“Tidak, aku akan melihatnya nanti, kirimkan saja ke surelku. Aku akan lihat apa yang bisa kulakukan.” Ethan mondar-mandir. Air menetes dari rambutnya, jatuh menuruni dadanya yang bidang dan ditumbuhi rambut halus, lalu mengalir ke perutnya yang keras tanpa lemak berlebih, sebelum akhirnya menghilang di balik celana pendeknya yang basah . Teralihkan oleh kekuatan murni yang terpancar dari tubuh Ethan, Dira berjuang keras menarik kepalanya dari pertunjukkan tubuh berotot yang bisa membuat simpul syaraf lumpuh itu.“Kapan? Tidak, seharusnya dua hari yang lalu mereka sudah mendapatkan hasil. Aku akan lihat apa yang bisa mereka dapatkan. Ya, lakukan saja seperti yang sudah direncanakan.” Ethan mematikan teleponnya dan menangkap basah Dira sedang menatapnya. Wanita itu buru-buru memalingkan pandangan saat ia melihat ke mana pandangannya tertuju.“Apa menurutmu kau bisa meninggalkan pekerjaanmu?”Ethan melempar ponselnya ke belakang, kembali duduk di samping Dira. Angin kencang mengirimkan a
Ruang privat restoran Athens Capital Hotel memancarkan kemewahan intim yang menggoda. Hanya ada satu meja di tengah ruangan, diterangi lilin-lilin yang berkilau lembut, dikelilingi oleh jendela-jendela besar yang memperlihatkan panorama malam kota Athena. Langit berbintang dan gemerlap lampu-lampu kota menciptakan latar belakang sempurna untuk malam yang dipenuhi dengan suasana romantis. Ethan duduk tegak, mengenakan setelan hitam yang sempurna membalut tubuhnya, sementara matanya menatap wanita di depannya. Brianna, dalam gaun satin merah dengan belahan punggung rendah, tampak seperti mimpi yang bergerak di antara bayang-bayang lilin. Senyumnya memancarkan kepercayaan diri yang nyaris terkesan arogan. “Aku senang, kau menyetujui permintaanku.” Brianna mengedarkan pandangan. Senyum penuh kemenangan terukir di wajahnya. “Ini persis seperti yang ada di bayanganku,” lanjutnya dengan nada menggoda, senyumnya merekah saat wanita itu mengambil gelas anggur dari meja. Ethan mengangkat bah
Ada saat-saat ketika Dira benar-benar ingin melarikan diri dan bersembunyi seperti yang dulu ia lakukan. Sekarang, keinginan itu menguasainya dengan begitu hebat hingga sesaat yang menentukan Dira ingin meraih telepon dan memesan tiket pulang. Tempat ini terlalu menyesakkan. Tidak, tempat ini dan segala yang ada di hidupnya begitu menyakitkan, tapi begitu melihat wajah Noah, tidak peduli sebesar apa luka yang harus ia tanggung ia tidak akan sanggup kehilangan putranya.Tidak, harga itu terlalu mahal.Dira menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Perlahan ia menunduk dan mencium puncak kepala putranya. Kalau Ethan tidak mau melepaskannya dan Noah mungkin lebih baik jika ia melarikan diri.Lima tahun lalu ia berhasil melakukannya, sekarang pun ia pasti bisa melakukannya.“Jangan.”Dira menghela napas, mengernyit saat rasa sakit menggerogoti dadanya. Ia duduk di kursi pesawat, sepenuhnya mengabaikan pria itu maupun kata-kata yang dia ucapkan.“Jangan coba melarikan diri. Lima tahun la
“Ada masalah? Ya ‘kan?” Dira mengaduk minumannya tanpa minat. “Masalah? Tidak, tidak ada masalah. Kenapa kau bilang seperti itu?” tanyanya, berusaha menunjukkan senyum terbaiknya, tapi sepertinya Senja memang tidak mudah ditipu. Senyum wanita itu seakan mengatakan ‘aku tahu kau berbohong.’ Dan meski ingin sekali mengakuinya, Dira berusaha keras menutupinya. Ia tidak ingin menceritakan masalahnya sama sekali. “Kapan para tamu akan datang?” Senja memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan dan Dira dengan senang hati mengikutinya. "Dalam lima hari para tamu akan datang ke pelabuhan Piraeus, tapi aku dan Ethan akan berangkat lebih dulu, memastikan semua persiapan sudah dilakukan dengan sempurna. Kita bisa berangkat bersama kalau kau mau,” tawarnya. Dengan begitu akan lebih mudah menghadapi Ethan jika ia punya teman, tapi Senja menolak. “Kurasa Langit tidak akan bisa. Dia masih punya pekerjaan. Rencananya setelah pesta selesai kami akan langsung pulang." Kedua bola mata Dira membol
