“Brengsek! Aku membayarmu untuk mengatasi masalah itu, Levo, jika dalam dua jam aku tidak mendapat berita memuaskan aku akan menendang bokongmu dan memastikan kau hidup di jalanan!” Ethan melempar ponselnya ke lantai, meninggalkan bunyi nyaring yang memekakkan telinga. Dira terperanjat dan melompat dari tempatnya berdiri. Ia berkedip, menatap Ethan dengan eskrpesi terkejut. Ketegangan memacar dari tubuh Ethan seperti bara api yang siap membakar siapa saja yang mendekat. Rahangnya mengeras, dan napasnya memburu, seolah menahan badai yang hampir meledak dalam dirinya. Dira menelan ludah. Ia tahu Ethan marah besar karena sesuatu. Sayangnya, pria itu tidak mau berbagi dengannya. Sejak tiba di Athena Ethan sudah sibuk bekerja. Pria itu nyaris tidak pernah meninggalkan ruangannya meski cuaca di luar teramat indah untuk diabaikan dan laut keperakan yang amat menakjubkan terlalu sayang untuk dilewatkan. Setelah menidurkan Noah, Dira bergegas memasak untuk makan malam mereka. Saat itulah
“Saat itu musim dingin, tidak ada makanan, tidak ada apa pun untuk mengatasi rasa lapar yang kurasakan. Aku berdiri, hanya memandangi orang-orang yang berlalu-lalang. Kupikir saat itu aku akan mati, tapi kemudian seorang pria tua mengenakan apron mendatangiku dan memberi roti yang masih hangat. Hari itu, aku menjadi manusia paling bahagia di dunia. Kurasa sejak saat itu aku jatuh cinta pada dunia memasak.” Dira tersenyum. “Saat melihat orang-orang makan dengan lahap dan wajah mereka bahagia karenanya, aku merasakan kebahagiaan hanya dengan melihatnya.” Kata-kata itu menghantam Ethan seperti gelombang besar. Ia hanya bisa menatap Dira, yang terlihat begitu kecil namun memiliki keberanian untuk mengubah rasa sakitnya menjadi sesuatu yang bermakna. Seumur hidupnya, ia tidak pernah tahu apa arti kelaparan bahkan ketika keluarganya bangkrut ia memiliki cukup dana wali yang membuatnya tidak perlu memusingkan masalah uang. Materi telah mengalir ke dalam hidupnya sejak ia lahir; tak ada kein
“Tidak, aku akan melihatnya nanti, kirimkan saja ke surelku. Aku akan lihat apa yang bisa kulakukan.” Ethan mondar-mandir. Air menetes dari rambutnya, jatuh menuruni dadanya yang bidang dan ditumbuhi rambut halus, lalu mengalir ke perutnya yang keras tanpa lemak berlebih, sebelum akhirnya menghilang di balik celana pendeknya yang basah . Teralihkan oleh kekuatan murni yang terpancar dari tubuh Ethan, Dira berjuang keras menarik kepalanya dari pertunjukkan tubuh berotot yang bisa membuat simpul syaraf lumpuh itu.“Kapan? Tidak, seharusnya dua hari yang lalu mereka sudah mendapatkan hasil. Aku akan lihat apa yang bisa mereka dapatkan. Ya, lakukan saja seperti yang sudah direncanakan.” Ethan mematikan teleponnya dan menangkap basah Dira sedang menatapnya. Wanita itu buru-buru memalingkan pandangan saat ia melihat ke mana pandangannya tertuju.“Apa menurutmu kau bisa meninggalkan pekerjaanmu?”Ethan melempar ponselnya ke belakang, kembali duduk di samping Dira. Angin kencang mengirimkan a
