Senja tertawa keras. “Berani taruhan, Ethan bahkan tidak bisa membuat roti bakar tanpa membuatnya menjadi hitam,” ledek Senja. Dira mengangguk, sepenuhnya setuju dengan pendapat Senja. Ethan mungkin ahli memilih anggur yang enak, tapi sepanjang ingatannya laki-laki itu belum pernah memasak. “Kau meragukanku.” Seperti biasa, Ethan membaca dengan tepat ekspresi Dira. Dira mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menolak untuk menjawab. Selain karena tidak ingin bicara dengannya, Dira tidak mau terlibat dalam permainan apa pun yang sedang dirancang Senja. “Begini saja, bagaimana kalau aku dan Dira menantang kalian memasak sesuatu? Jika kalian bisa memasaknya dengan benar, kalian lolos dari tantangan dan berhak mendapatkan hadiah.” Mata Langit berbinar seperti anak kecil yang dijanjikan permen kesukaannya. Ethan di sisi lain, tidak menunjukkan reaksi apa pun kecuali mengangkat kedua alisnya. “Kami bisa meminta hadiah apa pun?” tanya Langit memastikan. “Apa pun.” “Aku tidak—“ Tapi Senja
“Itu permintaan yang terlalu sulit.” Dan tanpa mengatakan apa-apa lagi Dira berbalik, mengambil pasta untuk Noah. Senja yang akhirnya menyadari ketegangan keduanya dengan cepat mengambil alih situasi. “Baiklah, kalian hanya punya waktu sepuluh detik untuk mengatakan apa yang kalian inginkan. Waktu dimulai dari sekarang! Satu…” “Sayang, kau tidak mungkin….” “Dua…. Tigaa…” Langit membuang napas. “Khas wanita sekali. Saat mereka kalah mereka mulai mencari dalih…” “Lima…. Enam…” Langit mengangkat tangan ke udara. “Baiklah, hadiah yang kuinginkan melibatkan sedikit pakaian dan banyak keringat.” Senja bengong. “Apa maksudnya itu?” Alih-alih menjawab, Langit justru mengedipkan matanya. “Tentu saja aku tidak akan memberitahumu, Sayang. Ini kejutan untuk kesenanganku tentu saja,” balasnya dengan nada menggoda. Tatapan matanya mengatakan dengan jelas apa yang dimaksud pria itu. Dira melotot. “Aku punya putra di sini, tolong.” “Sorry.” Dira mendengus kemudian tanpa memandang Ethan ia
Besoknya, Dira berdiri di depan gedung mewah yang menjadi markas besar perusahaan Ethan. Setelan formal yang ia kenakan terasa asing, bahkan sedikit menyesakkan. Ia menghela napas, mencoba mengusir kegugupan yang menyelimutinya sejak semalam. Di sebelahnya, Ethan tampak santai mengenakan setelan jas tanpa dasi, senyuman penuh percaya diri menghiasi wajahnya. “Aku tidak bisa melakukan ini,” tukasnya panik kemudian berbalik, tapi Ethan berhasil menahan lengannya. “Tentu saja kau bisa.” “Ethan aku hanya akan mempermalukanmu. Semua orang akan meledekmu karena membawa istrimu yang tidak tahu apa pun untuk menggantikanmu.” “Omong kosong, tidak ada yang berani meledekku dan jika mereka melakukannya biarkan saja. Kau akan baik-baik saja. Anggap saja ini seperti bermain peran. Kau CEO hari ini, agape mou.” Dira melotot. “Satu-satunya peran yang tidak akan kumainkan adalah menjadi pemimpin perusahaan.” Tetapi Ethan mengabaikannya. “Ayo, sebelum kita terlambat dan kau membiarkan kesan buru
