Suasana gedung sekolah SMA High Pros mendadak ramai kala deringan bel berbunyi menandakan waktu istirahat pertama. Tiga lantai keatas mulai dipadati anak-anak berseragam putih dengan vest marun melintasi lorong dan anakan tangga, berlomba-lomba menuju kantin. Ada juga yang masih di kelas, membuka bekal sambil mengobrol bersama.
Kelas 12-A mulai sepi. Bella memandangi langit sekilas dibalik kaca-kaca yang sejak tadi pagi diterpa angin kencang. Suasana dingin masih terasa sisa hujan gerimis tadi pagi. Tiga jam pertama dilewati dengan menahan lapar di depan Miss Vera, guru Bahasa Inggris yang banyak bercerita tentang masa mudanya-DALAM BAHASA INGGRIS! Otomatis membuat Bella harus pasang telinga baik-baik, mengentaskan rasa lapar bahkan haus dari dirinya.
Berbeda dengan Aiko, Nabilla, ataupun anak-anak peringkat kelas lainnya yang setiap hari mengikuti bimbingan belajar yang mahal diluar, dirinya harus belajar secara mandiri seserius mungkin. Tidak ada biaya yang cukup untuk membawanya ke tempat kursus semacam itu. Namun, ajaibnya, dia selalu masuk peringkat tiga besar di kelas.
Mungkin tidak ada yang menyangka, tapi disaat yang bersamaan juga tidak ada yang peduli akan hal itu. Toh, semua anak menganggapnya aneh, pendiam, dan tidak asyik dijadikan teman alias membosankan. Bahkan dengan alasan dia tidak bisa ikut tur sekolah karena biaya, sekaligus dia harus membantu Ibunya berjualan di pasar selama liburan, teman-temannya lantas menjauhinya yang juga dicap miskin.
"Kamu berteman dengannya? Aku sih, tidak sudi. Hahaha!" Tawa-tawa cemoohan itu sering kali bergema di telinganya. Entah sudah berapa hari terlewati, tetap saja rasa sakitnya sama. Rasa sakit yang setiap kali dia coba untuk mengusirnya, semakin terpendam jauh di dalam hatinya.
Meski kata Ibu, rasa sakit yang dipendam itu seperti bom waktu yang akan meledak di saat dan dengan cara yang tidak diinginkan, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara memaafkan mereka yang tanpa hati menyakitinya.
"Heh, Bella!" Panggil salah seorang teman yang baru datang di jam istirahat. Aiko, anak Anggota Dewan dua priode, yang kabarnya begitu lulus akan dijodohkan dengan anak bos perusahaan telekomunikasi Nasional.
Baru saja yang dipanggil menaikkan wajahnya, Aiko sudah melemparkan sebuah buku yang langsung terbuka di atas mejanya. Kemudian cengiran lebarnya terulas miring,
"Kamu kerjakan, ya. Gampang, kan? Ini matematika, lho." Ujarnya, tanpa bisa Bella tolak.
Bella memang dikenal lumayan jago dalam pelajaran ini, mungkin itulah sebabnya beberapa anak penggertak seperti Aiko dan gengnya suka sekali menyuruhnya untuk menyelesaikan soal-soal yang rumit (atau mereka memang malas melakukannya).
Bella sejenak ragu. Dia menarik tangannya dari atas buku.
"Kenapa, sih?" Luna, salah satu anak buah Aiko yang duduk di bangku belakang, ikut-ikutan menghampiri mejanya.
"Lihat tuh, aku suruh kerjakan ini saja malah dilihat-lihat dulu! Lama tahu, gak!" Omel Aiko tiba-tiba, "Habis ini jam matematika, kan?"
"Nanti siang, Ai. Jam terakhir." Jelas Luna, namun malah lanjut mengompori, "Tapi kalau tidak dikerjakan sekarang takutnya tidak ada waktu, apalagi dia selalu menghilang entah kemana pas jam makan siang, kan? Haha."
Bella mulai memanas hatinya. Tidak tahan dengan segala bentuk sindiran, cemoohan, dan penindasan selama dua tahun terakhirnya di sekolah ini. Hampir semua anak tahu, dia selalu makan menyendiri di halaman belakang atau di dekat perpustakaan. Sejak anak-anak sering meledek makanan sederhana yang dibawanya.
"Heh, kamu bawa apa makan siang nanti?" Aiko berusaha mengambil alih tatapan ke arahnya yang terus dihindari Bella.
"Bekal." Jawab Bella sekenanya. Dia bersiap menolak 'perintah' Aiko dengan menggeser buku dari mejanya.
