“Satu-satunya hari di mana aku membiarkan diriku merasa hancur adalah saat kau pergi meninggalkanku.” Dira gelisah. Sudah dua jam dia bergelung di atas tempat tidur dan hanya berguling tanpa daya sementara kantuk yang ia harapkan datang tidak kunjung menyapa. Dira telentang, mata cokelatnya menatap langit-langit kamarnya. Kata-kata Ethan berputar-putar di benaknya, mengganggunya dengan cara yang tidak ia inginkan. Ethan hancur? Apa maksud kalimat itu? Tidak mungkin Ethan merasa buruk saat ia pergi kan? Ethan tidak pernah membiarkan siapapun melukainya. Dinding pertahanan pria itu lebih tinggi dari tembok batu yang mengelilingi kastil kuno, tak ada yang bisa menembusnya. Mustahil Ethan merasa terluka saat ia memutuskan pergi. Kalau iya, kenapa pria itu tidak pernah mencarinya selama 5 tahun kepergiannya? Lalu sekarang ada Brianna. Jika Ethan benar-benar tidak tidur seperti yang dikatakannya—dan ia memercayainya, itu berarti selama 5 tahun kepergian yang dipenuhi dengan perasaan peng
Dira memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. “Apa kau selalu bekerja sampai selarut ini?” “Hanya kalau aku tidak punya hal lain untuk bisa dikerjakan.” “Hal lain?” tanyanya polos tanpa pikir panjang dan begitu kalimat itu lolos dari bibirnya Dira bisa merasakan wajahnya merona. “Ya, ada hal lain yang bisa dilakukan selain bekerja saat malam, Dira.” Kenapa ucapan itu terdengar sangat menggoda sekaligus berbahaya? Ethan tidak mungkin berpikir ia akan menanyakan ‘hal lain’ yang dimaksud pria itu kan? Atmosfer di antara mereka berubah. Ketegangan seksual menari-nari seperti api yang menyentuh kayu bakar, membakar setiap inci ruang di sekitar mereka dengan intensitas yang semakin sulit diabaikan. Dan menilik dari tatapan Ethan yang menggelap ia tahu pria itu juga memikirkan hal yang sama dengannya. Tiba-tiba saja ruangan ini terasa sempit dan menyesakkan. Dira tahu, ini saatnya pergi sebelum segala sesuatunya menjadi tidak terkendali dan berakhir menjadi sesuatu yang akan mereka s
Aku menunggumu di kantor Dira membaca pesan itu dengan kemarahan dan juga kejengkelan yang menusuk. Laki-laki itu memberikan perintah untuknya. Lagi. Seharusnya ia belajar, tapi tidak. Sekali lagi ia jatuh dan kali ini karena kebodohannya yang tidak tertolong. Dengan kasar, Dira menyingkirkan selimut yang membalut tubuhnya, meraih pakaiannya yang berceceran di lantai. Ia perlu memastikan kalau ini tidak akan terulang dan yang harus ia lakukan untuk membentengi dirinya adalah dengan menjauhi pria itu. Dan bagaimana caramu melakukannya? Kalian hidup di atap yang sama. Dewi batinnya yang tidak diharapkan kehadirannya, menatapnya dengan alis terangkat. Dira mengabaikannya. Ia akan menemukan caranya. Harus. Atau semua akan semakin kacau dan tidak terkendali. Dira berjalan ke kamarnya, mandi dan mengganti pakaiannya. Saat menatap cermin, pesan yang ditulis Ethan untuknya kembali membayanginya. Apa yang diinginkan pria itu? Mungkin ini ada hubungannya dengan Brianna? Bagaimanapun, mister