Dira berdiri di depan layar presentasi besar di ruang meeting kantor Ethan yang selama beberapa waktu ia gunakan saat bekerja, menjelaskan dengan detail setiap elemen pesta perayaan pernikahan Brianna yang telah dirancang dengan sempurna. Timnya yang terdiri dari desainer, catering, dan decorator mendengarkan dengan seksama, mencatat setiap instruksi.“Jadi, kita sudah sepakat dengan tema ‘Eternal Elegance’,” ujar Dira, menampilkan slide gambar meja-meja mewah, lampu kristal yang menggantung, dan pemandangan malam laut terbuka sebagai latar belakang.“Semua sudah sesuai konsep yang Brianna pilih sendiri dua bulan yang lalu. Dan mengingat waktu kita tinggal beberapa hari lagi, saya tidak ingin ada perubahan.”Namun, suasana tenang itu mendadak berubah ketika pintu ruang rapat terbuka lebar. Brianna masuk dengan langkah percaya diri, mengenakan gaun merah mencolok, membuat semua kepala langsung menoleh.“Ada yang ingin kubicarakan,” katanya, tanpa basa-basi, melirik sekilas ke layar pre
“Kau tahu… aku pernah melakukan hal yang sama seperti yang kau lakukan saat ini. Menyumpahi Langit seperti anak kecil yang merajuk.”Dira mendesah berat. “Maksudmu aku bersikap tidak masuk akal?”“Tidak juga, menyenangkan melihatmu jengkel, terutama dengan wajah cemburumu itu.”“Aku tidak cemburu,” bantahnya.“Tentu saja kau cemburu, tapi itu wajar, dia suamimu dan kau mencintainya.”“Aku tidak—““Tolong jangan katakan kalau kau tidak mencintainya. Orang buta bahkan bisa melihatnya.”Dira membuka mulut, menutup dan membukanya lagi. “Apa sejelas itu?” tannyanya, terlihat malu. Jika Senja bisa melihatnya begitu mudah, apa Ethan juga bisa? Laki-laki itu selalu mengatakan wajahnya ekspresif dan mudah dibaca, apa itu berarti Ethan juga bisa melihat perasaannya?“Cukup jelas bagiku untuk melihatnya dan berhubung kita sedang membicarakannya, katakan lagi kenapa kau marah-marah?”“Brianna. Ini semua karena wanita itu.” Kemarahan yang sempat menguap kini kembali menunjukkan wujudnya. “Entah ap
Dira berdiri di tengah ballroom megah yang kini berubah total. Tidak ada lagi sentuhan elegan seperti yang biasanya ada di pesta-pesta eksklusif. Sebagai gantinya, ruangan itu dipenuhi atmosfer magis ala Yunani kuno. Pilar-pilar marmer palsu berdiri kokoh di sepanjang ruangan, dihiasi tanaman merambat dan bunga liar berwarna ungu dan emas. Langit-langit ballroom dipenuhi lampu-lampu kristal yang kini dipasangi kain biru transparan, menciptakan ilusi malam dengan taburan bintang. Setiap sudut ballroom menampilkan patung-patung makhluk mitologi Yunani dari centaur hingga sirene, semuanya seolah hidup dalam keremangan lampu emas yang berpendar lembut. Di tengah ballroom sebuah panggung besar berdiri dengan tirai tebal di kedua sisinya, siap menjadi pusat perhatian ketika pesta dimulai. Dira menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungnya. Ini bukan tema yang ia inginkan, tetapi tanggung jawab ada di pundaknya. Ia harus memastikan setiap detail sempurna, termasuk permainan k
Dira menekan jemarinya di pelipis, berusaha meredakan ketegangan yang perlahan merayap di kepalanya. “Siapa saja tamu yang mengeluh?” “Beberapa dari mereka adalah tamu penting yang datang bersama rombongan Bu Brianna,” jawab staf itu dengan nada penuh tekanan. “Mereka sedang menunggu di ruang tunggu dekat pintu masuk.” Dira tahu masalah ini bisa merusak suasana pesta bahkan sebelum dimulai. Ia mengigit bibirnya, menimbang apakah sebaiknya langsung menangani masalah itu sendiri atau meminta bantuan