Tawa ceria mereka menggema di malam yang tenang itu, menandakan hubungan erat yang terjalin di antara mereka.June tidak pernah tahu bahwa Xander adalah sosok kaya yang memiliki Bank Central Halilintar, sekaligus pemilik Kyoto Mart. Ucapan bercanda ini hanya bumbu dalam percakapan mereka—sementara fakta yang jauh lebih mengesankan bersembunyi di balik senyum ramah Xander.“Lagipula, mana mungkin keberuntungan akan datang dua kali? Tuan Jacob Hui, direktur Kyoto Mart, tidak ada, jadi tak mungkin akan ada yang gratis, bukan?” kata June ketika mengingat momen keduanya berbelanja gratis di sana, beberapa waktu silam.Namun, ketika June mengikuti Xander, padahal seharusnya Xander hanya ingin memilih jaket hitam yang sederhana, June ngoceh terlalu banyak. “Yang tidak trendi, lah!” “Yang tidak eksklusif, lah!”Sampai akhirnya Xander menatapnya dengan kesal.“Gadis bodoh! Apa yang kamu lakukan di sini? Mengapa tidak pergi dan memilih pakaian terbaik? Lihatlah, baju-bajumu mulai kusam dan tak
Xander sudah menyelesaikan belanja keperluannya untuk memata-matai sosok misterius yang mengganggu Nina Amala. Ia memilih hoodie hitam polos keluaran Armani dan dilengkapi dengan topi berwarna senada, keduanya menunjukkan selera fashionnya yang tajam.Desain hoodie dan topi yang dipilihnya benar-benar minimalis—saking minimalisnya, logo desainer pun disamarkan dengan warna serupa pada bahan dasar. Logo itu hampir tak terlihat jika tidak memperhatikan dengan saksama.Saat Xander sedang menyesuaikan topi di kepalanya, suara terengah-engah dari belakangnya mengalihkan perhatian."Lihat aku yang kalap ini, Xander..." seru June, sambil berusaha menjangkau Xander di tengah kerumunan pengunjung mall yang ramai.Xander menoleh dengan cepat, menyadari wajah June yang pucat pasi, seolah baru saja melarikan diri dari situasi mengerikan."Kamu kalap apa? Dan mengapa wajahmu seputih itu, seperti dikejar monster?" tanyanya, rasa khawatir menghimpitnya saat melihat ekspresi gelisah sahabatnya."Oh t
“Sini, ambil belanjaanmu, gadis bodoh!” hardik Xander, matanya melotot ke arah June.June, yang berdiri tak jauh dari Xander, tampak kikuk. Ia berbicara terbata-bata,“Maksudmu... semua sudah ditebus?” tanyanya dengan ekspresi bingung yang dibuat-buat. Namun, senyuman licik tersungging di sudut bibirnya, seolah mencoba menutupi rasa girangnya.Xander memutar matanya, jelas kehilangan kesabaran. Tingkah June, yang seolah-olah tak mengerti situasi, benar-benar menguji batas toleransinya.Di sisi lain, seorang pramuniaga yang sejak tadi mengamati tingkah June mulai kehilangan kesopanan. Ia mendekat dan menarik tangan June dengan tegas.Suaranya terdengar seperti bisikan tajam yang berbalut senyuman profesional, “Sudahi saja sandiwara ini, Nona. Berpura-pura terlalu polos tidak akan membuat rejeki datang dua kali. Sebaiknya Anda segera mengambil belanjaan Anda dengan rasa syukur, bukan keraguan.”June terdiam, tubuhnya kaku seperti terkena pukulan keras.Ia tidak menyangka pramuniaga itu
Saat Xander dan June tengah menikmati makan malam yang elegan di sebuah restoran Italia dekat Kyoto Mart, di sudut lain kota, dua sosok melintasi jalanan dekat rumah Nina Amala.Keduanya tampak mengamati sekitar, seolah mencari sesuatu, sebelum akhirnya langkah mereka berhenti di sebuah warung tenda sederhana di pinggir jalan.“Tempat makan seperti ini... apakah higienis?” tanya Rika dengan nada penuh penghinaan. Tangannya yang dihiasi kuku bercat merah menyala menutup hidung, seolah menghalau bau yang dianggapnya mengganggu.Pandangannya menyapu sekeliling dengan sorot jijik, tanpa memperhatikan tatapan heran dari para pengunjung warung.Kevin Ng, yang menyadari reaksi orang-orang di sekitar, langsung menatap Rika dengan ekspresi mencemooh.“Rika! Kamu kaya? Terbiasa makan di restoran mewah? Kalau begitu, mana uangmu? Mengapa tidak menolak ketika aku mengajakmu menjelajah kuliner pinggir jalan di sini?” sindirnya dengan nada datar namun tajam.Mendengar itu, wajah Rika memerah, campu
