Semua orang simpati pada Mas Sela yang bak habis manis sepah dibuang.“Diah itu benci juga sama aku, Pak, karena dia tidak lolos dan posisinya diisi aku. Jadi, saat sudah diangkat, dia ingin bersaing denganku jadi bendahara,” sambungku.“Ya intinya, Diah sudah sejak lama ingin merebut posisiku lah,” kata Mas Sela.“Gini saja sekarang, jangan ada yang mau membantu Diah untuk urusan membuat laporan! Jangan ada yang mengajari dia biar laporannya tidak jadi! Yang jelas bagaimanapun, kita harus bisa membuatnya mundur,” sambung Ibra.“Dia itu licik, iri hati dan dengki. Aku heran sekali dengan orang seperti Diah,” kataku.“Ya dia intinya benar-benar mau merebut posisiku menjadi bendahara lah. Dikiranya dia bisa melakukan itu. Dia pikir ‘kan laporan bisa dibuat dengan meminta bantuan orang lain.” Mas Sela kembali bicara.“Ih, Diah kok seperti itu sih?” kata Mbak Risna.Berhasil. Mbak Risna padahal sahabat Diah, tapi dia sekarang sudah membenci Diah dan artinya, Diah tidak bisa meminta bantua
Part 63POV Author“Bahagia itu sederhana ternyata ya, Nil,” kata Diah pada Nila yang sedang memandang lautan luas untuk melepaskan beban pikiran kami. Nila meminta bayaran atas apa yang dilakukannya hari ini. Nila menolak Diah yang mau membelikan bakso, katanya apa yang terjadi tidak cukup dibayar dengan semangkuk bakso saja. Oleh sebab itu, mereka duduk di sini, di balkon sebuah rumah makan yang ada di tepi pantai.“Apa?” tanya Nila.“Melihat Ambar terjatuh. Itu bahagiaku,” ucap Diah sambil menikmati angin yang menyapu wajah.“Hemh, apa kamu sangat membencinya?” tanya Nila lagi.“Aku sakit hati dengan semua yang dia lakukan terhadapku. Kamu tahu? Aku sempat berpikir, kenapa hidup terasa tidak adil? Kenapa Ambar seolah mendapatkan banyak hal padahal dia telah menyakiti banyak orang. Namun kini, aku sadar, setiap hal ada waktu dan masanya. Ada waktunya berjaya dan asa waktunya terjatuh juga. Mengajari padaku banyak hal.”“Apa?”Diah menoleh pada Nila yang masih memandang lautan lepas
Part 64Sela masuk rumah orang tuanya dan berbaring di kamar, memandang langit-langit dengan perasaan yang sudah hancur lebur. Mau pulang malu pada Indah. Mau bercerita pada ibunya, sudah pasti ia kena marah habis-habisan. Bapaknya beberapa kali terdengar batuk di ruang tengah. Kondisi kesehatan yang sudah memburuk pasca operasi membuat orang tua itu sudah tidak bisa leluasa bergerak. Selama itu pula Sela belum pernah memberi mereka uang. Ia bangkit dan duduk di ruang tamu yang bersebelahan dengan ruangan dimana bapaknya berada. "Kita sudah tidak punya uang, Pak," kata ibu Sela. Sela jelas mendengar percakapan kedua orang itu. "Ya kota terpaksa jual tanah satu-satunya yang sebelah jalan itu," ucap bapaknya. "Itu tanah katanya mau buat rumah Sela. Kalau kita jual, nanti mau buat rumah dimana?""Kenapa harus mikirin dia? Sementara hidup kita terlunta-lunta. Biarkan saja dia tidak dapat warisan. Daripada kita mati kelaparan. Lihat orang tua sakit tidak berpikir sama sekali." Bapak
Seketika grup ramai. Semua marah dan mempertanyakan hal itu. Kecuali Tri, kepala sekolah yang sangat lambat, tidak tegas, bertele-tele dalam menangani sebuah kasus. Juga satu lagi. Sebenarnya ia menyayangi Sela karena selalu menjadi guru untuk seluruh bendahara di kecamatan. Sehingga dia tidak akan pernah berani menegur. Keberanian Sela dalam melakukan penyelewengan dana juga tidak lepas dari sikap Tri yang selalu masa bodoh dengan urusan keuangan. Pria itu selalu berpikir, asalkan dia tidak menggunakan uang itu, asalkan urusan laporan menjadi percontohan dan disanjung banyak orang, maka, tidak masalah meskipun uang dipakai Sela. Sela: Grup ramai. Mereka tidak terima. Ambar: Biarkan saja. Jangan diurusi! Tutup Hp. Aku sudah bawa baju banyak tadi. Aku ngojek dan sudah merencanakan kita akan terbang ke Bali. Uang segitu cukup buat terbang kita berdua kesana, lalu bersenang-senang dalam beberapa hari sampai uang mau habis. Lalu nanti kita pulang lagi naik pesawat. Selama membina hubu
