🥲🥲🥲 harus ada yang dikorbankan dan kali ini adalah ...... terima kasih sudah membaca, sampai jumpa besok lagi ya 🤗😍
Sejak kembali dari rumah sakit untuk melihat keadaan Gretha tadi siang, William melihat Lilia yang lebih banyak diamnya. Hampir seharian ia hanya terus berada di dalam kamar, bermain dengan Keano di dalam sana atau sekadar menunggui bocah kecil itu mewarnai dan menata puzzle. William tak ingin mengganggunya dulu. Memutuskan untuk memberi Lilia ruang tenang sebab ia tahu seperti apa gejolak dalam hatinya yang tadi meluap-luap untuk Gretha. Malam ini, istrinya itu dijumpainya ada di dalam kamar Keano, duduk di atas ranjang mengusap rambut hitam anak lelakinya yang mulai terlelap di bawah selimutnya yang hangat. "Kamu tidak akan istirahat juga?" tanya William saat tiba di sebelahnya dan menunduk untuk berbisik di telinga Lilia. Lilia tak serta merta menjawabnya, ia lebih dulu menoleh pada Keano yang matanya terpejam kemudian memandang William. "Iya aku akan keluar sekarang." Lilia membiarkan William untuk mencium Keano lebih dulu kemudian mereka keluar dari sana setelah menutup pin
Pagi hari ini, Lilia turun dari lantai dua dengan sedikit terlambat. Bukan tanpa alasan, itu karena ia harus melakukan sesuatu terlebih dahulu untuk menutupi luka kemerahan di lehernya akibat ‘gigitan’ William yang sedikit ganas tadi malam. Ia harus mengenakan dress yang kerahnya tinggi sehingga bisa menutupi lehernya—hingga ke dagu jika perlu. “Selamat pagi,” sapa beberapa orang pelayan yang kebetulan berpapasan dengannya saat ia tiba di undakan tangga terakhirnya. “Selamat pagi,” balas Lilia, tersenyum pada mereka yang membawa keranjang bunga yang baru dipetik. Ia melanjutkan langkahnya dengan sedikit berlari untuk menuju ke ruang makan karena tadi Agni memberi tahunya bahwa William dan Keano sudah berada di sana. “Selamat pagi, Sayang,” ucap Lilia pada Keano yang tersenyum seraya melambaikan tangannya. “Selamat pagi, Mama.” Lilia lalu duduk di samping Keano, tak lupa menunjukkan senyumnya juga pada William yang ada di seberang meja dan salah satu alisnya terangkat penuh kea
“Maaf, Sayang,” ucap William seraya memandang keano yang air matanya harus diusap oleh Lilia. “Papa kira kamu tadi Mama. Papa mau minta tolong pada Mama untuk memberi Keano jawaban. Tapi malah tidak sengaja menendang kakinya Keano. Maaf ya?” Keano berhenti menangis. Ia kembali menerima garpu ayam gorengnya dari Lilia dan melanjutkan makan. Barulah kemudian Lilia memandang Keano. Dengan pucuk hidungnya yang memerah bocah kecil itu mengatakan, “Keano pikir Papa sengaja menendang kakinya Keano.” “Tidak, Sayang. Mana ada begitu?” “Hm ....” “Pantas saja tadi kakinya Mama terasa sangat jauh. Teryata itu kaki kamu.” “Jangan begitu lagi lain kali!” peringat Lilia dari samping Keano duduk. Yang dijawab dengan anggukan oleh William. Setelah itu, ‘perseteruan kecil’ mereka usai. Mereka melanjutkan makan dengan Keano yang tak lagi menangis dan masih dengan rasa penasaran yang sama bertanya, “Jadi apa jawabannya, Mama?” Bukankah Lilia tak perlu mempertanyakannya lagi? Itu pasti soal meng
