Dira memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. “Apa kau selalu bekerja sampai selarut ini?” “Hanya kalau aku tidak punya hal lain untuk bisa dikerjakan.” “Hal lain?” tanyanya polos tanpa pikir panjang dan begitu kalimat itu lolos dari bibirnya Dira bisa merasakan wajahnya merona. “Ya, ada hal lain yang bisa dilakukan selain bekerja saat malam, Dira.” Kenapa ucapan itu terdengar sangat menggoda sekaligus berbahaya? Ethan tidak mungkin berpikir ia akan menanyakan ‘hal lain’ yang dimaksud pria itu kan? Atmosfer di antara mereka berubah. Ketegangan seksual menari-nari seperti api yang menyentuh kayu bakar, membakar setiap inci ruang di sekitar mereka dengan intensitas yang semakin sulit diabaikan. Dan menilik dari tatapan Ethan yang menggelap ia tahu pria itu juga memikirkan hal yang sama dengannya. Tiba-tiba saja ruangan ini terasa sempit dan menyesakkan. Dira tahu, ini saatnya pergi sebelum segala sesuatunya menjadi tidak terkendali dan berakhir menjadi sesuatu yang akan mereka s
Aku menunggumu di kantor Dira membaca pesan itu dengan kemarahan dan juga kejengkelan yang menusuk. Laki-laki itu memberikan perintah untuknya. Lagi. Seharusnya ia belajar, tapi tidak. Sekali lagi ia jatuh dan kali ini karena kebodohannya yang tidak tertolong. Dengan kasar, Dira menyingkirkan selimut yang membalut tubuhnya, meraih pakaiannya yang berceceran di lantai. Ia perlu memastikan kalau ini tidak akan terulang dan yang harus ia lakukan untuk membentengi dirinya adalah dengan menjauhi pria itu. Dan bagaimana caramu melakukannya? Kalian hidup di atap yang sama. Dewi batinnya yang tidak diharapkan kehadirannya, menatapnya dengan alis terangkat. Dira mengabaikannya. Ia akan menemukan caranya. Harus. Atau semua akan semakin kacau dan tidak terkendali. Dira berjalan ke kamarnya, mandi dan mengganti pakaiannya. Saat menatap cermin, pesan yang ditulis Ethan untuknya kembali membayanginya. Apa yang diinginkan pria itu? Mungkin ini ada hubungannya dengan Brianna? Bagaimanapun, mister
“Mrs. Alexander, silakan langsung masuk. Pak Ethan sudah ada di dalam.” Dira tersenyum canggung pada Riko, masih tidak terbiasa dengan rasa hormat yang ditunjukkan orang-orang padanya, khususnya yang tahu statusnya sebagai istri Ethan. Dira menatap penampilannya, memastikan pakaiannya cukup layak sebelum menarik pintu. Ethan duduk di kursi kekuasaannya dengan latar belakang sinar matahari yang menembus jendela kaca besar di belakangnya, menciptakan bayangan tajam yang menambah aura otoritasnya. Jari-jari tangannya mengetuk permukaan meja dengan irama teratur, sementara tatapannya tetap fokus pada dokumen yang sedang dia baca, penuh dengan keyakinan dan kepercayaan diri. Sinar matahari memantulkan kilauan samar di rambutnya, menegaskan siluetnya yang kokoh, seperti seorang raja yang sedang menimbang langkah berikutnya di medan perang. Dira mematung, tiba-tiba merasa kecil dan tidak diharapkan kehadirannya. “Sampai kapan kau akan berdiri di sana?” Dira tersentak. Bagaimana Ethan t
“Boleh aku memikirkannya lebih dulu?”Ethan mengangguk tanpa berpikir seolah sudah menduga kalau Dira akan mengatakan itu. “Pikirkanlah. Aku bisa menunggu meski bukan orang sabar. Sebentar.”Dira menatap Ethan yang berjalan ke mejanya dan kembali dengan memegang sebuah dokumen. Dira sama sekali tidak punya petunjuk tentang apa yang akan dibahas pria itu lagi. Kerja sama lainnya? Atau perjanjian lainnya?“Ini,” ujarnya, mendorong dokumen tersebut pada Dira.“Apa ini?” tanyanya waswas, sebelum membuka dokumen tersebut.“Itu daftar nama-nama sekolah untuk Noah mengingat sebentar lagi dia akan memasuki usia TK, kupikir bagus jika kita memiliki beberapa pilihan.”Mulut Dira mendadak kering. Sesuatu membuat kerongkongannya tiba-tiba tersumbat. Ia memandang Ethan. “Tapi… waktu itu kau bilang…”Ethan mengangguk. “Kita bisa membatalkannya kapan saja. Kau bilang aku tidak melibatkanmu, dan itu benar. Aku terbiasa membuat keputusan untuk apa pun, tapi sekarang itu tidak bisa terjadi karena Noah