Jam menunjukkan pukul 00.00. Rika Setiawan dan Kevin melangkah hati-hati di jalan kompleks perumahan elit tempat Nina Amala tinggal. Suasana sepi, hanya diselingi sesekali lolongan anjing dari kejauhan.Lampu-lampu halaman rumah yang mewah bersinar redup, memantulkan kilau dari jendela kaca yang seperti menatap mereka dengan waspada."Jangan bertingkah mencurigakan!" desis Rika, menghentikan langkah Kevin yang terlihat terlalu berhati-hati. Gerakannya canggung, mirip pencuri amatir yang baru belajar melangkah."Lagakmu itu terlalu kaku. Sungguh memalukan, bahkan untuk seorang penjahat kecil!" sindir Rika sambil menatapnya dengan ketus.Kevin hanya mendengus, tak membalas. Dalam beberapa menit, mereka sudah berdiri di halaman rumah Nina Amala. Pohon palem yang menjulang di sudut halaman bergoyang pelan, ditiup angin malam yang dingin."Rika, apa rencananya setelah kita sampai di sini?" tanya Kevin dengan nada bingung, memandang rumah Nina yang menjulang dengan dinding putih bersih dan
“Lepaskan aku!” teriak Kevin Ng dengan suara keras, sekencang-kencangnya.Saat ini, dia duduk di sebuah kursi dengan tangan terikat di belakang. Sebuah lampu sorot menyinari wajahnya, membuat matanya silau. Namun, kilauan cahaya itu tidak mengurangi kekuatan suaranya.Samar-samar, ia melihat bayangan sosok pria bertubuh tinggi kurus yang mengenakan topi, menutupi sebagian besar wajahnya. Di belakang pria itu, ada siluet seseorang lagi, yang menurut Kevin tampak seperti wanita.“Aku bukan pelaku kejahatan! Mengapa kalian menangkapku dan menyekapku?” Kevin berteriak lagi, suaranya menggema di ruangan yang serba seadanya itu.“Diam!” Suara pria bertopi terdengar, rendah dan tegas. “Kamu bisa berbohong sesuka hati, tapi CCTV ini tidak mungkin salah bicara!”Sejenak, cahaya lampu yang menyilaukan itu meredup, berganti dengan kilauan layar besar di hadapan Kevin. Apa yang ditampilkan di layar membuat matanya terbelalak.Di sana, dirinya terlihat jelas sedang mengendap-endap di pelataran rum
Rika Setiawan berjalan tergesa-gesa keluar dari kediaman Setiawan Grup, langkah kakinya cepat dan dipenuhi ketidakpastian.Nafasnya memburu, dan hatinya dikuasai amarah yang mendidih karena sudah tak tahan lagi dengan tingkah Nyonya Ouyang yang semakin semena-mena. “Dasar perempuan tua tak tahu diuntung!” desis Rika menggerutu.Kebencian yang terpendam membuat dadanya bergetar, seolah-olah setiap napas yang dihirupnya adalah sumber kemarahan yang siap meledak. Namun, apa daya? Ia hanya dapat melampiaskan kemarahan itu melalui caci maki di dalam hati saja.“Kamu bisa saja pelit,” desis Rika dalam nada puas sembari menggeram. “Tapi aku jauh lebih lihai! Perempuan tua itu ternyata bodoh! Tak mungkin ia menyadari bahwa aku sudah menipunya!” Di balik senyum sinis itu, Rika bersembunyi di balik perasaan aman yang rapuh.Dengan jari-jarinya yang lincah dan terampil, Rika meraba sepuluh lembar uang pecahan seratus ribu rupiah yang tersimpan rapi di dalam bra-nya.Uang tersebut adalah hasil da
“Seratus ribu rupiah!” kata driver taxi online dengan nada was-was. Ia khawatir penumpangnya adalah orang yang kurang waras dan tidak punya uang.Namun, ketika melihat perempuan menor itu merogoh sesuatu dari bra-nya, wajah driver itu berubah. "Ia punya uang. Meskipun disimpan di dalam branya, setidaknya cara ini menunjukkan bahwa ia bisa membayar," batinnya dengan sedikit lega.Rika melempar uang seratus ribu ke arah sang driver, sambil gerutu dan sumpah serapah keluar dari bibirnya. “Tagihanmu sungguh mahal. Seharusnya biaya ini hanya lima puluh ribu rupiah, mengapa harus seratus ribu?”Seketika bibir sang driver terasa gatal; ia ingin berdebat.Namun, melihat mata Rika yang menyala dengan ekspresi seolah orang kurang waras, ia membatalkan niatnya dan segera tancap gas, meninggalkan Rika sendirian di jalanan.Sepeninggal taxi online itu, Rika melangkah panjang-panjang, seolah-olah dia adalah seorang perawati yang melenggang di atas runway catwalk yang megah. Ia berusaha menampilkan
