Akak semua... ini bab bonusnya ya đ€ hehehe... dibikin darah tinggi sama si Gareth wkwwkw, tenang ... tenang .... kita kembali besok dengan bab yang manis lagi yaaaa
Gretha mengurungkan niatnya untuk menghubungi Giff. Ia tak yakin pemuda itu akan menjawabnya juga.Yang ada kemungkinan besar ia malah diblokir.Ia lalu meletakkan ponselnya ke samping bantal, memutuskan untuk pelan-pelan membaringkan dirinya di atas tempat tidur.Memiringkan tubuhnya ke kiri, membiarkan air mata menggenang membasahi pipinya.Napasnya terasa berat, ia meraba perutnya. Hari kelahiran bayinya ini sudah semakin dekat.'Semuanya jadi berantakan,' gumamnya dalam hati.Gigil menyergapnya dari ujung kaki.Saat ia mencoba memejamkan netranya yang lelah, bayangan wajah Ivana tiba-tiba muncul sehingga Gretha dengan cepat kembali membuka matanya.Jantungnya seperti baru saja berhenti berdetak selama beberapa detik karena tiba-tiba saja Ivana yang tak pernah ia pikirkanâdan hampir hilang dari benaknyaâmuncul tanpa persetujuan.Tatapan mata kakak tirinya ituâataukah sekarang ia harus menyebutnya sebagai mantan kakak tiriâmendadak datang.Wajah cantik Ivana yang meski pucat sepanja
Sebelum William mengatakan itu, sebenarnya Lilia sempat melihat Keano menepuk bahu ayahnya itu dan membisikkan sesuatu kepadanya. Sepertinya itu adalah agar William segera mengajak Lilia berdansa.Dengan masih termangu, Lilia menatap William dan tangan kanannya yang terulur kepadanya itu."Terima, Mama!" pinta Keano dengan antusias."T-tapi aku tidak bisa berdansa," jawab Lilia dengan gugup, merasa bersalah karena ini seperti sebuah penolakan yang tidak kentara."Tidak apa-apa, aku bisa membuatmu berdansa malam hari ini."Anggukan William seolah sedang meyakinkannya, sehingga Lilia menerima tangan itu dan bangun dari duduknya.Ia berjalan mengikuti William yang tiba di tengah restoran, di bawah lampu chandelier yang bergantung dengan cantik.Meja-meja yang tersisih sejak awal mereka masuk itu sekarang Lilia tahu alasannya. Untuk tempat mereka berdansa.Sekilas melirik pada Keano, bocah kecil itu duduk di sana, tersenyum dengan ditemani oleh Giff yang masuk dan berdiri di sampingnya.
Setelah kemarin seharian hiking di sekitar gunung Pilatusâyang sebenarnya itu tak bisa dikatakan sepenuhnya hiking karena mereka tak sampai seperempat perjalanan dan lebih memilih untuk menikmati pemandangannya sajaâhari ini di dalam rumah tempat tinggal selama bulan madu, Giff tak menjumpai suara apapun saat ia berkunjung ke sana.Sepertinya semua orang bangun kesiangan, mungkin karena lelah.Di depan perapian, ia melihat Lilia, William dan Keano terlelap di sana.Ia tersenyum saat memelankan langkahnya. Hatinya hangat, seperti sisa-sisa perapian semalam melihat Lilia yang tidur di tengah William dan Keano, seolah ayah dan anak itu sangat bahagia dan tak ingin kehilangan Lilia.'Apa seperti itu wujud seorang pria yang sudah menemukan dunianya?' batin Giff kemudian menuju ke ruang makan, membongkar makanan yang dibelinya pelan-pelan hingga semuanya selesai.Baru setelah itulah ia membangunkan keluarga kecil William itu.Lilia yang pertama bangkit, berterima kasih pada Giff yang menyia
