Oh iya, sore nanti acara peringatan hari kematian Ayahnya akan diadakan di rumah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, para tetangga akan membawakan makanan untuk tuan rumah yang sedang berduka. Begitulah budaya di Negeri ini.
Satu hal yang baru Bella sadari adalah, acara ini selalu bertepatan dengan acara penggalangan dana di Istana. Dihadiri oleh para pejabat, selebriti, serta tokoh masyarakat terkemuka diatas karpet merah. Sejak tiga tahun lalu, "Galang Dana Nasional" selalu menjadi berita paling populer menjelang akhir tahun.
Hal tersebut secara kebetulan nyambung dengan fakta bahwa mendiang Ayahnya sangat dermawan dan suka membantu orang yang kesulitan. Bella tidak pernah melihat Ayah keberatan untuk menebarkan kebaikan kepada orang-orang di sekitarnya.
Apakah itu mungkin acara ...
"Bella?" Suara Miss Claire menegur lamunan panjangnya. Begitu Bella mengangkat tatapan kepadanya, "Boleh kamu jawab soal di depan ini?"
Kebetulan itu soal yang mudah. Materinya merupakan pengulangan minggu lalu, jadi tentu saja Bella langsung mengerjakannya dengan sukses. Miss Claire memujinya, kemudian bertanya apakah dia memiliki banyak teman di sini karena kepintarannya dan parasnya yang cantik.
Mendengar itu Bella sedikit merinding. Pujian dari seorang yang 'diduga sebagai utusan Istana untuk menjaganya' ini dinilai berlebihan. Jadi, dia hanya tersenyum saja sebagai ucapan terimakasih tanpa melihat bagaimana reaksi teman-teman yang lain, lalu duduk kembali di bangkunya.
Tibalah jam istirahat kedua.
Hari ini, Bella mengatakan pada Ibu tidak usah membawa bekal lagi. "Aku bisa membantu Ibu membereskan sayuran daripada membuat bekal, lagipula nanti di sekolah aku bisa beli." Begitu alasannya.
Namun, sebelum dia sempat berdiri dari duduknya, lagi-lagi gerobolan Aiko yang kini berjumlah lebih banyak sudah mengepung mejanya. Mereka menatap dengan penuh curiga, sampai Aiko berkata lebih dulu,
"Kamu tidak mendapat hukuman skorsing?" Tanyanya to-the-point.
"Tidak." Sahut Bella cepat. Dia sebenarnya sudah kelaparan karena lupa sarapan pagi.
"Heh! Jangan banyak gaya kamu anak miskin!" Luna menggertaknya. "Enak sekali jawabanmu itu, kamu pikir kamu siapa, hah??"
"Tenang, Luna." Aiko mengelus pundak temannya itu. "Aku hanya ingin bicara baik-baik dengannya. Lihat, dia pucat sekali, aku takut dia merasa begitu bersalah ... karena telah memukulku."
Teman-teman di sekelilingnya menatap dia dengan iba, lalu beralih kepada Bella dengan raut yang benar-benar berubah. Marah, sinis, bahkan kejijikan tampak di wajah mereka. Yang ditatap hanya membalas datar, sama sekali tidak tertarik untuk membuat keributan. Bella ingin menghindari situasi ini, bukan karena ketakutan seperti yang sudah-sudah, tetapi dia tidak ingin meledak tiba-tiba dan mengatakan rahasia dirinya.
Tinut. Tinut.
"Oh, orang tuaku." Aiko melihat layar ponsel terbarunya. "Hmm, mereka pasti sangat mengkhawatirkanku, uhuk." Ditekannya pengeras suara agar semua orang mendengar pembicaraan dramatis dirinya.
"Ma, Pa! Uhuk, ya, aku baik-baik saja ..."
"Nak! APA YANG KAMU LAKUKAN, HAH?!" Teriakan Sang Ayah dengan suara baritonnya menerjang telinga. Mengagetkan semua yang sedang mendengarkannya. Apalagi Aiko yang langsung terlonjak di tempat.
"Pa..? Ada apa..?" Dia bertanya takut-takut.
