang itu adalah ayah mertuanya. Buru-buru Arsyila meralat ucapannya. “Ayah.” Meski yang Arsyila hadapi hanyalah sebuah makam, tapi Arsyila merasa canggung saat memanggil ayah mertuanya. Rasanya seolah-orang beliau ada di depan Arsyila sekarang.“Sa-salam Ayah. Nama saya Arsyila. Saya adalah istri putra Anda, jadi saya sekarang adalah menantu Ayah. Saya harap Ayah merestu
Arsyila duduk dengan gelisah di kursinya. Setelah Arsyila memberitahu Reyga jika dia ingin bicara, pria itu segera membawa Arsyila keluar dan pergi ke tempat yang lebih tenang. Lalu disinilah dirinya sekarang. Ini adalah sebuah rumah makan bergaya kuno yang cukup sepi pengunjung. Mungkin karena ini belum masuk jam makan siang, makanya hanya sedikit orang yang datang ke sana. Reyga pergi untuk memesan makanan selagi Arsyila melihat-lihat sekitarnya. “Reyga,” panggil Arsyila begitu Reyga kembali ke tempat duduknya. Arsyila ingin cepat-cepat menceritakan semuanya pada Reyga. Tapi pria itu menahan Arsyila.“Tidak perlu terburu-buru. Kita makan dulu, ya?” Arsyila kembali menelan kata-katanya. Seorang pelayan yang membawa sebuah nampan besar berisi makanan membuat perut Arsyila seketika merasa lapar. Reyga benar. Arsyila rasa memang lebih baik mengisi tenaga lebih dulu sebelum mereka berbicara. Karena itu adalah pembicaraan yang panjang, jadi Arsyila pasti akan membutuhkan banyak tenaga.