“Mrs. Alexander, silakan langsung masuk. Pak Ethan sudah ada di dalam.” Dira tersenyum canggung pada Riko, masih tidak terbiasa dengan rasa hormat yang ditunjukkan orang-orang padanya, khususnya yang tahu statusnya sebagai istri Ethan. Dira menatap penampilannya, memastikan pakaiannya cukup layak sebelum menarik pintu. Ethan duduk di kursi kekuasaannya dengan latar belakang sinar matahari yang menembus jendela kaca besar di belakangnya, menciptakan bayangan tajam yang menambah aura otoritasnya. Jari-jari tangannya mengetuk permukaan meja dengan irama teratur, sementara tatapannya tetap fokus pada dokumen yang sedang dia baca, penuh dengan keyakinan dan kepercayaan diri. Sinar matahari memantulkan kilauan samar di rambutnya, menegaskan siluetnya yang kokoh, seperti seorang raja yang sedang menimbang langkah berikutnya di medan perang. Dira mematung, tiba-tiba merasa kecil dan tidak diharapkan kehadirannya. “Sampai kapan kau akan berdiri di sana?” Dira tersentak. Bagaimana Ethan t
“Boleh aku memikirkannya lebih dulu?”Ethan mengangguk tanpa berpikir seolah sudah menduga kalau Dira akan mengatakan itu. “Pikirkanlah. Aku bisa menunggu meski bukan orang sabar. Sebentar.”Dira menatap Ethan yang berjalan ke mejanya dan kembali dengan memegang sebuah dokumen. Dira sama sekali tidak punya petunjuk tentang apa yang akan dibahas pria itu lagi. Kerja sama lainnya? Atau perjanjian lainnya?“Ini,” ujarnya, mendorong dokumen tersebut pada Dira.“Apa ini?” tanyanya waswas, sebelum membuka dokumen tersebut.“Itu daftar nama-nama sekolah untuk Noah mengingat sebentar lagi dia akan memasuki usia TK, kupikir bagus jika kita memiliki beberapa pilihan.”Mulut Dira mendadak kering. Sesuatu membuat kerongkongannya tiba-tiba tersumbat. Ia memandang Ethan. “Tapi… waktu itu kau bilang…”Ethan mengangguk. “Kita bisa membatalkannya kapan saja. Kau bilang aku tidak melibatkanmu, dan itu benar. Aku terbiasa membuat keputusan untuk apa pun, tapi sekarang itu tidak bisa terjadi karena Noah
Brianna Demetri Dira mengetikkan nama itu di mesin pencari dan dalam sekejap hasil yang ia tunggu muncul. Dira membaca dengan cermat, satu persatu, tidak ingin melewatkan apa pun. Jika Ethan sampai membutuhkan bantuan untuk menyelidiki Brianna berarti ada yang tidak beres. Dan apa pun yang tidak beres tidak pernah berarti hal baik. “Menikah dengan Leonidas Demetri setelah keduanya berkencan selama 3 bulan…” Dira terhenyak. Kata-kata itu seolah menghantamnya. Ia menegakkan tubuhnya, hanya memandang laptop miliknya tanpa suara. Ia dan Ethan memutuskan menikah saat mereka baru berkencan 3 bulan. Segalanya terasa sempurna saat itu. Gairah dan ketertarikan seksual yang menyelubingi mereka cukup untuk membakar sekeliling. Mereka merasa hidup, tidak ada yang lebih penting daripada gairah yang meledak-ledak. Mereka tidak pernah berhenti saling menyentuh. Dira pikir itu cukup sampai ia sadar betapa salah dan naif pemikiran itu. Dira menggeleng, mengusir pemikiran tentang pernikahannya dan
Senja wanita ceria dan banyak bicara, bukan berarti ia mengeluhkan hal itu. Ia menyukainya terutama karena Senja menceritakan hal-hal menarik yang ia rindukan dari negara tempatnya tumbuh besar sebelum memutuskan bermigrasi. “Di mana kita bisa melakukan yoga dan massage di tempat ini?” tanya Senja suatu kali saat mereka menyusuri jalanan Kerkira sambil menikmati pemandangan yang ditawarkan Saroko Square. Langit cerah dengan awan putih bersih dan cahaya matahari di musim panas. Dira memandang Senja, tersenyum. “Ada tempat menarik untuk itu, tidak jauh dari sini. Kita hanya perlu berjalan selama 5 menit,” tuturnya. Mata Senja berbinar. “Bagus. Kita bisa melakukan yoga, tunggu, apa kau melakukannya? Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak kau sukai.” Pernyataan sederhana itu membuatnya tersentuh. Dira tersenyum tipis. “Aku pernah melakukannya, setidaknya dulu.” Senja mengibaskan tangannya. “Tidak masalah. Aku mengalami hal yang sama, hanya saja sekarang aku membutuhkannya, teru
