"Sebentar lagi kamu akan tahu siapa saya, Nyonya Fatma." Wanita itu berbisik dengan lembut dan manis. Alih-alih merasa penasaran, Fatma justru merasa ngeri dengan wanita tersebut.
"Siapa tamunya Sayang?" Santoso akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruang makan, ia menyusul Fatma ke pintu utama dimana istrinya tengah berbincang dengan seseorang.Santoso terpaku sejenak saat melihat Wati berada di ambang pintu tengah tersenyum ke arahnya. Fatma bisa melihat senyum berbeda itu dari wajah wanita yang ada hadapannya lalu menoleh ke arah Santoso."Hallo Mas Santoso," sapa wanita itu dengan akrab, ia dengan berani melambaikan tangan ke arah Santoso.Sejenak wajah Santoso nampak gugup, ia terlihat tegang saat datang menghampiri Fatma dan juga Wati. "Ha-hallo Bu Wati, apa kabar?! Oh ya Fatma, perkenalan ini Bu Wati salah satu atasan Mas di kantor."Wati tersenyum sombong ke arah Fatma, ia mengulurkan tangan dengan anggun yang dibuat-buat. Fatma hanya diam, ia enggan untuk menyambutnya namun demi nama baik suaminya akhirnya Fatma terpaksa menyambut tangan halu tersebut untuk dijabat tangan. "Fatma.""Oh ya Mas Santoso, kita berangkat bersama-sama yuk. Saya ingin tahu hasil meeting tadi malam seperti apa jadi saya memilih untuk datang menghampiri Mas dan menanyakannya," ucap Wati dengan nada lembut dan penuh manja.Dih! Jika dia memang atasan yang tidak memiliki penyakit 'gatal' tidak akan mungkin dia datang ke rumah bawahannya dengan nada suara merayu seperti itu. Wajah Fatma ditekuk, ia sudah bisa merasakan gelagat aneh itu dari wajah keduanya."Ehm, baik Bu Wati, saya ijin dulu sama istri." Santoso masih terlihat gugup, ia menatap Fatma dengan tatapan takut. "Ehm, Sayang, Mas pergi kerja dulu ya. Mas mau barengan sama Bu Wati."Hati Fatma tercabik terlebih saat ia melihat ekspresi Wati saat itu. Wanita cantik itu tersenyum mengejek ke arahnya, seolah ingin mengatakan bahwa Fatma adalah istri yang gagal dan tidak berharga sama sekali dibandingkan dirinya."Fatma..." Santoso menyentuh tangan Fatma, ia membuyarkan lamunan Fatma saat ini. "Mas mau kerja dulu.""Bentar Mas, aku ambilin tasmu di kamar ya?!" Fatma pura-pura tersenyum meskipun hatinya hancur. Wanita itu berbalik badan, berjalan dengan pura-pura sedikit pincang ke arah kamar.Tidak! Ia tidak boleh membiarkan hal ini terjadi. Wanita ular itu pasti akan menggoda suaminya habis-habisan. Fatma menggigit bibir, apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus berpura-pura pingsan juga?!Fatma tak punya pilihan lain, ia berhenti melangkah lalu pura-pura pingsan di samping kursi ruang tamu."Fatma!" Santoso berteriak, ia cukup kaget saat melihat Fatma jatuh pingsan. Pria itu berlari menghampiri Fatma, melihat istirnya pingsan Santoso lantas membopong istrinya masuk ke kamar.Tindakan itu tentunya membuat Wati terbengong-bengong, ia merasa mendapatkan plot twist dari apa yang sudah ia lakukan sekarang. Tak punya cara lain, Wati hanya bisa mengekor di belakang Santoso dan mengikutinya hingga ke kamar."Mas, gimana ini?" Wati protes dan cemburu ketika melihat Santoso begitu perhatian pada Fatma, istirnya."Gimana apanya?! Kamu juga, ngapain kamu datang ke rumah. Sudah baik kita ketemu di kantor. Kamu ingin hubungan gelap kita ini diketahui orang?!" Santoso tak kalah kesal, setelah merebahkan tubuh Fatma di kasur keduanya justru bertengkar hebat di kamar itu.Hati Fatma teriris sekaligus