Kenshi menatap Rinai dalam diam. Setelah selesai melakukan fisioterapi, pria itu mendapati si wanita duduk di ruang tunggu khusus ruangan terapi dengan mata sembab. Meski Rinai mati-matian menyembunyikan keadaannya, dia tahu ada sesuatu yang membuat sang wanita bersedih. Saat ditanya, wanita itu menjawab jika dia baik-baik saja sembari mengulas senyum. Jelas berbanding terbalik dengan rautnya yang terlihat suram. Sepanjang perjalanan menuju pulang hanya hening yang mengambil tempat di antara keduanya. Rinai selalu menghindari bertatapan langsung dengan Kenshi. Wanita itu memilih melihat keluar melalui jendela kaca mobil. Otaknya masih saja mengira-ngira sejak kapan pengkhianatan itu dimulai. Di dalam surat itu jelas tertulis jika Amanda mengandung selama dua belas minggu. Jika benar, artinya janji pernikahan yang diucap Reinart hanya bertahan enam bulan, sisanya adalah sandiwara yang sangat sempurna."Kalau mau cerita aku siap dengerin." Suara kenshi mengembalikan kesadaran Rinai. P
Tangan Rinai menyeka kaca yang berembun perlahan hingga dingin terasa di telapak tangannya, sedingin hatinya saat ini. Kata-kata Kenshi terus memantul-mantul di gendang telinganya, membuat ngilu tak henti merayap di sekujur tubuhnya. Rinai heran, harusnya sakit dan kekecewaan ini tak perlu ada. Bukankah sudah jelas bagaimana hubungan mereka sejak awal? Hanya sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan. Tidak ada rasa di sana dan dia begitu percaya diri tak akan jatuh cinta pada pria tersebut.Tunggu, cinta?! Rinai tertawa pelan ketika pemikiran itu masuk ke benaknya. Tak mungkin dia jatuh cinta secepat itu. Sedangkan bersama Reinart saja dia tak yakin apakah mereka menikah karena cinta, sebab sakit yang diberi pria itu seolah-olah lenyap begitu saja. Namun, bersama Kenshi dia menemukan kenyamanan itu. Rinai menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dia menampik asumsi itu sekuat hati. Tak mungkin jatuh cinta kepada pria itu."Kamu aneh."Suara Kenshi membuat Rinai menoleh. Matanya menang
Aku tidak tahu sejak kapan rasa itu berkembang. Tapi, melihat keadaan Kenshi membuat rasa bersalah membakar dadaku. Andai saja aku tak berpura-pura tak tahu tentang perasaannya, andai sejak awal aku tegas padanya, tentu dia tak akan putus asa seperti itu. Dan sekarang bukan hanya perasaan bersalah, tapi keinginan untuk merawat dan membuat dia sembuh seperti semula. Aku tahu, kecelakaan itu tersebab kekecewaan berlebih kepadaku. Ah, Kenshi ... mengapa dadaku kini mulai berdebar setiap mengingat namamu? Tapi, ini tak boleh, kan? Aku tak mungkin menodai hati pada suamiku, Kakakmu. Tuhan ... aku harus bagaimana? Tak mungkin ada dua cinta dalam hatiku. Bila aku bersama Riyad, pikiranku berkelana pada Kenshi. Begitu pula sebaliknya.*Riyad berkali-kali mengembuskan napas perlahan. Wajah pria itu terlihat begitu gelisah. Berkali-kali dia membaca buku yang ada di tangannya, perasaan bersalah semakin berdenyut di dadanya. Andai saja dia tahu hubungan Kenshi dan Nailah sedekat itu, tentu dia t