Ruang rapat terasa begitu mencekam dan menakutkan. Langit biru dan laut Ionia yang memantul dari dinding kaca seolah tidak cukup untuk menenangkan para eksekutif yang duduk di sekitar meja panjang. Ethan Alexander berdiri di ujung meja, posturnya tegap dan penuh dominasi, sementara ekspresinya sedingin baja. Tatapan matanya yang tajam menusuk membuat ruangan terasa dingin membekukan. “Jadi, mari kita ulang,” katanya, suaranya rendah, namun tegas, seperti ancaman yang tidak perlu diterjemahkan. “Mesin utama Grecia rusak di tengah perjalanan menuju pelabuhan Singapura. Kita kehilangan waktu, uang, reputasi, dan kepercayaan klien.” Tatapannya menyapu ruangan, membuat nyali ciut hingga titik terendah. “Dan kalian di sini—sekelompok orang yang kubayar mahal—bahkan tidak bisa memberi solusi yang layak?” Salah satu kepala teknisi, pria dengan kemeja yang mulai basah oleh keringat, memberanikan diri menjawab. “Ethan, masalahnya pada komponen poros engkol mesin. Kerusakannya lebih parah d
“Dahulu kala ada seorang pangeran yang tinggal di sebuah kastil mewah.” “Apa dia tampan Daddy?” Ethan menahan senyumnya. “Ya, dia tampan. Sangat tampan. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan istana yang sangat membosankan. Dia kesepian, tapi tidak seorang pun yang tahu perasaannya.” Leandra mengerjap-ngerjap dengan penuh rasa ingin tahu. “Lalu, apa yang terjadi, Daddy?” “Pria itu memutuskan untuk berpetualang. Dia pergi tanpa memberitahu siapapun. Melakukan perjalanan panjang melewati samudera, menikmati setiap detiknya, tapi pangeran itu tetap saja kesepian.” “Apa dia pulang?” Ethan menggeleng. Ia memperbaiki selimut putrinya. “Tidak, dia tidak pulang, glyko mou. Dia meneruskan perjalanan, tapi pangeran itu memutuskan untuk berhenti. Dia butuh istirahat.” Theo yang sejak tadi hanya menjadi pendengar akhirnya bersuara. “Lagi, Daddy.” Ethan mengelus rambut halus putri kecilnya. “Keajaiban terjadi saat pangeran itu melakukan kesembronoan. Dia membuang sampah sembarangan. Saat it
Lima tahun kemudian, Dira menatap putri kecil mereka Leandra sedang bermain pasir bersama ayahnya. Di samping keduanya, seorang bocah kecil berusia 4 tahun tampak diam mengamati. Mata cokelatnya yang tajam dan awas seperti sedang menilai setiap gerakan yang dilakukan oleh Kakak dan Ayahnya. Dira yang melihatnya merasakan dadanya membengkak oleh perasaan bahagia yang tak terungkapkan. Kebahagiannya, kini berada tepat di hadapannya, seperti sebuah potret abadi yang tak ternilai. Dira melilitkan pareo di sekitar pinggangnya sebelum akhirnya menghampiri keluarganya. Ketiganya begitu larut menikmati aktivitas membuat istana pasir hingga keberadaannya sama sekali tidak disadari. Dira ikut berjongkok, mencium puncak kepala Leandra dan Theo bergantian. Leandra yang memiliki warna mata persis seperti yang dimiliki oleh Ethan menatapnya berbinar. “Mommy! Lihat, kami berhasil membuat istana pasir.” “Oh iya! Siapa yang paling banyak berkontribusi?” Leandra menepuk dadanya dengan bangga. The