Senja tertawa keras. “Berani taruhan, Ethan bahkan tidak bisa membuat roti bakar tanpa membuatnya menjadi hitam,” ledek Senja. Dira mengangguk, sepenuhnya setuju dengan pendapat Senja. Ethan mungkin ahli memilih anggur yang enak, tapi sepanjang ingatannya laki-laki itu belum pernah memasak. “Kau meragukanku.” Seperti biasa, Ethan membaca dengan tepat ekspresi Dira. Dira mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menolak untuk menjawab. Selain karena tidak ingin bicara dengannya, Dira tidak mau terlibat dalam permainan apa pun yang sedang dirancang Senja. “Begini saja, bagaimana kalau aku dan Dira menantang kalian memasak sesuatu? Jika kalian bisa memasaknya dengan benar, kalian lolos dari tantangan dan berhak mendapatkan hadiah.” Mata Langit berbinar seperti anak kecil yang dijanjikan permen kesukaannya. Ethan di sisi lain, tidak menunjukkan reaksi apa pun kecuali mengangkat kedua alisnya. “Kami bisa meminta hadiah apa pun?” tanya Langit memastikan. “Apa pun.” “Aku tidak—“ Tapi Senja
“Itu permintaan yang terlalu sulit.” Dan tanpa mengatakan apa-apa lagi Dira berbalik, mengambil pasta untuk Noah. Senja yang akhirnya menyadari ketegangan keduanya dengan cepat mengambil alih situasi. “Baiklah, kalian hanya punya waktu sepuluh detik untuk mengatakan apa yang kalian inginkan. Waktu dimulai dari sekarang! Satu…” “Sayang, kau tidak mungkin….” “Dua…. Tigaa…” Langit membuang napas. “Khas wanita sekali. Saat mereka kalah mereka mulai mencari dalih…” “Lima…. Enam…” Langit mengangkat tangan ke udara. “Baiklah, hadiah yang kuinginkan melibatkan sedikit pakaian dan banyak keringat.” Senja bengong. “Apa maksudnya itu?” Alih-alih menjawab, Langit justru mengedipkan matanya. “Tentu saja aku tidak akan memberitahumu, Sayang. Ini kejutan untuk kesenanganku tentu saja,” balasnya dengan nada menggoda. Tatapan matanya mengatakan dengan jelas apa yang dimaksud pria itu. Dira melotot. “Aku punya putra di sini, tolong.” “Sorry.” Dira mendengus kemudian tanpa memandang Ethan ia
Besoknya, Dira berdiri di depan gedung mewah yang menjadi markas besar perusahaan Ethan. Setelan formal yang ia kenakan terasa asing, bahkan sedikit menyesakkan. Ia menghela napas, mencoba mengusir kegugupan yang menyelimutinya sejak semalam. Di sebelahnya, Ethan tampak santai mengenakan setelan jas tanpa dasi, senyuman penuh percaya diri menghiasi wajahnya. “Aku tidak bisa melakukan ini,” tukasnya panik kemudian berbalik, tapi Ethan berhasil menahan lengannya. “Tentu saja kau bisa.” “Ethan aku hanya akan mempermalukanmu. Semua orang akan meledekmu karena membawa istrimu yang tidak tahu apa pun untuk menggantikanmu.” “Omong kosong, tidak ada yang berani meledekku dan jika mereka melakukannya biarkan saja. Kau akan baik-baik saja. Anggap saja ini seperti bermain peran. Kau CEO hari ini, agape mou.” Dira melotot. “Satu-satunya peran yang tidak akan kumainkan adalah menjadi pemimpin perusahaan.” Tetapi Ethan mengabaikannya. “Ayo, sebelum kita terlambat dan kau membiarkan kesan buru