Brianna Demetri Dira mengetikkan nama itu di mesin pencari dan dalam sekejap hasil yang ia tunggu muncul. Dira membaca dengan cermat, satu persatu, tidak ingin melewatkan apa pun. Jika Ethan sampai membutuhkan bantuan untuk menyelidiki Brianna berarti ada yang tidak beres. Dan apa pun yang tidak beres tidak pernah berarti hal baik. “Menikah dengan Leonidas Demetri setelah keduanya berkencan selama 3 bulan…” Dira terhenyak. Kata-kata itu seolah menghantamnya. Ia menegakkan tubuhnya, hanya memandang laptop miliknya tanpa suara. Ia dan Ethan memutuskan menikah saat mereka baru berkencan 3 bulan. Segalanya terasa sempurna saat itu. Gairah dan ketertarikan seksual yang menyelubingi mereka cukup untuk membakar sekeliling. Mereka merasa hidup, tidak ada yang lebih penting daripada gairah yang meledak-ledak. Mereka tidak pernah berhenti saling menyentuh. Dira pikir itu cukup sampai ia sadar betapa salah dan naif pemikiran itu. Dira menggeleng, mengusir pemikiran tentang pernikahannya dan
Senja wanita ceria dan banyak bicara, bukan berarti ia mengeluhkan hal itu. Ia menyukainya terutama karena Senja menceritakan hal-hal menarik yang ia rindukan dari negara tempatnya tumbuh besar sebelum memutuskan bermigrasi. “Di mana kita bisa melakukan yoga dan massage di tempat ini?” tanya Senja suatu kali saat mereka menyusuri jalanan Kerkira sambil menikmati pemandangan yang ditawarkan Saroko Square. Langit cerah dengan awan putih bersih dan cahaya matahari di musim panas. Dira memandang Senja, tersenyum. “Ada tempat menarik untuk itu, tidak jauh dari sini. Kita hanya perlu berjalan selama 5 menit,” tuturnya. Mata Senja berbinar. “Bagus. Kita bisa melakukan yoga, tunggu, apa kau melakukannya? Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang tidak kau sukai.” Pernyataan sederhana itu membuatnya tersentuh. Dira tersenyum tipis. “Aku pernah melakukannya, setidaknya dulu.” Senja mengibaskan tangannya. “Tidak masalah. Aku mengalami hal yang sama, hanya saja sekarang aku membutuhkannya, teru
Ruang rapat terasa begitu mencekam dan menakutkan. Langit biru dan laut Ionia yang memantul dari dinding kaca seolah tidak cukup untuk menenangkan para eksekutif yang duduk di sekitar meja panjang. Ethan Alexander berdiri di ujung meja, posturnya tegap dan penuh dominasi, sementara ekspresinya sedingin baja. Tatapan matanya yang tajam menusuk membuat ruangan terasa dingin membekukan. “Jadi, mari kita ulang,” katanya, suaranya rendah, namun tegas, seperti ancaman yang tidak perlu diterjemahkan. “Mesin utama Grecia rusak di tengah perjalanan menuju pelabuhan Singapura. Kita kehilangan waktu, uang, reputasi, dan kepercayaan klien.” Tatapannya menyapu ruangan, membuat nyali ciut hingga titik terendah. “Dan kalian di sini—sekelompok orang yang kubayar mahal—bahkan tidak bisa memberi solusi yang layak?” Salah satu kepala teknisi, pria dengan kemeja yang mulai basah oleh keringat, memberanikan diri menjawab. “Ethan, masalahnya pada komponen poros engkol mesin. Kerusakannya lebih parah d