Part 65Beberapa guru maju secara bergantian untuk dimintai keterangan. Semua yang ada di sana memberikan keterangan yang sama. Hanya satu orang yang masih seolah melindunginya, tri. Kepala sekolah yang selalu memperlakukan Sela seperti anak emas. Yang berbeda dengan guru lain.Meskipun sudah terlibat kasus penggelapan uang, Tri masih saja terlihat melindungi Sela.“Kalau sama saya terbuka, tetapi ya kalau guru-guru tidak,” katanya. “Pak Sela ini menjadi andalan semua orang dalam mengerjakan laporan BOS, jadi beliau sangat lihai dalam hal ini.”“Keterangan yang membagongkan. Ditanya kemana jawabnya kemana,” ujar Diah pada teman-temannya yang mendengarkan dari ruang dalam.“Anak laki-laki kok,”“Anak emas.”Ponsel kini telah ada di tangan BPK. Acara audit itu berlangsung sampai sore.Anggota guru lain tertawa bahagia di atas penderitaan Sela. Meski mereka harus mengorbankan waktu pulang lebih lama, tetapi hati mereka puas."Kemarin itu, Ambar buat status lagi di Bali," kata Diah."Ber
"Silakan masuk, Bu Ambar," ujar asisten Kadin menyuruh Ambar segera masuk. Ambar masih berdiri dengan lutut bergetar hebat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan saat itu. Berteriak memanggil Sela dan mengatakan kalau ayahnya kecelakaan, ataukah menuruti perintah asisten untuk masuk. "Bu Ambar silakan masuk," ucap asisten Kadin mengulangi. Ambar yang sudah menangis melangkah gontai dan duduk asal di samping Sela. Semua mata tertuju padanya. "Saya belum bicara sudah menangis," kata Kadin ketus. Kesal melihat wajah Ambar. Tidak suka dengan kelakuan yang tidak mencerminkan seorang pendidik. Dering ponsel Ambar membuat semua menatapnya."Saya izin mengangkat telepon dulu," kata Ambar dengan suara yang bergetar. "Silakan. Di sini saja mengangkat teleponnya," kata Kadin.Ambar segera menekan tombol telepon hijau. "Halo," ucapnya. "Mbak, pulanglah segera, Mbak. Cepatlah datang, Mbak. Aku bingung sekali, Mbak. Bapak, Mbak, Bapak sudah seperti itu. Mbak, datanglah segera." Adik Ambar
Part 67 Ambar menyeret tubuhnya yang seperti kehilangan tenaga. Menyusul Sela yang lebih dulu pergi ke tempat parkir. “Mas,” panggilnya sambil menangis. Sejak di dalam ruang Kadin, ponselnya terus berbunyi. Dan saat memeriksa sudah ada puluhan panggilan dari sang adik. Ia duduk di teras mushola yang berhadapan dengan tempat parkir. Sela menyusulnya kesana. Entah mengapa, Ambar merasa tenaganya hilang banyak. Ia seperti lemas tidak berdaya. “Mbak, pulanglah! Mbak Ambar harus pulang sekarang, Mbak. Mbak, pulang,” kata Kinan sambil menangis terisak. Ambar tahu, anaknya dalam keadaan yang sangat sedih dan terpuruk. “Iya, sebentar lagi aku akan pulang. Ini sudah siap-siap dan sampai di kota. Ibu baik-baik saja, ‘kan, Nan?” Kinan menangis. “Kinan, Ibu baik-baik saja, ‘kan?” “Pulanglah sekarang, Mbak Ambar. Tolong, Mbak, aku bingung menghadapi ini sendirian.” Ambar terisak. “Iya, tunggu ya, aku akan pulang dan akan langsung ke rumah sakit,” katanya kemudian. Sela menatap iba
Part 68Ambar: Maaf, Bu, saya tidak bisa ikut. Saya pulang, karena tadi dapat kabar kalau Bapak kecelakaan, dan ternyata sampai sini ternyata Ibu juga ikut dan nyawa Ibu tidak tertolong. Ini baru saja pulang dari pemakaman dan Bapak masih kritis di ICU. Mohon doanya teman-teman semua, agar Ibu ditempatkan di sisi terbaik Allah dan Bapak segera diberikan kesembuhan.Semua guru mengucapkan belasungkawa di grup itu. tidak kecuali Sari sebagai kepala sekolah, tetapi setelahnya Sari kembali menuliskan pesan yang membuat Ambar meradang karena merasa kepala sekolahnya itu tidak memiliki empati sama sekali dengan musibah yang menimpanya.Sari: Tapi lusa harus tetap berangkat ke sekolah, Bu. Soalnya BPK sudah membuat jadwal dan kalau kita minta ganti hari, takutnya akan menimbulkan masalah baru.Ambar: tidakkah bisa Bu Sari berempati sedikit sama saya, Bu? Saya sedang terkena musibah. Bisakah ada guru lain yang menggantikan saya? Guru ‘kan banyak, Bu, tidak hanya saya. Laporan ada di meja saya