"Pak Sela, minta maaf sama Bu Nila!"
Sela berdiri dan mendekati Nila. Nila sama sepertiku hanya menyentuh ujung tangan Sela.
"Baik, sudah selesai untuk beberapa hal. Saya minta selain Bu Diah, Pak Sela dan Bu Ambar silakan keluar," kata Pak Kadin.
Kali ini aku kaget. Kami bertiga tetap tinggal di sini? Namun, aku mengikuti saja apa yang Pak Kadin titahkan.
"Say, aku keluar dulu ya? Kutunggu di luar," kata Nila sambil berbisik.
"Ingat! Jangan suka ikut campur urusan orang!" kata Pak Kadin mengingatkan untuk yang terakhir kali.
"Iya, Pak, terima kasih," kata Harjo.
Tinggallah kami bertiga. Pak Kadin bangkit dan mengambil ponsel. Lalu menekan layarnya beberapa saat.
"Bu Diah, ceritakan semua dari awal dan harus jujur. Anda saya anggap sebagai wakil masyarakat," kata Pak Kadin.
<
Part 62POV AmbarAku kalah? Tidak! Itu tidak ada dalam kamus hidup seorang Ambar. Apalagi yang harus mengalahkan adalah Diah. Sosok rival yang pernah kalah dulu.Dari segi apapun juga, aku menang. Yang pertama, wajahku jauh lebih cantik. Masa iya, orang cantik sepertiku harus kalah dengan Diah?Yang kedua, aku sudah PNS. Yang ketiga, aku punya banyak teman di paguyuban. Yang keempat, Mas Sela adalah sosok yang terhormat. Oh, tidak bisa aku kalah. Enak saja. Yang kelima, Diah itu anak kampung, berbeda denganku yang datang dari kota besar, jadi aku lebih berpengalaman tentang banyak hal dibandingkan dia. Maka aku membuat sebuah rencana dengan Ibra, teman setia kami berdua--untuk membuat mental Diah terjatuh.Dimulai dari membully-nya di grup. Aku dan Ibra sudah sepakat untuk membully dia dengan harapan Diah akan mundur dari posisinya saat ini. Dan cara itu gagal. Heran aku sama orang yang tidak tahu malu seperti Diah. sudah dijatuhkan masih saja tetap bandel. Sebenarnya otak dia itu
Semua orang simpati pada Mas Sela yang bak habis manis sepah dibuang.âDiah itu benci juga sama aku, Pak, karena dia tidak lolos dan posisinya diisi aku. Jadi, saat sudah diangkat, dia ingin bersaing denganku jadi bendahara,â sambungku.âYa intinya, Diah sudah sejak lama ingin merebut posisiku lah,â kata Mas Sela.âGini saja sekarang, jangan ada yang mau membantu Diah untuk urusan membuat laporan! Jangan ada yang mengajari dia biar laporannya tidak jadi! Yang jelas bagaimanapun, kita harus bisa membuatnya mundur,â sambung Ibra.âDia itu licik, iri hati dan dengki. Aku heran sekali dengan orang seperti Diah,â kataku.âYa dia intinya benar-benar mau merebut posisiku menjadi bendahara lah. Dikiranya dia bisa melakukan itu. Dia pikir âkan laporan bisa dibuat dengan meminta bantuan orang lain.â Mas Sela kembali bicara.âIh, Diah kok seperti itu sih?â kata Mbak Risna.Berhasil. Mbak Risna padahal sahabat Diah, tapi dia sekarang sudah membenci Diah dan artinya, Diah tidak bisa meminta bantua
Part 63POV AuthorâBahagia itu sederhana ternyata ya, Nil,â kata Diah pada Nila yang sedang memandang lautan luas untuk melepaskan beban pikiran kami. Nila meminta bayaran atas apa yang dilakukannya hari ini. Nila menolak Diah yang mau membelikan bakso, katanya apa yang terjadi tidak cukup dibayar dengan semangkuk bakso saja. Oleh sebab itu, mereka duduk di sini, di balkon sebuah rumah makan yang ada di tepi pantai.âApa?â tanya Nila.âMelihat Ambar terjatuh. Itu bahagiaku,â ucap Diah sambil menikmati angin yang menyapu wajah.âHemh, apa kamu sangat membencinya?â tanya Nila lagi.âAku sakit hati dengan semua yang dia lakukan terhadapku. Kamu tahu? Aku sempat berpikir, kenapa hidup terasa tidak adil? Kenapa Ambar seolah mendapatkan banyak hal padahal dia telah menyakiti banyak orang. Namun kini, aku sadar, setiap hal ada waktu dan masanya. Ada waktunya berjaya dan asa waktunya terjatuh juga. Mengajari padaku banyak hal.ââApa?âDiah menoleh pada Nila yang masih memandang lautan lepas
Part 64Sela masuk rumah orang tuanya dan berbaring di kamar, memandang langit-langit dengan perasaan yang sudah hancur lebur. Mau pulang malu pada Indah. Mau bercerita pada ibunya, sudah pasti ia kena marah habis-habisan. Bapaknya beberapa kali terdengar batuk di ruang tengah. Kondisi kesehatan yang sudah memburuk pasca operasi membuat orang tua itu sudah tidak bisa leluasa bergerak. Selama itu pula Sela belum pernah memberi mereka uang. Ia bangkit dan duduk di ruang tamu yang bersebelahan dengan ruangan dimana bapaknya berada. "Kita sudah tidak punya uang, Pak," kata ibu Sela. Sela jelas mendengar percakapan kedua orang itu. "Ya kota terpaksa jual tanah satu-satunya yang sebelah jalan itu," ucap bapaknya. "Itu tanah katanya mau buat rumah Sela. Kalau kita jual, nanti mau buat rumah dimana?""Kenapa harus mikirin dia? Sementara hidup kita terlunta-lunta. Biarkan saja dia tidak dapat warisan. Daripada kita mati kelaparan. Lihat orang tua sakit tidak berpikir sama sekali." Bapak
