"Kenshi, kalau kamu seperti ini terus, Ibu yakin enggak ada yang betah sama kamu!" Kusuma sedikit terpancing emosinya ketika perawat yang baru bekerja tiga hari mengundurkan diri. Perawat itu mengeluh jika Kenshi tak mau bekerja sama. Pria yang duduk di kursi roda itu terlalu keras kepala dan selalu melakukan apa saja yang dia suka, termasuk memerintahkan ini dan itu.
"Emangnya aku salah apa, Buk? Mereka aja yang baper," jawab pria berambut gondrong tersebut dengan raut tenang. Matanya terpancang pada televisi 21 inci di hadapan sementara tangannya sibuk mengendalikan stik playstation.Kusuma menggeleng pelan seraya mengembuskan napas lelah. "Nak, Ibu tau sulit bagi kamu menerima keadaan ini, tapi cobalah mengerti. Ini takdir.""Aku baik-baik aja, Bu." Kenshi menjawab tanpa ekspresi, seolah-olah nada prihatin sang ibu tak berefek padanya."Iya, Ibu berharap kamu baik-baik aja." Kusuma berbalik hendak keluar dari kamar putra bungsunya itu, tetapi baru beberapa langkah dia berbalik. "Besok Ibu cari perawat baru untukmu, dan kali ini jangan berulah lagi."Kenshi mendengkus keras dan meletakkan stik playstation begitu saja ketika mendengar pintu kamarnya di tutup sang ibu. Pria yang dagunya ditumbuhi rambut halus itu kehilangan minatnya bermain game online. Dia menggerakkan kursi rodanya ke arah jendela kamar, menatap jauh ke ujung cakrawala. Beruntung kamarnya berada di lantai dua dan menghadap ke barat, hingga dia bebas menyaksikan megahnya warna saga yang selalu hadir kala senja hadir sebelum malam tiba.Cahaya kemerahan yang terbias di langit sana, selalu menjadi hiburan bagi Kenshi. Dahulu, hampir setiap hari dia singgah ke pantai hanya untuk menyaksikan sang surya merangkak turun. Dia sangat suka mengabadikan detik-detik menghilangnya mentari ke dalam lautan, seolah-olah benda itu tergelam.Dia juga suka mengabadikan Nailah, gadis yang kerap menemaninya melihat sunset tersebut. Gadis berambut panjang dengan kulit bersih seperti susu, memiliki mata bulat nan jernih, dan senyum manis. Dia cinta pertama Kenshi, gadis yang dia cintai dalam diam karena mereka bersahabat sejak kecil. Entah kapan persahabatan itu berubah menjadi getaran berbeda di dada pria berpostur jangkung tersebut, mungkin sejak Nailah mulai sering memberikan perhatian-perhatian kecil padanya. Seperti, pesan sederhana jangan lupa makan, tidur jangan terlalu larut, atau meminta pendapat jika si gadis bingung memilih sesuatu. Rasanya, Kenshi diperlakukan istimewa karena gadis tersebut selalu melibatkannya dalam mengambil keputusan.Kenshi yakin jika Nailah mengetahui perasaannya. Jadi, dia membiarkan saja semua berjalan seperti biasa. Bukankah cinta tak perlu diungkapkan dengan kata-kata? Yang penting mereka memahami perasaan masing-masing. Namun, semua asumsi itu tidak sesuai dengan kenyataan. Harusnya Kenshi tak perlu mengajak gadis tersebut ke bandara untuk menjemput Riyad dan tidak perlu memperkenalkan keduanya.Awalnya Kenshi tidak sedikit pun curiga kala Nailah mulai banyak bertanya perihal kakaknya. Dia pikir itu cara si gadis untuk lebih dekat pada keluarganya. Akan tetapi, beberapa minggu setelah itu Nailah mulai sulit diajak jalan, selalu ada saja alasannya. Kenshi tak pernah sekali pun berpikiran buruk, bahkan saat ibunya mengatakan akan melamar seseorang untuk sang kakak. Tentu saja dia bahagia karena sejak ayah mereka meninggal, Riyadlah yang mengambil tugas sebagai tulang punggung keluarga hingga mereka bisa hidup enak.Namun, semua