Tangis Nailah terdengar menyayat hati saat jenazah Riyad dimasukkan ke dalam kubur. Wanita yang tengah mengandung enam bulan itu tak sanggup menahan beban kehilangan yang tiba-tiba. Padahal sebelum kecelakaan terjadi, dia telah mempersiapkan sebuah makan malam romantis dengan sang suami. Dia ingin mengembalikan perasaan yang seharusnya utuh diberikan kepada pria yang memberi begitu banyak cinta. Namun, takdir berkata lain. Saat dia begitu bersemangat menunggu kepulangan Riyad, justru telepon dari kepolisian datang dan mengabarkan sang suami meninggal karena kecelakaan beruntun di jalan tol. Dunia Nailah seolah-olah runtuh di hadapan seketika itu juga. Airmatanya tak berhenti jatuh berderai kala hari-hari bersama pria tersebut melintas di ruang mata seperti slide sebuah film."Sudahlah, Nak. Ikhlaskan suamimu, jangan beratkan dia dengan airmatamu." Kusuma mencoba membujuk Nailah yang kini memeluk nisan almarhum sang suami."Enggak, Bu. Riyad enggak mungkin ninggalin aku. Dia sayang sa
Semua orang yang berada di ruangan dokter Gunawan bertepuk tangan saat Kenshi berhasil berjalan tanpa bantuan kruk. Meski masih sangat pelan, tetapi pria itu sudah mampu mengerakkan kakinya kembali. Dia menghampiri Kusuma yang tak bisa menahan airmata saat sang putra memeluknya. Tangis wanita itu pecah seketika, dia membalas pelukan Kenshi lebih erat dan meracau bahwa tak pernah mengira bisa melihat putranya berjalan kembali. Rinai hanya memperhatikan dari tempatnya berdiri. Saat Nailah juga ikut memeluk Kenshi dan keduanya bertatapan lama, dia hanya bisa menyalurkan sesak di dada dengan meremas kain yang tadinya dipakai untuk menutup kaki sang pria. Mereka semua lupa akan keberadaannya, terlalu larut dengan kebahagiaan seolah-olah dirinya hanya orang lain. Tanpa sengaja Rinai menatap pantulan wajahnya sendiri di dalam cermin yang terpasang di ruang praktek dokter Gunawan. Wajah seorang wanita malang yang kembali merasa tersisih dalam cerita cinta. Tadinya dia berharap kisah cindere
Rinai menimang kotak kecil berlapis beludru hitam di tangannya. Dia ingat bagaimana bahagianya saat Kenshi melamarnya, tetapi hingga saat ini pria itu tak menagih jawaban darinya. Hanya meminta untuk tinggal? Sebagai apa? Tidak! Rinai terlalu takut untuk terluka lagi. Bila dulu ada Kenshi yang menemaninya bangkit, kini justru pria itu yang membuatnya kembali terpuruk. Wanita itu terlalu tahu diri untuk mundur sebelum dipaksa oleh kenyataan yang akan menorehkan luka lebih parah nanti.Dia mengembuskan napas perlahan, seolah-olah ingin melepaskan sesak yang terus saja betah mendiami hati. Meletakkan kotak yang berisi cincin itu di atas meja, lalu menarik satu koper keluar dari kamar yang dia tempati sejak tinggal di rumah keluarga Kusuma. Begitu membuka pintu, sosok Nailah terlihat berdiri di sana. Wanita yang terlihat sudah baik-baik saja itu tersenyum padanya seraya mengelus perutnya yang terlihat jelas."Aku pikir kamu hanya becanda berhenti," ujar Nailah, dia melihat koper di tangan
Suasana di tepi pantai saat matahari mulai surut sangat disukai semua orang. Bahkan, banyak sekali syair-syair lahir mendeskripsikan perihal senja. Bagaimana cahaya kemerahan itu terlihat sangat indah saat bergradasi dengan langit dan awan, bagaimana indahnya kala matahari turun perlahan seolah-olah tenggelam ke dalam lautan. Meski telah hilang, cahayanya masih tetap tinggal seakan menjanjikan esok akan datang kembali. Baik rawi, candra, dan swastamita memang selalu hadir meski tak tepat waktu mereka tak pernah ingkar janji.Sepoi angin laut juga dinikmati Rinai. Dia tak tahu apa yang membuat langkahnya sampai di sana. Dia hanya menyetop taksi dan meminta sang sopir berputar-putar. Saat melewati pantai, Rinai memilih untuk turun. Mungkin melihat ombak yang berkejar-kejar ke tepian atau pesona swasmitalah yang menariknya. Berkali-kali dia mengembuskan napas, berharap bisa mengurangi sedikit sesak di dada. Nyatanya, justru perih yang kian menikam. Bayangan Kenshi saat melamarnya melint