ingin tertawa, dibalik bola matanya yang terpejam ada telinga yang awas untuk menguping pembicaraan mereka."Mas, aku tidak bisa tidur sejak semalam. Aku kesal karena kamu meninggalkanku begitu saja," dengkus Wati sambil melipat tangan. Wajah wanita itu memerah padam, ia benar-benar marah."Kesal sih kesal tapi jangan seperti ini caranya. Toh kamu juga lihat kan kaki istriku pincang?! Itu artinya Fatma tidak berbohong." Santoso berjalan mondar-mandir, kedua tangannya berkacak pinggang dengan wajah terlihat resah. "Hari ini aku ijin tidak masuk, Wati. Aku harus merawat istriku.""Mas, kok gitu sih?! Katanya kamu mau selalu sama aku tapi kenapa kamu kok—""Dia istriku, Wati. Kalau dia sakit itu sudah jadi kewajibanku untuk merawatnya. Jadi, aku akan ijin tidak ngantor dan—""Mas—" Fatma pura-pura siuman, pertengkaran mereka secara otomatis berhenti."Fatma, Fatma Sayang?! Kamu sudah siuman?" Santoso menuju ke ranjang, ia menggenggam tangan Fatma dengan erat.Fatma pura-pura membuka mata, ia menatap wajah Santoso yang terlihat khawatir. Hmm... Bohong! Sebenarnya dia tidak sekhawatir itu bukan?!"Mas, tubuhku terasa lemas. Kepalaku juga pusing, aku—""Tenang ya, Mas tidak jadi ngantor hari ini. Mas akan rawat Fatma sampai sembuh," ucap Santoso dengan sorot mata sungguh-sungguh.Fatma terdiam, ia menatap ke arah Wati. "Lantas Bu Wati—""Biar beliau berangkat sendirian saja, tidak apa-apa. Tadi aku sudah ijin kepadanya," ucap Santoso dengan serius. Fatma menganggukkan kepala, pura-pura bersikap lemas dan sakit. Perlahan Fatma beringsut bangun, ia duduk dengan lesu."Terima kasih ya Mas, kamu perhatian sekali sama aku." Fatma berkata lirih, ia lantas merengkuh tubuh Santoso ke dalam pelukannya."Tidak apa-apa Sayang, kamu istriku dan aku pantas memprioritaskan kamu." Santoso balas memeluk Fatma, ia mengelus punggung istrinya dengan lembut.Fatma tersenyum, ia menatap Wati yang mencuramkan alis ke arahnya. Tanpa rasa bersalah sama sekali, Fatma menjulurkan lidah ke arah Wati. Ya, dia mengejek wanita cantik itu.Wati terbelalak, ia tak percaya jika Fatma bisa melakukan hal itu. Wajahnya menyiratkan kebencian, kedua tangannya mengepal erat."Mas, tolong ambilkan aku minum di dapur ya?! Tenggorokanku rasanya kering sekali." Fatma meminta tolong pada Santoso dan diiyakan begitu saja oleh suaminya.Menatap sekilas ke arah Wati, Santoso pergi berjalan menuju ke dapur untuk mengambil air putih."Kamu berbohong ya?! Kamu membohongi suamimu bukan?!" Wati menyembur, ia marah sekali dengan permainan yang dilakukan Fatma di hadapannya.Fatma menyeringai, ia tersenyum tipis. "Jangan lupa Bu Wati yang terhormat, permainan ini Anda sendirilah yang memulai. Sekarang saya tahu, siapa Anda sebenarnya. Bu Wati, saya siap bersaing dengan Anda. Mari kita lihat, Mas Santoso memilih siapa diantara kita."**Wati menghentakkan kakinya di tanah, sungguh tak dapat dipercaya bahwa pria yang ia cintai justru lebih memilih bersama istri sahnya. Keadaan yang berbeda jauh dari angan-angan dimana Santoso sendiri sudah pernah berjanji akan selalu bersamanya dalam suka maupun duka.Membayangkan seringaian Fatma, wajah Wati rasanya terbakar. Ia ingin marah dan meluapkan semuanya.Menoleh ke arah rumah Santoso, kemarahan Wati masih berada di ubun-ubun. "Lihat saja Mas, kamu pasti akan menyesal karena sudah mengabaikanku."Wanita berpakaian lumayan seksi itu melangkah masuk ke dalam mobil. Sungguh tak terkira rasa hatinya sekarang, ledakan demi ledakan kini bergemuruh dalam dada.Memasuki ruang menyetir, Wati memakai sabuk pengaman. Bayangan Santoso dipeluk suaminya sendiri seolah terus menari di pelupuk mata. Wati menelan ludah dengan susah payah, rasa haus kini menyerang kerongkongannya."Haishh... " Napas Wati tampak memburu, ia memukul kemudi dengan kencang lalu menyugar rambutnya. "Kurang ajar se
