Mataku terbuka. Aku menyempatkan tidur sore setelah pulang bekerja dari restoran. Aku duduk. Menghidupkan lampu tidur di samping ranjang. Aku menatap seluruh isi flat. Tak ada yang istimewa. Tidak ada barang-barang mewah di dalamnya. Jangankan maling, seekor kucing pun enggan untuk memasuki rumah karena tidak ada yang bisa dicuri dari ruangan itu. Aku tersenyum getir. Kalau diingat-ingat lagi, Ini tahun ke-lima aku menempati sebuah flat sempit yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Tempat ini cukup berbahaya apabila berkeliaran diluar rumah terutama bagi seorang gadis sepertiku. Terkadang aku sering tertawa sendiri, apakah ruangan yang aku tempati ini masih bisa disebut rumah? Di lain sisi, aku juga tersenyum lega yang dipaksakan. Setidaknya aku bisa berlindung dari panas dan hujan.
Sudahlah. Tak ada waktu untuk menyesali kehidupan kini. Toh waktu tak akan berhenti untuk memberi ruang bagiku. Aku bergegas bangkit untuk segera berangkat ke bar. Sebentar lagi matahari akan sepenuhnya terbenam. Aku sudah harus tiba lebih awal.
Crack!
Suara pecahan kaca terdengar membuatku kembali tersadar. Aku melihat kepingan pecahan gelas sudah berserakan tak jauh dari kakiku.
“Kau tak apa?” Jisung bergegas mendekat. Aku langsung berjongkok untuk memungut pecahan itu satu persatu. “Jangan di pegang,” Jisung melarangku dan segera mengambil sapu di belakang hendak membersihkan pecahan kaca yang berserakan di sekitar kakiku.
“Berdirilah!” katanya. “Biar aku saja.” Aku merasa tak enak jika Jisung yang harus membersihkan kekacauan yang aku perbuat. Tapi Jisung tak membiarkanku mengambil alih sapu dari tangannya.
“Apa yang terjadi?” Hwan sudah berdiri di sampingku. Sontak aku memegangi dada karena kaget. “Aku tak sengaja menjatuhkan gelas,” jawabku sambil tertunduk. Untunglah belum banyak pelanggan yang datang jam segitu sehingga tak ada yang menyadari kejadian barusan kecuali kami bertiga. Jisung juga sangat sigap membersihkan sisanya.
“Kau pesankan gelas baru saja!” Hwan memberi instruksi pada Jisung. Aku membelalak. Aku tak tahu apakah Hwan marah padaku atau tidak. Tapi kenapa dia membeli gelas baru padahal aku hanya memecahkan satu gelas saja?
Hwan meninggalkan kami berdua di sana. Aku segera menyusulnya. “Maaf Hwan.”
Pria yang dipanggil namanya itu berhenti lalu berbalik. “Kau bisa memotong gajiku sebagai ganti gelas yang sudah kupecahkan. Bagaimanapun aku harus bertanggung jawab atas apa yang telah kulakukan.”
“Tak perlu, lagi pula gelas itu sudah cukup lama di pakai. Aku memang ingin menggantinya dengan yang baru,” tolak Hwan. “Gajimu tak akan cukup,” bisiknya sambil mencondongkan badannya ke arah telingaku. Ucapannya terdengar seperti meledek di telingaku.
“Tapi…”
“Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi. Kembalilah bekerja.” Hwan menepuk pelan pundakku. Astaga. Dimana lagi aku bisa menemukan bos sebaik ini? ramah pula. Walau sebenarnya tampangnya tak terlalu mendukung. Aku akui dia memiliki wajah yang tampan. Hidung kecil nan mancung. Dia juga tinggi. Tampak begitu gagah dalam balutan kemeja dengan potongan leher rendah. Di mataku dia tampak seperti pria yang suka bergonta-ganti wanita. Tapi aku tak pernah begitu tertarik dengan kehidupan orang lain.
“Terima kasih,” aku sedikit membungkukkan badan. “Kalalu begitu, aku akan lebih bekerja keras,” kataku sambil mengangkat tangan yang terkepal. Menunjukkan kalau aku akan bekerja lebih semangat. Aku menatapnya penuh tekad lalu segera membalikkan badan kembali bekerja.