"Huh, dasar bocah bandel! KAMU TERNYATA SUKA MEMBUAT KERIBUTAN DI SEKOLAH, YA?! ITU SEMUA ULAHMU, KAN?!" Ayahnya tidak berhenti mengomel.
Saking shock-nya, Aiko sampai lupa untuk langsung mematikan pengeras suara saja daripada dipermalukan seisi kelas begini.
"A-aku tidak mengerti ..." Suaranya mulai gemataran. Sementara teman-teman di sekelilingnya saling tatap dengan takut. Beberapa diantaranya memilih menghindar dengan keluar kelas, katanya mau ke kantin.
"Jangan sampai Guru Konseling menelpon Ayah lagi gara-gara ulahmu! Awas kamu membuat keributan lagi di sekolah, ya!" Tut. Tut. Sambungan ditutup.
Bahkan Aiko belum sempat menanyakan apapun, memberikan alasan apapun, selain menganga tidak percaya mendapati respon Ayahnya yang justru menyalahkan dia di depan yang lain.
Bella menahan tawa dalam hati. Entah bagaimana cara Kazem berbicara kepada Bu Guru tadi, yang dalam waktu yang singkat Pengawal setia itu berhasil membalikkan keadaan seperti ini. Diam-diam Bella amat mengaguminya.
Merasa emosi, bingung, sekaligus menahan sedih, Aiko akhirnya mengajak teman-teman yang masih mengelilinginya itu keluar kelas. Anak-anak lelaki di barisan belakang tidak kalah meledeknya, membuat dirinya merasa semakin malu jika berlama-lama di sini.
"Huft ..." Bella menghela nafas panjang. Akhirnya aku bisa makan siang juga, pikirnya. Seketika itu pesan dari Kazem masuk.
Panjang umur! Padahal aku sedang memikirkannya, dia membuka pesan itu yang ternyata Kazem bertanya mau makan apa untuk makan siang.
"Haha." Tanpa sadar Bella tertawa. Segera dia terdiam kembali, takut yang lain menyadarinya. Dia pikir itu pesan basa-basi saja, lagipula untuk apa Pengawal itu bertanya soal makan siangnya segala?
"Mie pedas dan nasi, aku lapar sekali." Dia menjawab sekenanya.
Yang langsung dibalas, "Baik."
Hah? Bella tidak paham. Kenapa tiba-tiba Kazem menanyakan mau makan apa, lalu menjawab baik? Apakah Pengawal itu hanya memastikan dia makan siang hari ini? Kedengarannya sedikit aneh.
"Bell." Panggil suara kalem di belakang tempat duduknya.
Gadis itu terkejut, menegakkan punggung. Baru kali ini Nazar si juara kelas itu memanggilnya. Bahkan anak itu tidak pernah mempedulikan dia kala dirundung oleh gangnya Aiko. Dengan menahan malas, Bella mencoba menoleh kepadanya.
Keduanya bertatapan tanpa suara.
"Ehm," Nazar seperti sedang merangkai kata, "Kamu mau ke kantin?"
Bella memiringkan kepala. "Ya?"
"Aku titip mie pedas, ya." Semudah itu Nazar menyuruhnya.
Merasa mulai geram, Bella beralasan bahwa dia tidak akan kembali ke kelas sampai bel selesai istirahat berbunyi. "Jadi, kupikir lebih baik kamu ke kantin sendiri."
"Huh, dasar bodoh, kalau aku bisa untuk apa menyuruhmu!" Si lelaki sok pintar malah memakinya sambil mendengus kesal.
Bella tidak peduli. Dia sudah melengang keluar kelas.
Sampai di tangga, seseorang yang dikenalnya dari salah satu food court kantin menghampiri sambil membawakan kantung kertas. Bella sempat terkejut, karena dia sama sekali tidak memesan apapun yang ada di dalamnya; mie pedas, nasi, dan susu pisang.
"Eh? Tapi, orang bernama Kazem memesannya untukmu." Kata orang kantin itu.
Kedua mata Bella spontan membesar, "Oh ..." Dia tersenyum saja, membiarkan orang kantin itu lewat. Ternyata ini maksud Kazem bertanya makan siang tadi, katanya dalam hati. Padahal dia tidak perlu repot-repot memesankannya. Aku bisa sendiri.