kebahagiaan itu hancur lebur ketika tahu siapa gadis yang akan menjadi kakak iparnya. Dia, gadis yang selama ini menjadi sahabatnya, cinta dalam diamnya, dan juga yang dia niatkan menjadi pendampingnya. Entah sejak kapan keduanya dekat. Sang kakak nyaris tak pernah bercerita atau bertanya perihal gadis tersebut. Kenshi merasa hatinya patah berkeping-keping. Akan tetapi, dia tetap tersenyum seolah-olah baik-baik saja. Apalagi melihat lengkung bahagia terulas dari bibir keduanya, mata Nailah berbinar indah kala menatap sang kakak, membuat dia sadar perasaannya bertepuk sebelah tangan.Kilat yang disertai guntur membuyarkan lamunan Kenshi. Dia mengusap pelan wajahnya, lalu menatap kaki yang kini tak bisa digerakkan seperti biasa. Berkat kecerobohannya karena dibakar cemburu dan patah hati, pria itu mengendarai mobil dalam keadaan mabuk berat. Mobil yang dikemudikan Kenshi dengan kecepatan tinggi dan ugal-ugalan menabrak pohon besar. Akibat kecelakaan itu, pria yang berkeinginan menjadi dokter bedah harus mengubur cita-citanya dalam-dalam. Dokter mengatakan, tulang kaki Kenshi patah di beberapa bagian, kalau pun bisa sembuh tidak akan bisa berjalan normal dan butuh waktu yang sangat lama.Sudah terjatuh, ditimpa tangga pula, begitu pepatah yang dialamat padanya. Pria itu terpuruk dengan keadaannya dan mengurung diri berminggu-minggu. Hanya karena permintaan Nailah, memintanya hadir di pesta pernikahan yang membuat Kenshi luluh. Begitu besar cinta pria itu untuk sang gadis hingga tak peduli dengan perasaannya sendiri. Suara lantang Riyad mengucapkan ijab kabul seperti godam besi baginya. Suara itu seakan-akan menegaskan jika dia tak pantas lagi mengharapkan Nailah. Kenshi tersenyum dan mengucapkan selamat, tetapi hatinya tak rela melupakan cinta pertamanya. Biar saja dia memendam perasaan itu jauh ke dasar hati. Dia tahu itu sebuah dosa, tetapi dia juga tak berdaya mengusir rasa itu pergi.Suara ketukan dan suara Riyad membuat Kenshi menatap ke arah pintu kamar. Perlahan papan kayu itu terbuka dan menampilkan sosok Riyad. Pria yang lebih tua lima tahun di atasnya itu terlihat sangat dewasa, mapan, dan kharismatik. Pantas saja Nailah begitu tergila-gila padanya, sementara dia hanya mahasiswa yang masih dibiayai sang kakak dan urakan."Gimana keadaan kamu?" Riyad duduk di tepi pembaringan menghadap ke arah Kenshi."Aku kenapa, Kak?"Riyad menyatukan kesepuluh jemarinya. "Hampir satu tahun kamu seperti ini. Apa enggak bosan?""Trus aku mesti gimana? Toh aku enggak bisa ke mana-mana dengan keadaan kayak gini." Kenshi menjawab seringan mungkin."Ayolah, Ken! Aku enggak tau apa yang bikin kamu kacau, tapi ini bukan Kenshi yang aku kenal. Sampai kapan kamu jadi penghuni kamar, bermain game, dan membuang otak kamu yang cerdas itu? Apa enggak capek jadi beban?""Beban?!" Kenshi bertanya dengan nada ketus, tak sekali pun dia mengira sang kakak menganggap dia beban. "Aku enggak pernah membebani siapa pun.""Itu menurut kamu, tapi dengan sikapmu seperti ini. Enggak mau terapi, mengurung diri, kamu pikir enggak jadi beban pikiran buat Ibu? Sampai kapan kamu bersikap kekanakan, menyalahkan orang lain karena keadaanmu."Kenshi terdiam mendengar rentetan kalimat yang dikeluarkan Riyad. Pria itu benar, mungkin sudah saatnya dia bangkit. Toh, semua telah terjadi dan tak akan mungkin kembali ke masa lalu. Nailah tetaplah kakak iparnya sekarang."Iya, besok aku mulai terapi. Tapi, jangan berharap terlalu banyak. Aku udah terima keadaan kalau emang enggak bisa jalan lagi."Riyad berdiri dan menatap sang adik prihatin. Mungkin dia tidak tahu begitu banyak yang mencemaskan dirinya, termasuk Nailah. Wanita yang sedang mengandung buah cinta mereka itu selalu bertanya keadaan Kenshi. Andai saja Riyad tak mengetahui dulu keduanya bersahabat, mungkin kecemburuan akan bersarang di dadanya."Semangatlah. Yang penting usaha dulu, soal hasil biar urusan Tuhan." Riyad menepuk bahu sang adik memberi semangat.