âTidurlah di kamar Lilia nanti malam, biar bagaimanapun dia adalah istrimu juga. Sama sepertiku, dia juga berhak mendapatkan nafkah batin darimu, William.â Suara manis yang terdengar menembus pintu kamar membuat Lilia menghentikan langkahnya. Ia berdiri di luar dengan kedua tangan yang mencengkeram erat keranjang berisi pakaian yang harusnya ia bawa masuk, sebelum ia menyadari bahwa tuan dan nonanya tengah berada di dalam sana. âTidak mau, Sayang,â jawab suara bariton seorang pria menyambut permintaan itu. âAku tidak bisa melakukan itu dengan wanita lain selain kamu.â âKamu tidak boleh begitu, William. Karena nanti setelah aku mati, kamu akan hidup dengan Lilia.â âTapi kamu tidak akan meninggalkan aku secepat itu, Ivana.â Lilia termangu dengan tubuh yang terasa kebas. Tuan dan nonanya itu sedang membicarakan dirinya, babysitter anak mereka, yang sekaligus telah menjadi istri kedua William. Hal itu mereka lakukan untuk memenuhi permintaan Ivana yang kondisinya memburuk akibat le
Lilia melihat pria itu sedikit berbalik untuk menutup pintu sehingga ruangan ini seolah menjebak mereka hanya berdua saja.Ia merasa tubuhnya nyeri mendengar yang baru saja dikatakan oleh William. âYang dilakukan oleh dua orang yang sudah menikahâ itu, Lilia tahu betul apa artinya.Hubungan suami istri, seperti yang tadi diminta oleh Ivana, bukan?Lilia ketakutan, pandangan William tajam mengintimidasinya. Sesuatu yang gelap tersembunyi di balik iris dan wajahnya yang rupawan.Dadanya bertalu ribut sehingga Lilia membawa langkahnya mundur untuk menghindarinya. Membawa dirinya sejauh mungkin dari William jika perlu.âApa sekarang kamu sedang menolakku?â tanya pria itu. Tak mendapati jawaban, William menekan saat mengucap, âJangan salah, aku datang ke sini karena istriku yang meminta,â katanya. âBukan karena keinginanku sendiri. Jadi lakukan ini sebagai cara kita memenuhi apa yang diinginkan oleh Ivana.âKalimatnya telah menegaskan dengan kuat bahwa tak ada wanita lain yang dicintai ole
Lilia tertegun cukup lama mendengar William.âNona Ivana ... meninggal?â batinnya, merasakan sensasi perih yang tiba-tiba menusuk ulu hatinya. Ia bangun dan mengangkat Keano ke gendongannya untuk mendekat ke arah kamar.Saat hampir melewati William yang baru saja mengakhiri panggilannyaâentah dengan siapa ituâLilia terkejut karena pria itu justru membentaknya.âApa kamu bodoh?!â hardiknya. âKenapa kamu malah membawa Keano untuk masuk?ââS-sayaââ Lilia mendekap Keano semakin erat saat anak itu sepertinya lebih terkejut mendengar suara ayahnya yang meninggi. âSaya hanya ingin Keano melihat saat-saat terakhir Nona Ivana, Tuan,â jawab Lilia akhirnya.Tapi William tak menerima alasan itu. Ia meraih lengan Lilia dan menariknya pergi menjauh dari pintu.âJangan sampai Keano melihat ini!â peringatnya sungguh-sungguh. âBawa dia pergi sampai aku memintamu membawanya pulang!ââKenapa Papa berteriak?!â tanya Keanoâyang barangkali menganggap seruan William ditujukan untuknya.Ia nyaris jatuh dari
Tudingannya menggebu-gebu.Lilia menatap ibu Ivana dengan mata yang basah, bibirnya berusaha mengeluarkan kata untuk menepis tuduhan itu, tapi suara lain lebih dulu menyahut, âApa yang terjadi?âWanita lain yang datang itu merupakan ibunya William, bimbang memandang Lilia dan besannya itu bergantian.âPerempuan ini yang baru saja membawa Keano, âkan?â tanggapnya. âAku baru saja melihat Keano di kamar dan dia mengatakan dia baru saja pergi dengan âMama Lilia.âââApa?!â Ibunya William terkejut, sepasang bola matanya melebar mendengar hal itu. âB-bagaimana bisa seorang babysitter dipanggil âMamaâ oleh cucuku?!âIa beralih pandang dari sang besan pada Lilia yang juga sama terkejutnya.Kalimat-kalimat pembelaan diri yang sempat tersusun di bibirnya seolah tertelan kembali ke tenggorokan.âApa itu benar, Lilia?â tanya beliau. âApa kamu meminta Keano untuk memanggilmu âMamaâ setelah kamu menyingkirkan Ivana?ââItu tidak benar, Nyonya!â tepis Lilia dengan suara yang gemetar. âSaya tidak membu
