Bella pulang sebelum matahari turun dari permukaan langit yang oranye kemerahan. Sungguh sore yang cerah. Limosin yang mengantarnya tidak sampai ke depan rumah karena terpentok oleh gang yang sempit, berhenti agak jauh dari sana.
"Kazem," Bella memanggil Pengawal itu yang kini balas menatapnya. "Tolong jangan bilang apapun soal yang kamu lihat di ponselku tadi kepada Kakek, ma-maksudku Baginda Raja, ya."
Kazem tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Baik."
"Juga," Bella melanjutkan, "Apakah saat di sekolah tadi ada anak kelas tiga yang melihatmu datang?"
Mereka berdua sama-sama terdiam.
"Sepertinya tidak, bukankah anak kelas tiga sedang ada pelajaran tambahan?" Kazem balas bertanya.
Kini Bella yang mengangguk, "Oh iya, benar. Lain kali, tolong jangan datang ke sekolahku. Kita bertemu diluar saja, boleh?"
"Baik."
Bella lantas turun, kakinya kembali menapaki tanah jalanan yang becek. Aspal sudah berhenti sejak diluar gang, di sini suasana alam sangat terasa karena berdampingan dengan kebun buah warga dan rumah-rumah gubuk yang kecil. Meski rumah Bella masih lebih baik penampakannya karena terbuat dari beton yang kokoh, dibanding rumah lainnya.
Setelah mengucapkan salam, dia segera masuk menemui Ibu yang biasanya sedang duduk santai di halaman belakang sambil mengayak beras. Tepat sekali, dilihatnya punggung Ibu dari belakang yang mulai lebih bungkuk. Dirinya sempat terhenyak di tempat, teringat kata-kata Sang Kakek bagaimana Ibunya pandai menjaga rahasia dan hidup seperti ini.
Hatinya terenyuh, merasa sakit, sekaligus bingung. Mengapa Ibu mau melakukannya, padahal bisa saja menuntut hidup lebih layak kepada Ayah yang merupakan Pangeran Kerajaan? "Huh." Membuang nafasnya ke samping, Bella kemudian menghampiri Ibunya.
"Bu, aku pulang." Ujarnya sambil duduk di pinggiran dipan, samping Ibu.
Anehnya, Ibu diam saja. Seolah tidak mendengar maupun menyadari kehadirannya. Baru setelah Bella mengulanginya sekali lagi dengan perasaan janggal, Ibu menoleh seraya mengulas senyum lebar.
"Wah, anak Ibu baru pulang, nih."
"Hehe." Diberikannya seulas cengiran bahagia. Mungkin Ibu sedang banyak pikiran sehingga tidak menyadari kedatanganku tadi, pikirnya.
"Mau makan malam apa nanti, Nak?" Tanya Ibu, tangannya masih melanjutkan pekerjaan diatas tampi berisi beras putih gading.
"Coba lihat, aku bawa apa." Bella kemudian mengeluarkan kotak berisi makanan yang dibawakan dari Istana tadi siang. Mereka bisa menghangatkannya untuk makan malam karena isinya masih segar.
Ibu termenung menatap kotak itu. Tidak ada senyum yang biasa diberikan ketika Bella menghadiahkannya sesuatu, sesederhana apapun itu. Melihat itu, Bella semakin menyadari kejanggalan di hadapannya.
"Bu?" Tanyanya hati-hati.
"Boleh." Sahut Ibu, lantas dengan terburu-buru mengangkat tampinya dan bangkit dari sana. Meninggalkan Bella yang masih terduduk dengan bingung. Dihembuskannya nafas panjang, lalu menyusul Ibu ke dapur.
"Hangatkan di sana." Ujar Ibu menunjuk kompor dengan wadah yang telah disiapkan diatasnya.
Tanpa menjawab sepatah katapun, Bella memasukkan lauk yang dibawanya ke dalam wadah dan menyalakan kompor dengan api kecil. Dia masih berdiri membelakangi Ibu, sementara pikirannya penuh pertanyaan akan sikap Ibu yang mendadak berubah.