"Iya tahu, kamu bawa bekal. Ooh ... jangan-jangan telur goreng setengah matang lagi, ya?" Suara Aiko meninggi, seolah-olah ingin semua anak tahu apa yang dibicarakannya. "Hahaha, kamu tidak ada lauk lain, hah? Kalau begitu, aku traktir deh, nih."
"Tidak usah." Sahut Bella cepat dan hendak bangkit dari bangkunya, "Terima kasih."
Sebuah kalimat terakhir yang sangat terpaksa dia ucapkan jika tidak mengingat nasihat Ibu bahwa dia harus menjadi anak baik di sekolah. Apapun yang terjadi. Alasannya, karena dia masuk ke sekolah bergengsi itu melalui beasiswa untuk keluarga tidak mampu dan juga ada resikonya jika melawan anak-anak konglomerat di sini.
"Jangan banyak gaya kamu!" Cerca Aiko yang emosinya semakin meninggi padahal dia baru saja menginjakkan kaki di kelas. Anak-anak mulai memperhatikannya, kemudian berbisik-bisik tanpa ada yang berusaha melerainya.
"Huh, anak beasiswa saja belagu. Kamu bisa masuk ke sini juga karena kita-kita, sadar, gak?" Luna masih ikutan menyudutkannya meski dengan suara pelan di telinganya, "Kalau kamu tidak mau menerima traktirannya, ya sudah. Kerjakan saja tugasnya."
Dalam hati, Bella sudah mengumpat banyak sampai tidak tahan lagi. Kedua tangannya tergenggam erat sehingga buku-buku jemarinya memutih dibalik ujung lengan yang panjang. Perlahan dia mencoba menghela nafasnya.
"Sudahlah," Aiko menarik bukunya sendiri, "Kamu memang tidak berguna, anak miskin."
"Hah," Luna mengikutinya, berbalik arah ke bangkunya. Mereka sama-sama mengomel dan bergosip soal Bella di barisan belakang.
Selang sepuluh menit sebelum jam istirahat berakhir, seorang lelaki memandangi seisi kelas dari luar pintu. Bola mata kehijauannya tampak mencari-cari seseorang dibawah bingkai buku mata lebatnya, "Ada Bella?" Dia bertanya ke orang terdekat.
Setelah ditunjuk, lelaki itu langsung berjalan ke bangku Bella yang hening. Beberapa pasang mata memperhatikannya. Teman-teman di sekeliling Aiko mencolek lengan anak itu yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Bell." Panggil lelaki itu.
Begitu Bella mendongak pelan, dilihatnya pemandangan mengejutkan bahwa teman SD-nya yang sangat tampan dan menjadi idaman banyak perempuan di sekolah itu sedang berdiri sedikit grogi.
"Ya?" Suara Bella sedikit tersendat seperti dia baru saja menelan makanan kesukaannya.
"Aku tidak bisa hadir di acara peringatan Ayahmu. Maaf, ya." Ujar lelaki bernama Ilham itu, yang merupakan keturunan Persia.
"O-oh." Bella tergagap, "Yah, tidak apa."
"Aku jadi tidak enak karena ada acara lain, salam untuk Ibumu, ya." Ilham kelihatan tidak ingin berlama-lama di sini. Cara bicaranya yang to-the-point, kedua tangannya yang tersimpan di saku jas, serta matanya yang enggan untuk menatap Bella sepenuhnya. Semua itu tampak jelas bagi Bella sendiri.
"Ya." Tidak tahu harus menjawab apa lagi, Bella mengangguk saja. Dalam hati, dia sudah cukup senang Ilham mau mampir ke kelasnya untuk mengatakan itu secara langsung. Apalagi dengan begitu anak-anak lain juga akan melihat bahwa dia setidaknya punya seorang teman baik di sini.
"Ilham!" Anak-anak lelaki lain memanggilnya. Namun, sebelum dia sempat menoleh, lengannya merasakan sentuhan ringan dari seorang perempuan yang tiba-tiba menghampiri. Aiko, berdiri di sampingnya seraya tersenyum.
"Eh, Ilham?" Suaranya merendah. Sangat berbeda dari cara bicaranya kepada Bella barusan.
"Oh, Aiko?" Ilham menjawab sama rendahnya.
"Tumben kamu ke sini." Aiko berbasa-basi, "Oh iya, acara kita besok sore jadi, kan?"
Jdar!
Bagaikan disambar listrik siang bolong, Bella merasakan hatinya bergetar. Rasa sakit seketika menyengatnya yang langsung menatap Ilham dengan mata melebar. Dia tidak percaya teman baiknya itu mengabaikan acara pentingnya besok demi acaranya Aiko. Namun, lelaki itu sama sekali tidak peduli dan malah mengangguk kepada Aiko.