âT-terima kasih,â ucap Lilia sungkan. Ia menunduk menghindari tatapan itu, berpikir bahwa barangkali Nicholas tak nyaman melihatnya memiliki luka yang mencolok seperti ini.Pria itu mengangguk tak keberatan sebelum kembali memacu mobilnya menuju rumah sakit. Hampir tak ada percakapan yang terjadi.Lilia juga tak berani membuka suara mengingat dirinya yang memang tak setara dengan pria di balik kemudi itu.Status sosial mereka berbeda. Hanya kebetulan yang membuat mereka bertemu dan pria itu tak keberatan mengantarnya.Tak berapa lama kemudian mereka tiba di rumah sakit, meninggalkan mobil di parkiran, langkah mereka berhenti di depan ruang ICU.Jendela besar itu menunjukkan keberadaan ibunya yang belum bangun pasca operasi.âApa yang terjadi, Lilia?â tanya Nicholas yang berdiri di samping kanannya.âIbu saya jatuh di kamar mandi, Tuan,â jawabnya. âAda pendarahan di kepalanya. Setelah operasi itu berhasil, ternyata dokter menemukan sakit lain di tubuh Ibu yang membuat beliau masih belu
Setelah kemarin seharian hiking di sekitar gunung Pilatusâyang sebenarnya itu tak bisa dikatakan sepenuhnya hiking karena mereka tak sampai seperempat perjalanan dan lebih memilih untuk menikmati pemandangannya sajaâhari ini di dalam rumah tempat tinggal selama bulan madu, Giff tak menjumpai suara apapun saat ia berkunjung ke sana.Sepertinya semua orang bangun kesiangan, mungkin karena lelah.Di depan perapian, ia melihat Lilia, William dan Keano terlelap di sana.Ia tersenyum saat memelankan langkahnya. Hatinya hangat, seperti sisa-sisa perapian semalam melihat Lilia yang tidur di tengah William dan Keano, seolah ayah dan anak itu sangat bahagia dan tak ingin kehilangan Lilia.'Apa seperti itu wujud seorang pria yang sudah menemukan dunianya?' batin Giff kemudian menuju ke ruang makan, membongkar makanan yang dibelinya pelan-pelan hingga semuanya selesai.Baru setelah itulah ia membangunkan keluarga kecil William itu.Lilia yang pertama bangkit, berterima kasih pada Giff yang menyia
Sebelum William mengatakan itu, sebenarnya Lilia sempat melihat Keano menepuk bahu ayahnya itu dan membisikkan sesuatu kepadanya. Sepertinya itu adalah agar William segera mengajak Lilia berdansa.Dengan masih termangu, Lilia menatap William dan tangan kanannya yang terulur kepadanya itu."Terima, Mama!" pinta Keano dengan antusias."T-tapi aku tidak bisa berdansa," jawab Lilia dengan gugup, merasa bersalah karena ini seperti sebuah penolakan yang tidak kentara."Tidak apa-apa, aku bisa membuatmu berdansa malam hari ini."Anggukan William seolah sedang meyakinkannya, sehingga Lilia menerima tangan itu dan bangun dari duduknya.Ia berjalan mengikuti William yang tiba di tengah restoran, di bawah lampu chandelier yang bergantung dengan cantik.Meja-meja yang tersisih sejak awal mereka masuk itu sekarang Lilia tahu alasannya. Untuk tempat mereka berdansa.Sekilas melirik pada Keano, bocah kecil itu duduk di sana, tersenyum dengan ditemani oleh Giff yang masuk dan berdiri di sampingnya.