Seperti biasa, Bella membawa makan siangnya ke halaman belakang sekolah. Dimana terdapat meja-meja bundar dibawah naungan payung besar yang menghadap perpustakaan. Suasananya sangat damai, jauh dari kebisingan suara anak-anak lain. Beberapa anak yang kalem seperti Bella juga suka berdiam diri di sini.
Untung saja dia tidak lupa membawa botol air mineralnya tadi, kemudian dia menata makan siangnya diatas meja. Ketika sedang mengaduk mie pedas yang masih mengepul, dia melihat Ilham berjalan ke arahnya. Dia tidak ingin peduli, tetapi gerakannya terhenti.
"Di sini kamu rupanya." Lelaki itu menghampiri dengan wajah tidak sedap.
"Baru tahu?" Gumam Bella. Kemana saja kamu sampai tidak tahu aku setiap hari makan di sini sendirian!
"Apa yang kamu lakukan pada Aiko, hah?" Pertanyaan Ilham berikutnya menarik mata Bella untuk membalas tajam.
"Kenapa, hah?" Kalau dengan Ilham, dia tidak segan-segan jika harus adu mulut. Secara dia sudah sangat kecewa kepadanya yang sudah dianggap sebagai satu-satunya teman, malah membelot ke geng perundungnya.
"Kenapa? Kamu mikir tidak, sih?!" Ilham berkata lebih tajam, membuat Bella menekan gigi-gigi grahamnya dengan kencang, "Kamu itu murid beasiswa! Apa yang kamu lakukan pada Aiko sangatlah parah. Kita saja heran kenapa Guru BK tidak menindaknya dengan tegas!"
Dibantingnya mangkuk gelas mie ke atas meja tanpa menjatuhkannya, Bella lantas bertanya meski sudah menduga jawabannya, "Segitunya kamu membela dia dibanding teman masa kecilmu, hah?"
Ilham terdiam. Wajahnya sedetik lalu menunjukkan keterkejutan, namun kini berubah tidak enak hati sambil menurun suaranya.
"Kalau kamu dikeluarkan bagaimana?"
"Tidak akan." Bella menyahut cuek tanpa membalas tatapannya. Dia sudah meraih mie pedas itu seolah tidak mau lagi makan siangnya diganggu hal-hal tidak penting seperti ini.
"Bell. Sejak kapan kamu seperti ini?" Pertanyaan Ilham, meski dengan nada yang lebih kalem, membuat Bella kehabisan kesabarannya.
"Tahu apa kamu soal itu?! Memangnya kamu peduli saat aku dirundung dia dan gengnya?! Tidak! Lalu sekarang kamu bertindak diluar batas demi membelanya di depanku?! Padahal kamu tidak tahu apa-apa soal kejadian itu! Teman macam apa kamu?"
Nah, lagi-lagi dia meledak ketika sudah tidak tahan dengan situasi yang menghimpit perasaannya. Semua itu keluar tidak ubahnya air bah yang telah tersimpan lama dibalik bendungan sikap dinginnya.
Ilham sampai terdiam kaku di tempat. Bagai tubuhnya tersambar listrik dari tiang-tiang yang jauh, menguliti semua kemunafikannya selama ini. Dia hanya menghela nafas karena tidak tahu harus menjawab apa.
"Ya sudah, bye." Mungkin itu salam perpisahan yang terbaik.
Siang ini, mereka menyudahi pertemanan yang telah terjalin bartahun-tahun lamanya hanya karena sebuah konflik kecil. Tetapi, konflik kecil ini menjadi ujung dari semua kesalahan yang telah dilakukannya selama ini.
Bella tidak menjawab. Meneruskan makan siangnya seolah tidak terjadi apapun. Begitu Ilham menghilang di kelokan gedung, dia baru menumpahkan air matanya yang tertahan sejak tadi. Air mata kekesalan, kebencian, hingga kesedihan karena menyesali apa yang terjadi. Sambil pipinya masih berlinangan, dia menyelesaikan makanannya begitu bel kembali berbunyi.