"Telepon dari siapa Mas?" Fatma bertanya pada Santoso. Wanita berkulit bersih itu bisa membaca keresahan yang tergambar di wajah Santoso.Pria itu masih diam, bersungut tidak karuan. Duduk di kursi rias, ia menggaruk kulit kepalanya lalu meletakkan ponsel. "Ada klien yang memaksa untuk bertemu Sayang. Padahal aku sudah bilang kalo hari ini aku sedang cuti."Fatma hanya diam, meski demikian ia terus menelisik wajah itu hingga tanpa celah. Siapa bilang Fatma akan percaya setelah apa yang ia alami tadi malam. Tidak ada yang tahu juga siapa klien yang dimaksud Mas Santoso saat ini."Dia marah-marah katanya kalo nggak sama aku lebih baik kerjasamanya dibatalkan aja," ucap Santoso mengimbuhi. Ia melirik ke arah Fatma sejenak, membaca ekspresi yang terlihat di wajah istrinya."Tapi kamu kan udah bilang cuti Mas, ntar kalo nggak dibayar gimana? Sayang kan tenagamu Mas." Fatma mencoba mengulur waktu, ingin mendengar apa kira-kira alasan yang akan dilontarkan Mas Santoso setelah ini.Pria itu m
Siang ini tiada angin dan tiada hujan, Ratna—adik kandung Mas Santoso datang ke rumah. Fatma menyambutnya dengan begitu bahagia.Kebetulan sekali mereka belum pernah ketemu semenjak ibu meninggal tiga bulan yang lalu.Menuju ke dapur untuk membuatkan teh manis hangat, Fatma tidak lupa untuk menyambar toples Snack yang ia simpan di dalam lemari."Ah, Mbak Fatma nggak usah repot-repot dong. Aku tadi ke kecamatan terus pengen mampir ke sini," ucap Ratna di ruang tamu saat melihat kakak iparnya tengah membawa dua cangkir teh manis hangat dari dapur."Nggak kok, cuma air minum aja." Fatma tersenyum, ia menyajikan teh manis itu lengkap dengan camilan kacang telur buatannya."Wah, ini kacang telor kesukaanku Mbak." Ratna berbinar, ia meraih toples itu lalu membukanya dengan girang."Oh ya? Nanti bungkus bawa pulang ke rumah ya." Fatma tersenyum, ia lalu duduk di dekat Ratna. "Ayo diminum dulu teh manisnya.""Iya Mbak, makan kacang dulu." Ratna tanpa sungkan mengambil kacang telur lalu memaka
"Dek, kamu bicara apa sih Dek?!" Santoso mengatasi rasa gugup yang kini menyerang hatinya. Kedua tangannya mengepal erat, mencoba menetralkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bilamana Fatma bertanya lebih jauh lagi."Aku tanya Mas, siapa Pak Bambang ini? Kenapa, kenapa aku merasa kalian itu berbeda satu sama lain.""Ah, itu hanya perasaanmu saja Dek." Santoso lalu mengambil ponsel itu dari tangan Fatma. "Kamu tuh bawaannya curigaan melulu sih?! Kan kemarin aku sudah jelasin siapa Pak Bambang ini. Dia itu rekan kerjaku di kantor, apa-apa kerja sama dia. Dia tuh cowok loh Dek, masa iya aku mau jeruk maka jeruk sama dia. Yang bener aja."Fatma terdiam, bola matanya terus saja menghunjam sosok di hadapannya tanpa terlewat sedikit pun. Santoso membaca pesan itu sebentar lalu memasukkannya ke dalam saku celana. "Ayolah Sayang, jangan menatapku seperti itu.""Mas, aku bilang gini tuh karena feeling aku nggak enak. Masa iya kalo cuma rekan kerja aja bahasa buat chat kamu kayak gitu."