Ethan tertawa sebelum akhirnya menyuapkan saus itu ke mulutnya. Dira mencecap rasa creamy alpukat yang lembut, berpadu sempurna dengan sedikit perasan lemon. “Bagaimana?” tanya Ethan. “Kalau kau membutuhkan pekerjaan katakan saja. Toko rotiku pasti akan menemukan tempat untukmu.” Ethan menyeringai. “Mungkin aku akan mempertimbangkannya.” Lima belas menit kemudian pasta buatan Ethan sudah siap disantap. Dira dengan penuh semangat mulai melahap makanannya. Dira baru saja menyuap satu sendok ketika gelombang rasa panas menyambar tubuhnya. Bukan panas biasa, tetapi sensasi teramat kuat yang membuat sendok di tangannya terjatuh dengan bunyi cling yang nyaring. Gelombang nyeri menjalar dari punggung bawahnya, menusuk hingga ke perut. Ia meringis, tangannya mencengkeram tepi meja. “Ethan…” suaranya mulai goyah. Ethan langsung menghampirinya dengan wajah tegang. “Kenapa? Apa yang sakit, Angel?” Dira mencoba menarik napas dalam. “Mungkin cuma kontraksi palsu…” Namun, belum sempat ia me
Dira memejamkan mata, menikmati sapuan angin yang membelai kulit wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya selama beberapa kali dan dalam proses itu senyum sama sekali tidak pernah meninggalkan wajahnya. Ketenangan dengan cepat merasuk dalam dirinya. Sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang, membelai perutnya yang sudah membesar. Dira memiringkan kepalanya sedikit, memberi akses lebih mudah saat Ethan mendaratkan kepala di bahunya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Ethan lembut di telinganya. “Menikmati pemandangan. Kita jarang ke tempat ini padahal laut ini tepat di depan rumah,” desahnya lambat. Dira menundukkan pandangan, menatap tangan Ethan yang sekarang sedang mengelus-ngelus perutnya dari balik gaun tipisnya. “Aku tidak sabar menunggu kedatangan Dut-dut.” “Aku juga,” balas Dira, menyandarkan tubuhnya pada Ethan. Memasuki usia kehamilan 36 minggu, dokter mengatakan dalam beberapa minggu ia akan melahirkan. Sejak saat itu
Ethan berdiri terpaku di depan toko peralatan bayi seperti orang tersesat, matanya menyapu setiap sudut etalase yang dipenuhi berbagai barang berwarna-warni untuk kebutuhan bayi. Meski sudah membaca buku tentang kebutuhan bayi dan mencaritahu segalanya, ada perasaan aneh yang merayap dalam dirinya. Perasaan yang sulit ia definisikan—campuran antara keterkejutan, antusiasme, dan sedikit kegugupan, merasa seolah memasuki dunia yang benar-benar asing. Sekilas, ia melihat anak kecil yang sedang merengek dan meraung pada orang tuanya sambil menunjuk-nunjuk barang yang ada di etalase. Dulu pemandangan itu pasti membuatnya bergidik dan menjauh. Sekarang… ia tidak sabar untuk menghadapi situasi yang sama. Tanpa sadar sudut mulutnya terangkat. “Ethan?” Suara Dira menyadarkannya. Istrinya menatapnya dengan alis bertaut, mungkin heran melihatnya hanya berdiri di sana tanpa bergerak. Ethan mengangkat bahu, lalu meraih keranjang belanja. “Ayo masuk dan membeli semua yang dibutuhkan Dut-d
“Aku mencintaimu.” Kedua kelopak matanya terangkat, sebentuk senyum tipis terukir di wajahnya yang cantik. Ia mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan sepasang mata sebiru kristal yang paling ia sukai di dunia ini. “Kau bilang apa?” tanyanya serak, khas orang baru bangun tidur. Dira mengangkat sedikit kepalanya, menggunakan lengan Ethan sebagai bantal saat menunggu pria itu bersuara. Tentu saja ia mendengar apa yang dikatakan Ethan, ia hanya suka mendengar kata-kata itu keluar dari bibir suaminya. Ethan mendekat, menempelkan hidung mereka. “Aku mencintaimu, agape mou.” “Sekarang lebih mudah bagimu mengatakannya, ya ‘kan?” Ethan tertawa rendah. Memang, rasanya jauh lebih mudah mengatakannya sekarang. Setelah apa yang mereka lalui, rasanya penting mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Ketakutan itu masih ada, jauh bersembunyi dalam dirinya, tapi sekarang jauh lebih mudah menghadapinya setelah semua yang terjadi. Setelah menyadari bahwa cinta sungguh bisa memberikan kekuatan ya