"Bagus." Aiko memberikan sebuah kedipan, sebelum melengang kembali ke bangkunya.
Tanpa berbasa-basi apalagi pamit pada Bella yang masih menatapnya, Ilham juga berjalan santai keluar kelas disaat anak-anak lain mulai masuk. Bell masuk kembali berbunyi. Beberapa saat kemudian guru pelajaran Sejarah memasuki kelas.
Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya, Bella mendengarkan pemaparan guru di depan kelas sementara pikirannya melayang-layang. Perasaannya apalagi. Hancur berkeping-keping, meski dia selalu bisa menutupinya. Mengatakan pada diri sendiri "ah, begitu saja" untuk menguburnya.
"Jadi, sejak tahun 1950 hingga tahun 1985 ini masa pemerintahan Raja Hassan, Raja pertama mengalami kemajuan pesat meski ditengah pertikaian dengan Negara-Negara kecil di sekitarnya. Dilanjutkan oleh Raja Léonce, sebagai Putera pertamanya yang naik tahta di usia yang cukup tua yaitu, enam puluh tujuh tahun."
Suara-suara guru Sejarah mengambang di sekitar telinga Bella, bagai arakan awan di langit luas tak berpenghuni yang terbang kesana kemari. Tubuhnya terasa sangat ringan sehingga nyaris saja dia kira akan menghilang dari sini sekarang juga.
"Namun, anak semata wayangnya adalah Puteri Amara sehingga digantikan oleh keponakannya yaitu, Pangeran Girard yang naik tahta menjadi Raja ketiga. Beliau memerintah selama sepuluh tahun hingga anak lelaki Puteri Amara cukup umur untuk menjadi Raja menggantikannya yaitu, Pangeran Nazeh."
Siapalah itu nama-namanya. Pikiran Bella sedang tidak terpaut dengan pembicaraan apapun di dalam kelas. Dia ingin secepatnya pulang, menyendiri dengan kerumitannya sendiri, dan tenggelam dalam air matanya nanti. Tiba-tiba wajah mendiang Ayahnya bangkit dalam ingatan, tanpa terasa sudah tiga tahun sejak kepergiannya.
"Bella?" Gurunya menegur. Spontan dia menegakkan punggung serta menatap sambil terkejut, menyembunyikan segala perasaan yang menghuni hati dan pikirannya.
"Kamu memperhatikan saya?" Guru itu membetulkan kaca mata, namun karena Bella dikenal sebagai anak baik dan berprestasi maka seringkali mendapat toleransi dari gurunya, "Jangan melamun ya, coba perhatikan ke depan."
"Baik, bu." Bella menjawab pelan sekali.
"Huh, mengganggu saja." Cibir beberapa mulut iseng di belakangnya, "Mending dia keluar saja dari sini!"
"Keluar dari kelas?" Yang lain menyahut sambil berbisik.
"Dari sekolah ini, hahaha."
Mendengar itu, Bella hanya bisa terdiam menahan emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Merasa tersinggung bukan lagi hal baru baginya, namun hari ini dirinya sedang sangat down untuk menahan itu semua. Untung saja guru Sejarah langsung mengalihkan perhatian sekelas.
"Nah, anak-anak, perhatikan! Mari kita lanjutkan, sampai pada masa pemerintahan Raja Nazeh yang berjalan tidak begitu baik karena banyak faktor diantara pemberontakan oleh beberapa kelompok yang didalangi oleh Raja Girard yang tersingkirkan. Namun, akhirnya semuanya berhasil ditumpas sehingga kekuasaannya bertahan hingga sekarang."
Jam pelajaran berakhir.
Setelah makan siang sendirian, seperti biasa, dan memasuki jam terakhir hingga selesai, Bella memutuskan untuk segera pulang. Tidak banyak menoleh kanan kiri, mengikuti arus langkah-langkah keluar kelas menuju tangga sambil menunduk saja. Kedua pundaknya terasa amat berat, entah karena buku-bukunya atau juga karena beban pikiran yang baru saja menimpanya.
"Bella?" Suara yang asing menyapa di gerbang sekolah. Lantas dia menaikkan tatapan dengan malas, berharap itu bukan seorang yang akan merundungnya lagi.