"Dek, angin mana lagi yang sudah meniupmu? Kenapa begitu gampang menghasut dirimu?!" Santoso menatap Fatma dengan wajah kecewa. Ia menggelengkan kepala ketika merasakan tabiat istrinya sekarang."Kalo mereka bilang A, apa kamu juga akan menuduhku berbuat A? Jika mereka bilang B, apa kau juga akan menuduhku berbuat B?! Dek, tolong dipikir sekali lagi. Apa kau kira aku tidak terluka dengan segala tuduhanmu itu."Diam sejenak, Fatma menatap Santoso. Rasa sakit di hatinya menjalar dengan cepat, perlahan ia mulai terbiasa dengan pengkhianatan yang dilakukan suaminya sendiri."Mas, jika kamu tidak aneh-aneh maka kamu tidak perlu berkilah seperti ini." Fatma berkata pelan, menatap Santoso yang terus saja menghindari tatapannya. "Apa susahnya kamu bilang jujur sama aku. Jika memang tidak ada yang aneh, kenapa kamu mempersulit keadaan ini Mas?!"Santoso terus saja diam, ia memperhatikan jalanan yang mulai ramai dengan kendaraan. Menghela napas, ia memberanikan diri untuk menatap wajah istriny
Bab 14. Terus Berkilah"Mas, total sayurnya berapa ya?" Fatma bertanya pada sang penjual sayur, mengabaikan pertanyaan Bu Amel dan juga Bu Mawar."Sudah Bu? Ini saja?" Mas Joko, si penjual sayur keliling segera menghitung berapa total belanjaan Fatma hari ini. Sementara itu Bu Amel dan Bu Mawar hanya saling sikut satu sama lain."Iya Mas itu aja." Fatma mengiyakan sambil mengeluarkan uang lima puluhan ribu dari dompet kecil yang ia bawa.Mas Joko dengan telaten menghitung keseluruhan jumlah barang yang dibeli Fatma seraya memasukkannya ke dalam kantong plastik. "Totalnya jadi dua puluh lima ribu Bu."Fatma mengangguk, ia menyodorkan uangnya dan menunggu kembalian."Ini Bu kembaliannya. Makasih ya Bu.""Sama-sama Mas Joko," ucap Fatma sambil tersenyum. Wanita berkulit bersih itu memasukkan sisa uang belanja ke dalam dompet lalu menoleh ke arah Bu Mawar dan juga Bu Amel. "Ibu-ibu, saya balik dulu ya. Cucian saya banyak, harus segera nyuci mumpung hari ini panas. Mari Bu.""Iya Bu," jawa
Karena perasaan yang tidak enak akhirnya Fatma menempuh keputusan dimana ia pergi ke kantor sore itu. Dengan membawa serantang opor ayam kesukaan sang suami, Fatma akan berpura-pura menemuinya di kantor sekaligus memastikan kebenaran yang dikatakan oleh Santoso sendiri.Berbeda dari sebelumnya, kali ini Fatma tidak menggunakan sepeda tua miliknya untuk bepergian. Ia sengaja mencari ojek kampung yang bisa mengantarkannya ke pabrik tempat suaminya bekerja."Makasih ya Bang," ucap Fatma saat turun dari boncengan si ojek yang rupanya tetangganya sendiri."Iya Mbak Fatma, tumben sore-sore begini ke pabrik apa Mas Santoso belum pulang?" Si ojek yang bernama Karun itu menerima selembar uang dari Fatma."Hari ini katanya dia lembur jadi saya datang bawakan dia makanan," ucap Fatma sambil mengangkat rantang opor yang ia bawa.Karun manggut-manggut, "Oh begitu ya Mbak. Ya sudah kalo gitu, saya tinggal ya Mbak. Hati-hati.""Iya Bang, hati-hati juga ya." Fatma membalasnya dengan lembut. Ia menatap