Dira berdiri di depan layar presentasi besar di ruang meeting kantor Ethan yang selama beberapa waktu ia gunakan saat bekerja, menjelaskan dengan detail setiap elemen pesta perayaan pernikahan Brianna yang telah dirancang dengan sempurna. Timnya yang terdiri dari desainer, catering, dan decorator mendengarkan dengan seksama, mencatat setiap instruksi.“Jadi, kita sudah sepakat dengan tema ‘Eternal Elegance’,” ujar Dira, menampilkan slide gambar meja-meja mewah, lampu kristal yang menggantung, dan pemandangan malam laut terbuka sebagai latar belakang.“Semua sudah sesuai konsep yang Brianna pilih sendiri dua bulan yang lalu. Dan mengingat waktu kita tinggal beberapa hari lagi, saya tidak ingin ada perubahan.”Namun, suasana tenang itu mendadak berubah ketika pintu ruang rapat terbuka lebar. Brianna masuk dengan langkah percaya diri, mengenakan gaun merah mencolok, membuat semua kepala langsung menoleh.“Ada yang ingin kubicarakan,” katanya, tanpa basa-basi, melirik sekilas ke layar pre
“Jangan mengulangi itu lagi, Dira, kau hampir membuatku terkena serangan jantung.”“Maaf,” ucapnya mencoba terdengar menyesal, tapi Ethan tahu ia sama sekali tidak menyesal melakukannya. Ia meringis saat merasakan kakinya berdenyut menyakitkan. Sial, ternyata rasanya benar-benar sakit. Saat pandangannya bersibobrok dengan Ethan, pria itu sedang menatapnya dengan kedua alis terangkat. Tatapannya seolah mengatakan “Kau seharusnya tahu kalau ini akan terjadi.”“Aku melihatnya tergelincir, Ethan. Aku tidak mungkin hanya melihat dan menontonnya. Dia hanya anak kecil,” ujarnya mencoba membela diri.“Lain kali, sebelum mencoba menolong orang lain, pastikan orang yang kau tolong benar-benar membutuhkan bantuanmu. Dari yang kulihat anak itu hanya bermain-main dan ingin mengerjai orang tuanya.”Wajah Dira memerah karena malu. Itu benar. Anak yang ia tolong karena ia pikir tergelincir ternyata hanya berpura-pura terjatuh untuk menarik perhatian orang tuanya. Sekarang rasa sakit di pergelangan ka
Ethan meletakkan tangan di lutut Dira. “Ada banyak hal yang terjadi itu benar. Ada banyak kenangan yang dilupakan itu juga benar, Angel, tapi bukan berarti kau menyedihkan seperti yang kau pikirkan.” “Apa aku melupakan sesuatu yang penting? Apa kita…” ujar Dira seolah tidak mendengarkan ucapan Ethan. Dira menelan ludah. “Kita tidak… maksudku… apa selama lima tahun kita…” Dira mengedarkan pandangan seperti orang yang sedang mencari petunjuk. Ethan tahu apa yang sedang dicari istrinya, tapi ia menolak mengatakannya. Nanti, jika waktunya tepat Dira sendiri yang akan menemukan jawabannya. “Jawaban dari pertanyaan itu ada di sini,” dengan lembut Ethan menyentuh dada Dira, tepat di mana jantungnya berdetak. “Dan di sini.” lanjut Ethan saat menyentuh kepala Dira. “Suatu hari nanti kau akan mengingatnya, tapi tidak perlu memasakan diri, Angel. Kita akan melakukannya dengan pelan-pelan.” “Banyak hal yang bisa terjadi selama lima tahun Ethan.” “Aku tahu.” “Dan menyadari kalau aku tidak
Pertanyaan itu seharusnya tidak mengejutkan karena bagaimana pun Ethan sudah mengantisipasinya. Suatu saat Dira pasti akan menyadarinya. Ia tidak bisa menyembunyikan hal itu selamanya. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Banyak perubahan yang bisa terjadi dalam waktu itu. Meski begitu, tetap saja Ethan tidak menyangka Dira akan menyadarinya secepat ini. “Kapan kau menyadarinya?” Dira mengubah posisinya. Ia duduk menyamping agar bisa melihat Ethan sepenuhnya. “Dalam perjalanan kemari. Ada banyak hal yang telah berubah begitu aku sadar. Selain itu… aku melihat kalender.” Ethan mengumpat dalam hati. Tentu saja Dira akan melakukannya. “Mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi?” dira menatap Ethan dengan alis terangkat. Ethan berdeham sebelum menjawab, seolah ia sedang memilah kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. “Ada insiden yang membuatmu kehilangan sebagian ingatanmu. Dokter menyebutnya amnesia disosiatif.” “Insiden? Semacam kecelakaan?” Dira menarik ponsel dari meja.
