Meskipun ditantang, nyatanya Santoso sama sekali tidak berkutik di hadapan Fatma. Pria itu hanya menunduk, entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini.Petir mendadak menyambar. Sudah biasa jika tiba-tiba datang hujan tanpa adanya pertanda. Fatma menarik napas, menahan kemarahannya yang sudah berada di pucuk kepala."Aku tunggu kamu di rumah Mas, mari kita bicara tentang ini di rumah." Fatma akhirnya menyerah setelah hampir beberapa menit terpaku di tempat tanpa adanya jawaban dari bibir Santoso.Sang istri sah berbalik, ia meninggalkan hotel dengan sendirinya. Bukan karena ia kalah tapi ia masih memiliki sedikit hormat pada suaminya.Wati tersenyum miring, ia menatap ke arah Santoso lalu menggandeng lengannya dengan erat. "Ayo Mas kita masuk. Tak ada gunanya hanya berdiri di sini saja."Seakan tak pernah terjadi sesuatu, Wati menganggap kejadian itu biasa saja. Santoso menarik napas, ia menepis tangan Wati lalu menatap wajahnya.Wati terhenyak, keduanya kini saling bertatap-tatapan.
Malam itu menjadi malam terpanjang dalam hidup Santoso. Istri yang selama ini kalem, lemah lembut, dan bertutur kata baik mendadak berubah seratus delapan puluh derajat.Santoso merasa pening, ia merasa bahwa malam itu adalah malam terakhir bagi dirinya untuk hidup.Pagi menjelang, berbeda dari sebelumnya Santoso merasa berat untuk membuka mata. Kali ini, jangankan tidur di kasur yang empuk dengan selimut hangat, Santoso justru disuruh tidur di teras rumah berbantalkan tangan.Suara berisik yang kian mengganggu, membuatnya terpaksa bangun dari tidurnya di teras rumah. Pria itu mengerjap, matanya yang perih sengaja ia buka dan melihat keadaan.Beringsut bangun, kini Santoso dihadapkan pada kenyataan dimana seluruh keluarganya telah datang dan merubungnya di teras rumah."Enak ya Mas tidur di teras? Enak?" Ratna membuka percakapan ketika Santoso perlahan mulai mengumpulkan nyawanya."Mau nambah lagi San?" Pakdhe Suryo turun bersuara.Seluruh keluarga Santoso pagi itu hadir semua. Mulai
Pagi itu Fatma memberesi seluruh pakaian yang ia punya ke dalam koper. Rencananya sudah bulat untuk pergi dari rumah itu dan meninggalkan segala kenangan yang ada. Meskipun ia sebatang kara, ia tidak begitu miskin hingga harus menumpang di rumah penuh dengan kenangan buruk."Dek kamu mau kemana dek?" Rupanya Santoso masih menunggu Fatma di teras rumah. "Kamu, kamu mau pergi kemana Dek? Tolong jangan tinggalin aku."Mendengar permohonan Santoso, hati Fatma secepat kilat merasa jijik. Ia teringat bagaimana pria itu berselingkuh di belakangnya tanpa merasa menyesal.Mengembuskan napas kasar di udara, Fatma memalingkan muka dari Santoso. "Aku mau pergi Mas. Tolong jangan halangi niatku.""Please Dek, jangan seperti itu. Aku, aku masih mencintaimu Dek. Selama ini aku hanya khilaf, tolong maafkan aku Dek." Santoso kembali memohon, ia meraih tangan wanita itu lalu menggenggamnya.Secepat kilat, Fatma menghempaskan tangan Santoso. Mata wanita itu menyorot tajam, "Kamu khilaf Mas? Aku rasa itu