Gretha mengurungkan niatnya untuk menghubungi Giff. Ia tak yakin pemuda itu akan menjawabnya juga.Yang ada kemungkinan besar ia malah diblokir.Ia lalu meletakkan ponselnya ke samping bantal, memutuskan untuk pelan-pelan membaringkan dirinya di atas tempat tidur.Memiringkan tubuhnya ke kiri, membiarkan air mata menggenang membasahi pipinya.Napasnya terasa berat, ia meraba perutnya. Hari kelahiran bayinya ini sudah semakin dekat.'Semuanya jadi berantakan,' gumamnya dalam hati.Gigil menyergapnya dari ujung kaki.Saat ia mencoba memejamkan netranya yang lelah, bayangan wajah Ivana tiba-tiba muncul sehingga Gretha dengan cepat kembali membuka matanya.Jantungnya seperti baru saja berhenti berdetak selama beberapa detik karena tiba-tiba saja Ivana yang tak pernah ia pikirkanâdan hampir hilang dari benaknyaâmuncul tanpa persetujuan.Tatapan mata kakak tirinya ituâataukah sekarang ia harus menyebutnya sebagai mantan kakak tiriâmendadak datang.Wajah cantik Ivana yang meski pucat sepanja
Ini seperti deja vu dengan yang terjadi di rumah Henry sebelumnya. Dari jendela Gretha bisa melihat sebuah mobil polisi yang berhenti di depan rumah.Beberapa orang petugas dalam balutan seragam pun juga terlihat keluar dari sana.Meski di luar keadaannya gelap sebab petang mulai merayap, tapi Gretha bisa memastikan bahwa mereka berjumlah lebih dari empat orang.Cukup pas untuk menangkap satu atau dua orang, semisal itu adalah dirinya dan ibunya.Gretha berdiri di sana dalam ketegangan. Ia meneguk ludah dengan dada yang berdebar, menggila hingga seolah akan meledak.Tapi, polisi itu hanya berhenti untuk mengambil sesuatu yang ada di tengah jalan. Sepertinya bongkahan balok yang menghalangi jalan dan menepikannya.Memungut beberapa keping paku dengan alat yang mereka bawa lalu mereka masuk kembali ke dalam mobil dan mengemudikannya menjauh.Dari balik jendela, Gretha duduk merosot dengan air mata yang menggantung di kedua sudutnya."Tidak apa-apa, tidak akan secepat itu," ucap Nyonya B
âMaaf,â ucap Lilia sekali lagi. âAku pikir tidak apa-apa tadi untuk meninggalkanmu dan Keano sebentar. Maaf karena sudah membuat kalian berpikiran buruk.âWilliam menghela dalam napasnya kemudian berlutut di hadapannya.âTidak apa-apa, yang penting jangan begitu lagi. Kamu tahu seburuk apa kondisiku dan Keano saat kamu meninggalkan kami, âkan? Aku sungguh tidak ingin mengulanginya lagi, Lilia.âLilia mengangguk, ia menunduk untuk menyentuh wajah William, memastikan prianya itu bahwa ia ada di sini dengannya.Tidak untuk pergi atau sengaja meninggalkannya."Kita tidak jadi masuk ke dalam kafe," ucap Lilia, memandang Keano dengan mengerutkan hidungnya. "Maaf, Sayang."Alih-alih marah, anak lelakinya itu justru memberi jawaban yang menghangatkan hati Lilia."Tidak apa-apa, Mama," jawabnya. Senyumnya merekah dan pipinya yang putih itu bersemu merah. "Yang penting Keano masih bisa bertemu dengan Mama. Terima kasih sudah kembali."Lilia memeluk Keano yang membalasnya dengan kedua tangan kec
William menurunkan ponsel dari samping telinganya, ia mendorong napasnya yang berkabut akibat suhu yang menurun secara drastis pada malam hari.Ia mendekap Keano semakin erat saat anak lelakinya itu sepertinya memiliki kekhawatiran yang sama dengannya.Keano memang terdiam, tetapi gerakan tubuhnya yang beberapa kali merasa tidak nyaman membuat William tahu ia tengah cemas.âApakah kita tidak akan bertemu Mama, Papa?â tanya Keano, suaranya serak, menunggu jawaban William sehingga ia harus menunjukkan senyumnya agar bocah kecil itu tak semakin khawatir.âKita akan bertemu Mama, Sayang. Tapi tunggu sebentar ya, kita cari Mama dulu?âWilliam menepis jauh-jauh pikiran yang sedari tadi bergulir liar di dalam kepalanya. Bahwa ada orang jahat yang membawa pergi Lilia sehingga istrinya itu tak bisa ia temukan.Ia memutuskan untuk mendekat ke salah seorang yang juga mengantri di sana, barangkali ia tahu ke mana Lilia pergi. âPermisi, apakah kamu melihat seorang wanita dengan sya berwarna putih