Bibir Kusuma terus saja mengulas senyum kala melihat album lama yang tak sengaja dia temukan saat membersihkan ruang baca. Di sana foto-foto Riyad dan Kenshi bertebaran lengkap dengan hari, bulan, dan tahun. Kusuma memang sedetail itu mengarsipkan sesuatu. Dia tak ingin setiap moment berlalu begitu saja. Mungkin nanti dia tak ada lagi untuk menceritakan betapa lucu dan menggemaskan kedua putranya itu. Tetapi, gambar-gambar tersebut bisa lebih menerangkan bagaimana bahagianya Kusuma memiliki mereka."Mama dicariin malah ngumpet di sini." Kenshi mendekati sang Mama yang tersenyum ke arahnya. "Mama lagi liatin foto-foto kamu dan Riyad. Liat, deh, kalian berdua itu lucu banget. Tetangga itu sampe rebutan gendong kalian.""Siapa dulu dong Mamanya." Kenshi ikut melihat foto-foto tersebut. "Beda banget, ya, Ma aku sama Riyad. Dia putih bersih, aku sawo matang. Riyad kek orang Arab, aku Indo. Tetangga enggak pada nanyain, ya?"Kusuma mengelus bahu tegap sang putra. "Beda itu biasa. Lagian me
Sebuah Villa berdiri sangat kokoh di daerah perbukitan. Satu-satunya bangunan yang berada di tengah-tengah perkebunan teh itu terlihat sangat mencolok, baik dari bentuk maupun catnya. Bangunan yang lebih mirip sebuah kastil di abad pertengahan tersebut milik Kenshi. Tanah itu sengaja dia beli setahun yang lalu saat berkunjung ke rumah Nailah. Tanah itu dia bangun dalam waktu enam bulan, sambil menanam harapan kelak tempat tersebut akan menjadi tempat liburan bersama Rinai dan anak-anak mereka.Kenshi percaya jika kata-kata memiliki kekuatan magis. Oleh karena itu dia selalu mengucapkan semua keinginannya setiap saat. Dia yakin semua ucapannya akan menjadi kenyataan suatu hari nanti. Penantian dan semua harapan pria tersebut dikabulkan Sang Mahakuasa, bangunan megah yang berdiri di atas tanah seluas dua hektar tersebut, kini dipenuhi kendaraan roda empat. Mereka hadir untuk menjadi saksi pernikahan Rinai dan Kenshi. Setelah drama percintaan yang panjang, akhirnya sang wanita menerima l
Rinai bergegas mengayuh sepedanya. Mujur, hujan semalam sudah berhenti sejak subuh, meninggalkan jejak basah di jalanan dan genangan air di lubang-lubang yang berlumpur. Andai saja semalam dia tak tidur larut malam, mungkin tak akan terlambat mengantar kepergian Ayu menuju tempat kuliahnya.Gadis itu memberi kabar bahwa dia diterima di universitas yang direkomendasikan Rinai. Wanita tersebut memenuhi janjinya membayar uang pangkal masuk ke universitas itu dan berjanji sesekali akan mengunjungi Ayu nanti."Mbak Rinai!" Ayu berseru begitu melihat kedatangan Rinai, dia menyongsong seraya tersenyum melihat Rinai memarkirkan sepedanya. "Aku pikir Mbak enggak jadi datang."Rinai tersenyum, dia memperbaiki anak rambut yang dimainkan semilir angin. "Jadi dong. Mbak enggak akan lewatkan kesempatan ngantar kamu, meski cuma sampai terminal ini.""Makasih, ya, Mbak. Kalau enggak ada Mbak, enggak mungkin Ayu bisa kuliah di tempat sebagus itu." Lirih Ayu, di menggenggam tangan Rinai erat dan menata