Jika biasanya Ibu akan menyambut dengan lebih lembut, membawa suasana ketenangan, dan memasakkan makan malam kesukaannya, kini Ibu terlihat dingin dan seperti menutup mulutnya dari mengatakan sesuatu di hatinya.
Bella menjadi tidak begitu nyaman, sehingga dia memutuskan untuk bersih-bersih dan berganti pakaian. Mungkin Ibu juga sedang lelah, terlihat dari saat dia masuk dan Ibu tidak menyadarinya.
"Bella." Ibu memanggilnya setengah jam kemudian. Rupanya lauk pauk sudah siap, terhidang dengan mewah diatas meja kecil dapur. "Makan, yuk." Ibu bahkan mengambilkan piring untuknya. Ini tampak seperti biasanya, Bella menghela nafas lega sebelum mulai makan.
"Nak," Ditengah makan, Ibu memulai percakapan yang agak serius sehingga Bella berhenti menyuap dan mengangkat tatapannya, "Bagaimana kabar Kakek?"
Bella terkejut dalam keharuan, namun menjawab dengan senang, "Baik, tadi siang aku menemuinya, Bu." Dia sempat berhenti, "Hmm, kata Kazem, Kakek memiliki penyakit gula dan tekanan darah tinggi. Tapi tadi terlihat sehat."
Ibu mengangguk.
"Kazem?" Tanyanya kemudian.
"Oh, iya. Dia Pengawal Baginda."
"Oooh ..."
Sambil merasakan nikmatnya makan malam kali ini, disambung dengan kenangan makan siang di Istana yang luar biasa, Bella memikirkan sesuatu yang tidak pernah dia sangka. Bagaimana mungkin mereka sekarang makan malam sambil membicarakan pertemuan dengan Sang Raja?
"Apakah Kakek berpesan sesuatu kepadamu?" Tanya Ibu lagi.
"Hmmm. Tidak, tapi Kakek menyampaikan salam dan katanya, Ibu adalah wanita yang luar biasa, hehe."
Persis seperti keinginannya, Ibu langsung tersenyum lembut sambil menunduk. Menutupi raut bahagia yang jarang terulas di wajah keriputnya. Namun, lagi-lagi ekspresinya berubah saat kembali menatap Bella. Lebih serius dan diam.
"Oh, iya!" Bella teringat sesuatu dan membuatnya panik, segera dia pergi ke kamar meninggalkan meja makan. Mengabaikan pertanyaan Ibu, "mau kemana?"
Beberapa saat kemudian dia kembali membawa sebuah kartu hitam di tangannya. Melihat itu, sebelum dia berbicara apapun, Ibu melotot kepadanya. Menggeleng pelan, seolah sudah tahu apa yang hendak ditunjukkannya.
Bella menjadi takut-takut.
"Kenapa, Bu?"
"Nak." Suara Ibu berubah gusar. "Kukira mereka tidak akan langsung bertindak sejauh ini. Lihat, ini untuk apa? Kita tidak memerlukan ini! Kembalikan saja, Nak."
Hati Bella mendadak terhenyak. Rasa sedih sekaligus kecewa dengan sikap Ibu langsung menyeruak menguasai dirinya yang sedang lelah. Sempat dia terdiam sambil menundukkan kepala, kemudian semuanya meledak begitu saja tanpa terkendali,
"Kenapa Ibu begitu? Sejak aku pulang tadi Ibu jadi dingin kepadaku. Bahkan Ibu menolak kartu debit yang diberikan Kerajaan ini, Ibu pikir kita benar-benar tidak membutuhkannya? Ibu tahu apa soal ... aku di sekolah?"
Tetesan bening yang panas menuruni pipi kirinya yang merah padam. Kalimatnya ternyata hanya terpotong sesaat dia mengambil nafas panjang, membiarkan Ibu yang terkejut memandanginya.
"Ibu tahu apa soal sekolahku yang berjouis? Teman-temanku, semuanya ... mereka ..."
Suasana hening.
Tiba-tiba sebelah tangan Ibu menggertak meja. Brak! Membuat seisi meja kecil beserta makanan dan minuman hangatnya bergoyang nyaris tumpah. Bella sendiri tidak dapat menahan keterkejutan melihat reaksi Ibu yang diluar dugaannya.