*Peluh mengalir deras dari pelipis Kenshi, setelah satu jam lebih melakukan terapi untuk melatih kakinya kembali. Dia hanya ingin melihat senyum di wajah sang ibu, agar wanita yang kepalanya telah dirimbuni oleh rambut keperakan tidak lagi mengkhawatirkannya. Sembari menunggu Kusuma berdiskusi dengan dokter, Kenshi memilih menjalankan kursi rodanya ke arah taman yang ada di belakang klinik. Dari jarak dua meter dia bisa melihat rimbunnya bunga bugenville beraneka warna. Sepertinya sang dokter sangat menyukai bunga yang lazim disebut kembang sepatu itu. Sebuah kolam kecil juga berada di tengah-tengah taman. Bunyi gemerisik air mancur di tengah kolam membuat suasana terasa sangat asri.Mata Kenshi lalu terpancang pada sosok seorang wanita yang membungkuk-bungkuk. Sepertinya dia mencari sesuatu karena terlihat menyibak beberapa rumput liar yang tumbuh di sekitar taman itu. Wajahnya wanita itu terlihat memerah terkena sinar matahari, belum lagi setiap kali dia mengelap peluh di wajahnya, beberapa tanah juga ikut melekat.Merasa seseorang memerhatikannya, wanita itu mengangkat pandangannya dan matanya bersiborok dengan iris milik Kenshi. Wanita itu mengernyitkan dahi melihat sang pria seperti menahan tawa melihat ke arahnya. Awalnya dia tidak memedulikan, tetapi diperhatikan terus-menerus membuatnya risih, hingga wanita itu melangkah lebar mendekati sang pria."Maaf, ya, Mas. Kamu ada masalah sama saya?" tanya wanita itu sedikit ketus.Bukannya tersinggung, Kenshi malah tersenyum semakin lebar melihat wajah gusar si wanita. "Enggak, cuma aneh aja liat kamu dari tadi mulung, tapi kok enggak dapat-dapat. Mulung apa? Benda gaib?""Eh, Mas! Saya mau ngapain juga napa kamu yang repot? Lagian saya bukan pemulung. Enak aja! Punya mulut itu dijaga jangan asal bunyi."Tawa Kenshi semakin keras. Baru kali ini dia bertemu wanita cantik, tapi mulutnya super pedas. Biasanya, setiap kali seorang wanita berhadapan dengannya, mereka pasti akan mencari banyak cara untuk menarik perhatiannya. Namun, wanita di hadapannya ini sungguh berbeda, membuat Kenshi semakin ingin mengerjainya."Gimana saya enggak repot, liat wanita cantik mondar-mandir enggak jelas di depan saya. Dari pada kamu enggak ada kerjaan, mending kerja sama saya saja. Dijamin gajinya besar.""Kerja apa?" Si wanita mulai tertarik, tetapi tetap waspada."Jadi istri saya," jawab Kenshi, lagi-lagi tertawa keras. Dia semakin puas melihat wajah sang wanita yang semakin memerah."Eh, dengar, ya. Meski kamu pria terakhir di dunia, saya enggak pernah mau jadi istri kamu. Ingat itu!" balas sang wanita ketus, lalu dia berbalik hendak meninggalkan Kenshi.Akan tetapi, baru tiga langkah dia berhenti dan menyapa dokter yang berjalan bersama Kusuma."Rinai, dari tadi saya nyariin kamu. Ini Buk Kusuma. Dia yang saya ceritakan kemarin. Mulai hari ini kamu ikut beliau untuk membantu merawat putranya." Sang dokter memperkenalkan keduanya.Rinai tersenyum ramah dan mengulurkan tangan yang disambut oleh kusuma."Jadi, kamu sudah ketemu anak