“Kau ada masalah? Sampai melamun begitu,” Jisung langsung bertanya begitu aku sudah tiba di dekatnya. Dia melirikku sekilas karena sibuk meracik minuman untuk pelanggan. Tak lama kemudian Haeri datang untuk mengambilnya.
“Hwan itu orang yang seperti apa?” tanyaku mengalihkan pertanyaan Jisung.
“Hwan? Kenapa? Kau tertarik padanya?” tanya Jisung.
“Tidak,” balasku spontan. Dia berbicara seperti tak ada beban. Kata-kata itu begitu mudah meluncur dari mulutnya. “Kau tak perlu bereaksi berlebihan seperti itu,” lanjutnya lagi setelah melihat raut wajahku yang terkejut. “Ya…begitu, seperti yang kau lihat. Tapi sebenarnya dia jauh lebih kaya dari yang kau pikirkan,” bisiknya lagi.
Aku tampak tak menunjukkan ketertarikan ketika Jisung mengatakan kalau Hwan bukanlah dari kalangan bawah sepertiku. Kesimpulannya adalah dia jauh di atas awan. Sangat sulit untuk digapai.
*****
Aku belajar meracik minuman baru dari Jisung. Bar menamainya Teardrop. Minuman dengan campuran sedikit vodka. Salah satu menu yang paling mahal di bar ini. Jisung bilang sangat jarang orang yang memesan minuman ini. Jadi aku harus sangat berhati-hati. Jangan sampai membuat kesalahan atau bar akan kehilangan pelanggan VIP. Dia juga bilang ada satu pelanggan tetap yang selalu memesan minuman ini setiap kali ke sini.
“Siapa? Pasti dia sangat kaya,” kataku takjub. Harga satu gelas Teardrop mungkin bisa menghidupiku selama satu tahun bahkan lebih. Tentu saja bercanda. Yang jelas harganya sangat mahal untuk orang sepertiku.
“Ada,” Jisung melirik jam tangannya. “Seharusnya dia sudah di sini sebentar lagi,” kata Jisung. “Pastikan kau tak membuat kesalahan,” lanjutnya mengingatkan. Tiba-tiba aku menjadi gugup tanpa sebab. Apakah karena ini racikan pertamaku yang akan di coba oleh orang lain? Bukan orang biasa. Tapi pelanggan VIP.
Benar saja. Tak lama kemudian, seorang laki-laki sudah menduduki meja di depan kami. Jisung menganggukkan sedikit kepala memberi kode. Dialah orangnya. Aku menarik nafas pelan. Semoga dia tak merasakan perbedaan yang kentara dalam minuman yang baru saja kuletakkan di depannya.
Aku menyerngitkan kening. Teringat pria yang datang beberapa hari lalu tepat di hari pertamaku bekerja. Aku menilik sudut matanya. Pertanda kalau dia orang yang sama dengan ingatanku. Pria itu menenggak minumannya dalam sekali tegukan. Aku melirik Jisung. Dia menyuruhku untuk kembali membuat racikan Teardrop. Aku melakukannya hingga beberapa kali. Sekarang aku meletakkan gelas yang ke-enam.
Pria itu sudah tampak mabuk. Matanya terbuka setengah. Tepat saat itu Hwan kembali muncul di sampingku. Aku terlonjak kaget sambil memegangi dada. Dia selalu saja datang tiba-tiba. Dan aku tak pernah mendengar langkah kakinya ketika mendekat sehingga membuatku tak punya persiapan untuk menyambutnya.
“Astaga. Kenapa kau membiarkannya datang ke sini lagi?” kata Hwan pada Jisung. “Bukan aku yang menjaga pintu utama, bagaimana aku bisa tahu,” terang Jisung tak mau disalahkan. Hwan dan Jisung sudah mengenal selama hampir sepuluh tahun. Tetapi hubungan mereka tak pernah berkembang. Keduanya masih saja sama-sama kaku. Terlebih sekarang posisi Hwan adalah bos Jisung. Hubungan merekapun tak lebih dari sebatas atasan dan bawahan.