Meskipun ditantang, nyatanya Santoso sama sekali tidak berkutik di hadapan Fatma. Pria itu hanya menunduk, entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini.Petir mendadak menyambar. Sudah biasa jika tiba-tiba datang hujan tanpa adanya pertanda. Fatma menarik napas, menahan kemarahannya yang sudah berada di pucuk kepala."Aku tunggu kamu di rumah Mas, mari kita bicara tentang ini di rumah." Fatma akhirnya menyerah setelah hampir beberapa menit terpaku di tempat tanpa adanya jawaban dari bibir Santoso.Sang istri sah berbalik, ia meninggalkan hotel dengan sendirinya. Bukan karena ia kalah tapi ia masih memiliki sedikit hormat pada suaminya.Wati tersenyum miring, ia menatap ke arah Santoso lalu menggandeng lengannya dengan erat. "Ayo Mas kita masuk. Tak ada gunanya hanya berdiri di sini saja."Seakan tak pernah terjadi sesuatu, Wati menganggap kejadian itu biasa saja. Santoso menarik napas, ia menepis tangan Wati lalu menatap wajahnya.Wati terhenyak, keduanya kini saling bertatap-tatapan.
Setelah menyusun rencana untuk hari pernikahan selama sebulan lamanya, pernikahan Fatma dengan Arif akhirnya terlaksana juga. Atas keinginan Fatma, wanita itu menginginkan suasana pernikahan yang sederhana dan suci tanpa mengurangi kesakralan.Meskipun Arif mengusulkan acara pernikahan yang mewah, Fatma menolaknya secara halus. Bagi Fatma, ada baiknya jika uang itu ditabung saja untuk membeli beberapa asset ketimbang untuk pesta yang hanya berlangsung sekejap mata.Fatma dan Arif menyebar undangan hanya beberapa ratus lembar. Mereka hanya ingin mengundang sanak saudara, sahabat, dan juga beberapa tetangga dekat. Bagi mereka, kesederhanaan jauh lebih baik daripada kemewahan yang mengundang kebencian tak terlihat dari beberapa orang.Siang itu keluarga Pakdhe Suryo juga tengah bersiap untuk pergi ke acara pernikahan Fatma. Mereka turut diundang dalam acara pernikahan suci lagi sakral tersebut. Keluarga Pakdhe tetap menghargai Fatma meskipun sekarang sud
Fatma mengangguk begitu saja, entah kenapa ia merasa kasihan dengan keadaan Santoso yang saat ini begitu buruk dan memprihatinkan. Menoleh sejenak ke arah toko, Fatma menatap Mbak Lastri yang berdiri di ambang pintu. Dari tatapan itu, Fatma seolah meminta ijin atasannya untuk pergi mengobrol sejenak bersama sang mantan suami."Mas, apakah kamu sudah makan?" Fatma bertanya dengan pelan, ia menatap kasihan ke arah Santoso yang terlihat kosong dan tidak bertenaga.Pria itu menggeleng, hanya mampu menundukkan kepala dengan rasa bersalah yang kian membuncah.Fatma menarik napas, "Ayo pergi ke warung makan Mas, akan kubelikan kamu semangkok bakso panas."Wanita berhijab rapi itu melangkahkan kaki terlebih dahulu menuju ke warung makan yang terdapat di sebelah toko milik Mbak Lastri."Bu, semangkok bakso dan segelas teh manis hangat ya." Fatma memesan bakso pada sang penjual bakso yang sudah lama ia kenal semenjak kerja bersama Mbak Lastri.