“Leonidas mengatakan suamimu setuju menyewa kapal pesiarnya untuk kami. Kutebak, kali ini kau juga akan ikut andil?” Dira menatap kopinya tanpa minat. Hilang sudah kesenangan yang ia rasakan beberapa saat lalu. Suasana kafe Coconela seharusnya menawarkan kenyamanan, tapi dengan Brianna duduk di depannya? Dira bersyukur ia bisa menahan diri untuk tidak mencakar wanita berambut merah itu. Senja yang duduk di sampingnya dengan bijak memutuskan menjadi pendengar. “Kurasa bukan urusanmu apa yang akan kulakukan. Sejak kapan kegiatanku menarik minatmu, Brianna?’ Brianna mengaduk-aduk minumannya. Sudut mulutnya melengkung membentuk senyuman. “Bagaimana rasanya berada di bawah bayang-bayang suamimu? Setelah apa yang kami lakukan, kau memutuskan untuk tetap bertahan?” Brianna bersandar ke kursinya. Senyumnya mengandung ejekan. “Godaan uang memang bisa mengaburkan kesetiaan.” Dira mengepalkan tangannya di bawah meja. “Kurasa seperti itu. Uang memang tawaran yang sangat menggoda,” balasnya,
“Jangan mengulangi itu lagi, Dira, kau hampir membuatku terkena serangan jantung.”“Maaf,” ucapnya mencoba terdengar menyesal, tapi Ethan tahu ia sama sekali tidak menyesal melakukannya. Ia meringis saat merasakan kakinya berdenyut menyakitkan. Sial, ternyata rasanya benar-benar sakit. Saat pandangannya bersibobrok dengan Ethan, pria itu sedang menatapnya dengan kedua alis terangkat. Tatapannya seolah mengatakan “Kau seharusnya tahu kalau ini akan terjadi.”“Aku melihatnya tergelincir, Ethan. Aku tidak mungkin hanya melihat dan menontonnya. Dia hanya anak kecil,” ujarnya mencoba membela diri.“Lain kali, sebelum mencoba menolong orang lain, pastikan orang yang kau tolong benar-benar membutuhkan bantuanmu. Dari yang kulihat anak itu hanya bermain-main dan ingin mengerjai orang tuanya.”Wajah Dira memerah karena malu. Itu benar. Anak yang ia tolong karena ia pikir tergelincir ternyata hanya berpura-pura terjatuh untuk menarik perhatian orang tuanya. Sekarang rasa sakit di pergelangan ka
Ethan meletakkan tangan di lutut Dira. “Ada banyak hal yang terjadi itu benar. Ada banyak kenangan yang dilupakan itu juga benar, Angel, tapi bukan berarti kau menyedihkan seperti yang kau pikirkan.” “Apa aku melupakan sesuatu yang penting? Apa kita…” ujar Dira seolah tidak mendengarkan ucapan Ethan. Dira menelan ludah. “Kita tidak… maksudku… apa selama lima tahun kita…” Dira mengedarkan pandangan seperti orang yang sedang mencari petunjuk. Ethan tahu apa yang sedang dicari istrinya, tapi ia menolak mengatakannya. Nanti, jika waktunya tepat Dira sendiri yang akan menemukan jawabannya. “Jawaban dari pertanyaan itu ada di sini,” dengan lembut Ethan menyentuh dada Dira, tepat di mana jantungnya berdetak. “Dan di sini.” lanjut Ethan saat menyentuh kepala Dira. “Suatu hari nanti kau akan mengingatnya, tapi tidak perlu memasakan diri, Angel. Kita akan melakukannya dengan pelan-pelan.” “Banyak hal yang bisa terjadi selama lima tahun Ethan.” “Aku tahu.” “Dan menyadari kalau aku tidak
Pertanyaan itu seharusnya tidak mengejutkan karena bagaimana pun Ethan sudah mengantisipasinya. Suatu saat Dira pasti akan menyadarinya. Ia tidak bisa menyembunyikan hal itu selamanya. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Banyak perubahan yang bisa terjadi dalam waktu itu. Meski begitu, tetap saja Ethan tidak menyangka Dira akan menyadarinya secepat ini. “Kapan kau menyadarinya?” Dira mengubah posisinya. Ia duduk menyamping agar bisa melihat Ethan sepenuhnya. “Dalam perjalanan kemari. Ada banyak hal yang telah berubah begitu aku sadar. Selain itu… aku melihat kalender.” Ethan mengumpat dalam hati. Tentu saja Dira akan melakukannya. “Mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi?” dira menatap Ethan dengan alis terangkat. Ethan berdeham sebelum menjawab, seolah ia sedang memilah kata-kata yang akan keluar dari mulutnya. “Ada insiden yang membuatmu kehilangan sebagian ingatanmu. Dokter menyebutnya amnesia disosiatif.” “Insiden? Semacam kecelakaan?” Dira menarik ponsel dari meja.