Ruang privat restoran Athens Capital Hotel memancarkan kemewahan intim yang menggoda. Hanya ada satu meja di tengah ruangan, diterangi lilin-lilin yang berkilau lembut, dikelilingi oleh jendela-jendela besar yang memperlihatkan panorama malam kota Athena. Langit berbintang dan gemerlap lampu-lampu kota menciptakan latar belakang sempurna untuk malam yang dipenuhi dengan suasana romantis. Ethan duduk tegak, mengenakan setelan hitam yang sempurna membalut tubuhnya, sementara matanya menatap wanita di depannya. Brianna, dalam gaun satin merah dengan belahan punggung rendah, tampak seperti mimpi yang bergerak di antara bayang-bayang lilin. Senyumnya memancarkan kepercayaan diri yang nyaris terkesan arogan. “Aku senang, kau menyetujui permintaanku.” Brianna mengedarkan pandangan. Senyum penuh kemenangan terukir di wajahnya. “Ini persis seperti yang ada di bayanganku,” lanjutnya dengan nada menggoda, senyumnya merekah saat wanita itu mengambil gelas anggur dari meja. Ethan mengangkat bah
Ada saat-saat ketika Dira benar-benar ingin melarikan diri dan bersembunyi seperti yang dulu ia lakukan. Sekarang, keinginan itu menguasainya dengan begitu hebat hingga sesaat yang menentukan Dira ingin meraih telepon dan memesan tiket pulang. Tempat ini terlalu menyesakkan. Tidak, tempat ini dan segala yang ada di hidupnya begitu menyakitkan, tapi begitu melihat wajah Noah, tidak peduli sebesar apa luka yang harus ia tanggung ia tidak akan sanggup kehilangan putranya.Tidak, harga itu terlalu mahal.Dira menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Perlahan ia menunduk dan mencium puncak kepala putranya. Kalau Ethan tidak mau melepaskannya dan Noah mungkin lebih baik jika ia melarikan diri.Lima tahun lalu ia berhasil melakukannya, sekarang pun ia pasti bisa melakukannya.“Jangan.”Dira menghela napas, mengernyit saat rasa sakit menggerogoti dadanya. Ia duduk di kursi pesawat, sepenuhnya mengabaikan pria itu maupun kata-kata yang dia ucapkan.“Jangan coba melarikan diri. Lima tahun la
“Ada masalah? Ya ‘kan?” Dira mengaduk minumannya tanpa minat. “Masalah? Tidak, tidak ada masalah. Kenapa kau bilang seperti itu?” tanyanya, berusaha menunjukkan senyum terbaiknya, tapi sepertinya Senja memang tidak mudah ditipu. Senyum wanita itu seakan mengatakan ‘aku tahu kau berbohong.’ Dan meski ingin sekali mengakuinya, Dira berusaha keras menutupinya. Ia tidak ingin menceritakan masalahnya sama sekali. “Kapan para tamu akan datang?” Senja memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan dan Dira dengan senang hati mengikutinya. "Dalam lima hari para tamu akan datang ke pelabuhan Piraeus, tapi aku dan Ethan akan berangkat lebih dulu, memastikan semua persiapan sudah dilakukan dengan sempurna. Kita bisa berangkat bersama kalau kau mau,” tawarnya. Dengan begitu akan lebih mudah menghadapi Ethan jika ia punya teman, tapi Senja menolak. “Kurasa Langit tidak akan bisa. Dia masih punya pekerjaan. Rencananya setelah pesta selesai kami akan langsung pulang." Kedua bola mata Dira membol
Senja tertawa keras. “Berani taruhan, Ethan bahkan tidak bisa membuat roti bakar tanpa membuatnya menjadi hitam,” ledek Senja. Dira mengangguk, sepenuhnya setuju dengan pendapat Senja. Ethan mungkin ahli memilih anggur yang enak, tapi sepanjang ingatannya laki-laki itu belum pernah memasak. “Kau meragukanku.” Seperti biasa, Ethan membaca dengan tepat ekspresi Dira. Dira mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menolak untuk menjawab. Selain karena tidak ingin bicara dengannya, Dira tidak mau terlibat dalam permainan apa pun yang sedang dirancang Senja. “Begini saja, bagaimana kalau aku dan Dira menantang kalian memasak sesuatu? Jika kalian bisa memasaknya dengan benar, kalian lolos dari tantangan dan berhak mendapatkan hadiah.” Mata Langit berbinar seperti anak kecil yang dijanjikan permen kesukaannya. Ethan di sisi lain, tidak menunjukkan reaksi apa pun kecuali mengangkat kedua alisnya. “Kami bisa meminta hadiah apa pun?” tanya Langit memastikan. “Apa pun.” “Aku tidak—“ Tapi Senja