Sekembalinya di kelas, Bella tidak sengaja mendengar obrolan heboh Aiko yang ternyata bersiap untuk datang ke acara Istana malam ini bersama gengnya dan juga Ilham. Rencananya mereka akan memakai baju merah-putih-hitam sebagai dress code-nya.
Ternyata acara itu yang membuatmu mengabaikan acaraku. Padahal, itu acara untuk memperingati orang yang sama, bodoh!
Tanpa pikir panjang Bella memastikan kepada Kazem apakah acara itu untuk memperingati hari kematian Ayahnya.
"Benar, apakah Anda berkenan untuk hadir?" Kazem menjawab.
Bella beralasan dia harus membantu Ibu menyiapkan acara di rumah sehingga tidak bisa menghadirinya. Tetapi, dia meminta kepada Kazem untuk mengubah dress code-nya menjadi warna putih semua dan larangan memakai warna merah. Tidak sampai satu menit, Pengawal itu menjawab "baik" yang artinya menyetujuinya.
"Nak!" Ibu memanggil dari dapur, sehingga Bella yang sedang menata minuman air mineral di ruang tamu tergopoh-gopoh menghampirinya. "Ada apa, Bu?" Bella sedikit panik mendengar nada tinggi Ibunya itu. Tidak seperti biasanya. "Apakah kamu yang mengubahdress codeacara hari ini jadi seperti ini?" Rupanya Ibu selalu memantau acara Istana tersebut lewat ponselnya. Sesuatu yang tidak Bella ketahui sama sekali sejak tahun-tahun lalu. Acaranya disiarkan secara live di kanal Istana. "Bu, jadi Ibu selalu menontonnya?" Bella bertanya sambil tidak percaya. "Ini kamu yang mengubahnya?" Ibu tetap ngotot bertanya, tidak menghiraukan pertanyaan Bella barusan. "Ya." Jawab Bella singkat. Sebelum bergerak mengambil nampan minuman lagi di belakang punggung Ibu. "Apa-apaan sih, kamu!" Tiba-tiba saja omelan Ibu terdengar memenuhi dapur, membuatnya terlonjak di tempat dan menatap dengan mata membesar, "Itu warna kesukaan Ay
Menjelang malam, jam pelajaran tambahan baru saja berakhir. Ini adalah waktu belajar terlama yang pernah dirasakan Bella, karena sebelumnya dia pasti sudah bersantai di rumah sepulang sekolah. Kedua langkahnya yang besar-besar itu dipercepat kala melewati jalanan yang mulai rusak diantara rumah-rumah warga yang cukup padat. Ladang-ladang jagung telah jauh dilewatinya, sepi diikuti gemerisik angin yang membuat bulu kuduk merinding. Sampailah dia di depan pekarangan rumah yang temaram cahaya lampu. Rupanya Ibu sudah menunggu sembari menuliskan sesuatu di buku penjualannya. Wajah renta itu kembali bersinar mendapati anak kesayangannya telah pulang. Senyumnya terulas lebar saat hendak bangkit untuk menghampiri Bella, jika seandainya anak itu tidak menghampiri duluan. "Bagaimana di sekolah? Apakah mereka masih merundungmu?" Tanya Ibu, setelah membantu melepaskan tas dari punggung lelahnya. Bella menggeleng disertai cengiran kecil, "Tidak, tidak lagi
"Huhuhu ..." Baginda masih saja menutupi wajah dengan jemari rentanya, lantas membuat panik seisi ruangan. Termasuk Bella yang bergerak hendak mendekati Kakeknya yang amat bersedih itu. "Yang Mulia apakah Anda baik-baik saja??" Mereka bertanya-tanya dengan wajah panik. Beberapa diantaranya memandang ke arah Bella dengan tidak suka. Semakin nampak ketidaksukaan di wajah mereka, yang sebelumnya hanya sebatas lirikan sinis yang diam-diam. Kini, mulut-mulut busuk dibalik pakaian mewah nan mahal itu telah menyalahkannya dari tempat duduk mereka. "Lihat, hadiahnya bahkan membuat Baginda tersinggung dan bersedih!" "Dasar tidak tahu diri, padahal ini hari kematian Ayahnya, Putra Mahkota!" "Apakah dia tidak menghormati Ayahnya sendiri, apalagi Baginda Raja?" Namun, selang beberapa menit, "Huhu," Raja berusaha menarik nafas panjang dan menghembuskannya, perlahan menenangkan dirinya, "Tenang semuanya, aku baik-baik saja." "Bella, Sayangku
