bab bonusnya menyusul seperti biasa yahhh akak semua. yg mau spoiler buku baru bisa follow 1nst4gram Thor @almiftiafay maaciw 🫀 bai-baiii
Setelah kemarin seharian hiking di sekitar gunung Pilatus—yang sebenarnya itu tak bisa dikatakan sepenuhnya hiking karena mereka tak sampai seperempat perjalanan dan lebih memilih untuk menikmati pemandangannya saja—hari ini di dalam rumah tempat tinggal selama bulan madu, Giff tak menjumpai suara apapun saat ia berkunjung ke sana. Sepertinya semua orang bangun kesiangan, mungkin karena lelah. Di depan perapian, ia melihat Lilia, William dan Keano terlelap di sana. Ia tersenyum saat memelankan langkahnya. Hatinya hangat, seperti sisa-sisa perapian semalam melihat Lilia yang tidur di tengah William dan Keano, seolah ayah dan anak itu sangat bahagia dan tak ingin kehilangan Lilia. 'Apa seperti itu wujud seorang pria yang sudah menemukan dunianya?' batin Giff kemudian menuju ke ruang makan, membongkar makanan yang dibelinya pelan-pelan hingga semuanya selesai. Baru setelah itulah ia membangunkan keluarga kecil William itu. Lilia yang pertama bangkit, berterima kasih pada Giff yang m
Sebenarnya Bertha tahu bahwa keputusannya memberanikan diri untuk menemui Alaric itu adalah sesuatu yang ‘bodoh’, tapi hal itu ia lakukan sebab ia tak ingin terus melihat Gretha menangis dan mengkhawatirkan akan seperti apa masa depan yang menunggu mereka, terutama bayi yang dikandungnya itu—yang mau tak mau harus Bertha akui sebagai cucunya. Namun, setibanya di sini, Bertha telah mendapatkan jawaban yang sangat jelas sekarang. Penolakan. Alaric tak bersedia membantunya, bagaimanapun Bertha mencoba menyentuh hati baik pria itu. Sudah tak ada lagi sisa belas kasih di dalam hatinya, caranya bertutur telah menjelaskan segalanya betapa mantan suaminya itu teramat membencinya. Dan alih-alih mengulurkan tangannya, Alaric justru membebaninya dengan sebuah ancaman. Meminta Zain mengamankannya dan memanggil polisi ke sini. “TIDAK, ALARIC!” seru Bertha sekali lagi. Ia menggelengkan kepalanya dengan panik. Bertha berlari meninggalkan teras lobi Seans Holdings saat melihat Zain selangkah me
Untuk pertama kalinya setelah mereka meresmikan pernikahan, Lilia akan beraktivitas sebagai istri William dan tinggal untuk seterusnya di rumah ini. Selama bulan madu itu, ibunya—Alya—dengan bantuan Agni serta pelayan rumah tangga yang ada di rumah William mengemas barang yang ada di rumah neneknya Zain untuk kembali ke kota. Lebih dari sepuluh hari yang panjang dan Lilia melihat barang-barangnya sudah tiba di rumah ini. Alya akhirnya setuju untuk tinggal di rumah yang dibelikan oleh William. Tempatnya tidak jauh dari mereka, hanya berbeda perumahan dengan bangunan yang lebih sederhana sebab yang tinggal di sana hanya Alya dan dua orang pelayan serta seorang security. Lilia senang sebab ibunya itu akhirnya setuju untuk tinggal dirumah baru karena sebelumnya terus saja menolak dan mengatakan ia bisa tinggal di panti asuhan dan merawat anak-anak di sana—Ibu panti itu adalah teman Alya. Tuan Alaric lah yang melobinya, beliau mengatakan kurang lebih seperti, ‘Aku tidak ingin melihat
“Apa yang dia lakukan di sini?” tanya William seraya bangun dari duduknya. Jarinya yang terluka yang ia keluhkan pada Lilia itu seketika terlupakan. Alisnya berkerut saat ia menatap Giff yang sekilas menggeleng saat menjawab, “Saya tidak tahu, Tuan William. Dia hanya bilang ingin bertemu dengan Nona Lilia. Itu saja.” “Suruh dia pergi saja, Giff!” ucap William tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Tetapi hal itu tak disetujui oleh Lilia begitu saja. Ia ikut bangun dan meraih tangan William seraya berujar, “Biar aku temui saja dia, William.” “Tidak!” tepis William, wajahnya mengeras, menolak dengan tegas. “Apa setelah semua yang dia lakukan padamu aku bisa membiarkan dia bertemu denganmu begitu saja. Tidak, Lilia! Tidak akan ada yang pergi menemui wanita itu!” Lilia menjumpai kekhawatiran yang besar dari cara William bertutur. Penolakannya yang tegas itu mengatakan lebih banyak bahwa ia tak akan membiarkan Lilia bertatap muka dengan Gretha. “Kalau kamu khawatir kamu bisa peri bers