Hwan mengitari meja bar dan menghampiri pria yang sudah setengah mabuk di depanku. Dia menendang kaki pria itu sekali. “Hei! Sudah kubilang jangan kesini, kenapa kau tak pernah mengerti?” kata Hwan.
Pria itu mengangkat kepala. “Memangnya ada alasan aku tidak boleh ke sini? Tidak ada kan,” balas pria itu datar sambil memutar gelas di meja. Memainkan es batu di dalamnya.
“Pergilah kalau sudah selesai!” Hwan memberi instruksi. “Kenapa aku tidak boleh berlama-lama di sini?” sahut pria itu lagi.
“Kim Sam!” seru Hwan meninggikan suaranya. Aku terkesiap. Begitu pula dengan Jisung. Barulah aku tahu nama pria pemilik mata indah itu. Pria yang bernama Kim Sam itu kembali menenggak minumannya. Mengabaikan seruan Hwan. “Tak perlu marah-marah seperti itu,” balas Sam.
“Pergilah selagi aku bicara baik-baik. Aku terlalu capek untuk berdebat denganmu.” Hwan menghembuskan nafas dengan kasar. Lalu dia segera pergi meninggalkan Sam di sana. Aku melirik Jisung di samping yang tak acuh pada adu mulut antara Sam dan Hwan. Apa hanya aku yang menonton pertunjukkan di depanku ini?
“Kenapa? Kau takut aku akan kembali?” Langkah kaki Hwan berhenti setelah mendengar ucapan Sam barusan.
Hwan berbalik lalu kembali meneruskan langkah mendekati Sam. “Takut? Buat apa aku takut,” Hwan menyeringai. Dia mencondongkan badannya mendekatkan mulutnya dengan telinga Sam. “Toh sedari awal itu memang milikmu, aku tidak akan merasa kehilangan sedikitpun.” Hwan kembali berbalik dan berjalan meninggalkan Sam yang terkekeh di bangkunya.
Aku terlonjak ketika mata Sam tak sengaja bertemu dengan mataku. Dengan cepat aku memalingkan wajah, menghindari tatapannya. Tetapi dia malah melipat tangan di meja dan terus memperhatikanku. Aku tak yakin apakah dia masih sadar. Benar saja. Tak lama setelah itu, aku mendengar suara benturan di meja. Sam sudah tergeletak di meja. Kesadarannya sudah hilang.
****
Belum genap empat jam mataku terpejam. Jam weker usang di atas meja nakas yang tak kalah usang berbunyi. Sudah jam sembilan pagi. Aku mengerjap sambil meraih jam weker yang masih berbunyi, lalu dengan cepat memutar tombol mati. Badanku terasa pegal. Aku merutuki Jisung yang tega menyuruhku menggendong Sam keluar untuk naik taksi semalam. Ingin rasanya menolak, tapi aku juga tak bisa meninggalkannya di meja begitu saja. Jisung menunjuk Sam yang sudah tergeletak di lantai. Ya. Di lantai. Sebelumnya dia masih di meja hingga beberapa menit ketika aku membersihkan bar karena sudah waktunya untuk tutup, entah kapan dia terjatuh ke lantai. “Kau bawa dia keluar,” kata Jisung sambil menutup pintu lokernya di belakang. “Apa? Kenapa aku?” Aku tak habis
Sam terbangun sambil memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. Dia duduk, lalu menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya semalaman. Dia menghela nafas setelah menyadari kalau dirinya tertidur di kamar yang tak asing. Dia mengerjap sekali. “Kenapa aku bisa sampai ke sini?” gumamnya lagi.Kenop pintu di putar. Dia berjalan menuruni anak tangga. Dilihatnya beberapa pelayan sudah sibuk di bawah sana menyiapkan sarapan. Dia memilih untuk mencuci muka lebih dulu. Dilihatnya potret wajahnya di cermin. Mata sayu dengan rambut berantakan. Ia melihat kancing bajunya terbuka setengah yang membuatnya mulai berpikiran yang aneh-aneh. Dia berusaha mengingat-ngingat kejadian semalam. Tapi usahanya sia-sia. Ingatan terakhirnya adalah ketika dirinya sempat beradu mulut dengan Hwan, ia benar-benar tak ingat sama sekali kejadian setelahnya. “Bagaimana aku pulang semalam?” Sam menanyai salah sa