Saat Lilia membuka matanya, ia selalu tak menjumpai William. Tapi ia mendengar suara gelak tawa Keano di luar sehingga ia mengintip melalui jendela dan melihat anak lelakinya itu sedang bermain bola dengan ayahnya di halaman samping.Ia beranjak pergi dari kamar, mempersiapkan makanan yang semalam disimpannya di dalam lemari pendingin, menghangatkannya dan meletakkannya di atas meja makan.Menyiapkan juga untuk Keano, sandwich dan tamago, lengkap dengan buah potong dan susu untuknya.Saat ia keluar dan menunjukkan diri, Keano seketika melupakan bola yang tadi ditendangnya bergantian dengan William."Mama," panggilnya seraya berlari pada Lilia.Memeluknya saat Lilia merendahkan tinggi tubuhnya."Mama sudah bangun?" sapanya yang dibalas anggukan oleh Lilia."Sudah, Sayang, sudah dari tadi," jawabnya. "Mama sudah siapkan makanan juga untuk sarapan. Kamu masuk dan cuci tangan dulu lalu kita makan, selagi masih hangat.""Siap, Mama."Keano berlari lebih dulu memasuki rumah, di belakangnya
"William," sebut Lilia kemudian menyelusupkan jari-jari tangannya di antara rambut hitam pria itu, menahan gejolak dalam dadanya yang tengah berdegup sebab bibir William terasa sangat sensual.Bukan hanya gigitan di bahu, tapi tangan besarnya menarik turun tali kecil gaun tidur yang ia kenakan, membuat Lilia tak bisa menolak kenikmatan yang ia berikan kala bagian depan tubuhnya mendapat sentuhan.Bibirnya hampir saja meloloskan desahan yang penuh erotika sebelum William mengangkatnya pergi dari meja makan, meninggalkan dua cangkir teh mereka yang isinya telah kosong.Langkah kaki William menuju ke dalam kamar, membuat Lilia berbaring di atas ranjang sementara dirinya kembali ke pintu, menutup dan memastikannya terkunci dan mematikan lampu.Saat ia kembali mendekat pada Lilia, sepasang matanya yang sayu menerpa di bawah remang lampu tidur.Ia menunduk di atas Lilia, dan sebelum kecupan mendarat di bibirnya, Lilia lebih dulu mencegahnya.Ia menahan wajah William sembari bertanya, "Apaka
Luzern, Swiss, sekitar pukul delapan malam. Sebuah mobil SUV yang dikemudikan oleh Giff tiba di depan sebuah rumah yang nantinya akan ditinggali oleh Lilia, William dan Keano selama mereka berada di siniâuntuk kurang lebih sepuluh hari. Tiga hari sebelumnya, Giff lebih dulu terbang menuju ke tempat ini dan mempersiapkan semuanya. Sebuah rumah yang disewa olehnya untuk bisa ditinggali keluarga kecil William sebelum mereka tiba selagi Giff sendiri tinggal di penginapan. Giff banyak menyarankan pilihan tempat tinggal, William memilih sebuah rumah karena ia pikir itu akan menyenangkan menghabiskan waktu seolah mereka adalah 'warga Swiss'. Tadi, ia menjemput tiga orang itu di bandara dan sampai di sini dengan keadaan Keano yang digendong keluar oleh William karena ia terlelap selama perjalanan. Giff membuka pintu rumah, memimpin William masuk ke dalam dan menunjukkan di mana kamar Keano. Sementara Lilia yang ada di luar menurunkan barang-barang yang tak terlalu berat, tas miliknya ata