Lehernya mendadak tegang dan tidak mampu menoleh. Dia takut itu seseorang dari gengnya Aiko atau Luna, karena jelas-jelas suaranya tidak dia kenali. Gawat, padahal dia sudah sengaja memilih tempat yang sepi ini biar tidak diganggu! "Hei," Wajah itu segera muncul ke hadapannya sambil menggeser bangku besi di seberang meja. Bella perlahan mengangkat tatapan dan mendapati Miss Claire, guru Bahasa Inggrisnya yang baru itu sedang duduk santai seraya melemparkan senyum sok akrab. Dia menjadi kikuk. Tidak terbiasa menerima kehadiran orang lain di meja makannya. "Santai saja," Guru itu berkata, sebelah tangannya mengibas ke udara, "Oh, maaf. Apakah aku menganggumu?" Bella menggeleng ragu. "Syukurlah." Wanita muda yang berpenampilan layaknya pekerja perkantoran dari Kota Pusat,super stylishdan bahkan kaca mata hitam menggantung di kemejanya. "Hmm, begini. Bolehkah aku tahu lebih banyak tentangmu, Bella?" Tanyany
"Kamu pikir tadi itu lucu?" Bella sudah berdiri menyilangkan kedua lengan di dada, sementara Ilham yang sedang melewatinya di lorong itu sontak terdiam. Ini jam pulang, tetapi mereka masih harus mengikuti pelajaran tambahan. "Apanya?" Ilham menjawab dengan nada yang membingungkan. Apanya, dia bilang?Bella mendelikkan mata, "Apanya? Jelas-jelas kamu melihatku tadi di kelas, Ilham!" Akhirnya dia berteriak juga tidak sabaran. "O-oh ... iya, hehe." Seulas cengiran itu tampak di wajah si lelaki Persia yang kini mengacak-acak rambut belakangnya. Bella kehilangan ekspresi melihat gelagat aneh temannya ini. Padahal baru saja Ilham memohon-mohon maaf untuk diterima lagi menjadi temannya, tetapi sekarang? Lihat! "Kamu lupa, hah? Baru tadi pagi kamu bilang kiat berteman, tapi sekarang kamu sudah ikut-ikutan mengucilkanku?" "Bu-bukan begitu, Bell." Sahutan Ilham terkesan tidak peduli. Kakinya yang jenjang dibalik segaram putih i
Pagi masih baru saja naik bersama sinar mentari yang menerobos bumi dengan hangat, menghalau dingin bekas hujan semalam. Anak-anak yang baru datang dengan wajah ceria mendapati majalah dinding menjadi lebih menarik karena ada suatu kertas yang tertempel di sana. Sebuah pengumuman. Tidak menunggu waktu lama, gerombolan itu terbentuk di depan majalah dinding yang semakin ramai. "Akan ada study tour?" Seorang anak perempuan menaikkan alisnya. "Oh, khusus untuk kelas dua belas." Temannya menyahut, setelah itu mereka sama-sama melewatinya. Lain dengan gerombolan lelaki di sampingnya, "Ke Istana Wheels? Ini namanya jam pelajaran tambahan, cuma beda suasana saja." "Ah, malas, deh." Mereka saling sahut. "Sudah yuk, cabut." Bella baru saja menginjakkan kaki di lobi, matanya tertarik ke kerumunan yang ramai di depan majalah dinding langsung ikut memperhatikan dari jauh. Terllau sulit untuk menerobos ke depan, jadi dia berdiri mema