Ethan. Namun, mengingat Ethan kemungkinan besar saat ini juga pasti sangat sibuk ia memutuskan untuk turun tangan sendiri. “Baiklah, aku akan ke sana sekarang. Pastikan tidak ada tamu lain yang tahu tentang masalah ini. Kita tidak ingin menciptakan keributan,” perintahnya tegas. Staf itu mengangguk dan segera berbalik, meninggalkan Dira yang berdiri di depan pintu. Ia melirik gaun emasnya yang masih tergantung di lemari, merasa sedikit frustrasi karena ia tidak bisa menggunakannya secep
Dira melangkah pelan di antara para tamu yang memenuhi aula megah dengan atmosfer bertema Masks of Olympus. Gaun emasnya berkilauan di bawah cahaya lampu kristal, menampilkan sosok Dewi Tyche yang agung dan penuh pesona. Namun, dibalik topeng emasnya, matanya bergerak gelisah saat mengamati satu persatu tamu yang berlalu lalang.Di mana dia?Pilar-pilar marmer putih menjulang tinggi di sepanjang aula, dihiasi dengan ukiran daun zaitun dan bunga-bunga liar. Langit-langit dihiasi tirai biru keunguan yang menjuntai, memberikan kesan seolah mereka tengah berpesta di gunung Olympus.Alunan musik lembut memenuhi ruangan, sementara tawa dan percakapan para tamu terdengar riuh, menciptakan suasana perayaan yang sempurna. Tapi tidak bagi Dira.Ia mencoba menikmati pesta seperti tamu lainnya, tetapi rasa gelisah terus menggelayuti pikirannya.“Malam ini, semuanya akan berakhir…” kata-kata itu menghantui ketenangannya. Brianna entah ada di mana. Atau mungkin wanita itu sudah berada di sini denga
Dira memberikan ponsel Ethan dengan wajah cemberut. “Lihat saja pramugari tadi. Aku yakin kalau kau menawarkan toilet dia sama sekali tidak keberatan.” Ethan tertawa keras. “Apa kau sedang cemburu sekarang?” “Tentu saja aku cemburu! Kuharap para pria melirikku, pasti menyenangkan memiliki beberapa pengagum,” keluhnya. Raut wajah Ethan berubah dingin. “Kuharap tidak, kecuali kau mau tangan mereka patah.” Dira memutar bola matanya. "Kau terdengar seperti manusia gua yang ingin mengklaim daerah teritorinya. Khas manusia alpha." “Aku tidak akan menyangkalnya dan jangan mengalihkan topik pembicaraan. Apa yang kau inginkan selain menjadi pelayan?” “Mudah, memasak. Sejak dulu aku terobsesi pada resep.” “Karena kau pernah kelaparan.” Dira mengerjap terkejut. “Bagaimana kau tahu? Aku tidak pernah memberitahu hal itu pada siapapun.” Ethan mengutuk kecerobohannya. Sambil tersenyum menenangkan, Ethan melanjutkan ucapannya. “Kau pernah menceritakannya, Dira.” Dira mengernyit. “
“Jadi, apa yang akan kulakukan di sana sementara kau bekerja?” Ethan mengangkat kepalanya dari dokumen yang sedang dia baca. Kacamatanya melorot menuruni hidungnya yang mancung. “Kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan.” Dira mendorong tubuhnya mendekati Ethan, tatapan matanya mengandung niat terselubung. “Aku bisa melakukan apa pun?” tanyanya memastikan. Ethan memicingkan matanya. “Apa sudah waktunya mencemaskan apa yang sedang kau rencanakan?” Dira tertawa. “Jangan konyol, aku tidak akan melakukan apa pun yang membuatmu malu. Aku janji.” Dira mengedip-ngedipkan bulu matanya yang lentik saat mengucapkannya, membuat Ethan mendengus. “Tidak masalah. Kau bisa melakukan apa pun, tapi pastikan jangan pernah kabur dari pengawalmu.” Ucapan itu membuat senyum Dira menguap. Ia menatap Ethan serius. “Pengawal?” sejak kapan ia butuh pengawal? Dan kenapa ia butuh pengawal? Kenapa mereka tidak pernah membicarakan ini sebelumnya? Ethan mengangguk. “Apa pun yang ingin kau lakukan
