"Silakan masuk, Bu Ambar," ujar asisten Kadin menyuruh Ambar segera masuk. Ambar masih berdiri dengan lutut bergetar hebat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan saat itu. Berteriak memanggil Sela dan mengatakan kalau ayahnya kecelakaan, ataukah menuruti perintah asisten untuk masuk. "Bu Ambar silakan masuk," ucap asisten Kadin mengulangi. Ambar yang sudah menangis melangkah gontai dan duduk asal di samping Sela. Semua mata tertuju padanya. "Saya belum bicara sudah menangis," kata Kadin ketus. Kesal melihat wajah Ambar. Tidak suka dengan kelakuan yang tidak mencerminkan seorang pendidik. Dering ponsel Ambar membuat semua menatapnya."Saya izin mengangkat telepon dulu," kata Ambar dengan suara yang bergetar. "Silakan. Di sini saja mengangkat teleponnya," kata Kadin.Ambar segera menekan tombol telepon hijau. "Halo," ucapnya. "Mbak, pulanglah segera, Mbak. Cepatlah datang, Mbak. Aku bingung sekali, Mbak. Bapak, Mbak, Bapak sudah seperti itu. Mbak, datanglah segera." Adik Ambar
Part 67 Ambar menyeret tubuhnya yang seperti kehilangan tenaga. Menyusul Sela yang lebih dulu pergi ke tempat parkir. “Mas,” panggilnya sambil menangis. Sejak di dalam ruang Kadin, ponselnya terus berbunyi. Dan saat memeriksa sudah ada puluhan panggilan dari sang adik. Ia duduk di teras mushola yang berhadapan dengan tempat parkir. Sela menyusulnya kesana. Entah mengapa, Ambar merasa tenaganya hilang banyak. Ia seperti lemas tidak berdaya. “Mbak, pulanglah! Mbak Ambar harus pulang sekarang, Mbak. Mbak, pulang,” kata Kinan sambil menangis terisak. Ambar tahu, anaknya dalam keadaan yang sangat sedih dan terpuruk. “Iya, sebentar lagi aku akan pulang. Ini sudah siap-siap dan sampai di kota. Ibu baik-baik saja, ‘kan, Nan?” Kinan menangis. “Kinan, Ibu baik-baik saja, ‘kan?” “Pulanglah sekarang, Mbak Ambar. Tolong, Mbak, aku bingung menghadapi ini sendirian.” Ambar terisak. “Iya, tunggu ya, aku akan pulang dan akan langsung ke rumah sakit,” katanya kemudian. Sela menatap iba
Part 68Ambar: Maaf, Bu, saya tidak bisa ikut. Saya pulang, karena tadi dapat kabar kalau Bapak kecelakaan, dan ternyata sampai sini ternyata Ibu juga ikut dan nyawa Ibu tidak tertolong. Ini baru saja pulang dari pemakaman dan Bapak masih kritis di ICU. Mohon doanya teman-teman semua, agar Ibu ditempatkan di sisi terbaik Allah dan Bapak segera diberikan kesembuhan.Semua guru mengucapkan belasungkawa di grup itu. tidak kecuali Sari sebagai kepala sekolah, tetapi setelahnya Sari kembali menuliskan pesan yang membuat Ambar meradang karena merasa kepala sekolahnya itu tidak memiliki empati sama sekali dengan musibah yang menimpanya.Sari: Tapi lusa harus tetap berangkat ke sekolah, Bu. Soalnya BPK sudah membuat jadwal dan kalau kita minta ganti hari, takutnya akan menimbulkan masalah baru.Ambar: tidakkah bisa Bu Sari berempati sedikit sama saya, Bu? Saya sedang terkena musibah. Bisakah ada guru lain yang menggantikan saya? Guru ‘kan banyak, Bu, tidak hanya saya. Laporan ada di meja saya
Part 69Siang itu, Tri mengadakan rapat di sekolah. Dengan perasaan sedih, ia mengatakan kalau dirinya dipindah tugaskan ke sekolah lain. Sekolah yang muridnya lebih sedikit karena ia dianggap gagal mengelola manajemen sekolah yang besar. “Saya minta maaf atas segala hal yang terjadi karena ketidak tegasan saya menjadi seorang pemimpin. Apa yang terjadi akan saya jadikan pelajaran dalam hidup yang sangat berharga. Semoga sekolah ini bisa maju dan berkembang pesat setelah ditinggalkan oleh saya.” Kalimat yang diucapkan terdengar penuh penyesalan.Sela menjadi semakin merasa sengsara. Satu per satu orang yang berada di pihaknya kini pergi meninggalkannya. Hanya ia seorang diri di sekolah itu dengan keadaan semua teman membenci. Dan dalam keadaan hati menunggu giliran mendapatkan sanksi. Bak sebuah drama sinetron, peran paling jahat akan mendapat hukuman paling belakang dan sangat berat.Kini ia hanya bisa pasrah menerima takdir buruk yang ia sendiri ikut andil di dalamnya.Tri menyalami