"Siapa yang berani jahat kepadamu?!"
Bella terdiam merapatkan bibirnya. Rasa sesal kini menyeruak di dadanya, mengapa dia bisa meledak seperti itu tadi. Seharusnya dia diam saja, meninggalkan semua rasa sakit diluar rumah seperti biasa.
"Tidak. Ibu yakin ada yang menjahati kamu di sekolah!" Sergah Ibu, melihat gerakan kepala Bella yang menggeleng. Anaknya masih tidak mau membuka suara. Antara ketakutan dengan reaksi dari wajah serta gestur Ibunya yang menyeramkan sekarang, atau dia tidak ingin ada keributan dengan teman-temannya nanti.
Ibu membuang nafasnya, menunduk sejenak, "Kalau begitu ..." Matanya yang abu-abu kebiruan terang itu menyala-nyala digenangi selapis air bening, menatapnya dalam-dalam, "Karena itukah kamu ingin menggunakannya?"
Bella tidak kuasa menatapnya yang sedang emosional. Ini sungguh tidak seperti biasanya.
"Jawab, Bella!"
Anak itu tergugu, "I-iya." Mengangguk dengan ragu.
"Gunakanlah." Ibu berkata akhirnya dengan nada yang lebih tenang, "Gunakanlah dengan bijaksana dan bertanggung jawab, Nak."
Diperhatikannya wanita senja yang kembali menekuri piring di hadapannya itu. Sebuah perasaan janggal lagi-lagi hinggap dalam nalurinya, Bella mulai memikirkan tentang masa lalu Ibunya. Mirip seperti Ayah, Ibu juga tidak dekat dengan keluarganya. Mereka jarang sekali berlibur ke rumah keluarga besar seperti keluarga lain pada umumnya.
Dalam hati dia bertanya, ada apa gerangan?
Apalagi saat Ibu diam-diam berbisik, "Memang benar. Kekuasaan dapat menentukan harga diri seseorang." Mengarahkan mata senjanya dibawah kelopak yang berat itu ke langit biru gelap di luar jendela.
Apa maksud perkataan Ibu barusan?
"Apakah kamu bertanya-tanya apa maksud perkataanku barusan?" Suara Ibu yang dalam menegurnya, sehingga merinding bulu-bulu di sekujur tangan hingga lehernya. Sosok Ibu yang dia kenal seperti lenyap entah kemana, digantikan oleh sosok perempuan yang kini memandang dengan remeh.
Bella terkesiap dengan pemandangan yang dilihatnya.
"Kamu masih terlalu muda, Nak. Lakukan saja apa yang kamu rasa perlu kamu lakukan. Aku telah melewati masa-masa itu pula, jauh dari zaman sekarang."
Kalimat yang bernuansa sakral, intonasi yang dalam, serta gaya bicara yang lebih terhormat tampak pada diri Ibu yang baru kali ini disaksikannya. Seolah Ibu telah menyembunyikan sesuatu untuk waktu yang amat lama di dalam dirinya.
"Bu?" Bella berusaha bertanya.
Namun, Ibu sudah kembali ke kesadarannya dengan mengulas senyum lembut serta mata yang tidak lagi semisterius barusan, "Jaga rahasia ini ya, Nak. Hingga waktunya tiba, mereka juga akan tahu."
Tidak terasa, mereka sudah tiba di akhir makan malam. Ibu bergegas membereskan meja dibantu Bella. Semua perkataan Ibu yang seperti angin dingin dari ladang jagung memasuki telinganya, teringat betul cara Ibu berkata-kata beberapa saat lalu. Itu sangat tidak biasa. Tetapi, dia memilih untuk memendamnya.
Malam semakin larut. Sebuah pesan masuk dari Aiko.
"Oi, anak tukang sayur. Ketua kelas menghubungiku gara-gara kamu belum juga bayar uang kas! Kamu yang tidak bayar, kok jadi aku yang direpotkan."
Aiko memang bendahara kelas. Beberapa kali dia berkata ingin membayarkan uang kas Bella yang menunggak, namun itu semua hanya omong kosong untuk semakin merendahkan dan menekan Bella di depan anak-anak lain.