"Hei, dia bilang akan datang menyusul?" Mereka mulai berbisik satu sama lain. Beberapa anak bahkan mulai menaruh curiga kepada Bella yang terkesan selalu menghindari acara-acara yang diwajibkan untuk anak non-beasiswa seperti ini. Tetapi, Luna langsung bertanya kembali padanya, "Apa kamu ada acara hari itu?" "Emm, iya." Bella sadar dirinya dalam situasi yang serba sulit. Tidak bisa menghindar lagi seperi sebelumnya, namun juga tidak bisa mengatakan yang sebenarnya–bahwa dia akan menghadiri kelas pribadinya di Istana itu! "Apa itu?" Tanya yang lain. "Ehm, ada ..." Bella terlihat mulai berkelit. "Ada sesuatu yang harus kulakukan." "Eh, dia tidak ikut lagi?" Tiba-tiba saja Aiko menyambar percakapan mereka dengan tampang siap mencemooh. Luna berusaha mengabaikannya, "Oh, ya sudah. Tidak apa, yang penting kamu ikut, Bella." Bella mengangguk saja. "Hahaha." Tawa Aiko meledak, diiringi tertawaan gengnya, "Tidak mungkin. Kukira
Siangnya, bosan karena tidak mengikuti jam pelajaran seperti biasa, Bella membuka-buku latihan soal sambil menuliskannya di catatan. Panasnya mulai turun dan kepalanya sudah tidak merasakan pusing. Dua sudah kembali segar setelah meminum ramuan khusus dari Ibu, yang bahannya dikirimkan oleh Istana ketika mengabarkan dia yang sedang sakit. "Nak, istirahat dulu," Ibu menepuk-nepuk pundaknya pelan ketika menghampirinya sejenak. "Iya Bu, setelah ini aku mau tidur siang." Dia baru saja akan menutup bukunya ketika ponselnya berdering di atas meja. Saat dilihat nama Kazem di layar, Ibu menyuruh untuk segera mengangkatnya karena bisa jadi itu hal yang penting. "Ya, halo?" Selang beberapa detik kemudian dia menjerit tidak percaya, "Tu-tujuh puluh juta?!" Ibu sampai ikut-ikutan terlonjak di tempatnya sambil mengelus dada, "Ada apa, sih? Kenapa kamu heboh sekali, Nak?" Sambil menutup telepon, Bella memandang dengan kosong ke jendela k
Dua belas tahun yang lalu, ketika usianya baru menginjak tujuh tahun dan baru masuk sekolah, Ilham ingat diajak Ayahnya ke rumah seseorang. Di jalan dia bercerita banyak hal tentang sekolah barunya yang seolah tidak begitu digubris oleh sang Ayah yang fokus menyetir."Ayah, dengarkan aku, dong." Mulutnya cemberut. Kedua pipinya yang gempal dan putih seperti bakpao jadi tambah menggemaskan. Membuat siapa saja yang melihatnya merasa senang, namun agaknya berbeda dengan sang Ayah."Maaf, nak. Diamlah dulu, Ayah sedang menyetir dan tidak bisa mendengarkanmu." Bicaranya yang formal dan kaku, serta keengganan untuk menatap anaknya meski hanya sekilas, membuat Ilham sadar bahwa dia bukanlah apa-apa di mata Ayahnya.Ayahnya adalah orang yang diam-diam sangat ambisius. Memang semuanya diperuntukkan untuk keluarganya, dan juga dapat memberikan apapun yang Ilham inginkan. Kecuali kasih sayang dan perhatian.Sampainya mereka di depan bangunan yang teramat besar, mega
Siang itu, mereka selesai membagikan sekerat buat-buahan kepada tetangga terdekat. Tidak ada satupun yang mengenali Bella sebagai pemimpin baru di Negeri ini, bukan karena teknologi belum memasuki desa ini, tetapi karena penampilan perempuan itu yang jauh berbeda dari yang digambarkan media.Inilah kehidupannya yang asli. Jauh sebelum dia mengetahui siapa identitas dirinya sebenarnya.Dan Ilham Azimi, putra tertua keluarga konglomerat di kota Pusat, tidak mau Bella mengetahui lebih banyak mengenai dirinya dan masa lalunya. Ada sesuatu yang terjadi di masa itu, sesuatu yang membuat Bella tidak mengingat apapun karena ..."Sayang?" Suara lembut istrinya membangunkan lelaki itu dari tidur siang sejenak. Ilham mengucek sebelah matanya. Sebenarnya dia tidak tertidur sejak tadi, melainkan sibuk berpikir tentang rencana selanjutnya. Mereka tidak mungkin terus berada di sini sementara di Istana, semua sedang berperang memperebutkan tahta.Termasuk p