Malam harinya, setelah memastikan luka kemerahan di lehernya tidak terlihat karena ia tutup dengan make up, seperti yang dikatakan oleh William tadi pagi melalui pesan, Lilia benar datang ke hotel tempat di mana dulu William melamarnya. Tempat di mana ia mendapatkan cincin bunga lily—yang dulu hanya dianggap Lilia sebagai sebuah kebetulan ternyata benar bahwa William memilih cincin itu karena ia jatuh cinta saat melihatnya, bunga lily untuk Lilia. Ia mengenakan gaun yang tadi dipilihkan oleh Keano. Benar ... memang seperti itu karena Lilia bingung mengenakan yang mana. Tetapi Keano menunjuk pada gaun yang akhirnya ia kenakan ini. Sebuah gaun berwarna burgundy yang elegan. Dengan bahan yang lembut dikenakan dan dipuji oleh Keano serta para pelayan yang melihatnya. ‘Sangat cantik, Nona.’ ‘Kalau begini, bukannya yang ada Tuan William akan semakin jatuh cinta pada Nona?’ ‘Sangat cocok dengan kulit Nona Lilia.’ Silih berganti pujian ditujukan untuknya. Tetapi yang paling menghangat
Kecuali William, Lilia, Keano, Giff dan Niel yang akan tinggal di hotel setelah kembang api usai, semua orang pergi meninggalkan rooftop dengan hati yang bahagia. Lilia mendapat hadiah dari Tuan Alaric berupa kalung mahal yang ia lihat selalu dikenakan oleh selebritis dunia yang terkenal. Desain berbentuk ular yang glamor, yang berkali-kali Lilia bilang pada ayahnya itu bahwa ini agaknya sedikit ... berlebihan. Tapi Tuan Alaric mengatakan bahwa Lilia bisa menyimpannya saja jika tak mau mengenakannya. Anggap itu sebagai investasi jangka panjang. Di dalam kamar hotel setelah memastikan Keano terlelap di dalam kamar milik Giff, William masuk ke dalam sana. Suara langkah kakinya yang dikenal oleh Lilia membuatnya menoleh. "Apakah Keano sudah tidur?" tanya Lilia seraya menghadapkan tubuhnya pada prianya itu. William mengangguk, "Sudah, Sayang." Lilia membiarkannya mendekat dan merengkuh pinggangnya. Hangat telapak tangan besar William singgah di sana, memberinya rasa nyaman. "Kemban
“B-bicara apa kamu, William?!” tanya Lilia balik seraya mendorong dada bidangnya agar mereka memiliki jarak. Bukankah tidak perlu Lilia tanyakan akan ke mana percakapan mereka ini akan dibawa? William hanya tersenyum, senang melihat wajah memerah Lilia yang selalu memberinya debaran. Sedang Lilia menunduk untuk melihat tangan prianya itu. Di mana di sana ada salah satu anting miliknya yang baru saja diambil oleh William. “Terima kasih,” ucap Lilia kemudian membiarkan William melepas yang satunya juga. Setelah itu, Lilia meletakkannya di dalam tempatnya. Ia duduk di tepi ranjang, melepas sepatunya sementara William melepas jas yang ia kenakan. Untuk beberapa saat, Lilia tak melihat ke mana ia pergi. Tapi saat ia kembali, pria itu membawa sebuah kotak berukuran kecil, yang dilapisi oleh beludru yang lalu ia tunjukkan pada Lilia apa isi di dalamnya. “Hadiah ulang tahun dariku untuk kamu,” katanya. Senyumnya merekah, manis menghiasi wajahnya yang tampan. Lilia memandang apa yang ad
*** Beberapa waktu sebelum kejutan untuk William dan Keano siap. *** Sebenarnya ... Lilia merasa ada yang aneh saat ia melihat kalender duduk yang ada di meja kerja William di dalam kamar itu. Ia duduk di sana untuk meletakkan figura kecil yang beberapa hari lalu diminta oleh William. Foto mereka bertiga yang diambil pada hari perpisahan Keano. Si pemilik mejanya sedang bermain sepak bola dengan anak lelakinya di halaman depan, sementara Lilia ada di dalam kamar setelah menerima figura itu dari Agni. Lilia menghela napas panjang saat jari telunjuknya mengarah ke kalender tersebut, membolak-baliknya. "Sudah tidak datang sejak tanggal ini," gumam Lilia seorang diri. "Aku terlambat datang bulan selama itu?" Jika Lilia pikir-pikir lagi ... bukankah kemungkinan itu bisa saja terjadi? 