saya." Kusuma tersenyum seraya menatap ke belakang punggung Rinai.Rinai merasakan firasat tidak baik menghampirinya. Jika wanita itu menatap ke belakangnya, berarti anaknya adalah .... perlahan dia memutar tubuhnya dan menangkap senyum kemenangan dari bibir pria tengil tadi. Sepertinya dia harus menarik ucapannya tentang pria terakhir di dunia.Rinai menganjur napas pelan sebelum mengetuk pintu bercat putih di hadapan. Ini hari pertama dia bekerja mengurus pria yang ada di balik pintu kayu itu. Pria yang membuat dia harus menahan malu. Bagaimana tidak? Rinai harus menarik ucapannya. Pria yang dia bilang gila itu adalah sumber keuangannya. Mana mungkin Rinai menolak pekerjaan yang sudah dia setujui beberapa hari yang lalu. Bisa-bisa dituntut mengingkari perjanjian kerja, lagipula dia sangat membutuhkan gaji yang dijanjikan. Sejak mendapati Reinart tak setia, Rinai merasa dunianya hancur detik itu juga. Dia juga tak mengira reaksi Reinart yang datar, seolah-olah apa yang dilakukan pria itu bukan sesuatu yang menyakitkan."Jelaskan, Rien!" Rinai mencoba menahan genangan air mata yang mulai membanjiri kelopak matanya. Dia tak ingin terlihat lemah di hadapan pria itu."Pulanglah, nanti aku jelaskan di rumah."Rinai tertawa sumbang, mengalihkan pandangan sesaat. "Ke mana? Apa aku punya rumah di sini? Kamu tau, berapa puluh kilo m
Rinai memicingkan mata menatap kantong kresek yang diulurkan Kenshi. Meski pria tersenyum tetap saja dia tidak ingin tertipu. Dia semakin meningkatkan kewaspadaan terhadap pria tersebut. Apalagi setelah dikerjai tadi pagi, membuatnya semakin insecure."Ini hanya buah. Aku minta tolong dikupasin, ya." Kenshi mengeluarkan sebutir apel merah dan menunjukkan pada Rinai. Dia mengulum senyum melihat reaksi sang wanita yang masih saja dingin seraya menatapnya dengan sorot curiga. "Aku rasa itu bukan tugasku," jawab Rinai sambil bersedekap. Dia tak ingin bersimpati pada pria itu.Kenshi mendesah pelan. "Ya, aku cuma minta tolong. Kalau kamu enggak mau, ya, sudah." Dia memutar kursi rodanya menghadap jendela. Memang dari jendela itu dia bisa melihat pemandangan di bawah sana. Tepat di depan rumah Kenshi, terdapat taman terbuka yang digunakan warga sekitar untuk berjalan-jalan menunggu senja tiba. Dulu dia juga sering menghabiskan waktu di sana. Sekadar berlari mengitari taman, lalu memperhat
Rinai mengaduk minumannya tanpa semangat. Sesekali mata bulat wanita itu melirik ke arah pintu restoran, dia menunggu seseorang yang kemarin mengirimkan pesan padanya. Dia sama sekali tidak mengira jika Reinart mengajaknya bertemu. Hampir satu bulan setelah Rinai memergoki perselingkuhan suaminya, baru kali ini Reinart menghubunginya kembali. Padahal sang pria berjanji akan menghubunginya secepat mungkin. Rinai tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Yang pasti dia penasaran apa yang akan disampaikan Reinart. Langkah kaki yang mendekat, membuat Rinai mengangkat pandangannya. Mata wanita itu menangkap sosok Reinart yang telah berdiri di hadapan. Pria itu terlihat sangat kacau, cambangnya dibiarkan tumbuh begitu saja. Padahal Reinart adalah tipe pria pesolek. Dia sangat memperhatikan penampilan hingga untuk memangkas rambut pun harus ke barber shop ternama."Sorry, kamu lama nunggu?" sapa Reinart duduk di hadapan Rinai. "Enggak terlalu lama. Kamu apa kabar?" Rinai mencoba bersikap