"Ma-maksudmu?" Kedua alis Bella menyernyit dan manik mata coklatnya membulat. Diamatinya wajah pria di depan wajahnya itu, namun pikirannya tanpa sadar malah mengagumi wajah indahnya. Dia menggeleng samar.Ilham mengeluarkan nafas pendek, "Tidak." Seperti sedang menyimpan pemikiran itu di dalam dirinya sendiri, dia mengalihkan perhatian Bella ke jendela kamar yang menghadap ladang yang gelap."Lihat!" Katanya seraya membentangkan jemari tangan, "Kita berada di desa terpencil, lebih terpencil daripada kampung rumahmu dulu, Bell!"Bella sedikit mendengus, "Apa maksudmu?" Gumamnya, namun segera melepaskan tawa ringan. Dia sebenarnya sangat senang diajak kembali ke tempat sederhana seperti ini. Semua rumah di sini saling berjauhan dipisahkan oleh ladang yang berhektar-hektar."Terima kasih telah membawaku ke sini." Katanya membalas tatapan Ilham dengan sungguh-sungguh, "Akhirnya aku bisa merasakan kehidupan normal lagi."Ilham terbahak mendengarnya, "K
"Aku merasakan sesuatu yang tidak beres. Bukan, bukan hanya gerakan para saudara yang mencurigakan. Tetapi, lebih tepatnya sesuatu yang telah lama sekali disembunyikan oleh Kerajaan ini. Apa itu?"Bella menuliskan keluh kesahnya di selembar buku harian. Buku berukuran setelapak tangan yang selalu dibawanya kemana saja. Terselip di saku baju, tas, atau bahkan ditentengnya dalam tas kecil saat bepergian.Karena dia tidak begitu pandai mengungkapkan perasaan, termasuk dalam bentuk tulisan. Hanya coretan-coretan kecil yang dia isi di dalamnya. Tetapi, cukup menjadi petunjuk dan penenang kala sesuatu yang tidak diduga atau mengganggunya terjadi. Seperti saat ini.Ditutupnya buku kecil itu, disembunyikan dibalik selipan nakas sambing ranjang dan lekas tertidur di samping suaminya yang telah terlelap sejak tadi.Bella memang masih sangat muda dan inosen untuk memegang tampuk kekuasaan. Tetapi, firasat dan intuisinya mengatakan bahwa dia cukup p
Bella terdiam. Menutup lembaran majalah di tangannya dan bangkit menegakkan punggung. Seorang pelayan yang berdiri di dekatnya sampai memperhatikan gerakannya yang memindahkan telepon ke lain sisi."Ya?" Sahutnya sedikit tertahan, namun juga penasaran apa yang terjadi pada anak itu selepas semua kejadian ini? Apakah Aiko akhirnya sadar bahwa kelakuannya berbahaya untuk dirinya sendiri? Haruskah aku benar-benar menghukumnya jika dia kembali ke sini? Pikir Bella."Apakah aku mengganggumu?" Tanyanya."Tidak." Bella menjawab malas.Ingin cepat-cepat mengakhiri sambungan dan mengatasi anak satu itu. Kenangan lama yang sangat kelam selalu mencari celah di hatinya untuk membuat dia terjatuh, dan celah itu akan selalu terbuka manakala sosok Aiko muncul.Betapa Bella benci itu!"Ehm," Aiko tidak berada di depan matanya, namun senyum jahatnya seolah terlihat jelas sekarang, "Rencananya aku akan kembali ke Negeri Mulia untuk masuk ke kampus baru. Aku a