Aku kembali menarik pintu dengan cepat setelah melihat Em sudah berdiri tegap di pintu. Dia datang lagi. Aku menghela nafas lalu memutar knop pintu. “Selamat pagi nona,” sapanya hangat seperti biasa. “Rasanya aku sudah bilang kemarin kalau aku tak bisa dan tak mau,” jelasku. Hari ini aku berniat akan mencari pekerjaan baru karena aku tak bisa lagi bekerja di restoran jepang tempat aku bekerja dulu. Entah apa yang di katakan Em pada managerku di sana. Dia bilang tak mau lagi mempekerjakanku. Terpaksa aku harus mencari pekerjaan baru. “Kakek Chu bilang dia akan membiarkanmu tetap bekerja asalkan kau mau tinggal di rumah utama. Dia hanya memintamu tinggal di sana, tak akan mengganggu kehidupanmu yang lain,” terang Em. Dia menyampaik
Hwan bertepuk tangan. Setuju dengan ide kakeknya barusan. “Wow,” Hwan melirik Sam yang menatap tajam ke arahnya. Dia bergantian menatap raut mukaku yang tak kalah kesal. Kenapa Kakek Chu mengungkap pernikahan sekarang? “Kakek,” ucapku. Kakek Chu tertawa puas tak peduli dengan suasana canggung yang diciptakannya. Justru Sam bangkit dan meninggalkan meja makan begitu saja. Dia sudah cukup kesal dengan kembali tinggal di rumah utama. Sekarang kakeknya malah membual yang tidak-tidak. “Bagaimana bisa kau terpikirkan ide seperti itu?” Hwan masih saja bercanda dengan kakek Chu. “Tak buruk,” sahut Jay juga setuju. Dia meminum jus jeruknya. “Bagaimana menurutmu?” tanya Jay padaku. “Tentu aku tak setuju,” Aku menjawab mantap. “Bukan.” Jay terkekeh mendengar jawaban spontanku. “Maksudku, menurutmu Sam bagaimana?” goda Jay. Ia laru
Aku meletakkan sendok di meja menyudahi sarapan. Seleraku langsung hilang. Aku langsung bangkit, malas berdebat dengannya. “Kau menghindar lagi rupanya. Persis seperti orang-orang yang tak punya keluarga,” desis Sam sambil melipat tangan di dada dan menyilangkan kaki. “Ya…. mereka tak mau menyelesaikan masalah sedangkan hobinya membuat masalah,” lanjut Sam sambil mengangkat bahu tak peduli. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa adanya rasa bersalah. Apa dia memang tipe orang yang suka merendahkan seperti ini? Jikalau iya, sungguh dia sangat bertolak belakang denganku. “Oh ya?” balasku kemudian berbalik. “Kalau begitu kau persis seperti orang yang berkeluarga. Punya banyak uang, punya semuanya tapi selalu merasa kurang. Apa mungkin karena kau kesepian?” balasku tak mau kalah. Aku menunjukkan smirk kemudian meninggalkann
Park Jinnie. Begitulah nama lengkap pemberian dari orang tuaku. Ya, nama yang cukup pasaran. Sering kali aku mengabaikan siapa saja yang memanggil nama itu ketika aku di tengah jalan. Bisa jadi itu Jinnie yang lain. Bukan diriku. Bisa dibilang semenjak lima tahun yang lalu, aku merubah kepribadianku menjadi lebih dingin dan tertutup ketika bertemu dengan orang baru. Aku selalu was-was jika mengingat kejadian masa lalu, walau banyak hal yang terlewatkan dan juga terlupakan. Apa kalian pernah mendengar tentang de javu? Seolah kejadian itu pernah terjadi sebelumnya. Padahal itu pertama kali. Lucu bukan? Langkah kakiku terhenti ketika Hwan memanggil namaku. Ingatan masa lalu ketika kakak laki-lakiku memanggil namaku kembali melintas di benakku dengan otomatis. Suaranya, tawanya setelah memanggil namaku. Semuanya.
Aku termangu ketika berdiri di depan lapangan luas. Eh, tidak. Di depanku ini lebih mirip seperti sirkuit. Ya. Lima menit kemudian aku harus mengemudikan mobil mengikuti petunjuk jalan dan juga lintasan buatan di depanku ini. Tanpa angin, tanpa ada salah bicara sedikit pun, Madam Bong menyeretku ke tempat asing itu. Dia mendaftarkan pelajaran mengemudi sekaligus mengikuti ujian untuk lisensi mengemudi. Itu semua tanpa persetujuanku. Aku melirik ke samping. Madam Bong menatap lurus. Dia tampak yakin, kemudian memutar badan menghadap ke arahku. “Semangat!” Tangannya yang terkepal terangkat. Aku menelan ludah. Ini pertama kalinya. Aku sudah mempelajari beberapa dasarnya beberapa menit yang lalu. Itu termasuk prosedur yang harus di jalani. Tapi ini masih te
Aku menenteng dua kantong besar di tangan sambil berjalan dengan tertatih-tatih memasuki rumah. Sunyi dan sepi. Tidak ada orang di rumah. Ya, hari sudah menunjukkan pukul setengah satu siang. Sudah waktunya untuk makan siang, tapi aku tak bisa melihat siapapun di rumah itu kecuali para palayan yang bertugas membersihkan rumah. Madam Bong sudah tiba di dapur lebih dulu. Tentu saja, dia hanya membawa dua kantong kecil di tangannya. Aku berdecak kesal. Dia ambil enaknya saja. Baiklah, tidak ada salahnya juga berbuat baik sebagai balasan karena sudah membuatku mendapatkan lisensi mengemudi pagi ini. Meskipun aku tidak tahu lisensi itu akan digunakan kapan, karena aku belum mempunyai mobil. “Letakkan di sana saja!” Madam Bong menunjuk sudut meja. Dia
Sesuai intruksi dari Eliyah, aku tiba di stasiun kereta bawah tanah tepat pukul sebelas siang. Suasana stasiun ramai namun masih terkendali. Kakiku lincah bergerak memotong beberapa orang yang berjalan cepat di depan. Aku merapatkan topi kemudian berjalan ke arah pintu keluar sebelas. Tempat dimana loker yang harus kubuka. Sebuah mesin penjual minum otomatis di sebelah loker menarik perhatianku. Sebelah tanganku mengeluarkan dua buah koin lalu memasukkannya ke dalam mesin. Tidak lama keluar sebuah minuman kaleng rasa jeruk dari kotak hitam di bagian bawah mesin. Tapi bukan minuman itu yang kucari melainkan sebuah kunci yang terletak pada lantai tempat minuman itu keluar. Ah, dapat! Eliyah memang jenius. Bisa-bisanya dia kepikiran untuk meletakkan kunci di sana. Tidak akan ada yang tau. Angka sebelas tertulis pada mainan kunci. Aku berjalan mendekati loker nomor sebelas. Memutar kunci dan kenop pintu kecil itu terbuka. Ada sebuah map dan
“Hm? Hanya kita berdua?” Jay bertanya santai saat Madam Bong ikut bergabung di meja makan pagi itu. Dia melihat seluruh kursi dibalik meja kosong lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan hingga mendongak ke arah lantai dua. “Yang lain pada kemana?” “Aku juga tidak tau, mereka semua tidak ada di rumah saat aku ke kamar mereka pagi tadi?” “Benarkah?” Raut wajah Jay berubah kecewa. “Padahal aku bela belain untuk pulang, tapi ternyata mereka tidak ada di rumah. Keterlaluan sekali. Jinnie juga nginap di luar?” Madam Bong mengangguk. “Sepertinya dia pergi dengan Hwan ke suatu tempat. Aku melihat mereka keluar bersama kemarin siang,” tambah Madam Bong. Jay mengangguk pelan. Dia tidak heran karena semua orang di rumah juga tahu jika aku lebih sering pergi keluar dengan Hwan ketimbang Sam. Jadi tidak ada yang perlu di pertanyakan. “Bagaimana dengan Sam?” Madam Bong mengangkat bahu bersamaan dengan helaan nafas panjang. “Rum