Rasa lelah yang Fatma rasa tidak sebanding dengan rasa kesal yang ia rasakan ketika mendapati suami tercintanya berani berselingkuh hanya karena ia tidak bisa memberikan anak.Fatma sadar, tidak bisa hamil adalah kekurangannya yang paling besar. Hanya saja, tidak bisakah Santoso tidak menjadikan hal itu sebagai alasan dasar dia berselingkuh?!Menghela napas yang entah sudah berapa kali ia lakukan, Fatma menghentikan langkahnya yang lelah pada sebuah perumahan. Ia tertarik pada tulisan 'Tersedia Kamar kosong' yang terdapat pada salah satu sudut rumah.Wanita itu tertegun sedikit lama, mengusap peluh yang sedari tadi membasahi dahi dan juga lehernya. Sungguh, ia harus mencari tempat beristirahat sekarang."Assalamualaikum," sapa Fatma setelah menepi dan berdiri di ambang pagar rumah."Wa'alaikum salam," ucap seseorang dari dalam rumah. Suara khas pria menjawab salamnya, tak lama kemudian sosok yang ia nantikan muncul di ambang pintu.Mata Fatma membulat, begitu pun dengan pria yang menj
Sungguh tidak habis pikir jika nomer baru itu mengiriminya foto dan video syur antara suaminya dengan si pelakor. Seolah belum sembuh dengan luka yang kemarin, hari ini luka itu kembali dibedah jauh lebih dalam lagi.Dengan jari-jarinya yang gemetaran, Fatma meraih ponselnya dan menatap foto serta video yang dikirimkan kepadanya.[Lihat suamimu, dia bahkan masih bersemangat untuk mengajakku tidur bersama. Apakah dia bisa tidur sepulas ini jika bersamamu? Ah, aku rasa tidak.]Fix, nomer baru ini pasti milik Wati. Dasar pelakor!Fatma menahan mulutnya untuk tidak berteriak dan menangis, ia melihat foto-foto itu dengan detail. Foto yang menggambarkan kemesraan mereka diatas ranjang dengan busana minim dan tidak pantas dipertontonkan.[Apakah suamimu sering memelukmu saat tidur? Kenapa ia senang sekali menciumi dadaku ya? Ah, aku baru ingat. Dia pernah bilang bahwa punyamu sangat datar dan keras. Kasian sekali, Mas Santoso yang malang. ][Oh, hampir kelupaan Sayang. Coba kau tengok video
Semenjak Fatma memilih untuk pergi dari kehidupan Santoso, ia berjuang sekuat tenaga untuk tetap tegar dan tak ingin kembali ke rumah itu. Terlalu banyak siksa batin yang harus ia tanggung, membuatnya tak ingin mengulang kenangan lama penuh dengan air mata di rumah tersebut."Assalamualaikum Fatma, sedang sibuk ya?" Arif mengetuk pintu dari luar. Sore itu sepulang dari kerja, Arif datang membawakan martabak dan juga berita gembira."Wa'alaikum salam," jawab Fatma yang baru saja selesai melipat pakaian dari jemuran di depan rumah. Membuka pintu kamar, ia tersenyum saat mendapati Arif masih memakai baju batik ala pegawai kabupaten. "Eh Mas Arif, ada apa ya Mas?""Kamu lagi sibuk ya? Ini ada martabak mini buat kamu," ucap Arif sambil menyodorkan kresek putih tersebut ke hadapan Fatma."Ah Mas, kok malah repot-repot sih jajanin aku tiap hari." Fatma meraih bungkusan itu dengan perasaan ragu sekaligus sungkan."Nggak pa-pa kok Fat, tadi pas pulang sekalian beli aja. Oh ya kamu repot nggak?