Rinai menunduk melihat jemarinya yang terjalin erat di atas pangkuan. Sesekali melihat ke depan, di mana dua orang pria beda usia sedang bercengkerama, mereka ayah dan anak yang sedang bermain di taman rumah sakit. Sang ayah yang memiliki profil wajah bukan keturunan Indonesia murni itu, sedang berlari-lari kecil dikejar putranya yang masih berumur satu tahun. Sesekali bocah itu terjatuh, tapi bangkit lagi begitu si ayah mendekat."Mereka seperti anak kecil, kan?" ujar Nailah sembari tersenyum. Dia tahu Rinai memperhatikan putra dan suaminya.Rinai mengangguk, dia juga mengulas senyum. "Ya, anakmu lucu sekali.""Iya, dong. Karna ayahnya juga lucu. Coba kalau Kenshi jadi ayahnya, tentu enggak seganteng itu anakku." Nailah sengaja menyebut nama Kenshi, dia ingin memancing reaksi Rinai."Pasti gantenglah, Kenshi ganteng gitu." Tanpa sadar Rinai menyelutuk.Nailah tertawa mendengar ucapan Rinai. Memang, alam bawah sadar tidak akan berdusta tentang apa yang kita pikirkan dan rasakan. Saat
"Gimana keadaan Rinai?" Nailah bertanya lewat saluran telepon.Kenshi melirik sebentar ke arah brankar rumah sakit, di mana Rinai terbaring lemah. Di tubuh wanita itu terpasang infus untuk menyalurkan cairan."Dia baik-baik aja. Dokter bilang dia mengalami shock saja.""Aku harap dia segera siuman. Kasihan dia, sebagai seorang wanita aku bisa merasakan apa yang dia rasakan. Kadang, kita enggak butuh mendengar keluhan, cukup menatap ke dalam mata, kita sudah bisa melihat seperti apa keadaan hatinya. Ada kalanya, wanita yang terlalu banyak senyum dan terlihat kuat, adalah wanita yang sangat rapuh."Kenshi bergeming mendengar penjelasan Nailah. Dia sangat paham luka di dada Rinai, mengerti hancurnya hati wanita itu. Oleh karena itu dia bertekad untuk memperjuangkan lebih. Meski Rinai menolak sekalipun, dia akan akan memaksa. Sebab Kenshi yakin, jauh di hati sang wanita cinta untuknya masih sangat besar."Em, Nai, aku matikan telepon dulu. Sepertinya Rinai mulai sadar." Kenshi mengakhiri
Kenshi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, kebetulan jalanan menuju tempat tinggal Nailah tidak terlalu ramai. Kata-kata Nailah memantul-mantul di gendang telinganya. Rinai ... benarkah Nailah bertemu wanita itu? Setelah sekian lama mencari, membongkar setiap sudut kota, pulau, dan mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat tinggal Rinai, semua berakhir sia-sia.Rupanya, keputusan Nailah memilih tinggal di kota kelahirannya bertahun yang lalu, adalah takdir yang telah digariskan Tuhan. Di kota itulah ternyata wanita yang selalu Kenshi cintai, berada. Bagaimana bisa dia melewatkan kota tersebut, padahal hampir setiap akhir pekan Kenshi menyambangi rumah Nailah untuk bertemu Damian. Toko bunga, Kenshi mencurigai toko bunga yang sering dia lalui saat mengunjungi rumah Nailah. Setiap melewati toko bunga tersebut, dia selalu memelankan laju mobilnya. Melihat banyaknya bunga mawar dan lili ditanam di luar toko. Bunga-bunga itu favorit Rinai. Dia juga berujar dalam hati, bila
"Kamu sudah menemukannya?" Reinart merobek sepi yang membungkus ruang kerja Kenshi. Pria itu sengaja menemui adik tirinya itu kembali setelah pertemuan bisnis mereka selesai.Kenshi menggeleng pelan, dia masih sibuk menandatangani beberapa dokumen yang diletakkan oleh sekretarisnya. "Rinai seperti lenyap begitu saja. Sudah dua tahun, bayangannya saja tak pernah terlihat.""Apa mungkin dia ke luar provinsi?" tanya Reinart lagi. Kenshi meletakkan pulpelnya ke 'pen holder' setelah selesai dengan dokumen-dokumen tadi, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku sudah mencari ke seluruh tempat, tapi enggak menemukan. Enggak mungkin juga Rinai ke luar negeri. Aku udah meminta bantuan temanku yang bekerja di imigrasi, mengecek nama Rinai. Tapi, enggak ada."Reinart terdiam. Dia tahu usaha Kenshi cukup keras mencari keberadaan Rinai. Besarnya cinta sang adik membuat Reinart malu pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berpikir bisa berkompetisi dengan Kenshi, sementara niat untuk