'Apa aku hamil?' batinnya. 'Kalau iya ... kenapa tidak ada tanda-tandanya sama sekali?' Padahal setahu Lilia, orang hamil pada umumnya akan memiliki gejala yang membuat tubuh mereka tidak nyaman. Tapi
Rasa haru seketika menyergap mereka, baik itu di hati Lilia atau di dalam sanubari William dan Keano. William sekali lagi mencium Lilia, kali ini bukan di pipi, melainkan di bibir. Beberapa detik yang bisa dirasakan oleh Lilia penuh dengan ketulusan. Mereka saling menukar senyuman sebelum memandang Keano yang menghela dalam napasnya. Saat bocah kecil itu melakukan hal tersebut, suara isak dapat didengar oleh Lilia. Keano menunduk, menutup kedua matanya dengan tangan-tangan kecilnya. “Sayang,” panggil Lilia teriring tangan besar William yang mengusap puncak kepala Keano. “Keano kok menangis kenapa?” Lilia menggapai tangan Keano, menyisihkannya dari kedua matanya yang bening yang kali ini tak dijumpainya. Saat tangan itu menyisih, benar dugaan Lilia bahwa Keano tengah menangis. “Kenapa, Sayang?” tanya Lilia sekali lagi. “Keano sedih?” Keano menggeleng, “Tidak, Mama,” jawabnya. “Keano tidak sedih ... Keano hanya sangat senang karena akan memiliki adik. Papa benar ....” Kepalany
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar.Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi.Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam.Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok.Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata.Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?"Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya.""Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?""Hanya itu saja yang aku pikirkan dari tad
Lilia dan William masih bersembunyi hingga Nicholas dan Selina pergi dari sana.Lilia turut senang karena saat semua luka dan kesalahpahaman perlahan teruraikan, satu demi satu dari mereka mendapatkan kebahagiaan."Apakah pernikahan akan dilakukan dalam waktu dekat kalau begini caranya?" tanya Lilia setelah dua orang yang mereka awasi tadi benar-benar telah pergi dari sana."Kalau memang niat, tidak perlu mengulurnya, 'kan?" balas William sembari mengusap puncak kepala Lilia."Tapi aku penasaran bagaimana cara Kak Nicholas bertemu dengan Selina sebenarnya? Dari tidak sengaja menjadi takdir?"Belum sempat William menjawab, mereka dikejutkan oleh suara yang datang dari sebelah kanan Lilia.Jovan, entah sejak kapan tangan kanan Nicholas itu ada di sini, tapi kehadirannya membuat mereka berdua terkejut."Itu dimulai dari Tuan Nicholas yang datang ke rumah sakit untuk periksa mata dan tidak sengaja terlihat sebuah peristiwa dengan Dokter Selina, Nona Lilia," katanya."Peristiwa apa?" tanya