Hari baru beranjak siang kala kawanan burung dari selatan terbang melewati angkasa, di bawahnya hamparan padang hijau dan kebun bunga bermekaran, mengelilingi rumah yang damai nan sepi.Sinar matahari yang menerobos dinding kaca menciptakan kesan eksotis dan elegan bagi Bella yang terbangun diatas ranjang dengan kelambu minimalis. Ilham yang memesannya langsung dari perusahaan furnitur ternama, agar menyamakan dengan desain kamar Sang Ratu di Istana Wheels."Pagi yang indah, Sayang!" Sambut suaminya yang sedang duduk di tepian dan memandangi dengan kagum.Kecantikan Bella memang tiada duanya! Itu adalah kecantikan yang diturunkan dari garis dua Kerajaan. Sampai-sampai Ilham itu bersyukur dengan kepribadian penyendiri Bella yang tidak lantas membuatnya dikerubungi lelaki-lelaki busuk."Huahhhm!" Bella menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya dan beringsut menaikkan selimut lagi."Bangunlah." Ilham menggoyangkan lengan kecil itu seraya tertawa k
Tiba-tiba wajah itu muncul dari balik pelindung kepala seorang pengawal Ratu. Semua orang seketika terkejut, terbangun, dan bersiaga penuh.Dia adalah Pangeran Kedua!Bagaimana bisa dia selama ini berada di samping Sang Ratu, sementara tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaannya? Bella sendiri langsung bergerak mundur ke belakang Ilham yang langsung memasang badan. Suaminya hendak menarik pedang di sisi kiri, meski dia tentu saja belum mahir menggunakannya.Sekedar gertakan untuk mengesankan kekuatan disaat terdesak itu perlu! Pikir Ilham menajamkan kedua alisnya."Berhenti disitu!" Balas Kazem, ikut melayangkan ujung pedangnya di depan wajah Pangeran Kedua yang membelalakkan mata kepadanya."Be-beraninya kau, pelayan rendahan!" Maki Pangeran Kedua dalam gumaman kerasnya saat mencoba menghindar secepat kilat."Yang Mulia mendiang Raja telah mewasiatkan kami untuk mengangkat Ratu pertama di Kerajaan ini!" Kazem berseru ke arahnya.
"Jam berapa dia akan tiba?" Bella bertanya dengan suara lemah. Dirinya telah terbaring selama beberapa jam terakhir di ranjang, sementara para pelayan mengelilinginya. Mereka semua bersiaga, demikian juga para pasukan khusus di depan gedung. Beberapa jam lalu ... Duagh! Bella terjatuh saat hendak turun dari helikopter. Hal itu dikarenakan suasana yang sangat mencekam kala pasukan Pangeran Kedua telah bergerak ke arah gedung pencakar langit yang dia tuju. Membuatnya panik dan kalang kabut. Lutut dan tulang keringnya terluka parah, sehingga dia langsung dilarikan ke suatu kamar yang paling aman di puncak gedung tersebut oleh tim medis. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh pihak yang lain dan timnya menjaga ketat informasi ini dari siapapun, apalagi media. Rakyat hanya mengetahui bahwa calon Ratu tetap dalam keadaan selamat dan baik-baik saja. Bella berusaha menggerakkan kakinya agar tidak menjadi kaku dan semakin parah. Besok, jika se
Sambungan diangkat.Pada awalnya terdengar riuh dari jauh, lalu suara seorang pria yang tegas menyahutnya, "Apakah ini dengan Tuan-""Dimana Bella?" Ilham langsung memotong, "Apakah dia baik-baik saja??" Dia yakin yang kini memegang ponsel itu adalah salah satu ajudannya."Ya, beliau baik-baik saja." Ajudan itu menyahut lagi, "Ada pesan yang harus saya sampaikan kepada Anda, Tuan. Bahwa Anda harus datang ke Istana besok siang untuk menemui Yang Mulia."Kalimat itu menjalar bagai rambatan listrik dari tangan hingga ke kepala Ilham. Bella memintanya untuk datang besok?? Apakah itu artinya ... dia diterima?? Semoga saja!Ilham merasa lega, sekaligus senang bukan kepalang. Namun, dia berusaha keras untuk menahannya.Sementara Gerry terus menguping tepat di samping ponselnya tanpa mengerti satu katapun. Yang Mulia? Istana? Apa yang sebenarnya orang aneh ini sedang bicarakan?"Baik!" Ilham segera menjawab, lalu sambungan dimatikan. Tut. Tut