Di sampingnya berdiri seorang lelaki muda berseragam Pegawai Kerajaan lengkap dengan topi dan lencana khususnya, tersenyum ramah, "Akhirnya saya menemukan Anda,"
Kening Bella menyernyit penuh curiga. Bentuk penipuan atau perundungan apalagi ini? Setelah tahun lalu gerombolan cowok bertaruh untuk sesuatu dan yang kalah harus menembaknya. Dia tidak menyangka sama sekali. Untung saja Ilham memberitahunya, kalau tidak dia akan menjadi sangat hina.
"Anda siapa, ya?" Bella bertanya tanpa berusaha menutupi tuduhan dari nada bicara dan tatapan tidak enaknya. Selain itu, anak-anak lain juga memperhatikan mereka. Dia paling tidak suka menjadi pusat perhatian seperti ini.
"Oh, maaf. Perkenalkan, saya Kazem, pengawal Raja Nazeh yang diutus menemui Anda."
APA?!
Ada apa pengawal Raja sampai ke sini mencariku? Pikir Bella, ini mulai tidak masuk akal. Gerakan kakinya mundur selangkah, bersiap kabur jika seandainya orang ini berani macam-macam dengannya. Mumpung masih ramai.
"Nak, mohon maaf, sebelumnya kami sudah dikonfirmasi akan ada utusan dari Istana Kerajaan untuk menemuimu." Seorang Security menyelanya. Anehnya, pria bernama Kazem itu sedikit memelototinya.
"Tapi, Pak ..." Bella masih dalam keragu-raguan yang mulai menakutkan. Dia hanya rakyat jelata, seorang yang bahkan tidak mampu untuk bersekolah jika tanpa beasiswa, sehingga sepanjang hidupnya dipenuhi kerendahan dari lingkungan sosialnya. Wajar jika dia memikirkan sesuatu yang buruk terjadi, mungkin dia berbuat kesalahan meski tidak tahu apa itu.
"Saya mohon ikutlah dengan saya, Puteri Bella. Raja sedang menunggu Anda." Kazem menundukkan badan.
Bella terdiam. Apa itu? Dia memanggilku apa?
Kazem tampak kehilangan kata-katanya untuk meyakinkan Bella, sehingga pria itu bertanya dengan suara yang lebih pelan, "Anda adalah puteri dari Pangeran Kahlil, putera pertama Raja Nazeh."
Jdar!
Sengatan listrik yang lebih besar menyambarnya siang ini. Menaikkan bulu-bulu roma dari tangan hingga ke kedua pundak dan naik ke lehernya. Nafasnya ikut tercekat beberapa lama. Orang ini, yang mengaku utusan dari Raja Nazeh yang berkuasa itu, baru saja menyebutkan nama Ayahnya dengan sebutan Pangeran?
"Pu-putera pertama?" Gumamnya sama sekali tidak percaya.
"Ya, benar." Rupanya Kazem mendengarnya. "Sebaiknya kita segera pergi sekarang sebelum suasana menjadi semakin ramai." Nadanya memohon begitu sekeliling mereka mulai banyak anak memperhatikan.
Sejenak Bella berpikir, namun dirinya sudah terlalu lelah dengan semua yang terjadi. Bukan hanya soal hari ini, tetapi sejak kepergian Ayahnya dan merasa sendirian di sekolah yang sering kali merundungnya.
Setelah menghela nafas pendek, diapun menjawab, "Baik."
Bella masih tidak yakin kemana Kazem dengan limosinnya akan membawanya. Di dalam, gadis itu duduk sambil memeluk kedua lengan, mengalihkan tatapan keluar jendela sambil berusaha menghentikan pikiran berlebihan. Berharap semuanya akan baik-baik saja.