Part 70Ibra tersadar setelah dioperasi. Ia menatap gips yang membingkai kedua kakinya.“Kenapa aku seperti ini?” tanya Ibra pada sang istri.“Karena kamu omongannya tidak pernah dipikir dulu kalau mau keluar, jadi kamu terkena azab,” jawab istrinya santai.“Kamu kenapa bilang seperti itu? Kamu suka ya melihat aku seperti ini?” tanya Ibra lagi. Sebenarnya ia masih pusing dan masih merasakan sakit yang sangat berat.“Setidaknya dengan ini aku berharap, kamu bisa membedakan mana hal yang baik dan mana yang buruk. Kamu membela temanmu yang salah mati-matian. Ini ;kan akibatnya? Apakah mereka bisa membantumu? Tidak, ‘kan? Makanya, setelah ini, berubahlah. Berteman sih boleh saja. Asalkan jangan begitu amat! Orang salah, kamu membela dan ikut membantu mereka. Kalau sudah seperti ini, mau gimana? Aku bersyukur, kamu yang terkena azabnya. Bukan keluarga kita. Karena rumah kita sudah sering digunakan oleh orang itu untuk berbuat mesum. Aku yang punya rumah sampai malu, tapi mereka benar-benar
Part 71Ambar kembali ke ruang kantor karena merasa kedinginan di dalam kamar mandi. Mata yang sembab menjadikan beberapa orang saling pandang. Namun, mereka sudah tahu apa penyebabnya. Sari memanggil Ambar ke ruang kerjanya. "Duduklah!" perintahnya. Wanita itu duduk dan menundukkan kepala. "BPK sudah mengaudit sekolah kita dan hasilnya sudah disampaikan melalui surat yang dikirmkan labgsung oleh Kadin pada saya." Sari berhenti sebentar u tuk mengatur kata-kata. "Bu Ambar diminta mengembalikan uang salah sejumlah lima puluh dua juta tiga ratus sembilan puluh ribu," katanya lagi. "Selain itu, Bu Ambar, saya berharap Bu Ambar bisa mengambil hikmah dari semua kejadian ini. Berpikir ulang untuk melakukan sebuah tindakan yang bisa membuat kegaduhan. Apalagi harus melibatkan sekolah seperti ini. Saya harap Bu Ambar setelah ini mau mengikuti semua proses tanpa harus pergi-pergi lagi. Karena saya yang pusing, Bu, harus ditanya ini dan itu. Padahal saya bukan pelakunya. Saya juga mendapatka
Part 72POV AmbarHancur, jatuh dan ah, aku tidak bisa menggambarkan segala rasa yang ada dalam dada tatkala mobil patroli polisi menjemputku di sekolah. Dimana lagi wajahku hendak kusembunyikan?Bahkan beberapa orang yang tidak sengaja lewat atau juga beberapa pedagang yang mangkal di depan sekolah juga melihat saat aku harus dibawa bak penjahat besar. Semua pasang mata tidak ada yang tidak menatapku. Padahal aku hanya melakukan sekelumit kesalahan, tetapi mereka semua melihat diri ini seperti orang yang paling hina di dunia.Sebuah mobil berhenti. Aku melihat Diah, rival yang telah ikut andil membuat aku berada di titik terendah dalam hidup ini. Sesaat kami saling bersitatap. Ada pandangan penuh kemenangan terpancar dari sorot matanya. Ia mengenakan seragam korpri untuk menjemput nasibnya yang baru. Ah, dunia terkadang tidak seadil itu. Diah yang tidak punya etika harus mendapatkan keberuntungan yang bertubi-tubi. Sementara aku, aku dirundung duka dan nestapa.Aku menatap tanpa kedi
Part 73Aku mengerjapkan mata dalam keadaan tubuh sudah berbaring di atas bed pemeriksaan. Ternyata selama berjam-jam lamanya pingsan. Beruntung mereka tidak membuangku ke tempat sampah atau ke kali.“Sudah sadar?” Seorang wanita berpakaian serba putih bertanya padaku.Aku memegang kepala karena pusing.‘Selamat ya, atas kehamilannya,” kata wanita cantik itu.“Apa, aku hamil? Jangan ngaco!” kataku sambil bangun. “Aku sudah memakai IUD. Mana mungkin aku hamil?”Wanita itu malah tersenyum. “Maaf, Ibu, yang namanya alat kontrasepsi itu sifatnya hanya mencegah. Tetapi, Allah yang memberikan karunia itu. Hati-hati ya, Bu, kandungannya baru menginjak dua bulan. Sedang dalam masa yang harus dijaga. Ini saya berikan vitamin. Nanti sebentar lagi akan ada polisi yang menjemput Ibu kemari.”Aku diberikan sebuah plastik berisi obat dan wanita cantik itu meninggalkanku.“Aku hamil?” tanyaku lirih sambil mengusap perut yang masih rata. “Mas Sela, ini anakmu, Mas. Kamu sedang apa di sana? Bapak, di