“Terima kasih!” Ethan mengedikkan bahunya. “Bukan masalah. Sekarang berikan laptopnya karena aku harus bekerja.” Dira menyipitkan matanya. “Bukan untuk memesan tiket?” Ethan tertawa. “Tentu saja aku juga akan memesan tiket. Kita hanya 2 hari di sini. Bagaimana pun, lebih cepat memesan tiket lebih baik untuk kita. Lagipula, Riko harus diberi pekerjaan.” “Riko? Siapa Riko?” Ethan mengutuk dirinya sendiri setelah Dira bertanya. “Sekretarisku,” balasnya pendek. Dira mengangkat bahunya, menyerahkan laptop milik Ethan. “Silakan bekerja Tuan, sementara kau berkutat dengan benda menyedihkan itu, aku akan melihat apa yang bisa dimasak. Kau mau apa? Meski tidak terlalu ahli, beberapa masakanku patut diacungi jempol.” Tatapan mata Ethan melembut. “Buatlah kejutan untukku.” *** Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Ethan berjalan ke dapur, langkahnya nyaris tenggelam oleh alunan lembut lagu Perfect dari Ed Sheeran yang mengalun dari speaker kecil di sudut ruangan. Suara lembut mengi
“Ethan, kita baru saja sampai di tempat ini. Kita tidak bisa pergi begitu saja,” ujar Dira begitu mereka masuk ke dalam rumah. “Sebenarnya bisa. Kita hanya perlu naik kapal feri, pergi ke stasiun Hallstatt Bahnhof lalu ke stasiun Attanang yang akan membawa kita ke Wina setelah itu—“ “Aku tidak mau dengar!” potong Dira sambil menutup telinga dengan kedua tangannya. Matanya melebar karena kesal. “Sebenarnya apa yang salah? Sebelumnya kita baik-baik saja di tempat ini, lalu tiba-tiba kau ingin pergi dari sini. Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada menyelidik. Keinginan untuk pergi secepatnya dari tempat ini terasa menggelikan. Dorongan apa yang mendasari keinginan itu? Dira berusaha mencari alasannya dan satu-satunya kesimpulan yang bisa ia dapatkan adalah… “Apa ini karena anak-anak itu?” tebaknya. Ethan berubah setelah bertemu anak-anak tadi, tapi tidak mungkin itu alasannya 'kan? Ethan memunggunginya. Suaminya yang tampan dan misterius kini sedang berkutat dengan laptopnya.
“Leo, pastikan dia tidak pernah hilang dari pandanganmu. Sekali aku menemukannya, aku tidak akan melepaskannya dan saat itu terjadi, kau tahu apa yang akan kulakukan. Aku tidak akan meminta izinmu untuk itu.” Ethan memastikan poselnya tepat saat suara Dira terdengar. “Aku mau keluar.” Ethan menatap keluar lewat jendela besar rumah mereka. Ketidaksetujuan terang-terangn terlihat di wajahnya yang tampan dan mulai ditumbuhi rambut halus. “Suhu di luaran saat ini -4°C, Dira. Kau akan membuat dirimu sendiri kedinginan.” Dira mengikuti arah pandang Ethan. “Ini bukan musim dingin pertamaku, Ethan. Aku bisa menghadapinya. Ingat, aku pernah mengalami yang lebih buruk dari ini.” “Kau baru keluar dari rumah sakit, Dira. Aku tidak mau kau sakit dan jangan coba-coba me—“ Ethan belum menyelesaikan kata-katanya saat Dira berlari keluar dengan tawanya yang renyah. Ia melemparkan tatapan penuh arti pada Ethan sebelum menarik pintu dan menutupnya. Ethan mendesah panjang, memilih untuk menyerah.