Tidak lama kemudian, tahu chat-nya sudah dibaca, dia mengirim lagi:
"Awas saja kalau sampai besok kamu belum bayar! Mungkin kamu memang tidak cocok berada di sekolah kami!"
Bella tidak menjawab, melainkan langsung menghubungi Kazem karena belum mengerti bagaimana cara menggunakan kartu hitam di tangannya itu. Udik sekali, tapi tidak mengapa selama Kazem Sang Pengawalnya siap setiap waktu untuk membantunya.
"Baik, aku transfer sekarang." Bella kemudian membalas Aiko.
"Hah. Dasar penipu. Mau berapa kali kamu bohong akan membayarnya padahal kamu kan, miskin, mana punya kamu uang segitu! Mau aku bayarkan saja, hah?"
Bella tidak ingin menanggapi cemoohan Aiko diatas chat-nya, kemudian mengirimkan bukti transfer begitu saja tanpa keterangan apapun. Dirinya sudah terlalu lelah untuk mencerna semua yang terjadi hari ini. Ingin tertidur untuk menemui Ayah di dalam mimpi.
Ponsel telah dimatikan begitu balasan Aiko masuk.
"Hei, 1000 Dollar? Kamu tidak menipuku, kan?" Karena seharusnya hanya 100.
Keesokan paginya, suasana masih sama; pagi yang dingin berembun disertai sisa-sisa gerimis semalaman, jalanan yang becek sebelum menginjak bagian berasapal di dekat sekolah, hingga tatapan tidak peduli anak-anak yang dijumpainya. Bella, masih orang yang sama. Baik itu sikap diam yang ditunjukkannya, maupun sikap teman-teman kepadanya. "Hei." Aiko, yagn tumben sudah datang pagi-pagi, lebih dulu berdiri di samping mejanya. Diikuti lirikan anak-anak gengnya. Bella terkesiap.Seingatku semalam sudah bayar,pikirnya. "Aku sudah mentransfer balik kelebihannya." Gadis berkuncir kuda itu berkata ambil menahan gengsi, namun raut wajahnya mengerut, "Kamu kok, bisa punya uang segitu banyak? Kelihatannya gak pantas banget deh, untuk kamu." Melihat Bella masih belum memberikan reaksi apa-apa, Aiko tambah geram ingin sekali memancingnya. Anak super manja yang menjadi perhatian seisi sekolah itu, bergerak mendekati wajah Bella. Menatapnya
Oh iya, sore nanti acara peringatan hari kematian Ayahnya akan diadakan di rumah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, para tetangga akan membawakan makanan untuk tuan rumah yang sedang berduka. Begitulah budaya di Negeri ini. Satu hal yang baru Bella sadari adalah, acara ini selalu bertepatan dengan acara penggalangan dana di Istana. Dihadiri oleh para pejabat, selebriti, serta tokoh masyarakat terkemuka diatas karpet merah. Sejak tiga tahun lalu, "Galang Dana Nasional" selalu menjadi berita paling populer menjelang akhir tahun. Hal tersebut secara kebetulan nyambung dengan fakta bahwa mendiang Ayahnya sangat dermawan dan suka membantu orang yang kesulitan. Bella tidak pernah melihat Ayah keberatan untuk menebarkan kebaikan kepada orang-orang di sekitarnya. Apakah itu mungkin acara ... "Bella?" Suara Miss Claire menegur lamunan panjangnya. Begitu Bella mengangkat tatapan kepadanya, "Boleh kamu jawab soal di depan ini?" Kebetulan itu soal
"Nak!" Ibu memanggil dari dapur, sehingga Bella yang sedang menata minuman air mineral di ruang tamu tergopoh-gopoh menghampirinya. "Ada apa, Bu?" Bella sedikit panik mendengar nada tinggi Ibunya itu. Tidak seperti biasanya. "Apakah kamu yang mengubahdress codeacara hari ini jadi seperti ini?" Rupanya Ibu selalu memantau acara Istana tersebut lewat ponselnya. Sesuatu yang tidak Bella ketahui sama sekali sejak tahun-tahun lalu. Acaranya disiarkan secara live di kanal Istana. "Bu, jadi Ibu selalu menontonnya?" Bella bertanya sambil tidak percaya. "Ini kamu yang mengubahnya?" Ibu tetap ngotot bertanya, tidak menghiraukan pertanyaan Bella barusan. "Ya." Jawab Bella singkat. Sebelum bergerak mengambil nampan minuman lagi di belakang punggung Ibu. "Apa-apaan sih, kamu!" Tiba-tiba saja omelan Ibu terdengar memenuhi dapur, membuatnya terlonjak di tempat dan menatap dengan mata membesar, "Itu warna kesukaan Ay