“Jangan mengulangi itu lagi, Dira, kau hampir membuatku terkena serangan jantung.”“Maaf,” ucapnya mencoba terdengar menyesal, tapi Ethan tahu ia sama sekali tidak menyesal melakukannya. Ia meringis saat merasakan kakinya berdenyut menyakitkan. Sial, ternyata rasanya benar-benar sakit. Saat pandangannya bersibobrok dengan Ethan, pria itu sedang menatapnya dengan kedua alis terangkat. Tatapannya seolah mengatakan “Kau seharusnya tahu kalau ini akan terjadi.”“Aku melihatnya tergelincir, Ethan. Aku tidak mungkin hanya melihat dan menontonnya. Dia hanya anak kecil,” ujarnya mencoba membela diri.“Lain kali, sebelum mencoba menolong orang lain, pastikan orang yang kau tolong benar-benar membutuhkan bantuanmu. Dari yang kulihat anak itu hanya bermain-main dan ingin mengerjai orang tuanya.”Wajah Dira memerah karena malu. Itu benar. Anak yang ia tolong karena ia pikir tergelincir ternyata hanya berpura-pura terjatuh untuk menarik perhatian orang tuanya. Sekarang rasa sakit di pergelangan ka
Ethan meletakkan tangan di lutut Dira. “Ada banyak hal yang terjadi itu benar. Ada banyak kenangan yang dilupakan itu juga benar, Angel, tapi bukan berarti kau menyedihkan seperti yang kau pikirkan.” “Apa aku melupakan sesuatu yang penting? Apa kita…” ujar Dira seolah tidak mendengarkan ucapan Ethan. Dira menelan ludah. “Kita tidak… maksudku… apa selama lima tahun kita…” Dira mengedarkan pandangan seperti orang yang sedang mencari petunjuk. Ethan tahu apa yang sedang dicari istrinya, tapi ia menolak mengatakannya. Nanti, jika waktunya tepat Dira sendiri yang akan menemukan jawabannya. “Jawaban dari pertanyaan itu ada di sini,” dengan lembut Ethan menyentuh dada Dira, tepat di mana jantungnya berdetak. “Dan di sini.” lanjut Ethan saat menyentuh kepala Dira. “Suatu hari nanti kau akan mengingatnya, tapi tidak perlu memasakan diri, Angel. Kita akan melakukannya dengan pelan-pelan.” “Banyak hal yang bisa terjadi selama lima tahun Ethan.” “Aku tahu.” “Dan menyadari kalau aku tidak
Pertanyaan itu seharusnya tidak mengejutkan karena bagaimana pun Ethan sudah mengantisipasinya. Suatu saat Dira pasti akan menyadarinya. Ia tidak bisa menyembunyikan hal itu selamanya. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Banyak perubahan yang bisa terjadi dalam waktu itu. Meski begitu, tetap saja Ethan tidak menyangka Dira akan menyadarinya secepat ini. “Kapan kau menyadarinya?” Dira mengubah posisinya. Ia duduk menyamping agar bisa melihat Ethan sepenuhnya. “Dalam perjalanan kemari. Ada banyak hal yang telah berubah begitu aku sadar. Selain itu… aku melihat kalender.” Ethan mengumpat dalam hati. Tentu saja Dira akan melakukannya. “Mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi?” dira menatap Ethan dengan alis terangkat. Ethan berdeham sebelum menjawab, seolah ia sedang memilah kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. “Ada insiden yang membuatmu kehilangan sebagian ingatanmu. Dokter menyebutnya amnesia disosiatif.” “Insiden? Semacam kecelakaan?” Dira menarik ponsel dari meja.