Pagi pertama di Hallstatt terasa begitu tenang. Udara dingin menusuk kulit, namun keindahan tempat itu seolah menghangatkan hati Dira. Senyum simpul bermain di wajahnya mana kala sepasang visual tajamnya menatap lurus ke depan. Ia berdiri di balkon rumah mereka, memandangi pemandangan menakjubkan di depannya. Danau yang tenang memantulkan bayangan pegunungan berselimut salju, sementara rumah-rumah bergaya tradisional Austria berdiri anggun di sekelilingnya. Perjalanan selama 7 jam lebih terbayarkan dengan keindahan yang menyambut mereka. Rumah mereka terbuat dari kayu dengan jendela besar yang menghadap langsung ke danau. Dira menyentuh bingkai jendela, merasakan tekstur kayu tua yang kokoh. Ada sesuatu yang menenangkan dari tempat ini—seolah membawa kehangatan meski berada di tengah dinginnya musim salju. “Indah sekali,” gumamnya tanpa sadar. Keindahan tempat ini tak terbantahkan, tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa janggal. Mengapa mereka tiba-tiba pindah ke sini? Ethan pri
Seolah mendengar pertanyaannya, tiba-tiba tubuh Dira bergerak pelan. Kelopak matanya bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan. Ethan segera bangkit dari kursinya, mendekat dengan hati-hati. “Dira…” panggil Ethan lembut, menahan napasnya sejenak, menatap Dira penuh harap. Dira menoleh perlahan ke arah suara itu, wajahnya terlihat bingung dan lemah. Dia mengerjap beberapa kali, berusaha memahami di mana dia berada. Pandangannya menyapu ruangan putih itu, hingga akhirnya bertemu dengan wajah Ethan yang menatapnya dengan wajah campuran rasa lega dan kecemasan. “Ethan…” bisik Dira pelan, suaranya serak. Ethan yang tidak bisa menahan kelegaan yang menyelubunginya menunduk untuk mencium kening istrinya. Setelahnya ia mendaratkan kecupan singkat di bibir tipis Dira yang dingin. “Aku mencemaskanmu,” bisiknya parau. Dira menoleh, terlihat bingung, seolah pernyataan Ethan terlalu sulit untuk dicerna. Tautan alisnya menyatu. “Kenapa aku di rumah sakit? Bagaimana dengan pesta pernikahan
Ethan berdiri di luar ruang rumah sakit tempat Dira dirawat. Suasana di sekitar rumah sakit terasa begitu sepi, begitu pekat dengan aroma kesedihan. Ethan berkali-kali mengusap belakang kepalanya, merasa lemah sekaligus frustrasi. Perasaan kosong dalam dirinya begitu menguasai. Duka karena kehilangan putranya menggegogoti jiwanya. Ia sungguh berharap semua tragedi ini hanya mimpi buruk, tapi aroma obat-obatan dan tubuh Dira yang masih terbaring di rumah sakit dengan keras menamparnya, menariknya pada realita yang sama sekali tidak siap ia hadapi. Di hadapannya, dua polisi berdiri tegak, wajah mereka tampak serius saat memeriksa dokumen dan mencatat keterangan dari Ethan. Polisi pertama, seorang pria paruh baya, bertanya dengan lembut, berusaha tidak menambah beban berat yang harus ditanggung Ethan. “Saudara Ethan, kami telah menemukan bukti yang cukup kuat mengenai keterlibatan Brianna dan Eri dalam kejadian ini. Mereka akan segera ditangkap. Segera, kami akan menetapkan mereka dala