Dira menyeringai, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada foto yang ada di dekat komputer suaminya. Foto pernikahan mereka—atau lebih tepat disebut pembaruan janji pernikahan. Mereka melakukannya di sebuah pulau kecil. Ia mengenakan gaun koktail sederhana sementara Ethan mengenakan celana selutut dan kemeja yang lengannya digulung sampai di atas siku. Benar-benar sederhana, tapi hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. “Aku suka foto itu,” komentarnya. Ethan mengikuti arah pandang istrinya. “Aku juga, terutama karena setelah itu aku membuatmu tidak mengenakan apa pun selama berhari-hari,” balasnya bangga, menunjukkan seringai nakalnya. Dira tertawa. “Kau membuat bikiniku rusak, sekalian saja tidak usah memakainya.” Ethan menarik lembut lengan istrinya dan membawanya duduk di atas pangkuannya. “Ethan! Menurutku kau tidak bisa melakukannya. Aku pasti sangat berat sekarang.” Ethan mengabaikannya. “Menurutmu, berapa peluang yang kudapatkan untuk membuatm
Dira berdiri di tengah ruang utama Flour & Figs sambil tersenyum tipis, matanya mengamati setiap sudut toko dengan seksama. Aroma kayu yang masih baru bercampur dengan wangi lembut vanilla dari lilin aroma terapi yang sengaja dinyalakan untuk memberikan kesan hangat. Dinding kaca besar di sisi kanan toko memberikan pemandangan langsung ke arah laut yang membentang luas, dengan ombak tenang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Rak-rak kayu yang dipasang di sepanjang dinding telah tertata rapi dengan toples berisi aneka kue kering dan roti. Meja-meja bundar kecil dan kursi anyaman ditempatkan di dekat jendela, menawarkan tempat duduk yang sempurna bagi pelanggan yang ingin menikmati kue dan minuman sambil menatap hamparan laut. Beberapa tanaman hijau dalam pot keramik tersebar di beberapa sudut, menambah nuansa alami dan menenangkan—konsep yang sejak dulu ia inginkan. Dira berjalan perlahan ke arah dapur, tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Kehamilann
Dira berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumah mereka sambil mengigit jarinya. Sudah dua jam berlalu, tapi sampai sekarang Ethan belum juga menghubunginya. Kenapa Ethan belum menghubunginya? Ia sudah mencoba menghubungi suaminya, tapi hasilnya nihil.Mungkin Ethan terlalu sibuk sampai tidak lupa waktu? Atau mungkin saja sinyal membuat sambungannya tidak terhubung.“Ma’am.”Sapaan itu hampir membuatnya melompat. Ia menghela napas, menatap pengurus rumahnya. “Ada apa, Marta?”“Ma’am ada Riko di depan pintu, katanya ingin menemui Anda. Ini mendesak.”Untuk apa sekretaris Ethan ingin menemuinya? Mengabaikan gemuruh yang berdentam dalam dadanya, Dira bergerak cepat untuk menemui pria itu. Riko berdiri di ujung pintu, tampak seperti orang tersesat. Wajahnya pucat dengan kedua tangan yang terlipat seperti orang yang sedang berdoa.Dira menarik kepalanya, berusaha melihat ke belakang pria itu, dan ia tidak melihat keberadaan Ethan.“Riko.”Pria itu membelalak, terkejut karena kehadirannya ya