"Mas Santoso?" Wati terkejut dengan kehadiran Santoso yang menurutnya begitu tiba-tiba. Wanita itu berniat untuk lari namun apa daya tangan Santoso yang kekar kini telanjur mencekal pergelangan tangannya. "Lepaskan tanganmu, Mas!""Tidak, aku tidak akan melakukannya sebelum kamu jelasin semuanya padaku," kekeh Santoso justru semakin erat dalam dalam mencengkeram."Mas, sakit Mas! Kamu gila apa?!" seru Wati sambil berontak dari tangan Santoso. "Hal apa lagi yang perlu dijelaskan? Semua sudah jelas Mas, kita sudah tidak memiliki hubungan sekarang.""Bukan itu," tandas Santoso dengan sigap. Mata pria itu membara merah seperti apa di pembakaran, dengan jiwa emosi yang ia punya kemarahan Santoso benar-benar meledak sekarang. "Jelaskan padaku, ada apa dengan diriku di kantor? Kamu sengaja kan jatuhkan aku di depan Mister Je supaya aku dipecat?"Wati terdiam beberapa detik, ia lantas terkekeh keras. "Mana aku tahu Mas, kuasa orang atas kamu tahu sen
Fatma terdiam, tatapannya fokus pada Arif yang tengah mengungkapkan perasaan terhadap dirinya. Entah apa yang ia rasakan sekarang, yang jelas ada perasaan haru dan hangat di dalam hatinya."Fat, kamu mengerti kan maksudku?" Arif menyadarkan lamunan Fatma sejenak, tampak wajah Arif sudah memerah menahan malu. Ia langsung menunduk dengan pikiran macam-macam. "Maaf, mungkin caraku melamar kamu terlihat kekanak-kanakan tapi aku sudah berusaha untuk mengatakan yang sebenarnya padamu. Seperti yang kamu tahu, aku terlalu tua untuk main lamar-lamaran menggunakan cara ini."Melihat ketulusan Arif, tanpa sadar bibir Fatma melengkung. Ia merasa lucu sekaligus kagum pada Arif. Sebagai seseorang yang pernah tinggal di sisi pria itu entah sebagai teman atau partner kerja, Fatma tidak menduga jika Arif akan melamarnya."Kenapa kamu tersenyum? Bener kan?! Caraku sepertinya salah dalam melamarmu," gusar Arif sambil menggigit bibir. Ia menunduk untuk menutupi kekesalan
"Santoso... Santoso, Pakdhe nggak habis pikir apa yang merasuki otakmu saat ini," ungkap Pakdhe Suryo sambil menggelengkan kepala. "Setelah kamu tersandung masalah, ujung-ujungnya kamu juga tetep sambat sama si orangtua ini. Mbok kamu sadar, kamu itu sudah diingatkan di lain hari tapi kamu masih saja tetep ngeyel. Sekarang, setelah semuanya telanjur, kamu kan yang jadi pihak sakit hati."Santoso hanya menunduk, penampilannya yang lusuh dan tidak terurus membuat Pakdhe Suryo merasa prihatin. "San, Pakdhe nasehatin kamu sampai ancam-ancam itu bukan karena Pakdhe syirik, Pakdhe benci, itu bukan. Pakdhe cuma pengen kamu tuh nggak salah jalan. Wati itu sedari awal Pakdhe lihat, ia sepertinya memiliki gelagat aneh. Pakdhe nggak suka San, nggak suka.""Sudahlah Pakdhe, jangan diomelin terus Mas Santoso-nya. Setidaknya dengan kejadian ini Mas Santoso sadar dan terbuka mata hatinya soal Wati." Ratna menengahi teguran Pakdhe Suryo.Sebagai adik, Ratna sendiri t