Kenshi berdecak kesal, berkali-kali teleponnya ditolak Rinai. Sejak sore kemarin wanita itu bersikap aneh, dia lebih banyak diam dan membuang wajah setiap kali bersitatap dengannya, membuatnya urung untuk menggoda wanita tersebut. Hari ini pun sama, Rinai meminta izin untuk keluar seharian. Dia beralasan ingin menemui keluarganya. Kenshi penasaran, apa wanita itu berkata jujur atau tidak. Meski belum terlalu lama mengenal Rinai, tapi pria tersebut mampu mengenali bahasa tubuh seseorang dan dia tahu si wanita berbohong. Oleh karena itu Kenshi menghubungi seseorang untuk mengawasi Rinai. Dia tak mengerti mengapa wanita itu menarik perhatiannya.Saat Kenshi ingin menghubungi orang suruhannya, sebuah taksi berhenti tepat di depan rumahnya. Dari jendela kamarnya, pria itu bisa melihat sosok Rinai keluar dari sana. Wanita itu berjalan dengan cepat sambil menunduk. Kenshi bisa merasakan sesuatu yang tidak beres sedang menimpa sang wanita. Setelah sosok Rinai hilang dari pandangan, sang pria
Rinai masih tak percaya dia menyetujui permintaan Kenshi. Apa rasa kecewa pada Reinart membuat otaknya juga tak bisa berpikir logis. Bagaimana dia bisa menjalin hubungan dengan seseorang yang baru dikenal dalam hitungan hari. Bahkan, dia tak tahu siapa nama lengkap pria tersebut. Sebenarnya dia buta tentang Kenshi. Bagaimana karakter dan masa lalu pria itu.Wanita berambut panjang bergelombang itu memperhatikan Kenshi yang sedang tertidur. Pria itu baru saja terlelap setelah meminum obat dan dipijat kakinya oleh Rinai. Dia bilang, pijatan sang wanita merilekskan kondisi tubuhnya. Entah benar atau tidak, tapi Kenshi benar-benar tertidur. Rinai bangkit dari pembaringan, gerakannya sangat pelan seolah-olah takut mengganggu tidur si pria.Setelah menyelimuti Kenshi, Rinai masih sempat memperhatikan wajah pria tersebut. Saat tidur Kenshi terlihat seperti bocah. Raut wajahnya begitu tenang, tak terlihat gundah yang terkadang ditangkap mata Rinai. Deru napasnya pun sangat tenang dan entah me
"Udah, dong, Rin. Aku minta maaf." Kenshi berusaha meraih tangan wanita tersebut, tapi Rinai menepisnya pelan."Kamu itu kebiasaan. Ngomong itu difilter napa?""Lah! Salahnya di mana, coba? Kita, kan, udah sepakat memulai hubungan. Siapa tau emang beneran jodoh," ujar Kenshi ringan sambil tersenyum yang di mata Rinai terlihat menyebalkan."Dengar ..." Rinai menganjur napas sejenak. Menghadapi Kenshi seperti mendebat seorang balita. "Ini enggak logis. Gimana mungkin kita bisa bareng kalau enggak ada rasa sama sekali.""Ini bisa," balas Kenshi dengan sorot jenaka.Rinai mengembuskan napas panjang dan dalam. Dia benar-benar kehabisan kata mementahkan argumen pria itu. "Udahlah, jangan bahas lagi. Liat aja, ntar.""Nah, gitu dong. Keknya kamu emang calon istri idaman." Kenshi hendak tertawa setelah melemparkan candaan itu pada Rinai, tetapi urung setelah melihat sorot sang wanita menajam, persis silet."Wanita tadi siapa?" tanya Rinai seraya mengulurkan mangkok kecil yang berisi obat-obat
Kenshi menatap Rinai dalam diam. Setelah selesai melakukan fisioterapi, pria itu mendapati si wanita duduk di ruang tunggu khusus ruangan terapi dengan mata sembab. Meski Rinai mati-matian menyembunyikan keadaannya, dia tahu ada sesuatu yang membuat sang wanita bersedih. Saat ditanya, wanita itu menjawab jika dia baik-baik saja sembari mengulas senyum. Jelas berbanding terbalik dengan rautnya yang terlihat suram. Sepanjang perjalanan menuju pulang hanya hening yang mengambil tempat di antara keduanya. Rinai selalu menghindari bertatapan langsung dengan Kenshi. Wanita itu memilih melihat keluar melalui jendela kaca mobil. Otaknya masih saja mengira-ngira sejak kapan pengkhianatan itu dimulai. Di dalam surat itu jelas tertulis jika Amanda mengandung selama dua belas minggu. Jika benar, artinya janji pernikahan yang diucap Reinart hanya bertahan enam bulan, sisanya adalah sandiwara yang sangat sempurna."Kalau mau cerita aku siap dengerin." Suara kenshi mengembalikan kesadaran Rinai. P