Karena tak ingin keberadaan Lilia dan William terlihat, maka mereka berdua menyisih, menyembunyikan diri di belakang pohon besar yang ada di tengah taman rumah sakit."Apa itu yang kapan hari dibilang oleh Pak Jovan sebagai dokter anak yang dekat dengan Kak Nicholas?" tanya Lilia lirih, menoleh pada William yang berdiri di belakangnya, turut menyembunyikan diri meski Lilia tak yakin mereka tak akan ketahuan."Kenapa dengan wajahmu?" tanya Lilia sekali lagi, jari telunjuknya bergerak di depan wajah William dan ditanggapi bingung oleh si pemilik wajah."Apanya, Sayang?" tanya William balik."Kamu terlihat keberatan. Kamu tidak suka aku memintamu bersembunyi di sini?"Mata William mengerjap lebih dari satu kali, "Keberatan bagaimana?""Wajahmu terlihat kesal, kamu kesal padaku karena aku memintamu untuk bersembunyi? Aku memintamu melakukan hal yang sulit memangnya? Atau kamu menganggap aku kekanakan?"Cecaran pertanyaan dari Lilia membuat sepasang mata William terpejam pasrah."Lihat itu
“Aku tidak bisa melakukan itu begitu saja,” jawan William dengan cepat, seolah memang ia telah siap dengan jawaban tersebut. “Butuh waktu bertahun-tahun sejak kematian Madeline sampai Mama dan Papa mengatakan bahwa kalian bersalah karena telah menyia-nyiakannya. Aku bahkan harus menyalah pahami Nicholas melakukan sesuatu yang buruk padahal Madeline lah yang lelah dengan semua ketidak adilan yang terjadi untuknya.” Lilia meredakan detak jantungnya bertubi-tubi lebih cepat. Matanya perih memandang William dan netra kelamnya yang tampak menanggung kesakitan. Suara gemetarnya mengatakan segalanya, tentang kekecewaan, dan juga keretakan yang bertahun-tahun ada di bahunya. “Aku mungkin memaafkan kalian, tapi nanti ....” imbuh William setelah hening merengkuh mereka lebih dari enam puluh detik lamanya. “Biar aku lihat seperti apa kesungguhan Mama dan Papa dalam mencintai keluargaku, istriku, anak-anakku. Terhadap Nicholas pun juga begitu. Bukan hanya Madeline yang kalian buat menderita, t
Lilia tak begitu saja menjawabnya. Ia memandang Nyonya Donna yang menunduk dengan meremas jari-jarinya yang ada di atas paha, begitu juga dengan Tuan Adam yang menghela dalam napasnya. Terlihat sangat jelas sesal yang terukir dari caranya mengatakan, ‘Maafkan kami, Lilia ....’ Tuan Adam tak seperti sang istri yang lebih emosional dengan menunjukkan gestur akan sebuah sesal. Beliau tersenyum, maniknya menerpa Lilia degan bibirnya yang tersenyum. Tapi meski tak mengatakan apapun, Lilia tahu Tuan Adam sama menyesalnya. Sejak dulu Lilia tahu bahwa Tuan Adam memang cenderung pendiam dan lebih sering mengalah. Hingga hari ini pun ... sikap itu masih melekat di sana. Sebuah dinamika keluarga yang sering dijumpai oleh Lilia. “Kami tahu kamu tidak akan begtu saja mau memaafkan kami,” ucap kembali Nyonya Donna. “Kami juga memaklumi akan hal itu, Lilia. Tapi mungkin ... kamu bisa memberi sedikit harapan bahwa rasa bersalah kami ini akan bisa mendapat pemutihan nanti, meski membutuhkan waktu l
Agni benar saat mengatakan bahwa itu akan menjadi obat pelipur lara bagi Lilia, William dan juga Keano. Mereka berbahagia, melewati masa pemulihan Lilia dengan berharap bahwa bayi kembar dalam kandungannya itu tumbuh dengan baik, menjadi anak yang juga baik dan lembut hatinya—setidaknya begitu yang dikatakan oleh Keano berulang kali. Bocah kecil itu teramat senang saat tahu ia akan memiliki adik kembar laki-laki dan perempuan, senang tak kepalang. 'Mama, Keano sudah mengatakan pada Jayce dan Jasenna kalau Keano akan punya adik kembar laki-laki dan perempuan, mereka bilang nanti kalau adik lahir akan datang, apakah boleh, Mama?' Celotehannya menghidupkan satu hari Lilia yang terasa membosankan di rumah sakit. Dan jika Lilia tak kunjung menjawab dengan mengatakan, 'Boleh, Sayangku ....' maka Keano masih akan antusias menunggunya, menatapnya dengan mata berbinar. Kabar dirinya yang hamil kembar sepasang itu telah sampai pada Tuan Alaric yang datang memberinya selamat. Pada ibunya y