Mendapat pekerjaan baru adalah hal luar biasa dalam hidup Fatma. Bayangkan saja, dirinya yang selama ini hanya tinggal di rumah dan mengurus semuanya, mendadak banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup.Sedikit berat tapi Fatma mulai menganggap hal itu biasa. Toh di luaran sana banyak orang-orang seperti dirinya yang tetap hebat, mandiri, dan tidak banyak mengeluh sama-sama berjuang. Yang pastinya Fatma tidak sendirian di dunia ini.Seperti yang sudah direncanakan kemarin sore, pagi ini Fatma berpakaian rapi dan ikut Arif menuju ke depan kabupaten untuk mulai bekerja. Dengan bantuan Arif, Fatma menata kembali hidupnya yang sempat porak-poranda."Mbak Lastri, titip Fatma ya. Kalo ada apa-apa jangan digalakin, orangnya kalem soalnya. Ntar kalo nangis, aku yang bingung harus hibur dia." Arif bercanda sama Mbak Lastri, istri temannya yang satu kantor.Mbak Lastri terkekeh, ia menyenggol lengan Arif sedikit kencang. "Oh namanya Fatma ya. Salam kena
"Mas kok lama banget sih?!" Wati protes saat hampir sepuluh menitan Santoso sibuk berada di dalam toko alat tulis. Melihat ke dalam toko, wajah Wati tampak menaruh curiga. "Heran, ada apa sih?! Kamu juga, cuma disuruh beli map kok jadi beli pulpen segala. Kamu naksir ya sama penjualnya.""Wat, kamu ini ngawur ya. Aku tuh udah nurut sama kamu, suruh beli map aku beli map. Beli makan aku beli makan, gitu juga masih dicurigai." Santoso mengenakan sabuk pengaman dengan wajah kesal.Wati tidak tahu aja kalo di dalam toko itu ada Fatma, mantan istri yang diam-diam masih dirindukan oleh Santoso."Habisnya kamu juga sih?! Perintahku tadi apa? Cuma beli map Mas, masa iya kamu beli pulpen juga. Kalo kamu nggak naksir penjualnya, lalu itu namanya apa?! Dasar pemborosan," gumam Wati dengan wajah kesal. Ia lantas menghidupkan mesin mobil dan pergi dari area toko alat tulis tersebut.Santoso hanya diam, wajahnya tampak tertekan dengan ucapan Wati. Terlebih meng
Setelah menyusun rencana untuk hari pernikahan selama sebulan lamanya, pernikahan Fatma dengan Arif akhirnya terlaksana juga. Atas keinginan Fatma, wanita itu menginginkan suasana pernikahan yang sederhana dan suci tanpa mengurangi kesakralan.Meskipun Arif mengusulkan acara pernikahan yang mewah, Fatma menolaknya secara halus. Bagi Fatma, ada baiknya jika uang itu ditabung saja untuk membeli beberapa asset ketimbang untuk pesta yang hanya berlangsung sekejap mata.Fatma dan Arif menyebar undangan hanya beberapa ratus lembar. Mereka hanya ingin mengundang sanak saudara, sahabat, dan juga beberapa tetangga dekat. Bagi mereka, kesederhanaan jauh lebih baik daripada kemewahan yang mengundang kebencian tak terlihat dari beberapa orang.Siang itu keluarga Pakdhe Suryo juga tengah bersiap untuk pergi ke acara pernikahan Fatma. Mereka turut diundang dalam acara pernikahan suci lagi sakral tersebut. Keluarga Pakdhe tetap menghargai Fatma meskipun sekarang sud
Fatma mengangguk begitu saja, entah kenapa ia merasa kasihan dengan keadaan Santoso yang saat ini begitu buruk dan memprihatinkan. Menoleh sejenak ke arah toko, Fatma menatap Mbak Lastri yang berdiri di ambang pintu. Dari tatapan itu, Fatma seolah meminta ijin atasannya untuk pergi mengobrol sejenak bersama sang mantan suami."Mas, apakah kamu sudah makan?" Fatma bertanya dengan pelan, ia menatap kasihan ke arah Santoso yang terlihat kosong dan tidak bertenaga.Pria itu menggeleng, hanya mampu menundukkan kepala dengan rasa bersalah yang kian membuncah.Fatma menarik napas, "Ayo pergi ke warung makan Mas, akan kubelikan kamu semangkok bakso panas."Wanita berhijab rapi itu melangkahkan kaki terlebih dahulu menuju ke warung makan yang terdapat di sebelah toko milik Mbak Lastri."Bu, semangkok bakso dan segelas teh manis hangat ya." Fatma memesan bakso pada sang penjual bakso yang sudah lama ia kenal semenjak kerja bersama Mbak Lastri.