Menjelang malam, jam pelajaran tambahan baru saja berakhir. Ini adalah waktu belajar terlama yang pernah dirasakan Bella, karena sebelumnya dia pasti sudah bersantai di rumah sepulang sekolah. Kedua langkahnya yang besar-besar itu dipercepat kala melewati jalanan yang mulai rusak diantara rumah-rumah warga yang cukup padat. Ladang-ladang jagung telah jauh dilewatinya, sepi diikuti gemerisik angin yang membuat bulu kuduk merinding. Sampailah dia di depan pekarangan rumah yang temaram cahaya lampu. Rupanya Ibu sudah menunggu sembari menuliskan sesuatu di buku penjualannya. Wajah renta itu kembali bersinar mendapati anak kesayangannya telah pulang. Senyumnya terulas lebar saat hendak bangkit untuk menghampiri Bella, jika seandainya anak itu tidak menghampiri duluan. "Bagaimana di sekolah? Apakah mereka masih merundungmu?" Tanya Ibu, setelah membantu melepaskan tas dari punggung lelahnya. Bella menggeleng disertai cengiran kecil, "Tidak, tidak lagi
"Huhuhu ..." Baginda masih saja menutupi wajah dengan jemari rentanya, lantas membuat panik seisi ruangan. Termasuk Bella yang bergerak hendak mendekati Kakeknya yang amat bersedih itu. "Yang Mulia apakah Anda baik-baik saja??" Mereka bertanya-tanya dengan wajah panik. Beberapa diantaranya memandang ke arah Bella dengan tidak suka. Semakin nampak ketidaksukaan di wajah mereka, yang sebelumnya hanya sebatas lirikan sinis yang diam-diam. Kini, mulut-mulut busuk dibalik pakaian mewah nan mahal itu telah menyalahkannya dari tempat duduk mereka. "Lihat, hadiahnya bahkan membuat Baginda tersinggung dan bersedih!" "Dasar tidak tahu diri, padahal ini hari kematian Ayahnya, Putra Mahkota!" "Apakah dia tidak menghormati Ayahnya sendiri, apalagi Baginda Raja?" Namun, selang beberapa menit, "Huhu," Raja berusaha menarik nafas panjang dan menghembuskannya, perlahan menenangkan dirinya, "Tenang semuanya, aku baik-baik saja." "Bella, Sayangku
Lehernya mendadak tegang dan tidak mampu menoleh. Dia takut itu seseorang dari gengnya Aiko atau Luna, karena jelas-jelas suaranya tidak dia kenali. Gawat, padahal dia sudah sengaja memilih tempat yang sepi ini biar tidak diganggu! "Hei," Wajah itu segera muncul ke hadapannya sambil menggeser bangku besi di seberang meja. Bella perlahan mengangkat tatapan dan mendapati Miss Claire, guru Bahasa Inggrisnya yang baru itu sedang duduk santai seraya melemparkan senyum sok akrab. Dia menjadi kikuk. Tidak terbiasa menerima kehadiran orang lain di meja makannya. "Santai saja," Guru itu berkata, sebelah tangannya mengibas ke udara, "Oh, maaf. Apakah aku menganggumu?" Bella menggeleng ragu. "Syukurlah." Wanita muda yang berpenampilan layaknya pekerja perkantoran dari Kota Pusat,super stylishdan bahkan kaca mata hitam menggantung di kemejanya. "Hmm, begini. Bolehkah aku tahu lebih banyak tentangmu, Bella?" Tanyany