Tangan Rinai menyeka kaca yang berembun perlahan hingga dingin terasa di telapak tangannya, sedingin hatinya saat ini. Kata-kata Kenshi terus memantul-mantul di gendang telinganya, membuat ngilu tak henti merayap di sekujur tubuhnya. Rinai heran, harusnya sakit dan kekecewaan ini tak perlu ada. Bukankah sudah jelas bagaimana hubungan mereka sejak awal? Hanya sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan. Tidak ada rasa di sana dan dia begitu percaya diri tak akan jatuh cinta pada pria tersebut.Tunggu, cinta?! Rinai tertawa pelan ketika pemikiran itu masuk ke benaknya. Tak mungkin dia jatuh cinta secepat itu. Sedangkan bersama Reinart saja dia tak yakin apakah mereka menikah karena cinta, sebab sakit yang diberi pria itu seolah-olah lenyap begitu saja. Namun, bersama Kenshi dia menemukan kenyamanan itu. Rinai menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dia menampik asumsi itu sekuat hati. Tak mungkin jatuh cinta kepada pria itu."Kamu aneh."Suara Kenshi membuat Rinai menoleh. Matanya menang
Sebuah Villa berdiri sangat kokoh di daerah perbukitan. Satu-satunya bangunan yang berada di tengah-tengah perkebunan teh itu terlihat sangat mencolok, baik dari bentuk maupun catnya. Bangunan yang lebih mirip sebuah kastil di abad pertengahan tersebut milik Kenshi. Tanah itu sengaja dia beli setahun yang lalu saat berkunjung ke rumah Nailah. Tanah itu dia bangun dalam waktu enam bulan, sambil menanam harapan kelak tempat tersebut akan menjadi tempat liburan bersama Rinai dan anak-anak mereka.Kenshi percaya jika kata-kata memiliki kekuatan magis. Oleh karena itu dia selalu mengucapkan semua keinginannya setiap saat. Dia yakin semua ucapannya akan menjadi kenyataan suatu hari nanti. Penantian dan semua harapan pria tersebut dikabulkan Sang Mahakuasa, bangunan megah yang berdiri di atas tanah seluas dua hektar tersebut, kini dipenuhi kendaraan roda empat. Mereka hadir untuk menjadi saksi pernikahan Rinai dan Kenshi. Setelah drama percintaan yang panjang, akhirnya sang wanita menerima l
Rinai bergegas mengayuh sepedanya. Mujur, hujan semalam sudah berhenti sejak subuh, meninggalkan jejak basah di jalanan dan genangan air di lubang-lubang yang berlumpur. Andai saja semalam dia tak tidur larut malam, mungkin tak akan terlambat mengantar kepergian Ayu menuju tempat kuliahnya.Gadis itu memberi kabar bahwa dia diterima di universitas yang direkomendasikan Rinai. Wanita tersebut memenuhi janjinya membayar uang pangkal masuk ke universitas itu dan berjanji sesekali akan mengunjungi Ayu nanti."Mbak Rinai!" Ayu berseru begitu melihat kedatangan Rinai, dia menyongsong seraya tersenyum melihat Rinai memarkirkan sepedanya. "Aku pikir Mbak enggak jadi datang."Rinai tersenyum, dia memperbaiki anak rambut yang dimainkan semilir angin. "Jadi dong. Mbak enggak akan lewatkan kesempatan ngantar kamu, meski cuma sampai terminal ini.""Makasih, ya, Mbak. Kalau enggak ada Mbak, enggak mungkin Ayu bisa kuliah di tempat sebagus itu." Lirih Ayu, di menggenggam tangan Rinai erat dan menata