"Mas Santoso?" Wati terkejut dengan kehadiran Santoso yang menurutnya begitu tiba-tiba. Wanita itu berniat untuk lari namun apa daya tangan Santoso yang kekar kini telanjur mencekal pergelangan tangannya. "Lepaskan tanganmu, Mas!""Tidak, aku tidak akan melakukannya sebelum kamu jelasin semuanya padaku," kekeh Santoso justru semakin erat dalam dalam mencengkeram."Mas, sakit Mas! Kamu gila apa?!" seru Wati sambil berontak dari tangan Santoso. "Hal apa lagi yang perlu dijelaskan? Semua sudah jelas Mas, kita sudah tidak memiliki hubungan sekarang.""Bukan itu," tandas Santoso dengan sigap. Mata pria itu membara merah seperti apa di pembakaran, dengan jiwa emosi yang ia punya kemarahan Santoso benar-benar meledak sekarang. "Jelaskan padaku, ada apa dengan diriku di kantor? Kamu sengaja kan jatuhkan aku di depan Mister Je supaya aku dipecat?"Wati terdiam beberapa detik, ia lantas terkekeh keras. "Mana aku tahu Mas, kuasa orang atas kamu tahu sen
Fatma terdiam, tatapannya fokus pada Arif yang tengah mengungkapkan perasaan terhadap dirinya. Entah apa yang ia rasakan sekarang, yang jelas ada perasaan haru dan hangat di dalam hatinya."Fat, kamu mengerti kan maksudku?" Arif menyadarkan lamunan Fatma sejenak, tampak wajah Arif sudah memerah menahan malu. Ia langsung menunduk dengan pikiran macam-macam. "Maaf, mungkin caraku melamar kamu terlihat kekanak-kanakan tapi aku sudah berusaha untuk mengatakan yang sebenarnya padamu. Seperti yang kamu tahu, aku terlalu tua untuk main lamar-lamaran menggunakan cara ini."Melihat ketulusan Arif, tanpa sadar bibir Fatma melengkung. Ia merasa lucu sekaligus kagum pada Arif. Sebagai seseorang yang pernah tinggal di sisi pria itu entah sebagai teman atau partner kerja, Fatma tidak menduga jika Arif akan melamarnya."Kenapa kamu tersenyum? Bener kan?! Caraku sepertinya salah dalam melamarmu," gusar Arif sambil menggigit bibir. Ia menunduk untuk menutupi kekesalan
"Santoso... Santoso, Pakdhe nggak habis pikir apa yang merasuki otakmu saat ini," ungkap Pakdhe Suryo sambil menggelengkan kepala. "Setelah kamu tersandung masalah, ujung-ujungnya kamu juga tetep sambat sama si orangtua ini. Mbok kamu sadar, kamu itu sudah diingatkan di lain hari tapi kamu masih saja tetep ngeyel. Sekarang, setelah semuanya telanjur, kamu kan yang jadi pihak sakit hati."Santoso hanya menunduk, penampilannya yang lusuh dan tidak terurus membuat Pakdhe Suryo merasa prihatin. "San, Pakdhe nasehatin kamu sampai ancam-ancam itu bukan karena Pakdhe syirik, Pakdhe benci, itu bukan. Pakdhe cuma pengen kamu tuh nggak salah jalan. Wati itu sedari awal Pakdhe lihat, ia sepertinya memiliki gelagat aneh. Pakdhe nggak suka San, nggak suka.""Sudahlah Pakdhe, jangan diomelin terus Mas Santoso-nya. Setidaknya dengan kejadian ini Mas Santoso sadar dan terbuka mata hatinya soal Wati." Ratna menengahi teguran Pakdhe Suryo.Sebagai adik, Ratna sendiri t
"Aku mohon, kembalilah kepadaku. Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakanmu lagi."Fatma terdiam. Ini bukan kali pertama Santoso memohon dirinya seperti ini. Dulu sewaktu ia kepergok dengan wanita itu, ia juga meminta hal yang sama kepada Fatma.Menarik napas panjang, Fatma melepas tautan tangan Santoso secara perlahan. "Tidak semudah itu Mas. Lukaku yang lama saja belum sembuh dan apa ini? Kau ingin kembali karena kau merasa tersakiti?!"Fatma menggeleng lalu menunduk, "Aku pernah tersakiti Mas tapi aku tidak pernah memintamu untuk kembali padaku."Santoso terbungkam, ia menunduk dengan wajah pasrah. Penampilannya yang buruk memang tidak pantas untuk diperhitungkan."Jika Wati menyakitimu, itu adalah resiko yang harus kamu tanggung karena kamu sudah memilih dia sebagai pasanganmu Mas. Peduliku apa? Tidak. Aku sama sekali tidak simpati dengan apa yang terjadi pada dirimu." Fatma menarik napas, ia menatap Santoso. "Hadapi semuanya Mas,
Wati diam cukup lama, jujur ia merasa syok dengan kehadiran Santoso yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya."Katakan padaku Wati, kenapa diam?!" Suara Santoso yang menggelegar menyadarkan lamunan Wati kala itu. Terhuyung mundur, Wati mencoba untuk menguasai dirinya yang sekarang sudah telanjur basah."Kalo iya memang kenapa?" Wati mendongakkan kepala, matanya menyorot tajam ke arah Santoso. "Apa yang kamu dengar itu adalah benar.""Kamu!" Santoso mengangkat tangan, siap menggampar wajah Wati namun urung sejenak saat sadar bahwa ia tetap tidak boleh memukul wanita dalam keadaan apa pun. "Kenapa kamu tega kepadaku?"Wati mengulas senyum tipis, ia lalu bersedekap. Seolah mendapatkan titik lemah Santoso, Wati mulai bersikap sok kuasa sekarang. "Kamu kira anak yang kukandung ini anakmu hah?! Jangan mimpi kamu Mas. Tunggu, kamu harus lihat hasil lab ini!"Wati lantas meraih tas tangan yang tergeletak di tengah ranjang. Membukanya
"Mbak Lastri jangan aneh-aneh ah," ujar Fatma terkekeh. Jujur saja, Fatma justru takut dengan perasaannya sendiri. "Mas Arif itu orang baik, jodohnya pasti orang baik juga. Saya nggak mau berharap banyak Mbak, cuma Allah yang tahu. Saya mah cuma orang yang banyak kekurangan."Mbak Lastri manggut-manggut, ia diam sejenak dan tampak berpikir. "Oh ya, gimana nasib mantan suamimu sekarang? Terakhir dapet kabar, katanya dia sudah resmi nikah ya?!"Fatma mengangguk, ia masih mencoba untuk makan sisa bakso yang ada di dalam mangkuknya. "Iya Mbak, udah nikah di gedung ternama. Sebuah kebahagiaan yang tentunya tidak pernah saya rasakan selama hidup dengan dia.""Yang sabar ya, orang kayak gitu mah nggak bakal awet bahagianya." Mbak Lastri mengusap lengan Fatma dengan penuh rasa peduli."Iya Mbak, terakhir aku malah mergoki si istri Mas Santoso tengah berselingkuh.""Hah? Kamu yakin?" Mata Mbak Lastri melebar, rasa antusiasnya tiba-tiba timbul
Seperti perintah Pakdhe Suryo, Ratna bergegas membuka tas selempang yang pakai dan mencari ponsel di dalamnya. Keadaan saat itu memang lagi genting, emosi Pakdhe yang meluap ditambah dengan keadaan rumah yang tidak sesuai, Ratna hanya berpikir semoga sama kakak laki-lakinya itu selamat dari amukan sang Pakdhe."Assalamualaikum, Mas Santoso." Ratna menyapa saudara laki-lakinya sambil sesekali melirik ke arah Pakdhe Suryo yang terus mengawasi. "Mas, kerja ya? Pakdhe mau ngobrol sebentar."Ratna dengan cepat memberikan ponselnya pada Pakdhe, ia menelan ludah. Dari wajah Pakdhe sendiri, sudah terlihat bagaimana kesalnya sang pakdhe akan kelakuan keponakannya."Assalamualaikum San, kamu dimana?" Suara Pakdhe langsung naik, ia berkacak pinggang dengan suara bernada marah. Tak peduli dengan beberapa orang yang lewat jalanan sambil menatap ke arah mereka dengan curiga."Wa'alaikum salam Pakdhe, saya masih kerja di pabrik. Ada apa?" Santoso yang sama