Namanya Bella Almera Mulia, yang tentu saja nama akhirnya berasal dari marga Kerajaan Besar Mulia. Merupakan putri pertama dari Pangeran Kahlil Mulia yang diasingkan sejak usia dua belas tahun terkait keamanan Negara yang saat itu terancam oleh kudeta Raja sebelumnya. Namun, hari ini Raja Nazeh yang berkuasa akan segera menurunkan tahtanya kepada cucu pertama dari anak pertamanya itu. Sesuai Undang-Undang Istana, jika Pangeran pertama meninggal dunia maka digantikan oleh anak pertama dari Pangeran tersebut. "Kazem." Suara Sang Raja takzim hendak bertanya kepada pengawal setianya itu, "Apakah ini benar-benar keputusan yang tepat? Kami bahkan tidak pernah memanggil keluarganya kembali ke Istana setelah sekian lamanya." "Yang Mulia," Kazem menundukkan kepalanya saat memberikan pendapat bahwa pertimbangan Raja adalah yang utama, sementara beberapa bulan belakangan ini Dewan Penasihat Istana sudah merundingkan hal ini. Hasilnya adalah kesepakatan untuk mengangkat
Bella pulang sebelum matahari turun dari permukaan langit yang oranye kemerahan. Sungguh sore yang cerah. Limosin yang mengantarnya tidak sampai ke depan rumah karena terpentok oleh gang yang sempit, berhenti agak jauh dari sana. "Kazem," Bella memanggil Pengawal itu yang kini balas menatapnya. "Tolong jangan bilang apapun soal yang kamu lihat di ponselku tadi kepada Kakek, ma-maksudku Baginda Raja, ya." Kazem tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Baik." "Juga," Bella melanjutkan, "Apakah saat di sekolah tadi ada anak kelas tiga yang melihatmu datang?" Mereka berdua sama-sama terdiam. "Sepertinya tidak, bukankah anak kelas tiga sedang ada pelajaran tambahan?" Kazem balas bertanya. Kini Bella yang mengangguk, "Oh iya, benar. Lain kali, tolong jangan datang ke sekolahku. Kita bertemu diluar saja, boleh?" "Baik." Bella lantas turun, kakinya kembali menapaki tanah jalanan yang becek. Aspal sudah berhenti seja
Keesokan paginya, suasana masih sama; pagi yang dingin berembun disertai sisa-sisa gerimis semalaman, jalanan yang becek sebelum menginjak bagian berasapal di dekat sekolah, hingga tatapan tidak peduli anak-anak yang dijumpainya. Bella, masih orang yang sama. Baik itu sikap diam yang ditunjukkannya, maupun sikap teman-teman kepadanya. "Hei." Aiko, yagn tumben sudah datang pagi-pagi, lebih dulu berdiri di samping mejanya. Diikuti lirikan anak-anak gengnya. Bella terkesiap.Seingatku semalam sudah bayar,pikirnya. "Aku sudah mentransfer balik kelebihannya." Gadis berkuncir kuda itu berkata ambil menahan gengsi, namun raut wajahnya mengerut, "Kamu kok, bisa punya uang segitu banyak? Kelihatannya gak pantas banget deh, untuk kamu." Melihat Bella masih belum memberikan reaksi apa-apa, Aiko tambah geram ingin sekali memancingnya. Anak super manja yang menjadi perhatian seisi sekolah itu, bergerak mendekati wajah Bella. Menatapnya
Oh iya, sore nanti acara peringatan hari kematian Ayahnya akan diadakan di rumah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, para tetangga akan membawakan makanan untuk tuan rumah yang sedang berduka. Begitulah budaya di Negeri ini. Satu hal yang baru Bella sadari adalah, acara ini selalu bertepatan dengan acara penggalangan dana di Istana. Dihadiri oleh para pejabat, selebriti, serta tokoh masyarakat terkemuka diatas karpet merah. Sejak tiga tahun lalu, "Galang Dana Nasional" selalu menjadi berita paling populer menjelang akhir tahun. Hal tersebut secara kebetulan nyambung dengan fakta bahwa mendiang Ayahnya sangat dermawan dan suka membantu orang yang kesulitan. Bella tidak pernah melihat Ayah keberatan untuk menebarkan kebaikan kepada orang-orang di sekitarnya. Apakah itu mungkin acara ... "Bella?" Suara Miss Claire menegur lamunan panjangnya. Begitu Bella mengangkat tatapan kepadanya, "Boleh kamu jawab soal di depan ini?" Kebetulan itu soal