‘A-apa dia bilang?’ batin Lilia, tubuhnya berdiri membeku di belakang William yang tak bisa menahan diri untuk tetap menjaga ketenangannya. “Apa kamu bilang?!” tanya William dengan lantang. Ia selangkah maju tetapi Lilia meraih tangannya sehingga pria itu tetap tertahan di tempatnya. “Kamu bilang agar Lilia merawat anakmu?” Gretha tampak memberikan anggukannya, ia kembali menatap Lilia dan dari jarak yang memisahkan mereka ini, Lilia melihat netra wanita itu berair. Ekspresinya penuh dengan harap, seolah memang Lilia adalah satu-satunya harapannya yang tersisa. Seakan ia tak memiliki lagi tempat ke mana ia harus mengadu. “Iya,” katanya. “Aku berjanji akan menebus semua kesalahanku tapi bisakah Lilia dan Kak Liam merawat anakku? Dia tidak bersalah, tapi harus menanggung dosa yang aku lakukan dan—“ “Artinya kamu sadar,” sela William sebelum Gretha berceloteh lebih panjang. “Artinya kamu sadar apa yang kamu lakukan adalah sebuah dosa besar. Kenapa baru sekarang? Ke mana saja kamu s
Memasuki rumah, Lilia harus menghela dalam napasnya untuk menguraikan sesak yang baru saja menjeratnya ini. “Kamu baik-baik aja?” tanya William seraya memindah tangannya dari pinggang Lilia ke bahunya, ia rangkul dan ia beri usapan lembut. “Iya, William. Aku baik-baik saja,” jawabnya. “Hanya ... sedikit terkejut saja mendengar Gretha berbicara seperti itu tadi.” “Sama. Aku juga terkejut.” “Aku harap dia mendapatkan poinnya bahwa setiap dari yang kita lakukan itu memiliki akibatnya. Yang baik atau yang buruk.” William mengusap bagian belakang kepalanya, pada rambut panjangnya yang hitam legam. Terpesona pada cara Lilia berucap tentang akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Itu lembut dan sangat keibuan. “Seperti yang kamu katakan tadi, Lilia,” ucap William. “Kamu memiliki hak untuk menolak. Jadi keputusan kamu untuk menolak permintaannya tadi itu adalah pilihan yang benar.” “Aku sepertinya terlalu banyak menonton drama,” ujar Lilia saat mereka terus berjalan menuju k
Lilia juga hampir tersedak mendengar tanya polos Keano. Mereka bertiga orang dewasa harus menggapai gelas berisi air minum dan membasahi leher mereka yang mendadak dilanda kekeringan. "Tidak semudah itu, Keano," ucap William akhirnya. Memandang pada anak lelakinya yang mengerjap dan kembali mengunyah makanannya. "Lalu bagaimana, Papa?" "Adik tidak akan muncul semudah itu. Kalaupun nanti ada kabar baiknya, kita masih harus menunggu sampai sembilan bulan sampai adik lahir," tuturnya menerangkan. "Hm ... baiklah." Keano mengangguk, sepertinya bisa memahami apa yang dikatakan oleh William. Mereka kembali melanjutkan makan dan selesai beberapa saat kemudian. Keano mengajak Giff untuk berenang sebelum ia masuk ke kamar atas dan menyusul Lilia yang sibuk dengan tablet yang ia pinjam dari William untuk mencari informasi sekolah Keano. Tadi ia sudah mendapatkan jawaban dari William soal di mana Jayce dan Jasenna bersekolah. Ia memeriksa kapan pendaftarannya dibuka dan biayanya. Sedang W
"Anda ditahan atas pasal pembunuhan berencana, pemusnahan barang bukti, pemerasan, penggelapan dan perbuatan tidak menyenangkan." Petugas tersebut memandang Gretha dan Nyonya Bertha bergantian. Surat penangkapan yang ditunjukkan di hadapan Nyonya Bertha yang memang berdiri paling dekat dengan mereka lalu diturunkan. "Bawa mereka!" titahnya pada petugas lain yang ada di belakangnya. "Tidak!" seru Gretha seraya berjalan mundur. Ia tidak mau ditangkap! Ia berlari pergi dari sana, air matanya berlinangan penuh ketakutan. "GRETHA!" panggil Nyonya Bertha, seruannya mengatakan lebih banyak agar sebaiknya mereka menyerah saja. Jalan mereka sudah buntu, mereka tidak bisa lari ke manapun sebab rumah ini pasti telah dikepung. "Jangan bawa saya sekarang!" Gretha berseru keras-keras, larinya terhalang oleh polisi yang lebih dulu bergerak dan tiba di hadapannya. "Lepas!" Ia memberontak saat tangannya diraih. Suara borgol yang dikeluarkan membuat bulu kuduknya berdiri. Dinginnya benda itu
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan