Ada-ada saja kejadian yang menimpaku hari ini. Tidak ada yang berjalan sesuai dengan keinginanku. Terlebih lagi, posisiku sekarang sangatlah tidak menguntungkan. Pria yang memasukkan tangan ke saku di depanku ini menyeringai. “Kalau kau mau bekerja sekarang juga bisa,” lanjutnya lagi, sedangkan aku masih mematung menatapnya lamat-lamat. Wajar saja keempat pria berbadan kekar itu patuh pada perintahnya. Tapi aku tak tahu harus bereaksi apa saat itu. Entah harus bahagia karena berhasil mendapatkan pekerjaan baru, atau merasa bersalah karena sudah membantingnya ke lantai atau marah karena perbuatannya padaku tadi, walaupun tak sengaja. Hanya senyum tipis yang bisa kutunjukkan. Meskipun agak dipaksakan, semoga dia bisa menangkap perasaan terima kasihku melalui senyuman palsu ini.
“Sa-saya bisa langsung bekerja sekarang pak,” kataku gelagapan. Hwan mengangguk kemudian memanggil salah satu pelayan wanita untuk mengantarku menuju ruang ganti di belakang.
“Oh ya, aku belum tahu namamu,” Hwan menghentikan langkahku. “Jinnie, Park Jinnie. Bapak bisa panggil saya Jin atau Jinnie,” aku langsung menjawab.
“Jangan panggil pak,” Hwan tak suka dengan sebutanku padanya. Kalau mataku tak salah lihat, dia terlihat agak lebih tua dariku. Tapi jika dia lebih muda dariku, salahkan saja lampu ruangan yang redup ini. “Panggil Hwan saja, lagi pula kulihat usiamu tak terlalu jauh dariku,” Hwan mengintruksikan.
Pelayan wanita yang dipanggil Hwan tadi bernama Haeri. Dia langsung membawaku menuju belakang dan menunjukkan loker untukku.
“Kau bisa pakai yang ini,” kata Haeri ramah. Aku balik tersenyum padanya. “Terima kasih,”
“Kuharap kita bisa akrab ke depannya,” Haeri kembali tersenyum sembringah. “Di sini pelayan wanita seperti kita sangat sedikit, hanya ada kau, aku dan Mina, tapi dia kebagian shift pagi,” jelas Haeri. Dia tampak begitu senang karena tak lagi bekerja seorang diri pada jam shiftnya.
“Kuharap juga begitu.” Aku juga tersenyum melihat senyum di wajah cerah Haeri. Sepertinya dia seumuran denganku. “Boleh aku tau kau kelahiran tahun berapa?” tanyaku hati-hati jikalau dia merasa tersinggung.
Ternyata Haeri jauh lebih ramah dari yang kupikirkan. “Tahun ini umurku dua puluh dua, kau?” tanya Haeri balik bertanya. “Aku dua tiga, kau panggil aku Jin saja, cuma beda setahun,” terangku cengengesan.
“Kutinggal ya, nanti kau langsung menuju meja bar panjang oke? Disana nanti ada Jisung.” Haeri meninggalkanku di ruang ganti agar segera berganti baju. Itu baju kemeja putih dengan celemek hitam setengah badan. Haeri bilang kalau sudah bekerja agak lama di sini, aku tak perlu lagi berpakaian formal seperti ini. Menurut Haeri juga, tujuan memakai baju formal ini agar pelanggan mengenali mereka, sehingga nanti mereka tak salah mengenali jika pelayan di bar tak lagi mengenakan baju kemeja putih itu.
Aku berganti baju dengan cepat. Lalu segera pergi menuju tempat yang di tunjuk oleh Haeri tadi. Bagaimanapun Haeri lebih senior dariku meskipun usianya setahun lebih muda. Karena dia bekerja lebih dulu di bar ini. Aku melihat seorang pria jangkung tengah meracik minuman dari balik meja bar panjang. Mungkin dia Jisung yang dibicarakan oleh Haeri tadi.
Aku menghampiri Jisung. “Halo, aku baru bekerja hari ini, semoga kita akur, dan aku bisa belajar banyak darimu. Mohon bimbingannya,” sapaku berbasa-basi.
“Tadi Hwan sudah bilang padaku,” balasnya masih sibuk memotong es batu dari kotak menjadi bulat licin hingga muat di gelas bir.
Pria yang kupanggil Jisung itu menoleh padaku. Lalu tersenyum. Entah kenapa aku merasa tenang setelah bertemu rekan kerja yang menyenangkan seperti ini. “Kau bisa bantu keringkan gelas itu dulu.” Jisung melirik gelas basah di bawah meja bar, lalu kembali tersenyum tipis dengan mata sipitnya.
“Oh, oke.” Aku bergegas mengambil lap kering tak jauh dari tempatku berdiri. Lalu mengerjakan sesuai dengan instruksi Jisung.
“Kau sudah pernah bekerja di bar? Kulihat kau masih terlalu muda,” katanya mengajakku mengobrol sambil bekerja.
“Ah itu, belum pernah, ini pertama kali,” jawabku singkat. Jisung mengangguk-ngangguk. “Gelas yang kau keringkan itu dipakai untuk minum wiski, minuman yang paling sering di pesan di sini,” jelas Jisung. Gelas yang aku keringkan ini berbentuk bulat di bawahnya menyerupai balon, sedangkan bibir gelas memiliki ukuran yang lebih kecil.
“Gelasnya sengaja dibuat seperti itu agar aroma wiski bisa terhirup sempurna saat mendekatkan mulut ke bibir gelas,” lanjut Jisung menjelaskan. Aku merasa kagum karena ini dunia baru bagiku. Sebelumnya aku memang pernah meminum minuman beralkohol ketika usiaku baru saja menginjak dua puluh tahun. Tetapi hanya minuman beralkohol dari supermarket. Aku tak punya uang untuk membeli yang lebih mahal.
“Aku juga ingin mencobanya,” gumamku pelan yang bisa di dengar oleh Jisung. “Sepulang kerja aku traktir,” sahut Jisung tiba-tiba. Aku menoleh. “Benarkah?” Jisung mengangguk. “Kedepannya mungkin akan lebih sering,” balas Jisung sambil menyerngitkan hidungnya manja. Dia sepertinya tipe pria yang banyak disukai oleh perempuan yang datang ke bar mereka. Buktinya saja sedari tadi sudah banyak wanita yang mengenakan baju setengah bahan mengedipkan mata padanya. Pria di sampingku ini juga membalas dengan kedipan mata. Menikmati. Bahkan beberapa ada yang memberikan secarik kertas berisikan nomor ponsel. Jisung memang menerimanya tetapi selalu mengabaikannya.
“Kenapa dibuang?” tanyaku heran melihat Jisung memasukkan sebuah kartu nama ke dalam kotak sampah.
“Terlalu merepotkan jika disimpan,” balasnya singkat. Aku hanya mengiyakan apa yang dibicarakan Jisung. Tak bertanya lebih lanjut. Di tengah pembicaraan kami waktu itu. Seorang pria duduk di salah satu bangku meja bar tepat di hadapanku. Pria dengan potongan wajah tajam itu tak bersuara. Tetapi Jisung sudah memberikan secangkir minuman untuknya. Aku menyimpulkan kalau pria ini pelanggan tetap bar ini.
Aku tak lagi berbicara dengan Jisung. Tetapi masih sibuk mengeringkan beberapa gelas yang tersisa. Aku menatap pria yang duduk di hadapanku ini dalam diam. Sesekali mencuri pandang padanya. Potongan wajahnya terlihat jelas meskipun di bawah pencayaan yang kurang. Tahilalat kecil di sudut matanya tampak menambah keindahan matanya. Namun aku langsung memalingkan wajah ketika dia mengangkat wajah dan menatap ke arahku. Aku menjadi salah tingkah. Apa dia menyadari kalau sedang kuperhatikan dari tadi. Tiba-tiba pria itu mengangkat pandangannya ke arahku. Seketika aku terkesiap dan langsung memalingkan muka. Melihat apa saja asal bukan matanya.
Setelah agak lama, aku kembali mengarahkan pandangan padanya. Kudapati dia manatap kosong gelas di depannya. Lalu menenggaknya dalam sekali tegukan. Kemudian dia langsung pergi begitu saja setelah gelasnya kosong. Akupun segera membersihkan gelas yang sudah kosong. Tak sengaja, walaupun tak terlalu jelas, aku melihat sebuah dompet kulit berwarna hitam. Aku mengitari meja bar hendak mengambil dompet itu. Mungkin saja itu milik salah satu pengunjung barnya barusan, pikirku sejenak.
Aku agak membungkukkan badan untuk mengambil dompet itu di lantai. Belum sampai tanganku untuk menyentuh, sebuah tangan sudah lebih dulu mengambilnya dengan cepat. Dengan posisi yang masih terbungkuk, aku mendongak untuk melihat siapa pemilik tangan itu. Ternyata dia adalah pria yang minum di hadapanku tadi. Dia memainkan dompetnya lalu berlalu meninggalkanku di sana. Aku membetulkan posisiku dan kembali berdiri tegak dengan tatapan yang tak lepas dari pria pemilik mata indah itu.
“Apa yang kau lakukan di sana?” Suara Jisung membuatku sadar.
“Oh? Tidak ada,” kataku sembari kembali berjalan menuju meja bar dengan mata yang masih menatap punggung pria tadi yang mulai menjauh.
****
Mataku terbuka. Aku menyempatkan tidur sore setelah pulang bekerja dari restoran. Aku duduk. Menghidupkan lampu tidur di samping ranjang. Aku menatap seluruh isi flat. Tak ada yang istimewa. Tidak ada barang-barang mewah di dalamnya. Jangankan maling, seekor kucing pun enggan untuk memasuki rumah karena tidak ada yang bisa dicuri dari ruangan itu. Aku tersenyum getir. Kalau diingat-ingat lagi, Ini tahun ke-lima aku menempati sebuah flat sempit yang letaknya cukup jauh dari keramaian. Tempat ini cukup berbahaya apabila berkeliaran diluar rumah terutama bagi seorang gadis sepertiku. Terkadang aku sering tertawa sendiri, apakah ruangan yang aku tempati ini masih bisa disebut rumah? Di lain sisi, aku juga tersenyum lega yang dipaksakan. Setidaknya aku bisa berlindung dari panas dan hujan.Sudahlah. Tak ada waktu untuk menyesali kehidupan kini. Toh waktu tak akan berhenti untuk memberi ruang bagiku. Aku bergegas bangkit untuk segera berangkat ke bar. Sebentar lagi matahari a
Belum genap empat jam mataku terpejam. Jam weker usang di atas meja nakas yang tak kalah usang berbunyi. Sudah jam sembilan pagi. Aku mengerjap sambil meraih jam weker yang masih berbunyi, lalu dengan cepat memutar tombol mati. Badanku terasa pegal. Aku merutuki Jisung yang tega menyuruhku menggendong Sam keluar untuk naik taksi semalam. Ingin rasanya menolak, tapi aku juga tak bisa meninggalkannya di meja begitu saja. Jisung menunjuk Sam yang sudah tergeletak di lantai. Ya. Di lantai. Sebelumnya dia masih di meja hingga beberapa menit ketika aku membersihkan bar karena sudah waktunya untuk tutup, entah kapan dia terjatuh ke lantai. “Kau bawa dia keluar,” kata Jisung sambil menutup pintu lokernya di belakang. “Apa? Kenapa aku?” Aku tak habis
Sam terbangun sambil memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. Dia duduk, lalu menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya semalaman. Dia menghela nafas setelah menyadari kalau dirinya tertidur di kamar yang tak asing. Dia mengerjap sekali. “Kenapa aku bisa sampai ke sini?” gumamnya lagi.Kenop pintu di putar. Dia berjalan menuruni anak tangga. Dilihatnya beberapa pelayan sudah sibuk di bawah sana menyiapkan sarapan. Dia memilih untuk mencuci muka lebih dulu. Dilihatnya potret wajahnya di cermin. Mata sayu dengan rambut berantakan. Ia melihat kancing bajunya terbuka setengah yang membuatnya mulai berpikiran yang aneh-aneh. Dia berusaha mengingat-ngingat kejadian semalam. Tapi usahanya sia-sia. Ingatan terakhirnya adalah ketika dirinya sempat beradu mulut dengan Hwan, ia benar-benar tak ingat sama sekali kejadian setelahnya. “Bagaimana aku pulang semalam?” Sam menanyai salah sa
Aku kembali menarik pintu dengan cepat setelah melihat Em sudah berdiri tegap di pintu. Dia datang lagi. Aku menghela nafas lalu memutar knop pintu. “Selamat pagi nona,” sapanya hangat seperti biasa. “Rasanya aku sudah bilang kemarin kalau aku tak bisa dan tak mau,” jelasku. Hari ini aku berniat akan mencari pekerjaan baru karena aku tak bisa lagi bekerja di restoran jepang tempat aku bekerja dulu. Entah apa yang di katakan Em pada managerku di sana. Dia bilang tak mau lagi mempekerjakanku. Terpaksa aku harus mencari pekerjaan baru. “Kakek Chu bilang dia akan membiarkanmu tetap bekerja asalkan kau mau tinggal di rumah utama. Dia hanya memintamu tinggal di sana, tak akan mengganggu kehidupanmu yang lain,” terang Em. Dia menyampaik
Hwan bertepuk tangan. Setuju dengan ide kakeknya barusan. “Wow,” Hwan melirik Sam yang menatap tajam ke arahnya. Dia bergantian menatap raut mukaku yang tak kalah kesal. Kenapa Kakek Chu mengungkap pernikahan sekarang? “Kakek,” ucapku. Kakek Chu tertawa puas tak peduli dengan suasana canggung yang diciptakannya. Justru Sam bangkit dan meninggalkan meja makan begitu saja. Dia sudah cukup kesal dengan kembali tinggal di rumah utama. Sekarang kakeknya malah membual yang tidak-tidak. “Bagaimana bisa kau terpikirkan ide seperti itu?” Hwan masih saja bercanda dengan kakek Chu. “Tak buruk,” sahut Jay juga setuju. Dia meminum jus jeruknya. “Bagaimana menurutmu?” tanya Jay padaku. “Tentu aku tak setuju,” Aku menjawab mantap. “Bukan.” Jay terkekeh mendengar jawaban spontanku. “Maksudku, menurutmu Sam bagaimana?” goda Jay. Ia laru
Aku meletakkan sendok di meja menyudahi sarapan. Seleraku langsung hilang. Aku langsung bangkit, malas berdebat dengannya. “Kau menghindar lagi rupanya. Persis seperti orang-orang yang tak punya keluarga,” desis Sam sambil melipat tangan di dada dan menyilangkan kaki. “Ya…. mereka tak mau menyelesaikan masalah sedangkan hobinya membuat masalah,” lanjut Sam sambil mengangkat bahu tak peduli. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya tanpa adanya rasa bersalah. Apa dia memang tipe orang yang suka merendahkan seperti ini? Jikalau iya, sungguh dia sangat bertolak belakang denganku. “Oh ya?” balasku kemudian berbalik. “Kalau begitu kau persis seperti orang yang berkeluarga. Punya banyak uang, punya semuanya tapi selalu merasa kurang. Apa mungkin karena kau kesepian?” balasku tak mau kalah. Aku menunjukkan smirk kemudian meninggalkann
Park Jinnie. Begitulah nama lengkap pemberian dari orang tuaku. Ya, nama yang cukup pasaran. Sering kali aku mengabaikan siapa saja yang memanggil nama itu ketika aku di tengah jalan. Bisa jadi itu Jinnie yang lain. Bukan diriku. Bisa dibilang semenjak lima tahun yang lalu, aku merubah kepribadianku menjadi lebih dingin dan tertutup ketika bertemu dengan orang baru. Aku selalu was-was jika mengingat kejadian masa lalu, walau banyak hal yang terlewatkan dan juga terlupakan. Apa kalian pernah mendengar tentang de javu? Seolah kejadian itu pernah terjadi sebelumnya. Padahal itu pertama kali. Lucu bukan? Langkah kakiku terhenti ketika Hwan memanggil namaku. Ingatan masa lalu ketika kakak laki-lakiku memanggil namaku kembali melintas di benakku dengan otomatis. Suaranya, tawanya setelah memanggil namaku. Semuanya.
Aku termangu ketika berdiri di depan lapangan luas. Eh, tidak. Di depanku ini lebih mirip seperti sirkuit. Ya. Lima menit kemudian aku harus mengemudikan mobil mengikuti petunjuk jalan dan juga lintasan buatan di depanku ini. Tanpa angin, tanpa ada salah bicara sedikit pun, Madam Bong menyeretku ke tempat asing itu. Dia mendaftarkan pelajaran mengemudi sekaligus mengikuti ujian untuk lisensi mengemudi. Itu semua tanpa persetujuanku. Aku melirik ke samping. Madam Bong menatap lurus. Dia tampak yakin, kemudian memutar badan menghadap ke arahku. “Semangat!” Tangannya yang terkepal terangkat. Aku menelan ludah. Ini pertama kalinya. Aku sudah mempelajari beberapa dasarnya beberapa menit yang lalu. Itu termasuk prosedur yang harus di jalani. Tapi ini masih te
Sesuai intruksi dari Eliyah, aku tiba di stasiun kereta bawah tanah tepat pukul sebelas siang. Suasana stasiun ramai namun masih terkendali. Kakiku lincah bergerak memotong beberapa orang yang berjalan cepat di depan. Aku merapatkan topi kemudian berjalan ke arah pintu keluar sebelas. Tempat dimana loker yang harus kubuka. Sebuah mesin penjual minum otomatis di sebelah loker menarik perhatianku. Sebelah tanganku mengeluarkan dua buah koin lalu memasukkannya ke dalam mesin. Tidak lama keluar sebuah minuman kaleng rasa jeruk dari kotak hitam di bagian bawah mesin. Tapi bukan minuman itu yang kucari melainkan sebuah kunci yang terletak pada lantai tempat minuman itu keluar. Ah, dapat! Eliyah memang jenius. Bisa-bisanya dia kepikiran untuk meletakkan kunci di sana. Tidak akan ada yang tau. Angka sebelas tertulis pada mainan kunci. Aku berjalan mendekati loker nomor sebelas. Memutar kunci dan kenop pintu kecil itu terbuka. Ada sebuah map dan
“Hm? Hanya kita berdua?” Jay bertanya santai saat Madam Bong ikut bergabung di meja makan pagi itu. Dia melihat seluruh kursi dibalik meja kosong lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan hingga mendongak ke arah lantai dua. “Yang lain pada kemana?” “Aku juga tidak tau, mereka semua tidak ada di rumah saat aku ke kamar mereka pagi tadi?” “Benarkah?” Raut wajah Jay berubah kecewa. “Padahal aku bela belain untuk pulang, tapi ternyata mereka tidak ada di rumah. Keterlaluan sekali. Jinnie juga nginap di luar?” Madam Bong mengangguk. “Sepertinya dia pergi dengan Hwan ke suatu tempat. Aku melihat mereka keluar bersama kemarin siang,” tambah Madam Bong. Jay mengangguk pelan. Dia tidak heran karena semua orang di rumah juga tahu jika aku lebih sering pergi keluar dengan Hwan ketimbang Sam. Jadi tidak ada yang perlu di pertanyakan. “Bagaimana dengan Sam?” Madam Bong mengangkat bahu bersamaan dengan helaan nafas panjang. “Rum
Kami mampir di salah satu kedai tepi pantai terdekat. Kerang bakar sudah tercium dimana-mana. Katanya itu menu andalan mereka. Bahkan suasana kedai masih sangat ramai meski hari sudah mendekati tengah malam. Aku menatap jauh ke arah pantai yang gelap. Hanya menyisakan desiran ombak yang menggulung dalam malam pekat. “Ayahku..” kataku pelan dengan suara yang agak bergetar. Ini pertama kalinya aku membahas tentang keluargaku dalam tiga tahun terakhir. Hwan melipat tangan di meja. Dia menatapku dengan saksama. Mendengarkan dengan setia. “Aku punya banyak penyesalan terhadapnya. Mengapa begitu tega meninggalkanku seorang diri di sini. Jahat sekali,” desisku lagi. Kali ini mengambil seteguk soju yang baru saja dihidangkan oleh pelayan kedai. Aku sempat memberikan seulas senyum sebagai ucapan terima kasih tepat sebelum dia meninggalkan meja kami. “Apa sekarang kita bukan lagi orang asing? Karena kau mulai menceritakan tentan
Hwan berjalan mantap mendekati meja makan. “Sekali lagi kau bicara kasar padanya, aku tidak akan tinggal diam.” “Ho..hoo.hoo,” balas Sam menyeringai sambil mengangkat kedua tangan. “Aku lupa. Sekarang kau sudah berlagak menjadi pahlawan untuknya karena sudah berstatus tunangan? Sorry aku lupa padahal baru kemarin.” Sam menurunkan kedua tangan. Dia melanjutkan menyusun sendok di atas meja. “Mari kita lihat berapa lama sandiwaramu itu akan bertahan,” gumam Sam pelan. “Kau tidak bisa menutup mulutmu itu, huh?” Hwan semakin naik pitam. Sam mengedikkan bahunya tak peduli. Dia terus sibuk menyusun sendok di atas meja. “Awas, awas, panas.” Madam Bong bergerak cepat membawa satu mangkuk besar sup panas ke atas meja makan. Memecah suasana tegang di langit-langit meja makan. “Ayo semuanya duduk. Kita makan bersama.” “Selera makanku sudah hilang. Kalian makan saja tanpaku.” Sam meninggalkan meja makan dengan wajah sombongnya itu. Dia ma
Pagi itu Sam berlari menuruni anak tangga. Melewati dapur dan menyempatkan diri menyapa Madam Bong yang sudah sibuk di dapur. Ya. Pagi itu Madam Bong juga seorang diri. Tak seperti biasanya yang selalu bersamaku saat menyiapkan sarapan. Madam Bong hanya bisa berteriak mengatakan hati-hati pada Sam yang sudah tiba di ujung pintu. Entah apa yang membuatnya sangat terburu-buru pagi itu. Begitu pula dengan mobil Sam yang melaju kencang meninggalkan kepul asap di belakang. Tangannya lincah memutar stir mobil, berbelok menuju sebuah rumah yang sudah menjadi tujuannya setelah terbangun dari kamarku. “Aku mau bertemu dengan Kakek,” kata Sam pada Em dengan memasang wajah sangar. Merah padam. Saking tidak sabarnya, Sam langsung mendorong pintu kamar Kakek Chu hingga pintu terhempas keras. Kakek Chu yang tengah menyesap kopinya tampak agak terkejut karena cangkir di tangannya agak bergetar. Bahkan kini Sam sudah berdiri tepat di hadapannya. Em hany
“Ini tidak seperti yang kau lihat,” jelasku mengikuti Hwan hingga ke dalam kamar. Sementara kami mengabaikan Sam yang sudah lebih dulu berjalan acuh tak acuh menuju kamarnya sendiri. “Aku tahu,” balas Hwan santai sambil berjalan mendekati tempat tidur lantas melemparkan ponsel sembarangan di atasnya. “Lalu?” “Apanya yang lalu?” Hwan beranjak duduk dan mulai melonggarkan kancing lengan bajunya. “Tidak, aku hanya takut kau berpikiran yang tidak-tidak,” kataku salah tingkah dengan sebelah tangan terangkat memegang belakang kepala. Hwan menyeringai. “Kau khawatir aku salah paham?” “Aku? Padamu? Oh, tentu tidak.. jangan kepedean dulu,” sahutku lagi sambil melambaikan kedua tangan. Berusaha membantah. Untunglah Hwan terus sibuk dengan lengan bajunya sehingga tak melihat ke arahku. Karena kini aku bisa merasakan getaran panas yang menjalar di kedua pipi dan telinga. Astaga, apa ini yang di namakan salah tingkah?
Terkadang kehidupan nyata memang tak seindah drama korea yang lagi heboh di luar sana. Aku tak bisa berlarut-larut dalam peran sebagai perempuan baik hati dengan niat hati menghibur. Aku tak mau. Karena ada hati yang kujaga dan kuperjuangkan. Aku mendorong badannya menjauh. “Apa yang kau lakukan?” kataku tersulut emosi. Bisa-bisanya dia memeluk tanpa seizin dariku. Sungguh tidak sopan. Sam sedikit terhuyung ke belakang, dia tertunduk, tak menatap mataku. “Hei!” kataku lagi. “Apa yang kau lakukan?” “Aku hanya ingin bersandar padamu,” jawabnya. Aku mendengus, tak mengerti dengan sikap Sam. Apa dia sedang mencoba untuk merayuku sekarang? Setelah pengumuman pernikahanku dengan Hwan. Kenapa baru sekarang? “Apa katamu? Bersandar?” Aku balik tertawa kecil, mencemooh. “Bukankah sudah pernah kubilang kalau kita tak sedekat itu untuk saling bertanya kabar, berbagi rahasia apalagi bersandar meminjamkan bahu masing-masing, kau lupa akan hal itu?” Sam mengangkat kepala dengan seulas se
Sontak Hwan langsung berdiri. Sekilas aku melihatnya mengusap pipi dengan punggung tangan. Tunggu, apa dia sedang menangis? Pikirku sejenak. Kemudian aku beralih menatap Kakek Chu yang duduk di balik meja kerja dan Em yang berdiri tepat di sampingnya. Situasi apa ini? Hwan mengalihkan pandangan, menghindari berkontak mata denganku. Perlahan aku berjalan mendekat. “Apa yang membawamu ke sini sayang?” tanya Kakek Chu sambil tersenyum manis. Aku menarik nafas dalam, masih terasa agak sesak setelah berlari menaiki anak tangga. “Aku…ingin..bertanya.. sesuatu padamu,” kataku sambil melirik Hwan di samping. Kini kami berdiri sejajar tepat di hadapan Kakek Chu. Hanya dipisahkan sebuah meja kerja yang lebarnya mungkin satu meter. Kakek Chu mengangguk pelan, mempersilakan. “Tapi sebelum itu aku ingin bicara berdua dengan Hwan lebih dahulu,” lanjutku lagi sambil meraih lengan Hwan. Dia tak melawan. “Maafkan aku kek, aku akan kembali lai
Aku tersedak hingga terbatuk-batuk. Hei! Baru saja Kakek tua yang tengah tersenyum itu mengatakan kalau dia akan menikahkanku dengan Hwan. Begitu mudahnya? Seperti barang bawaan yang bisa dipindah kemana saja. Aku sungguh tak habis pikir. Sekilas aku mengingat balik tujuan awal kedatanganku ke rumah ini. Semata-mata sebagai ucapan terima kasih. Aku juga tak pernah lupa dengan mengabulkan satu keinginan terakhir Kakek Chu tentang menikahi salah satu cucunya nanti. Tapi semuanya berubah setelah aku menatap di rumah itu. Pernikahan yang aku iyakan dulu juga tak semudah itu rupanya. Terlebih lagi, aku tak habis pikir kenapa Kakek Chu memilih Hwan. Walau sejujurnya aku pernah berpikiran bahwa Sam lah orangnya. Tapi kenapa? Semua dugaanku salah. Tapi siapa yang berani menentangnya? Seluruh ruangan terasa lengang. Waktu terasa seolah berhenti berputar. Hingga Jay bertepuk tangan canggung, memecah sunyi. “Bukankah ini kabar bahagia?” katanya dengan wajah po