"Nak!" Ibu memanggil dari dapur, sehingga Bella yang sedang menata minuman air mineral di ruang tamu tergopoh-gopoh menghampirinya. "Ada apa, Bu?" Bella sedikit panik mendengar nada tinggi Ibunya itu. Tidak seperti biasanya. "Apakah kamu yang mengubahdress codeacara hari ini jadi seperti ini?" Rupanya Ibu selalu memantau acara Istana tersebut lewat ponselnya. Sesuatu yang tidak Bella ketahui sama sekali sejak tahun-tahun lalu. Acaranya disiarkan secara live di kanal Istana. "Bu, jadi Ibu selalu menontonnya?" Bella bertanya sambil tidak percaya. "Ini kamu yang mengubahnya?" Ibu tetap ngotot bertanya, tidak menghiraukan pertanyaan Bella barusan. "Ya." Jawab Bella singkat. Sebelum bergerak mengambil nampan minuman lagi di belakang punggung Ibu. "Apa-apaan sih, kamu!" Tiba-tiba saja omelan Ibu terdengar memenuhi dapur, membuatnya terlonjak di tempat dan menatap dengan mata membesar, "Itu warna kesukaan Ay
Menjelang malam, jam pelajaran tambahan baru saja berakhir. Ini adalah waktu belajar terlama yang pernah dirasakan Bella, karena sebelumnya dia pasti sudah bersantai di rumah sepulang sekolah. Kedua langkahnya yang besar-besar itu dipercepat kala melewati jalanan yang mulai rusak diantara rumah-rumah warga yang cukup padat. Ladang-ladang jagung telah jauh dilewatinya, sepi diikuti gemerisik angin yang membuat bulu kuduk merinding. Sampailah dia di depan pekarangan rumah yang temaram cahaya lampu. Rupanya Ibu sudah menunggu sembari menuliskan sesuatu di buku penjualannya. Wajah renta itu kembali bersinar mendapati anak kesayangannya telah pulang. Senyumnya terulas lebar saat hendak bangkit untuk menghampiri Bella, jika seandainya anak itu tidak menghampiri duluan. "Bagaimana di sekolah? Apakah mereka masih merundungmu?" Tanya Ibu, setelah membantu melepaskan tas dari punggung lelahnya. Bella menggeleng disertai cengiran kecil, "Tidak, tidak lagi
"Huhuhu ..." Baginda masih saja menutupi wajah dengan jemari rentanya, lantas membuat panik seisi ruangan. Termasuk Bella yang bergerak hendak mendekati Kakeknya yang amat bersedih itu. "Yang Mulia apakah Anda baik-baik saja??" Mereka bertanya-tanya dengan wajah panik. Beberapa diantaranya memandang ke arah Bella dengan tidak suka. Semakin nampak ketidaksukaan di wajah mereka, yang sebelumnya hanya sebatas lirikan sinis yang diam-diam. Kini, mulut-mulut busuk dibalik pakaian mewah nan mahal itu telah menyalahkannya dari tempat duduk mereka. "Lihat, hadiahnya bahkan membuat Baginda tersinggung dan bersedih!" "Dasar tidak tahu diri, padahal ini hari kematian Ayahnya, Putra Mahkota!" "Apakah dia tidak menghormati Ayahnya sendiri, apalagi Baginda Raja?" Namun, selang beberapa menit, "Huhu," Raja berusaha menarik nafas panjang dan menghembuskannya, perlahan menenangkan dirinya, "Tenang semuanya, aku baik-baik saja." "Bella, Sayangku
Lehernya mendadak tegang dan tidak mampu menoleh. Dia takut itu seseorang dari gengnya Aiko atau Luna, karena jelas-jelas suaranya tidak dia kenali. Gawat, padahal dia sudah sengaja memilih tempat yang sepi ini biar tidak diganggu! "Hei," Wajah itu segera muncul ke hadapannya sambil menggeser bangku besi di seberang meja. Bella perlahan mengangkat tatapan dan mendapati Miss Claire, guru Bahasa Inggrisnya yang baru itu sedang duduk santai seraya melemparkan senyum sok akrab. Dia menjadi kikuk. Tidak terbiasa menerima kehadiran orang lain di meja makannya. "Santai saja," Guru itu berkata, sebelah tangannya mengibas ke udara, "Oh, maaf. Apakah aku menganggumu?" Bella menggeleng ragu. "Syukurlah." Wanita muda yang berpenampilan layaknya pekerja perkantoran dari Kota Pusat,super stylishdan bahkan kaca mata hitam menggantung di kemejanya. "Hmm, begini. Bolehkah aku tahu lebih banyak tentangmu, Bella?" Tanyany
Dua belas tahun yang lalu, ketika usianya baru menginjak tujuh tahun dan baru masuk sekolah, Ilham ingat diajak Ayahnya ke rumah seseorang. Di jalan dia bercerita banyak hal tentang sekolah barunya yang seolah tidak begitu digubris oleh sang Ayah yang fokus menyetir."Ayah, dengarkan aku, dong." Mulutnya cemberut. Kedua pipinya yang gempal dan putih seperti bakpao jadi tambah menggemaskan. Membuat siapa saja yang melihatnya merasa senang, namun agaknya berbeda dengan sang Ayah."Maaf, nak. Diamlah dulu, Ayah sedang menyetir dan tidak bisa mendengarkanmu." Bicaranya yang formal dan kaku, serta keengganan untuk menatap anaknya meski hanya sekilas, membuat Ilham sadar bahwa dia bukanlah apa-apa di mata Ayahnya.Ayahnya adalah orang yang diam-diam sangat ambisius. Memang semuanya diperuntukkan untuk keluarganya, dan juga dapat memberikan apapun yang Ilham inginkan. Kecuali kasih sayang dan perhatian.Sampainya mereka di depan bangunan yang teramat besar, mega