“Terima kasih!” Ethan mengedikkan bahunya. “Bukan masalah. Sekarang berikan laptopnya karena aku harus bekerja.” Dira menyipitkan matanya. “Bukan untuk memesan tiket?” Ethan tertawa. “Tentu saja aku juga akan memesan tiket. Kita hanya 2 hari di sini. Bagaimana pun, lebih cepat memesan tiket lebih baik untuk kita. Lagipula, Riko harus diberi pekerjaan.” “Riko? Siapa Riko?” Ethan mengutuk dirinya sendiri setelah Dira bertanya. “Sekretarisku,” balasnya pendek. Dira mengangkat bahunya, menyerahkan laptop milik Ethan. “Silakan bekerja Tuan, sementara kau berkutat dengan benda menyedihkan itu, aku akan melihat apa yang bisa dimasak. Kau mau apa? Meski tidak terlalu ahli, beberapa masakanku patut diacungi jempol.” Tatapan mata Ethan melembut. “Buatlah kejutan untukku.” *** Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Ethan berjalan ke dapur, langkahnya nyaris tenggelam oleh alunan lembut lagu Perfect dari Ed Sheeran yang mengalun dari speaker kecil di sudut ruangan. Suara lembut mengi
“Ethan, kita baru saja sampai di tempat ini. Kita tidak bisa pergi begitu saja,” ujar Dira begitu mereka masuk ke dalam rumah. “Sebenarnya bisa. Kita hanya perlu naik kapal feri, pergi ke stasiun Hallstatt Bahnhof lalu ke stasiun Attanang yang akan membawa kita ke Wina setelah itu—“ “Aku tidak mau dengar!” potong Dira sambil menutup telinga dengan kedua tangannya. Matanya melebar karena kesal. “Sebenarnya apa yang salah? Sebelumnya kita baik-baik saja di tempat ini, lalu tiba-tiba kau ingin pergi dari sini. Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada menyelidik. Keinginan untuk pergi secepatnya dari tempat ini terasa menggelikan. Dorongan apa yang mendasari keinginan itu? Dira berusaha mencari alasannya dan satu-satunya kesimpulan yang bisa ia dapatkan adalah… “Apa ini karena anak-anak itu?” tebaknya. Ethan berubah setelah bertemu anak-anak tadi, tapi tidak mungkin itu alasannya 'kan? Ethan memunggunginya. Suaminya yang tampan dan misterius kini sedang berkutat dengan laptopnya.
“Leo, pastikan dia tidak pernah hilang dari pandanganmu. Sekali aku menemukannya, aku tidak akan melepaskannya dan saat itu terjadi, kau tahu apa yang akan kulakukan. Aku tidak akan meminta izinmu untuk itu.” Ethan memastikan poselnya tepat saat suara Dira terdengar. “Aku mau keluar.” Ethan menatap keluar lewat jendela besar rumah mereka. Ketidaksetujuan terang-terangn terlihat di wajahnya yang tampan dan mulai ditumbuhi rambut halus. “Suhu di luaran saat ini -4°C, Dira. Kau akan membuat dirimu sendiri kedinginan.” Dira mengikuti arah pandang Ethan. “Ini bukan musim dingin pertamaku, Ethan. Aku bisa menghadapinya. Ingat, aku pernah mengalami yang lebih buruk dari ini.” “Kau baru keluar dari rumah sakit, Dira. Aku tidak mau kau sakit dan jangan coba-coba me—“ Ethan belum menyelesaikan kata-katanya saat Dira berlari keluar dengan tawanya yang renyah. Ia melemparkan tatapan penuh arti pada Ethan sebelum menarik pintu dan menutupnya. Ethan mendesah panjang, memilih untuk menyerah.