Kami mampir di salah satu kedai tepi pantai terdekat. Kerang bakar sudah tercium dimana-mana. Katanya itu menu andalan mereka. Bahkan suasana kedai masih sangat ramai meski hari sudah mendekati tengah malam. Aku menatap jauh ke arah pantai yang gelap. Hanya menyisakan desiran ombak yang menggulung dalam malam pekat. “Ayahku..” kataku pelan dengan suara yang agak bergetar. Ini pertama kalinya aku membahas tentang keluargaku dalam tiga tahun terakhir. Hwan melipat tangan di meja. Dia menatapku dengan saksama. Mendengarkan dengan setia. “Aku punya banyak penyesalan terhadapnya. Mengapa begitu tega meninggalkanku seorang diri di sini. Jahat sekali,” desisku lagi. Kali ini mengambil seteguk soju yang baru saja dihidangkan oleh pelayan kedai. Aku sempat memberikan seulas senyum sebagai ucapan terima kasih tepat sebelum dia meninggalkan meja kami. “Apa sekarang kita bukan lagi orang asing? Karena kau mulai menceritakan tentan
Hwan berjalan mantap mendekati meja makan. “Sekali lagi kau bicara kasar padanya, aku tidak akan tinggal diam.” “Ho..hoo.hoo,” balas Sam menyeringai sambil mengangkat kedua tangan. “Aku lupa. Sekarang kau sudah berlagak menjadi pahlawan untuknya karena sudah berstatus tunangan? Sorry aku lupa padahal baru kemarin.” Sam menurunkan kedua tangan. Dia melanjutkan menyusun sendok di atas meja. “Mari kita lihat berapa lama sandiwaramu itu akan bertahan,” gumam Sam pelan. “Kau tidak bisa menutup mulutmu itu, huh?” Hwan semakin naik pitam. Sam mengedikkan bahunya tak peduli. Dia terus sibuk menyusun sendok di atas meja. “Awas, awas, panas.” Madam Bong bergerak cepat membawa satu mangkuk besar sup panas ke atas meja makan. Memecah suasana tegang di langit-langit meja makan. “Ayo semuanya duduk. Kita makan bersama.” “Selera makanku sudah hilang. Kalian makan saja tanpaku.” Sam meninggalkan meja makan dengan wajah sombongnya itu. Dia ma
Pagi itu Sam berlari menuruni anak tangga. Melewati dapur dan menyempatkan diri menyapa Madam Bong yang sudah sibuk di dapur. Ya. Pagi itu Madam Bong juga seorang diri. Tak seperti biasanya yang selalu bersamaku saat menyiapkan sarapan. Madam Bong hanya bisa berteriak mengatakan hati-hati pada Sam yang sudah tiba di ujung pintu. Entah apa yang membuatnya sangat terburu-buru pagi itu. Begitu pula dengan mobil Sam yang melaju kencang meninggalkan kepul asap di belakang. Tangannya lincah memutar stir mobil, berbelok menuju sebuah rumah yang sudah menjadi tujuannya setelah terbangun dari kamarku. “Aku mau bertemu dengan Kakek,” kata Sam pada Em dengan memasang wajah sangar. Merah padam. Saking tidak sabarnya, Sam langsung mendorong pintu kamar Kakek Chu hingga pintu terhempas keras. Kakek Chu yang tengah menyesap kopinya tampak agak terkejut karena cangkir di tangannya agak bergetar. Bahkan kini Sam sudah berdiri tepat di hadapannya. Em hany
“Ini tidak seperti yang kau lihat,” jelasku mengikuti Hwan hingga ke dalam kamar. Sementara kami mengabaikan Sam yang sudah lebih dulu berjalan acuh tak acuh menuju kamarnya sendiri. “Aku tahu,” balas Hwan santai sambil berjalan mendekati tempat tidur lantas melemparkan ponsel sembarangan di atasnya. “Lalu?” “Apanya yang lalu?” Hwan beranjak duduk dan mulai melonggarkan kancing lengan bajunya. “Tidak, aku hanya takut kau berpikiran yang tidak-tidak,” kataku salah tingkah dengan sebelah tangan terangkat memegang belakang kepala. Hwan menyeringai. “Kau khawatir aku salah paham?” “Aku? Padamu? Oh, tentu tidak.. jangan kepedean dulu,” sahutku lagi sambil melambaikan kedua tangan. Berusaha membantah. Untunglah Hwan terus sibuk dengan lengan bajunya sehingga tak melihat ke arahku. Karena kini aku bisa merasakan getaran panas yang menjalar di kedua pipi dan telinga. Astaga, apa ini yang di namakan salah tingkah?