Siang itu, mereka selesai membagikan sekerat buat-buahan kepada tetangga terdekat. Tidak ada satupun yang mengenali Bella sebagai pemimpin baru di Negeri ini, bukan karena teknologi belum memasuki desa ini, tetapi karena penampilan perempuan itu yang jauh berbeda dari yang digambarkan media.Inilah kehidupannya yang asli. Jauh sebelum dia mengetahui siapa identitas dirinya sebenarnya.Dan Ilham Azimi, putra tertua keluarga konglomerat di kota Pusat, tidak mau Bella mengetahui lebih banyak mengenai dirinya dan masa lalunya. Ada sesuatu yang terjadi di masa itu, sesuatu yang membuat Bella tidak mengingat apapun karena ..."Sayang?" Suara lembut istrinya membangunkan lelaki itu dari tidur siang sejenak. Ilham mengucek sebelah matanya. Sebenarnya dia tidak tertidur sejak tadi, melainkan sibuk berpikir tentang rencana selanjutnya. Mereka tidak mungkin terus berada di sini sementara di Istana, semua sedang berperang memperebutkan tahta.Termasuk p
"Ma-maksudmu?" Kedua alis Bella menyernyit dan manik mata coklatnya membulat. Diamatinya wajah pria di depan wajahnya itu, namun pikirannya tanpa sadar malah mengagumi wajah indahnya. Dia menggeleng samar.Ilham mengeluarkan nafas pendek, "Tidak." Seperti sedang menyimpan pemikiran itu di dalam dirinya sendiri, dia mengalihkan perhatian Bella ke jendela kamar yang menghadap ladang yang gelap."Lihat!" Katanya seraya membentangkan jemari tangan, "Kita berada di desa terpencil, lebih terpencil daripada kampung rumahmu dulu, Bell!"Bella sedikit mendengus, "Apa maksudmu?" Gumamnya, namun segera melepaskan tawa ringan. Dia sebenarnya sangat senang diajak kembali ke tempat sederhana seperti ini. Semua rumah di sini saling berjauhan dipisahkan oleh ladang yang berhektar-hektar."Terima kasih telah membawaku ke sini." Katanya membalas tatapan Ilham dengan sungguh-sungguh, "Akhirnya aku bisa merasakan kehidupan normal lagi."Ilham terbahak mendengarnya, "K
"Aku merasakan sesuatu yang tidak beres. Bukan, bukan hanya gerakan para saudara yang mencurigakan. Tetapi, lebih tepatnya sesuatu yang telah lama sekali disembunyikan oleh Kerajaan ini. Apa itu?"Bella menuliskan keluh kesahnya di selembar buku harian. Buku berukuran setelapak tangan yang selalu dibawanya kemana saja. Terselip di saku baju, tas, atau bahkan ditentengnya dalam tas kecil saat bepergian.Karena dia tidak begitu pandai mengungkapkan perasaan, termasuk dalam bentuk tulisan. Hanya coretan-coretan kecil yang dia isi di dalamnya. Tetapi, cukup menjadi petunjuk dan penenang kala sesuatu yang tidak diduga atau mengganggunya terjadi. Seperti saat ini.Ditutupnya buku kecil itu, disembunyikan dibalik selipan nakas sambing ranjang dan lekas tertidur di samping suaminya yang telah terlelap sejak tadi.Bella memang masih sangat muda dan inosen untuk memegang tampuk kekuasaan. Tetapi, firasat dan intuisinya mengatakan bahwa dia cukup p
Bella terdiam. Menutup lembaran majalah di tangannya dan bangkit menegakkan punggung. Seorang pelayan yang berdiri di dekatnya sampai memperhatikan gerakannya yang memindahkan telepon ke lain sisi."Ya?" Sahutnya sedikit tertahan, namun juga penasaran apa yang terjadi pada anak itu selepas semua kejadian ini? Apakah Aiko akhirnya sadar bahwa kelakuannya berbahaya untuk dirinya sendiri? Haruskah aku benar-benar menghukumnya jika dia kembali ke sini? Pikir Bella."Apakah aku mengganggumu?" Tanyanya."Tidak." Bella menjawab malas.Ingin cepat-cepat mengakhiri sambungan dan mengatasi anak satu itu. Kenangan lama yang sangat kelam selalu mencari celah di hatinya untuk membuat dia terjatuh, dan celah itu akan selalu terbuka manakala sosok Aiko muncul.Betapa Bella benci itu!"Ehm," Aiko tidak berada di depan matanya, namun senyum jahatnya seolah terlihat jelas sekarang, "Rencananya aku akan kembali ke Negeri Mulia untuk masuk ke kampus baru. Aku a