"Sudah, semuanya sudah berakhir, tidak ada lagi yang akan menyakiti kamu, menyakiti anak-anak kita, maaf untuk semua kelalaiannya ...." William menunjukkan senyumnya, merekah tapi di mata Lilia penuh rasa kecewa. Mungkin prianya itu merasa bersalah karena telah membiarkan Lilia diculik dan berakhir seperti ini. "Kamu juga tidak bersalah," balas Lilia sembari mengusap dagu William, pada sudut bibirnya, pada tegasnya rahang pria miliknya ini. "Kamu sudah menjagaku sebaik mungkin, tapi si jahat itu memang sedang memiliki kesempatan dan membuat semuanya jadi seperti ini." "Terima kasih untuk pengertianmu, Lilia." William menggapai bibir Lilia dengan lembut, tak ingin memberikan pagutan, sebatas kecupan beberapa detik seolah sedang meyakinkannya bahwa semuanya telah baik-baik saja. Saat William menarik wajahnya, ia menghela dalam napasnya sebelum berujar, "Aku harap setelah peristiwa ini kamu tidak semakin terpuruk dalam trauma itu," resahnya sendu. "Aku pikir tidak, William,"
Setelah merasa terombang-ambing di tengah laut yang sunyi dan tanpa tepian serta dirundung kesendirian dalam waktu yang ia kira berlalu lebih dari satu dasawarsa, Lilia akhirnya bisa melihat dunia yang sebenarnya. Langit-langit kamar asing yang lalu disadarinya sebagai langit-langit ruang rawat tempat ia berbaring, aroma obat-obatan yang menyentuh indera pembaunya, serta hangatnya tangan seorang pria yang ia rindukan, William. Mengerjapkan matanya dengan pelan, Lilia ingat apa yang telah membuatnya berbaring di sini dengan selang infus yang tergantung di lengan kirinya. Tak lain karena ia nyaris saja mati di tangan mantan ayah angkatnya yang kejam. Rasa sesak saat jemari tangan pria itu mencekik lehernya dan membuat napasnya terputus seperti masih tersisa di sana, memberinya sensasi aneh yang membuat Lilia ketakutan bahwa peristiwa itu akan berulang. Ah ... begitukah rasanya ada di ambang batas hidup dan mati? Gelap dingin dan menakutkan? Seperti itu jugakah alam bawah sadar yang
Pemantik yang dibawa oleh Niel itu mengeluarkan api, menyala di hadapan Arya yang wajahnya pias. Saat pria itu berpikir bahwa Niel benar akan membakarnya, dugaannya salah. Pemuda itu justru menariknya kembali. Ia memang membakar sesuatu, tapi bukan dirinya. Melainkan rokok yang terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya, lalu menyesapnya. Aksi itu membuat tawa Zain terdengar, begitu juga dengan Alaric yang lebih patut disebut sebagai 'mencemoohnya'. "Lihat, bukankah dia sangat bodoh?" tanya Niel, asap mengepul keluar dari bibirnya saat ia menunjuk pada Arya. "Dia benar-benar berpikir kalau yang aku tuangkan ke tubuhnya itu adalah bahan bakar." Dagunya mengedik pada Arya yang berekspresi penuh kebingungan. Pria itu mengendus tubuhnya sendiri, bahu kanan dan kirinya, pada tangan dan juga sekitarnya yang tak mengeluarkan aroma apapun selayaknya aroma bahan bakar. Yang disiramkan oleh Niel itu bukanlah bensin atau sesuatu sejenisnya, tapi air minum. Di saat seperti ini, si