Rinai menunduk melihat jemarinya yang terjalin erat di atas pangkuan. Sesekali melihat ke depan, di mana dua orang pria beda usia sedang bercengkerama, mereka ayah dan anak yang sedang bermain di taman rumah sakit. Sang ayah yang memiliki profil wajah bukan keturunan Indonesia murni itu, sedang berlari-lari kecil dikejar putranya yang masih berumur satu tahun. Sesekali bocah itu terjatuh, tapi bangkit lagi begitu si ayah mendekat."Mereka seperti anak kecil, kan?" ujar Nailah sembari tersenyum. Dia tahu Rinai memperhatikan putra dan suaminya.Rinai mengangguk, dia juga mengulas senyum. "Ya, anakmu lucu sekali.""Iya, dong. Karna ayahnya juga lucu. Coba kalau Kenshi jadi ayahnya, tentu enggak seganteng itu anakku." Nailah sengaja menyebut nama Kenshi, dia ingin memancing reaksi Rinai."Pasti gantenglah, Kenshi ganteng gitu." Tanpa sadar Rinai menyelutuk.Nailah tertawa mendengar ucapan Rinai. Memang, alam bawah sadar tidak akan berdusta tentang apa yang kita pikirkan dan rasakan. Saat
"Gimana keadaan Rinai?" Nailah bertanya lewat saluran telepon.Kenshi melirik sebentar ke arah brankar rumah sakit, di mana Rinai terbaring lemah. Di tubuh wanita itu terpasang infus untuk menyalurkan cairan."Dia baik-baik aja. Dokter bilang dia mengalami shock saja.""Aku harap dia segera siuman. Kasihan dia, sebagai seorang wanita aku bisa merasakan apa yang dia rasakan. Kadang, kita enggak butuh mendengar keluhan, cukup menatap ke dalam mata, kita sudah bisa melihat seperti apa keadaan hatinya. Ada kalanya, wanita yang terlalu banyak senyum dan terlihat kuat, adalah wanita yang sangat rapuh."Kenshi bergeming mendengar penjelasan Nailah. Dia sangat paham luka di dada Rinai, mengerti hancurnya hati wanita itu. Oleh karena itu dia bertekad untuk memperjuangkan lebih. Meski Rinai menolak sekalipun, dia akan akan memaksa. Sebab Kenshi yakin, jauh di hati sang wanita cinta untuknya masih sangat besar."Em, Nai, aku matikan telepon dulu. Sepertinya Rinai mulai sadar." Kenshi mengakhiri
Kenshi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, kebetulan jalanan menuju tempat tinggal Nailah tidak terlalu ramai. Kata-kata Nailah memantul-mantul di gendang telinganya. Rinai ... benarkah Nailah bertemu wanita itu? Setelah sekian lama mencari, membongkar setiap sudut kota, pulau, dan mendatangi rumah yang dicurigai menjadi tempat tinggal Rinai, semua berakhir sia-sia.Rupanya, keputusan Nailah memilih tinggal di kota kelahirannya bertahun yang lalu, adalah takdir yang telah digariskan Tuhan. Di kota itulah ternyata wanita yang selalu Kenshi cintai, berada. Bagaimana bisa dia melewatkan kota tersebut, padahal hampir setiap akhir pekan Kenshi menyambangi rumah Nailah untuk bertemu Damian. Toko bunga, Kenshi mencurigai toko bunga yang sering dia lalui saat mengunjungi rumah Nailah. Setiap melewati toko bunga tersebut, dia selalu memelankan laju mobilnya. Melihat banyaknya bunga mawar dan lili ditanam di luar toko. Bunga-bunga itu favorit Rinai. Dia juga berujar dalam hati, bila
"Kamu sudah menemukannya?" Reinart merobek sepi yang membungkus ruang kerja Kenshi. Pria itu sengaja menemui adik tirinya itu kembali setelah pertemuan bisnis mereka selesai.Kenshi menggeleng pelan, dia masih sibuk menandatangani beberapa dokumen yang diletakkan oleh sekretarisnya. "Rinai seperti lenyap begitu saja. Sudah dua tahun, bayangannya saja tak pernah terlihat.""Apa mungkin dia ke luar provinsi?" tanya Reinart lagi. Kenshi meletakkan pulpelnya ke 'pen holder' setelah selesai dengan dokumen-dokumen tadi, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku sudah mencari ke seluruh tempat, tapi enggak menemukan. Enggak mungkin juga Rinai ke luar negeri. Aku udah meminta bantuan temanku yang bekerja di imigrasi, mengecek nama Rinai. Tapi, enggak ada."Reinart terdiam. Dia tahu usaha Kenshi cukup keras mencari keberadaan Rinai. Besarnya cinta sang adik membuat Reinart malu pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berpikir bisa berkompetisi dengan Kenshi, sementara niat untuk