Hari baru beranjak siang kala kawanan burung dari selatan terbang melewati angkasa, di bawahnya hamparan padang hijau dan kebun bunga bermekaran, mengelilingi rumah yang damai nan sepi.Sinar matahari yang menerobos dinding kaca menciptakan kesan eksotis dan elegan bagi Bella yang terbangun diatas ranjang dengan kelambu minimalis. Ilham yang memesannya langsung dari perusahaan furnitur ternama, agar menyamakan dengan desain kamar Sang Ratu di Istana Wheels."Pagi yang indah, Sayang!" Sambut suaminya yang sedang duduk di tepian dan memandangi dengan kagum.Kecantikan Bella memang tiada duanya! Itu adalah kecantikan yang diturunkan dari garis dua Kerajaan. Sampai-sampai Ilham itu bersyukur dengan kepribadian penyendiri Bella yang tidak lantas membuatnya dikerubungi lelaki-lelaki busuk."Huahhhm!" Bella menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya dan beringsut menaikkan selimut lagi."Bangunlah." Ilham menggoyangkan lengan kecil itu seraya tertawa k
Tiba-tiba wajah itu muncul dari balik pelindung kepala seorang pengawal Ratu. Semua orang seketika terkejut, terbangun, dan bersiaga penuh.Dia adalah Pangeran Kedua!Bagaimana bisa dia selama ini berada di samping Sang Ratu, sementara tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaannya? Bella sendiri langsung bergerak mundur ke belakang Ilham yang langsung memasang badan. Suaminya hendak menarik pedang di sisi kiri, meski dia tentu saja belum mahir menggunakannya.Sekedar gertakan untuk mengesankan kekuatan disaat terdesak itu perlu! Pikir Ilham menajamkan kedua alisnya."Berhenti disitu!" Balas Kazem, ikut melayangkan ujung pedangnya di depan wajah Pangeran Kedua yang membelalakkan mata kepadanya."Be-beraninya kau, pelayan rendahan!" Maki Pangeran Kedua dalam gumaman kerasnya saat mencoba menghindar secepat kilat."Yang Mulia mendiang Raja telah mewasiatkan kami untuk mengangkat Ratu pertama di Kerajaan ini!" Kazem berseru ke arahnya.
"Jam berapa dia akan tiba?" Bella bertanya dengan suara lemah. Dirinya telah terbaring selama beberapa jam terakhir di ranjang, sementara para pelayan mengelilinginya. Mereka semua bersiaga, demikian juga para pasukan khusus di depan gedung. Beberapa jam lalu ... Duagh! Bella terjatuh saat hendak turun dari helikopter. Hal itu dikarenakan suasana yang sangat mencekam kala pasukan Pangeran Kedua telah bergerak ke arah gedung pencakar langit yang dia tuju. Membuatnya panik dan kalang kabut. Lutut dan tulang keringnya terluka parah, sehingga dia langsung dilarikan ke suatu kamar yang paling aman di puncak gedung tersebut oleh tim medis. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh pihak yang lain dan timnya menjaga ketat informasi ini dari siapapun, apalagi media. Rakyat hanya mengetahui bahwa calon Ratu tetap dalam keadaan selamat dan baik-baik saja. Bella berusaha menggerakkan kakinya agar tidak menjadi kaku dan semakin parah. Besok, jika se
Sambungan diangkat.Pada awalnya terdengar riuh dari jauh, lalu suara seorang pria yang tegas menyahutnya, "Apakah ini dengan Tuan-""Dimana Bella?" Ilham langsung memotong, "Apakah dia baik-baik saja??" Dia yakin yang kini memegang ponsel itu adalah salah satu ajudannya."Ya, beliau baik-baik saja." Ajudan itu menyahut lagi, "Ada pesan yang harus saya sampaikan kepada Anda, Tuan. Bahwa Anda harus datang ke Istana besok siang untuk menemui Yang Mulia."Kalimat itu menjalar bagai rambatan listrik dari tangan hingga ke kepala Ilham. Bella memintanya untuk datang besok?? Apakah itu artinya ... dia diterima?? Semoga saja!Ilham merasa lega, sekaligus senang bukan kepalang. Namun, dia berusaha keras untuk menahannya.Sementara Gerry terus menguping tepat di samping ponselnya tanpa mengerti satu katapun. Yang Mulia? Istana? Apa yang sebenarnya orang aneh ini sedang bicarakan?"Baik!" Ilham segera menjawab, lalu sambungan dimatikan. Tut. Tut