“Itu permintaan yang terlalu sulit.” Dan tanpa mengatakan apa-apa lagi Dira berbalik, mengambil pasta untuk Noah. Senja yang akhirnya menyadari ketegangan keduanya dengan cepat mengambil alih situasi. “Baiklah, kalian hanya punya waktu sepuluh detik untuk mengatakan apa yang kalian inginkan. Waktu dimulai dari sekarang! Satu…” “Sayang, kau tidak mungkin….” “Dua…. Tigaa…” Langit membuang napas. “Khas wanita sekali. Saat mereka kalah mereka mulai mencari dalih…” “Lima…. Enam…” Langit mengangkat tangan ke udara. “Baiklah, hadiah yang kuinginkan melibatkan sedikit pakaian dan banyak keringat.” Senja bengong. “Apa maksudnya itu?” Alih-alih menjawab, Langit justru mengedipkan matanya. “Tentu saja aku tidak akan memberitahumu, Sayang. Ini kejutan untuk kesenanganku tentu saja,” balasnya dengan nada menggoda. Tatapan matanya mengatakan dengan jelas apa yang dimaksud pria itu. Dira melotot. “Aku punya putra di sini, tolong.” “Sorry.” Dira mendengus kemudian tanpa memandang Ethan ia
“Dahulu kala ada seorang pangeran yang tinggal di sebuah kastil mewah.” “Apa dia tampan Daddy?” Ethan menahan senyumnya. “Ya, dia tampan. Sangat tampan. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan istana yang sangat membosankan. Dia kesepian, tapi tidak seorang pun yang tahu perasaannya.” Leandra mengerjap-ngerjap dengan penuh rasa ingin tahu. “Lalu, apa yang terjadi, Daddy?” “Pria itu memutuskan untuk berpetualang. Dia pergi tanpa memberitahu siapapun. Melakukan perjalanan panjang melewati samudera, menikmati setiap detiknya, tapi pangeran itu tetap saja kesepian.” “Apa dia pulang?” Ethan menggeleng. Ia memperbaiki selimut putrinya. “Tidak, dia tidak pulang, glyko mou. Dia meneruskan perjalanan, tapi pangeran itu memutuskan untuk berhenti. Dia butuh istirahat.” Theo yang sejak tadi hanya menjadi pendengar akhirnya bersuara. “Lagi, Daddy.” Ethan mengelus rambut halus putri kecilnya. “Keajaiban terjadi saat pangeran itu melakukan kesembronoan. Dia membuang sampah sembarangan. Saat it
Lima tahun kemudian, Dira menatap putri kecil mereka Leandra sedang bermain pasir bersama ayahnya. Di samping keduanya, seorang bocah kecil berusia 4 tahun tampak diam mengamati. Mata cokelatnya yang tajam dan awas seperti sedang menilai setiap gerakan yang dilakukan oleh Kakak dan Ayahnya. Dira yang melihatnya merasakan dadanya membengkak oleh perasaan bahagia yang tak terungkapkan. Kebahagiannya, kini berada tepat di hadapannya, seperti sebuah potret abadi yang tak ternilai. Dira melilitkan pareo di sekitar pinggangnya sebelum akhirnya menghampiri keluarganya. Ketiganya begitu larut menikmati aktivitas membuat istana pasir hingga keberadaannya sama sekali tidak disadari. Dira ikut berjongkok, mencium puncak kepala Leandra dan Theo bergantian. Leandra yang memiliki warna mata persis seperti yang dimiliki oleh Ethan menatapnya berbinar. “Mommy! Lihat, kami berhasil membuat istana pasir.” “Oh iya! Siapa yang paling banyak berkontribusi?” Leandra menepuk dadanya dengan bangga. The