"Aku mohon, kembalilah kepadaku. Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakanmu lagi."Fatma terdiam. Ini bukan kali pertama Santoso memohon dirinya seperti ini. Dulu sewaktu ia kepergok dengan wanita itu, ia juga meminta hal yang sama kepada Fatma.Menarik napas panjang, Fatma melepas tautan tangan Santoso secara perlahan. "Tidak semudah itu Mas. Lukaku yang lama saja belum sembuh dan apa ini? Kau ingin kembali karena kau merasa tersakiti?!"Fatma menggeleng lalu menunduk, "Aku pernah tersakiti Mas tapi aku tidak pernah memintamu untuk kembali padaku."Santoso terbungkam, ia menunduk dengan wajah pasrah. Penampilannya yang buruk memang tidak pantas untuk diperhitungkan."Jika Wati menyakitimu, itu adalah resiko yang harus kamu tanggung karena kamu sudah memilih dia sebagai pasanganmu Mas. Peduliku apa? Tidak. Aku sama sekali tidak simpati dengan apa yang terjadi pada dirimu." Fatma menarik napas, ia menatap Santoso. "Hadapi semuanya Mas,
Wati diam cukup lama, jujur ia merasa syok dengan kehadiran Santoso yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya."Katakan padaku Wati, kenapa diam?!" Suara Santoso yang menggelegar menyadarkan lamunan Wati kala itu. Terhuyung mundur, Wati mencoba untuk menguasai dirinya yang sekarang sudah telanjur basah."Kalo iya memang kenapa?" Wati mendongakkan kepala, matanya menyorot tajam ke arah Santoso. "Apa yang kamu dengar itu adalah benar.""Kamu!" Santoso mengangkat tangan, siap menggampar wajah Wati namun urung sejenak saat sadar bahwa ia tetap tidak boleh memukul wanita dalam keadaan apa pun. "Kenapa kamu tega kepadaku?"Wati mengulas senyum tipis, ia lalu bersedekap. Seolah mendapatkan titik lemah Santoso, Wati mulai bersikap sok kuasa sekarang. "Kamu kira anak yang kukandung ini anakmu hah?! Jangan mimpi kamu Mas. Tunggu, kamu harus lihat hasil lab ini!"Wati lantas meraih tas tangan yang tergeletak di tengah ranjang. Membukanya
"Mbak Lastri jangan aneh-aneh ah," ujar Fatma terkekeh. Jujur saja, Fatma justru takut dengan perasaannya sendiri. "Mas Arif itu orang baik, jodohnya pasti orang baik juga. Saya nggak mau berharap banyak Mbak, cuma Allah yang tahu. Saya mah cuma orang yang banyak kekurangan."Mbak Lastri manggut-manggut, ia diam sejenak dan tampak berpikir. "Oh ya, gimana nasib mantan suamimu sekarang? Terakhir dapet kabar, katanya dia sudah resmi nikah ya?!"Fatma mengangguk, ia masih mencoba untuk makan sisa bakso yang ada di dalam mangkuknya. "Iya Mbak, udah nikah di gedung ternama. Sebuah kebahagiaan yang tentunya tidak pernah saya rasakan selama hidup dengan dia.""Yang sabar ya, orang kayak gitu mah nggak bakal awet bahagianya." Mbak Lastri mengusap lengan Fatma dengan penuh rasa peduli."Iya Mbak, terakhir aku malah mergoki si istri Mas Santoso tengah berselingkuh.""Hah? Kamu yakin?" Mata Mbak Lastri melebar, rasa antusiasnya tiba-tiba timbul
Seperti perintah Pakdhe Suryo, Ratna bergegas membuka tas selempang yang pakai dan mencari ponsel di dalamnya. Keadaan saat itu memang lagi genting, emosi Pakdhe yang meluap ditambah dengan keadaan rumah yang tidak sesuai, Ratna hanya berpikir semoga sama kakak laki-lakinya itu selamat dari amukan sang Pakdhe."Assalamualaikum, Mas Santoso." Ratna menyapa saudara laki-lakinya sambil sesekali melirik ke arah Pakdhe Suryo yang terus mengawasi. "Mas, kerja ya? Pakdhe mau ngobrol sebentar."Ratna dengan cepat memberikan ponselnya pada Pakdhe, ia menelan ludah. Dari wajah Pakdhe sendiri, sudah terlihat bagaimana kesalnya sang pakdhe akan kelakuan keponakannya."Assalamualaikum San, kamu dimana?" Suara Pakdhe langsung naik, ia berkacak pinggang dengan suara bernada marah. Tak peduli dengan beberapa orang yang lewat jalanan sambil menatap ke arah mereka dengan curiga."Wa'alaikum salam Pakdhe, saya masih kerja di pabrik. Ada apa?" Santoso yang sama