Terkadang kehidupan nyata memang tak seindah drama korea yang lagi heboh di luar sana. Aku tak bisa berlarut-larut dalam peran sebagai perempuan baik hati dengan niat hati menghibur. Aku tak mau. Karena ada hati yang kujaga dan kuperjuangkan. Aku mendorong badannya menjauh. “Apa yang kau lakukan?” kataku tersulut emosi. Bisa-bisanya dia memeluk tanpa seizin dariku. Sungguh tidak sopan. Sam sedikit terhuyung ke belakang, dia tertunduk, tak menatap mataku. “Hei!” kataku lagi. “Apa yang kau lakukan?” “Aku hanya ingin bersandar padamu,” jawabnya. Aku mendengus, tak mengerti dengan sikap Sam. Apa dia sedang mencoba untuk merayuku sekarang? Setelah pengumuman pernikahanku dengan Hwan. Kenapa baru sekarang? “Apa katamu? Bersandar?” Aku balik tertawa kecil, mencemooh. “Bukankah sudah pernah kubilang kalau kita tak sedekat itu untuk saling bertanya kabar, berbagi rahasia apalagi bersandar meminjamkan bahu masing-masing, kau lupa akan hal itu?” Sam mengangkat kepala dengan seulas se
Sontak Hwan langsung berdiri. Sekilas aku melihatnya mengusap pipi dengan punggung tangan. Tunggu, apa dia sedang menangis? Pikirku sejenak. Kemudian aku beralih menatap Kakek Chu yang duduk di balik meja kerja dan Em yang berdiri tepat di sampingnya. Situasi apa ini? Hwan mengalihkan pandangan, menghindari berkontak mata denganku. Perlahan aku berjalan mendekat. “Apa yang membawamu ke sini sayang?” tanya Kakek Chu sambil tersenyum manis. Aku menarik nafas dalam, masih terasa agak sesak setelah berlari menaiki anak tangga. “Aku…ingin..bertanya.. sesuatu padamu,” kataku sambil melirik Hwan di samping. Kini kami berdiri sejajar tepat di hadapan Kakek Chu. Hanya dipisahkan sebuah meja kerja yang lebarnya mungkin satu meter. Kakek Chu mengangguk pelan, mempersilakan. “Tapi sebelum itu aku ingin bicara berdua dengan Hwan lebih dahulu,” lanjutku lagi sambil meraih lengan Hwan. Dia tak melawan. “Maafkan aku kek, aku akan kembali lai
Aku tersedak hingga terbatuk-batuk. Hei! Baru saja Kakek tua yang tengah tersenyum itu mengatakan kalau dia akan menikahkanku dengan Hwan. Begitu mudahnya? Seperti barang bawaan yang bisa dipindah kemana saja. Aku sungguh tak habis pikir. Sekilas aku mengingat balik tujuan awal kedatanganku ke rumah ini. Semata-mata sebagai ucapan terima kasih. Aku juga tak pernah lupa dengan mengabulkan satu keinginan terakhir Kakek Chu tentang menikahi salah satu cucunya nanti. Tapi semuanya berubah setelah aku menatap di rumah itu. Pernikahan yang aku iyakan dulu juga tak semudah itu rupanya. Terlebih lagi, aku tak habis pikir kenapa Kakek Chu memilih Hwan. Walau sejujurnya aku pernah berpikiran bahwa Sam lah orangnya. Tapi kenapa? Semua dugaanku salah. Tapi siapa yang berani menentangnya? Seluruh ruangan terasa lengang. Waktu terasa seolah berhenti berputar. Hingga Jay bertepuk tangan canggung, memecah sunyi. “Bukankah ini kabar bahagia?” katanya dengan wajah po