"Kamu pikir tadi itu lucu?" Bella sudah berdiri menyilangkan kedua lengan di dada, sementara Ilham yang sedang melewatinya di lorong itu sontak terdiam. Ini jam pulang, tetapi mereka masih harus mengikuti pelajaran tambahan. "Apanya?" Ilham menjawab dengan nada yang membingungkan. Apanya, dia bilang?Bella mendelikkan mata, "Apanya? Jelas-jelas kamu melihatku tadi di kelas, Ilham!" Akhirnya dia berteriak juga tidak sabaran. "O-oh ... iya, hehe." Seulas cengiran itu tampak di wajah si lelaki Persia yang kini mengacak-acak rambut belakangnya. Bella kehilangan ekspresi melihat gelagat aneh temannya ini. Padahal baru saja Ilham memohon-mohon maaf untuk diterima lagi menjadi temannya, tetapi sekarang? Lihat! "Kamu lupa, hah? Baru tadi pagi kamu bilang kiat berteman, tapi sekarang kamu sudah ikut-ikutan mengucilkanku?" "Bu-bukan begitu, Bell." Sahutan Ilham terkesan tidak peduli. Kakinya yang jenjang dibalik segaram putih i
Pagi masih baru saja naik bersama sinar mentari yang menerobos bumi dengan hangat, menghalau dingin bekas hujan semalam. Anak-anak yang baru datang dengan wajah ceria mendapati majalah dinding menjadi lebih menarik karena ada suatu kertas yang tertempel di sana. Sebuah pengumuman. Tidak menunggu waktu lama, gerombolan itu terbentuk di depan majalah dinding yang semakin ramai. "Akan ada study tour?" Seorang anak perempuan menaikkan alisnya. "Oh, khusus untuk kelas dua belas." Temannya menyahut, setelah itu mereka sama-sama melewatinya. Lain dengan gerombolan lelaki di sampingnya, "Ke Istana Wheels? Ini namanya jam pelajaran tambahan, cuma beda suasana saja." "Ah, malas, deh." Mereka saling sahut. "Sudah yuk, cabut." Bella baru saja menginjakkan kaki di lobi, matanya tertarik ke kerumunan yang ramai di depan majalah dinding langsung ikut memperhatikan dari jauh. Terllau sulit untuk menerobos ke depan, jadi dia berdiri mema
Dua belas tahun yang lalu, ketika usianya baru menginjak tujuh tahun dan baru masuk sekolah, Ilham ingat diajak Ayahnya ke rumah seseorang. Di jalan dia bercerita banyak hal tentang sekolah barunya yang seolah tidak begitu digubris oleh sang Ayah yang fokus menyetir."Ayah, dengarkan aku, dong." Mulutnya cemberut. Kedua pipinya yang gempal dan putih seperti bakpao jadi tambah menggemaskan. Membuat siapa saja yang melihatnya merasa senang, namun agaknya berbeda dengan sang Ayah."Maaf, nak. Diamlah dulu, Ayah sedang menyetir dan tidak bisa mendengarkanmu." Bicaranya yang formal dan kaku, serta keengganan untuk menatap anaknya meski hanya sekilas, membuat Ilham sadar bahwa dia bukanlah apa-apa di mata Ayahnya.Ayahnya adalah orang yang diam-diam sangat ambisius. Memang semuanya diperuntukkan untuk keluarganya, dan juga dapat memberikan apapun yang Ilham inginkan. Kecuali kasih sayang dan perhatian.Sampainya mereka di depan bangunan yang teramat besar, mega
Siang itu, mereka selesai membagikan sekerat buat-buahan kepada tetangga terdekat. Tidak ada satupun yang mengenali Bella sebagai pemimpin baru di Negeri ini, bukan karena teknologi belum memasuki desa ini, tetapi karena penampilan perempuan itu yang jauh berbeda dari yang digambarkan media.Inilah kehidupannya yang asli. Jauh sebelum dia mengetahui siapa identitas dirinya sebenarnya.Dan Ilham Azimi, putra tertua keluarga konglomerat di kota Pusat, tidak mau Bella mengetahui lebih banyak mengenai dirinya dan masa lalunya. Ada sesuatu yang terjadi di masa itu, sesuatu yang membuat Bella tidak mengingat apapun karena ..."Sayang?" Suara lembut istrinya membangunkan lelaki itu dari tidur siang sejenak. Ilham mengucek sebelah matanya. Sebenarnya dia tidak tertidur sejak tadi, melainkan sibuk berpikir tentang rencana selanjutnya. Mereka tidak mungkin terus berada di sini sementara di Istana, semua sedang berperang memperebutkan tahta.Termasuk p