Ethan tertawa sebelum akhirnya menyuapkan saus itu ke mulutnya. Dira mencecap rasa creamy alpukat yang lembut, berpadu sempurna dengan sedikit perasan lemon. “Bagaimana?” tanya Ethan. “Kalau kau membutuhkan pekerjaan katakan saja. Toko rotiku pasti akan menemukan tempat untukmu.” Ethan menyeringai. “Mungkin aku akan mempertimbangkannya.” Lima belas menit kemudian pasta buatan Ethan sudah siap disantap. Dira dengan penuh semangat mulai melahap makanannya. Dira baru saja menyuap satu sendok ketika gelombang rasa panas menyambar tubuhnya. Bukan panas biasa, tetapi sensasi teramat kuat yang membuat sendok di tangannya terjatuh dengan bunyi cling yang nyaring. Gelombang nyeri menjalar dari punggung bawahnya, menusuk hingga ke perut. Ia meringis, tangannya mencengkeram tepi meja. “Ethan…” suaranya mulai goyah. Ethan langsung menghampirinya dengan wajah tegang. “Kenapa? Apa yang sakit, Angel?” Dira mencoba menarik napas dalam. “Mungkin cuma kontraksi palsu…” Namun, belum sempat ia me
Dira memejamkan mata, menikmati sapuan angin yang membelai kulit wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya selama beberapa kali dan dalam proses itu senyum sama sekali tidak pernah meninggalkan wajahnya. Ketenangan dengan cepat merasuk dalam dirinya. Sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang, membelai perutnya yang sudah membesar. Dira memiringkan kepalanya sedikit, memberi akses lebih mudah saat Ethan mendaratkan kepala di bahunya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Ethan lembut di telinganya. “Menikmati pemandangan. Kita jarang ke tempat ini padahal laut ini tepat di depan rumah,” desahnya lambat. Dira menundukkan pandangan, menatap tangan Ethan yang sekarang sedang mengelus-ngelus perutnya dari balik gaun tipisnya. “Aku tidak sabar menunggu kedatangan Dut-dut.” “Aku juga,” balas Dira, menyandarkan tubuhnya pada Ethan. Memasuki usia kehamilan 36 minggu, dokter mengatakan dalam beberapa minggu ia akan melahirkan. Sejak saat itu
Ethan berdiri terpaku di depan toko peralatan bayi seperti orang tersesat, matanya menyapu setiap sudut etalase yang dipenuhi berbagai barang berwarna-warni untuk kebutuhan bayi. Meski sudah membaca buku tentang kebutuhan bayi dan mencaritahu segalanya, ada perasaan aneh yang merayap dalam dirinya. Perasaan yang sulit ia definisikan—campuran antara keterkejutan, antusiasme, dan sedikit kegugupan, merasa seolah memasuki dunia yang benar-benar asing. Sekilas, ia melihat anak kecil yang sedang merengek dan meraung pada orang tuanya sambil menunjuk-nunjuk barang yang ada di etalase. Dulu pemandangan itu pasti membuatnya bergidik dan menjauh. Sekarang… ia tidak sabar untuk menghadapi situasi yang sama. Tanpa sadar sudut mulutnya terangkat. “Ethan?” Suara Dira menyadarkannya. Istrinya menatapnya dengan alis bertaut, mungkin heran melihatnya hanya berdiri di sana tanpa bergerak. Ethan mengangkat bahu, lalu meraih keranjang belanja. “Ayo masuk dan membeli semua yang dibutuhkan Dut-d
“Aku mencintaimu.” Kedua kelopak matanya terangkat, sebentuk senyum tipis terukir di wajahnya yang cantik. Ia mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan sepasang mata sebiru kristal yang paling ia sukai di dunia ini. “Kau bilang apa?” tanyanya serak, khas orang baru bangun tidur. Dira mengangkat sedikit kepalanya, menggunakan lengan Ethan sebagai bantal saat menunggu pria itu bersuara. Tentu saja ia mendengar apa yang dikatakan Ethan, ia hanya suka mendengar kata-kata itu keluar dari bibir suaminya. Ethan mendekat, menempelkan hidung mereka. “Aku mencintaimu, agape mou.” “Sekarang lebih mudah bagimu mengatakannya, ya ‘kan?” Ethan tertawa rendah. Memang, rasanya jauh lebih mudah mengatakannya sekarang. Setelah apa yang mereka lalui, rasanya penting mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Ketakutan itu masih ada, jauh bersembunyi dalam dirinya, tapi sekarang jauh lebih mudah menghadapinya setelah semua yang terjadi. Setelah menyadari bahwa cinta sungguh bisa memberikan kekuatan ya