“Terima kasih!” Ethan mengedikkan bahunya. “Bukan masalah. Sekarang berikan laptopnya karena aku harus bekerja.” Dira menyipitkan matanya. “Bukan untuk memesan tiket?” Ethan tertawa. “Tentu saja aku juga akan memesan tiket. Kita hanya 2 hari di sini. Bagaimana pun, lebih cepat memesan tiket lebih baik untuk kita. Lagipula, Riko harus diberi pekerjaan.” “Riko? Siapa Riko?” Ethan mengutuk dirinya sendiri setelah Dira bertanya. “Sekretarisku,” balasnya pendek. Dira mengangkat bahunya, menyerahkan laptop milik Ethan. “Silakan bekerja Tuan, sementara kau berkutat dengan benda menyedihkan itu, aku akan melihat apa yang bisa dimasak. Kau mau apa? Meski tidak terlalu ahli, beberapa masakanku patut diacungi jempol.” Tatapan mata Ethan melembut. “Buatlah kejutan untukku.” *** Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Ethan berjalan ke dapur, langkahnya nyaris tenggelam oleh alunan lembut lagu Perfect dari Ed Sheeran yang mengalun dari speaker kecil di sudut ruangan. Suara lembut mengi
“Ethan, kita baru saja sampai di tempat ini. Kita tidak bisa pergi begitu saja,” ujar Dira begitu mereka masuk ke dalam rumah. “Sebenarnya bisa. Kita hanya perlu naik kapal feri, pergi ke stasiun Hallstatt Bahnhof lalu ke stasiun Attanang yang akan membawa kita ke Wina setelah itu—“ “Aku tidak mau dengar!” potong Dira sambil menutup telinga dengan kedua tangannya. Matanya melebar karena kesal. “Sebenarnya apa yang salah? Sebelumnya kita baik-baik saja di tempat ini, lalu tiba-tiba kau ingin pergi dari sini. Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada menyelidik. Keinginan untuk pergi secepatnya dari tempat ini terasa menggelikan. Dorongan apa yang mendasari keinginan itu? Dira berusaha mencari alasannya dan satu-satunya kesimpulan yang bisa ia dapatkan adalah… “Apa ini karena anak-anak itu?” tebaknya. Ethan berubah setelah bertemu anak-anak tadi, tapi tidak mungkin itu alasannya 'kan? Ethan memunggunginya. Suaminya yang tampan dan misterius kini sedang berkutat dengan laptopnya.
“Leo, pastikan dia tidak pernah hilang dari pandanganmu. Sekali aku menemukannya, aku tidak akan melepaskannya dan saat itu terjadi, kau tahu apa yang akan kulakukan. Aku tidak akan meminta izinmu untuk itu.” Ethan memastikan poselnya tepat saat suara Dira terdengar. “Aku mau keluar.” Ethan menatap keluar lewat jendela besar rumah mereka. Ketidaksetujuan terang-terangn terlihat di wajahnya yang tampan dan mulai ditumbuhi rambut halus. “Suhu di luaran saat ini -4°C, Dira. Kau akan membuat dirimu sendiri kedinginan.” Dira mengikuti arah pandang Ethan. “Ini bukan musim dingin pertamaku, Ethan. Aku bisa menghadapinya. Ingat, aku pernah mengalami yang lebih buruk dari ini.” “Kau baru keluar dari rumah sakit, Dira. Aku tidak mau kau sakit dan jangan coba-coba me—“ Ethan belum menyelesaikan kata-katanya saat Dira berlari keluar dengan tawanya yang renyah. Ia melemparkan tatapan penuh arti pada Ethan sebelum menarik pintu dan menutupnya. Ethan mendesah panjang, memilih untuk menyerah.
Pagi pertama di Hallstatt terasa begitu tenang. Udara dingin menusuk kulit, namun keindahan tempat itu seolah menghangatkan hati Dira. Senyum simpul bermain di wajahnya mana kala sepasang visual tajamnya menatap lurus ke depan. Ia berdiri di balkon rumah mereka, memandangi pemandangan menakjubkan di depannya. Danau yang tenang memantulkan bayangan pegunungan berselimut salju, sementara rumah-rumah bergaya tradisional Austria berdiri anggun di sekelilingnya. Perjalanan selama 7 jam lebih terbayarkan dengan keindahan yang menyambut mereka. Rumah mereka terbuat dari kayu dengan jendela besar yang menghadap langsung ke danau. Dira menyentuh bingkai jendela, merasakan tekstur kayu tua yang kokoh. Ada sesuatu yang menenangkan dari tempat ini—seolah membawa kehangatan meski berada di tengah dinginnya musim salju. “Indah sekali,” gumamnya tanpa sadar. Keindahan tempat ini tak terbantahkan, tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa janggal. Mengapa mereka tiba-tiba pindah ke sini? Ethan pri