Waktu menunjukkan pukul 02:30 dini hari. Tetapi, lampu di perpustakaan yang merangkap ruang kerja Kenshi saat di rumah, masih menyala terang. Tiga cangkir kopi yang dihidangkan asisten rumah tangga telah tandas diminum semua. Sejak Rinai menghilang, pria itu membenamkan diri dengan bekerja siang dan malam. Baginya, tidur adalah siksaan, karena setiap tubuhnya rebah di pembaringan, wajah Rinai akan selalu terbayang. Begitupun setiap kenangan yang pernah ada. Semua seolah-olah mengorek dada Kenshi.Kenshi sudah mengerahkan semua kemampuannya untuk mencari Rinai. Banyak detektif sudah dia sewa untuk menemukan keberadaan sang wanita, tapi sosok wanita tersebut seakan lenyap ditelan bumi. Dua tahun ... selama itu Kenshi menahan kerinduannya. Makin lama cintanya pada Rinai semakin besar, berbanding lurus dengan rasa bersalahnya. Banyak kata pengandaian diujarkan si pria, tapi dia sadar tak bisa merubah apa pun.Tangan Kenshi meraih cangkir kopi yang sudah kosong. Dia menekan tombol save aga
Pagi belum sempurna datang, walaupun ayam jantan bersemangat berkokok saling bersahutan. Sang surya masih enggan beranjak dari peraduannya. Dia membiarkan awan-awan hitam menyelubungi langit sisa hujan semalam. Pikirnya, manusia pasti masih asyik terlena di dalam selimutnya.Tapi, tidak bagi seorang wanita. Pagi-pagi sekali dia sudah mengayuh sepeda menyusuri jalanan yang masih sedikit gelap. Sesekali bertegur sapa dengan para pekerja yang berpapasan. Desa tempat wanita itu tinggal terkenal sebagai penghasil teh terbaik. Tak heran, di sepanjang jalan banyak kebun-kebun teh yang terhampar. Semakin terang, makin banyak terlihat aktifitas warga yang mencari nafkah sebagai pemetik teh. Rata-rata dari mereka adalah perempuan berusia tujuh belas tahun ke atas. Wanita itu menghentikan sepedanya saat melihat seorang gadis yang dia kenal sedang memetik teh. Dia mengambil map yang terbuat dari plastik bening dari keranjang sepedanya. Seperti tahu diperhatikan, sang gadis mengangkat pandanganny
Rinai mengusap pipinya yang terasa basah. Entah bagaimana caranya air matanya bisa jatuh begitu saja. Melihat Kenshi berdiri di hadapan, semua kisah mereka berputar di matanya. Rencana pernikahan dan membangun rumah tangga, serta memiliki banyak anak dihancurkan oleh pria itu.Susah payah Rinai menahan hatinya agar tak lagi merasakan sakit, tapi dia gagal. Bohong jika dia tak mencintai Kenshi. Jauh di relung hati, pria itu masih menempati tahta tertinggi. Kenshi masih menguasai pikiran dan juga dirinya. Namun, wanita itu mencoba logis. Kisah mereka terlalu rumit, jika dipaksa terus bersama, yang ada hanyalah rasa sakit berkepanjangan."Rin, boleh aku bicara?" Kenshi mencoba melepaskan hening yang membelit mereka berdua.Rinai tak menjawab. Wanita itu merapatkan cardigannya, lalu duduk di kursi yang ada di teras rumah."Apa kabar?" Kenshi merapatkan bibirnya kembali, dia merutuki lidahnya yang berucap tanpa kendali. Harusnya tak perlu bertanya kabar. Dia bisa melihat sendiri dari pena