Sandy Setiawan memukul meja dengan keras. Dentuman kayu itu memenuhi ruangan, membuat dua petugas di hadapannya terkejut. Wajah Sandy memerah, sorot matanya menyala seperti bara api, siap membakar apa pun."Hanya untuk menggusur anak-anak kecil, seorang nenek tua, dan seorang gadis lemah, kalian gagal?!" bentaknya. Ia tidak percaya bahwa tugas sesederhana itu tidak bisa mereka selesaikan.Salah satu petugas, pria bertubuh kekar, berusaha menjawab meski suaranya terdengar gemetar. "Bos, ada seorang pemuda di sana. Dia menguasai ilmu bela diri, sepertinya seorang kultivator. Dia bahkan meninggalkan pesan untuk Anda."Sandy mengangkat alis, matanya menyipit. "Pesan apa?"Petugas itu menelan ludah. "Dia bilang namanya Xander dan yakin Anda tahu siapa dia."Ekspresi Sandy berubah drastis, wajahnya sekaku patung marmer. Napasnya tertahan, dan ruangan itu sunyi sementara kedua petugas saling pandang, bingung."Apakah Anda mengenalnya? Dia... orang dalam?" seorang petugas memberanikan diri be
"Kamu meminta untuk tidak mematahkan tangan, bukan? Baiklah. Anggap saja aku sedang berbelas kasih," ujar Xander sambil mencibir, sudut bibirnya terangkat tipis seperti menikmati permainan sederhana.Petarung itu tampak lega sesaat, seperti menerima hadiah yang tak diduga. Namun, jauh di dalam hati, ia justru menertawakan Xander."Dasar bocah bodoh. Mau saja percaya mulut berbisa seperti milikku. Ini akan jadi hiburan memuaskan," pikirnya penuh kepuasan.Wajahnya ia poles dengan senyuman palsu, berharap akting penuh rasa terima kasihnya mampu menyentuh simpati penonton.Namun, sebelum rencananya berjalan sesuai harapan, sesuatu yang tak terduga terjadi.PLAK – PLAK – PLAK!Tiga tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema seperti cambuk yang menyayat udara. Matanya membelalak, rasa perih menjalar panas ke wajahnya. Ia tertegun, sulit percaya Xander benar-benar melakukannya."Ini… ini…" gumamnya terbata-bata, suaranya serak karena syok. Kedua pipinya memerah menyala
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men
Hannah Laksa baru saja menyelesaikan rutinitasnya di Gorilla’s Café. Dengan telaten, ia membersihkan meja barista, menyusun kembali semua peralatan mesin pembuat kopi setelah menyelesaikan perawatan rutin.Setiap sudut mesin ia lap cermat, memastikan semuanya mengilap—siap melayani para pelanggan esok hari.Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 22.00. Di jantung kota, seperti kawasan tempat kafe ini berdiri, waktu itu masih terbilang awal malam. Lampu-lampu kota berkelip bagaikan bintang buatan, sementara lalu lintas masih dipenuhi kendaraan yang sibuk berlalu-lalang.Namun, suasana berbeda di pelosok kota, tempat di mana Hannah tinggal. Di sana, jam segini sudah dianggap larut malam, dengan jalanan sepi dan sunyi. Bagi seorang gadis yang pulang sendirian, suasana itu terasa rawan.“Hannah, sudah malam. Kamu belum pulang?” tegur suara familiar. Dimas, manajer kafe tersebut, berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.Hannah mengangkat wajahnya dari
Ternyata, proyek satu miliar yang diberikan oleh Tijian Global Corporation adalah pembangunan sebuah mall yang sangat modern. Mall ini dirancang untuk berdiri di tengah pemukiman kelas menengah ke atas, menjadi landmark baru yang mengundang perhatian.Semua orang di kediaman Setiawan menatap dengan rasa iri saat Nyonya Ouyang menyebutkan nama yang akan dipilih sebagai direktur pelaksana.“Sandy Setiawan, kurasa dia layak untuk memimpin proyek besar ini. Selain berpengalaman, dia juga cukup akrab dengan Nona Felicia Tijiang, pelaksana langsung proyek dari grup itu!” pungkas Nyonya Ouyang dengan senyum puas, seolah mengunci keputusan yang telah diambilnya.Namun, tak lama setelah itu, Jonah mencoba untuk merusak nuansa gembira tersebut.“Tapi, Nyonya... bukankah Sandy gagal pada pertemuan sebelumnya? Apakah Anda ingin kekacauan terjadi lagi?” tanyanya dengan nada menantang, sambil menyembunyikan rasa cemburu yang mencuat dari wajahnya yang tampak penuh kalkulasi.“Benar itu, Nyonya tua.