"Ma-maksudmu?" Kedua alis Bella menyernyit dan manik mata coklatnya membulat. Diamatinya wajah pria di depan wajahnya itu, namun pikirannya tanpa sadar malah mengagumi wajah indahnya. Dia menggeleng samar.Ilham mengeluarkan nafas pendek, "Tidak." Seperti sedang menyimpan pemikiran itu di dalam dirinya sendiri, dia mengalihkan perhatian Bella ke jendela kamar yang menghadap ladang yang gelap."Lihat!" Katanya seraya membentangkan jemari tangan, "Kita berada di desa terpencil, lebih terpencil daripada kampung rumahmu dulu, Bell!"Bella sedikit mendengus, "Apa maksudmu?" Gumamnya, namun segera melepaskan tawa ringan. Dia sebenarnya sangat senang diajak kembali ke tempat sederhana seperti ini. Semua rumah di sini saling berjauhan dipisahkan oleh ladang yang berhektar-hektar."Terima kasih telah membawaku ke sini." Katanya membalas tatapan Ilham dengan sungguh-sungguh, "Akhirnya aku bisa merasakan kehidupan normal lagi."Ilham terbahak mendengarnya, "K
"Aku merasakan sesuatu yang tidak beres. Bukan, bukan hanya gerakan para saudara yang mencurigakan. Tetapi, lebih tepatnya sesuatu yang telah lama sekali disembunyikan oleh Kerajaan ini. Apa itu?"Bella menuliskan keluh kesahnya di selembar buku harian. Buku berukuran setelapak tangan yang selalu dibawanya kemana saja. Terselip di saku baju, tas, atau bahkan ditentengnya dalam tas kecil saat bepergian.Karena dia tidak begitu pandai mengungkapkan perasaan, termasuk dalam bentuk tulisan. Hanya coretan-coretan kecil yang dia isi di dalamnya. Tetapi, cukup menjadi petunjuk dan penenang kala sesuatu yang tidak diduga atau mengganggunya terjadi. Seperti saat ini.Ditutupnya buku kecil itu, disembunyikan dibalik selipan nakas sambing ranjang dan lekas tertidur di samping suaminya yang telah terlelap sejak tadi.Bella memang masih sangat muda dan inosen untuk memegang tampuk kekuasaan. Tetapi, firasat dan intuisinya mengatakan bahwa dia cukup p
Bella terdiam. Menutup lembaran majalah di tangannya dan bangkit menegakkan punggung. Seorang pelayan yang berdiri di dekatnya sampai memperhatikan gerakannya yang memindahkan telepon ke lain sisi."Ya?" Sahutnya sedikit tertahan, namun juga penasaran apa yang terjadi pada anak itu selepas semua kejadian ini? Apakah Aiko akhirnya sadar bahwa kelakuannya berbahaya untuk dirinya sendiri? Haruskah aku benar-benar menghukumnya jika dia kembali ke sini? Pikir Bella."Apakah aku mengganggumu?" Tanyanya."Tidak." Bella menjawab malas.Ingin cepat-cepat mengakhiri sambungan dan mengatasi anak satu itu. Kenangan lama yang sangat kelam selalu mencari celah di hatinya untuk membuat dia terjatuh, dan celah itu akan selalu terbuka manakala sosok Aiko muncul.Betapa Bella benci itu!"Ehm," Aiko tidak berada di depan matanya, namun senyum jahatnya seolah terlihat jelas sekarang, "Rencananya aku akan kembali ke Negeri Mulia untuk masuk ke kampus baru. Aku a