Waktu menunjukkan pukul 02:30 dini hari. Tetapi, lampu di perpustakaan yang merangkap ruang kerja Kenshi saat di rumah, masih menyala terang. Tiga cangkir kopi yang dihidangkan asisten rumah tangga telah tandas diminum semua. Sejak Rinai menghilang, pria itu membenamkan diri dengan bekerja siang dan malam. Baginya, tidur adalah siksaan, karena setiap tubuhnya rebah di pembaringan, wajah Rinai akan selalu terbayang. Begitupun setiap kenangan yang pernah ada. Semua seolah-olah mengorek dada Kenshi.Kenshi sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk mencari Rinai. Banyak detektif sudah dia sewa untuk menemukan keberadaan sang wanita, tapi sosok wanita tersebut seakan lenyap ditelan bumi. Dua tahun ... selama itu Kenshi menahan kerinduannya. Makin lama cintanya pada Rinai semakin besar, berbanding lurus dengan rasa bersalahnya. Banyak kata pengandaian diujarkan si pria, tapi dia sadar tak bisa merubah apa pun.Tangan Kenshi meraih cangkir kopi yang sudah kosong. Dia menekan tombol save aga
Pagi belum sempurna datang, walaupun ayam jantan bersemangat berkokok saling bersahutan. Sang surya masih enggan beranjak dari peraduannya. Dia membiarkan awan-awan hitam menyelubungi langit sisa hujan semalam. Pikirnya, manusia pasti masih asyik terlena di dalam selimutnya.Tapi, tidak bagi seorang wanita. Pagi-pagi sekali dia sudah mengayuh sepeda menyusuri jalanan yang masih sedikit gelap. Sesekali bertegur sapa dengan para pekerja yang berpapasan. Desa tempat wanita itu tinggal terkenal sebagai penghasil teh terbaik. Tak heran, di sepanjang jalan banyak kebun-kebun teh yang terhampar. Semakin terang, makin banyak terlihat aktifitas warga yang mencari nafkah sebagai pemetik teh. Rata-rata dari mereka adalah perempuan berusia tujuh belas tahun ke atas. Wanita itu menghentikan sepedanya saat melihat seorang gadis yang dia kenal sedang memetik teh. Dia mengambil map yang terbuat dari plastik bening dari keranjang sepedanya. Seperti tahu diperhatikan, sang gadis mengangkat pandanganny
Rinai mengusap pipinya yang terasa basah. Entah bagaimana caranya air matanya bisa jatuh begitu saja. Melihat Kenshi berdiri di hadapan, semua kisah mereka berputar di matanya. Rencana pernikahan dan membangun rumah tangga, serta memiliki banyak anak dihancurkan oleh pria itu.Susah payah Rinai menahan hatinya agar tak lagi merasakan sakit, tapi dia gagal. Bohong jika dia tak mencintai Kenshi. Jauh di relung hati, pria itu masih menempati tahta tertinggi. Kenshi masih menguasai pikiran dan juga dirinya. Namun, wanita itu mencoba logis. Kisah mereka terlalu rumit, jika dipaksa terus bersama, yang ada hanyalah rasa sakit berkepanjangan."Rin, boleh aku bicara?" Kenshi mencoba melepaskan hening yang membelit mereka berdua.Rinai tak menjawab. Wanita itu merapatkan cardigannya, lalu duduk di kursi yang ada di teras rumah."Apa kabar?" Kenshi merapatkan bibirnya kembali, dia merutuki lidahnya yang berucap tanpa kendali. Harusnya tak perlu bertanya kabar. Dia bisa melihat sendiri dari pena