Pagi pertama di Hallstatt terasa begitu tenang. Udara dingin menusuk kulit, namun keindahan tempat itu seolah menghangatkan hati Dira. Senyum simpul bermain di wajahnya mana kala sepasang visual tajamnya menatap lurus ke depan. Ia berdiri di balkon rumah mereka, memandangi pemandangan menakjubkan di depannya. Danau yang tenang memantulkan bayangan pegunungan berselimut salju, sementara rumah-rumah bergaya tradisional Austria berdiri anggun di sekelilingnya. Perjalanan selama 7 jam lebih terbayarkan dengan keindahan yang menyambut mereka. Rumah mereka terbuat dari kayu dengan jendela besar yang menghadap langsung ke danau. Dira menyentuh bingkai jendela, merasakan tekstur kayu tua yang kokoh. Ada sesuatu yang menenangkan dari tempat ini—seolah membawa kehangatan meski berada di tengah dinginnya musim salju. “Indah sekali,” gumamnya tanpa sadar. Keindahan tempat ini tak terbantahkan, tapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa janggal. Mengapa mereka tiba-tiba pindah ke sini? Ethan pri
Seolah mendengar pertanyaannya, tiba-tiba tubuh Dira bergerak pelan. Kelopak matanya bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan. Ethan segera bangkit dari kursinya, mendekat dengan hati-hati. “Dira…” panggil Ethan lembut, menahan napasnya sejenak, menatap Dira penuh harap. Dira menoleh perlahan ke arah suara itu, wajahnya terlihat bingung dan lemah. Dia mengerjap beberapa kali, berusaha memahami di mana dia berada. Pandangannya menyapu ruangan putih itu, hingga akhirnya bertemu dengan wajah Ethan yang menatapnya dengan wajah campuran rasa lega dan kecemasan. “Ethan…” bisik Dira pelan, suaranya serak. Ethan yang tidak bisa menahan kelegaan yang menyelubunginya menunduk untuk mencium kening istrinya. Setelahnya ia mendaratkan kecupan singkat di bibir tipis Dira yang dingin. “Aku mencemaskanmu,” bisiknya parau. Dira menoleh, terlihat bingung, seolah pernyataan Ethan terlalu sulit untuk dicerna. Tautan alisnya menyatu. “Kenapa aku di rumah sakit? Bagaimana dengan pesta pernikahan
Ethan berdiri di luar ruang rumah sakit tempat Dira dirawat. Suasana di sekitar rumah sakit terasa begitu sepi, begitu pekat dengan aroma kesedihan. Ethan berkali-kali mengusap belakang kepalanya, merasa lemah sekaligus frustrasi. Perasaan kosong dalam dirinya begitu menguasai. Duka karena kehilangan putranya menggegogoti jiwanya. Ia sungguh berharap semua tragedi ini hanya mimpi buruk, tapi aroma obat-obatan dan tubuh Dira yang masih terbaring di rumah sakit dengan keras menamparnya, menariknya pada realita yang sama sekali tidak siap ia hadapi. Di hadapannya, dua polisi berdiri tegak, wajah mereka tampak serius saat memeriksa dokumen dan mencatat keterangan dari Ethan. Polisi pertama, seorang pria paruh baya, bertanya dengan lembut, berusaha tidak menambah beban berat yang harus ditanggung Ethan. “Saudara Ethan, kami telah menemukan bukti yang cukup kuat mengenai keterlibatan Brianna dan Eri dalam kejadian ini. Mereka akan segera ditangkap. Segera, kami akan menetapkan mereka dala