Dira menyeringai, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada foto yang ada di dekat komputer suaminya. Foto pernikahan mereka—atau lebih tepat disebut pembaruan janji pernikahan. Mereka melakukannya di sebuah pulau kecil. Ia mengenakan gaun koktail sederhana sementara Ethan mengenakan celana selutut dan kemeja yang lengannya digulung sampai di atas siku. Benar-benar sederhana, tapi hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. “Aku suka foto itu,” komentarnya. Ethan mengikuti arah pandang istrinya. “Aku juga, terutama karena setelah itu aku membuatmu tidak mengenakan apa pun selama berhari-hari,” balasnya bangga, menunjukkan seringai nakalnya. Dira tertawa. “Kau membuat bikiniku rusak, sekalian saja tidak usah memakainya.” Ethan menarik lembut lengan istrinya dan membawanya duduk di atas pangkuannya. “Ethan! Menurutku kau tidak bisa melakukannya. Aku pasti sangat berat sekarang.” Ethan mengabaikannya. “Menurutmu, berapa peluang yang kudapatkan untuk membuatm
Dira berdiri di tengah ruang utama Flour & Figs sambil tersenyum tipis, matanya mengamati setiap sudut toko dengan seksama. Aroma kayu yang masih baru bercampur dengan wangi lembut vanilla dari lilin aroma terapi yang sengaja dinyalakan untuk memberikan kesan hangat. Dinding kaca besar di sisi kanan toko memberikan pemandangan langsung ke arah laut yang membentang luas, dengan ombak tenang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Rak-rak kayu yang dipasang di sepanjang dinding telah tertata rapi dengan toples berisi aneka kue kering dan roti. Meja-meja bundar kecil dan kursi anyaman ditempatkan di dekat jendela, menawarkan tempat duduk yang sempurna bagi pelanggan yang ingin menikmati kue dan minuman sambil menatap hamparan laut. Beberapa tanaman hijau dalam pot keramik tersebar di beberapa sudut, menambah nuansa alami dan menenangkan—konsep yang sejak dulu ia inginkan. Dira berjalan perlahan ke arah dapur, tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Kehamilann
Dira berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumah mereka sambil mengigit jarinya. Sudah dua jam berlalu, tapi sampai sekarang Ethan belum juga menghubunginya. Kenapa Ethan belum menghubunginya? Ia sudah mencoba menghubungi suaminya, tapi hasilnya nihil.Mungkin Ethan terlalu sibuk sampai tidak lupa waktu? Atau mungkin saja sinyal membuat sambungannya tidak terhubung.“Ma’am.”Sapaan itu hampir membuatnya melompat. Ia menghela napas, menatap pengurus rumahnya. “Ada apa, Marta?”“Ma’am ada Riko di depan pintu, katanya ingin menemui Anda. Ini mendesak.”Untuk apa sekretaris Ethan ingin menemuinya? Mengabaikan gemuruh yang berdentam dalam dadanya, Dira bergerak cepat untuk menemui pria itu. Riko berdiri di ujung pintu, tampak seperti orang tersesat. Wajahnya pucat dengan kedua tangan yang terlipat seperti orang yang sedang berdoa.Dira menarik kepalanya, berusaha melihat ke belakang pria itu, dan ia tidak melihat keberadaan Ethan.“Riko.”Pria itu membelalak, terkejut karena kehadirannya ya