Hari baru beranjak siang kala kawanan burung dari selatan terbang melewati angkasa, di bawahnya hamparan padang hijau dan kebun bunga bermekaran, mengelilingi rumah yang damai nan sepi.Sinar matahari yang menerobos dinding kaca menciptakan kesan eksotis dan elegan bagi Bella yang terbangun diatas ranjang dengan kelambu minimalis. Ilham yang memesannya langsung dari perusahaan furnitur ternama, agar menyamakan dengan desain kamar Sang Ratu di Istana Wheels."Pagi yang indah, Sayang!" Sambut suaminya yang sedang duduk di tepian dan memandangi dengan kagum.Kecantikan Bella memang tiada duanya! Itu adalah kecantikan yang diturunkan dari garis dua Kerajaan. Sampai-sampai Ilham itu bersyukur dengan kepribadian penyendiri Bella yang tidak lantas membuatnya dikerubungi lelaki-lelaki busuk."Huahhhm!" Bella menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya dan beringsut menaikkan selimut lagi."Bangunlah." Ilham menggoyangkan lengan kecil itu seraya tertawa k
Tiba-tiba wajah itu muncul dari balik pelindung kepala seorang pengawal Ratu. Semua orang seketika terkejut, terbangun, dan bersiaga penuh.Dia adalah Pangeran Kedua!Bagaimana bisa dia selama ini berada di samping Sang Ratu, sementara tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaannya? Bella sendiri langsung bergerak mundur ke belakang Ilham yang langsung memasang badan. Suaminya hendak menarik pedang di sisi kiri, meski dia tentu saja belum mahir menggunakannya.Sekedar gertakan untuk mengesankan kekuatan disaat terdesak itu perlu! Pikir Ilham menajamkan kedua alisnya."Berhenti disitu!" Balas Kazem, ikut melayangkan ujung pedangnya di depan wajah Pangeran Kedua yang membelalakkan mata kepadanya."Be-beraninya kau, pelayan rendahan!" Maki Pangeran Kedua dalam gumaman kerasnya saat mencoba menghindar secepat kilat."Yang Mulia mendiang Raja telah mewasiatkan kami untuk mengangkat Ratu pertama di Kerajaan ini!" Kazem berseru ke arahnya.
"Jam berapa dia akan tiba?" Bella bertanya dengan suara lemah. Dirinya telah terbaring selama beberapa jam terakhir di ranjang, sementara para pelayan mengelilinginya. Mereka semua bersiaga, demikian juga para pasukan khusus di depan gedung. Beberapa jam lalu ... Duagh! Bella terjatuh saat hendak turun dari helikopter. Hal itu dikarenakan suasana yang sangat mencekam kala pasukan Pangeran Kedua telah bergerak ke arah gedung pencakar langit yang dia tuju. Membuatnya panik dan kalang kabut. Lutut dan tulang keringnya terluka parah, sehingga dia langsung dilarikan ke suatu kamar yang paling aman di puncak gedung tersebut oleh tim medis. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh pihak yang lain dan timnya menjaga ketat informasi ini dari siapapun, apalagi media. Rakyat hanya mengetahui bahwa calon Ratu tetap dalam keadaan selamat dan baik-baik saja. Bella berusaha menggerakkan kakinya agar tidak menjadi kaku dan semakin parah. Besok, jika se
Sambungan diangkat.Pada awalnya terdengar riuh dari jauh, lalu suara seorang pria yang tegas menyahutnya, "Apakah ini dengan Tuan-""Dimana Bella?" Ilham langsung memotong, "Apakah dia baik-baik saja??" Dia yakin yang kini memegang ponsel itu adalah salah satu ajudannya."Ya, beliau baik-baik saja." Ajudan itu menyahut lagi, "Ada pesan yang harus saya sampaikan kepada Anda, Tuan. Bahwa Anda harus datang ke Istana besok siang untuk menemui Yang Mulia."Kalimat itu menjalar bagai rambatan listrik dari tangan hingga ke kepala Ilham. Bella memintanya untuk datang besok?? Apakah itu artinya ... dia diterima?? Semoga saja!Ilham merasa lega, sekaligus senang bukan kepalang. Namun, dia berusaha keras untuk menahannya.Sementara Gerry terus menguping tepat di samping ponselnya tanpa mengerti satu katapun. Yang Mulia? Istana? Apa yang sebenarnya orang aneh ini sedang bicarakan?"Baik!" Ilham segera menjawab, lalu sambungan dimatikan. Tut. Tut