Seketika grup ramai. Semua marah dan mempertanyakan hal itu. Kecuali Tri, kepala sekolah yang sangat lambat, tidak tegas, bertele-tele dalam menangani sebuah kasus. Juga satu lagi. Sebenarnya ia menyayangi Sela karena selalu menjadi guru untuk seluruh bendahara di kecamatan. Sehingga dia tidak akan pernah berani menegur. Keberanian Sela dalam melakukan penyelewengan dana juga tidak lepas dari sikap Tri yang selalu masa bodoh dengan urusan keuangan. Pria itu selalu berpikir, asalkan dia tidak menggunakan uang itu, asalkan urusan laporan menjadi percontohan dan disanjung banyak orang, maka, tidak masalah meskipun uang dipakai Sela. Sela: Grup ramai. Mereka tidak terima. Ambar: Biarkan saja. Jangan diurusi! Tutup Hp. Aku sudah bawa baju banyak tadi. Aku ngojek dan sudah merencanakan kita akan terbang ke Bali. Uang segitu cukup buat terbang kita berdua kesana, lalu bersenang-senang dalam beberapa hari sampai uang mau habis. Lalu nanti kita pulang lagi naik pesawat. Selama membina hubu
Part 65Beberapa guru maju secara bergantian untuk dimintai keterangan. Semua yang ada di sana memberikan keterangan yang sama. Hanya satu orang yang masih seolah melindunginya, tri. Kepala sekolah yang selalu memperlakukan Sela seperti anak emas. Yang berbeda dengan guru lain.Meskipun sudah terlibat kasus penggelapan uang, Tri masih saja terlihat melindungi Sela.âKalau sama saya terbuka, tetapi ya kalau guru-guru tidak,â katanya. âPak Sela ini menjadi andalan semua orang dalam mengerjakan laporan BOS, jadi beliau sangat lihai dalam hal ini.ââKeterangan yang membagongkan. Ditanya kemana jawabnya kemana,â ujar Diah pada teman-temannya yang mendengarkan dari ruang dalam.âAnak laki-laki kok,ââAnak emas.âPonsel kini telah ada di tangan BPK. Acara audit itu berlangsung sampai sore.Anggota guru lain tertawa bahagia di atas penderitaan Sela. Meski mereka harus mengorbankan waktu pulang lebih lama, tetapi hati mereka puas."Kemarin itu, Ambar buat status lagi di Bali," kata Diah."Ber
"Silakan masuk, Bu Ambar," ujar asisten Kadin menyuruh Ambar segera masuk. Ambar masih berdiri dengan lutut bergetar hebat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan saat itu. Berteriak memanggil Sela dan mengatakan kalau ayahnya kecelakaan, ataukah menuruti perintah asisten untuk masuk. "Bu Ambar silakan masuk," ucap asisten Kadin mengulangi. Ambar yang sudah menangis melangkah gontai dan duduk asal di samping Sela. Semua mata tertuju padanya. "Saya belum bicara sudah menangis," kata Kadin ketus. Kesal melihat wajah Ambar. Tidak suka dengan kelakuan yang tidak mencerminkan seorang pendidik. Dering ponsel Ambar membuat semua menatapnya."Saya izin mengangkat telepon dulu," kata Ambar dengan suara yang bergetar. "Silakan. Di sini saja mengangkat teleponnya," kata Kadin.Ambar segera menekan tombol telepon hijau. "Halo," ucapnya. "Mbak, pulanglah segera, Mbak. Cepatlah datang, Mbak. Aku bingung sekali, Mbak. Bapak, Mbak, Bapak sudah seperti itu. Mbak, datanglah segera." Adik Ambar
Part 67 Ambar menyeret tubuhnya yang seperti kehilangan tenaga. Menyusul Sela yang lebih dulu pergi ke tempat parkir. âMas,â panggilnya sambil menangis. Sejak di dalam ruang Kadin, ponselnya terus berbunyi. Dan saat memeriksa sudah ada puluhan panggilan dari sang adik. Ia duduk di teras mushola yang berhadapan dengan tempat parkir. Sela menyusulnya kesana. Entah mengapa, Ambar merasa tenaganya hilang banyak. Ia seperti lemas tidak berdaya. âMbak, pulanglah! Mbak Ambar harus pulang sekarang, Mbak. Mbak, pulang,â kata Kinan sambil menangis terisak. Ambar tahu, anaknya dalam keadaan yang sangat sedih dan terpuruk. âIya, sebentar lagi aku akan pulang. Ini sudah siap-siap dan sampai di kota. Ibu baik-baik saja, âkan, Nan?â Kinan menangis. âKinan, Ibu baik-baik saja, âkan?â âPulanglah sekarang, Mbak Ambar. Tolong, Mbak, aku bingung menghadapi ini sendirian.â Ambar terisak. âIya, tunggu ya, aku akan pulang dan akan langsung ke rumah sakit,â katanya kemudian. Sela menatap iba