“Bukan, Mas Parman. Rumah baru saya beli.”
“Oh, pantas saja. Saya sudah di depan rumah lama, kok sepi. Gerbang tergembok.”“Saya sedang diluar, Mas. Maaf, tadi lupa gak kasih alamat. Segera saya kirim alamat via pesan. Oh ya. Hampir lupa. Hari ini saya kasih Dp dulu. Segera saya transfer. Mohon ditunggu.”“Baik, Pak.Terima kasih sebelumnya. Assalammu'alaikum.”“Wa'alaikumussalam.”Pak Brahim terdiam sejenak. Ia tadi tak salah ucap pada tukang barusan saat bertemu di depan minimarket. Ia telah mengatakan sore hari, tetapi kenapa pria tersebut datang saat ini? Sedangkan jam masih menunjukkan pukul 10 pagi.Akhirnya tanpa sadar Pak Brahim yang kecapekan ikut tertidur di samping Saimah. Keduanya tertidur pulas hingga memasuki alam mimpi. Di alam ini, semua terlihat indah dan menyenangkan.Alam perbukitan nan asri dengan berbagai macam tumbuhan buah yang ranum dan bunga-bunga bermekaran beraroma wangi. Ada tiga sungai mengalirkan cairan berbeda. Sebuah sungai cukup besar mengalirkan susu segar dari sebuah air terjun di atas bukit.Dua buah sungai berukuran sedang. Sebuah sungai mengalirkan air yang jernih dengan ikan-ikan tampak jelas berenang di dalamnya dan sebuah lagi adalah sungai yang mengalirkan sirup manis yang menyegarkan.Saimah sedang duduk di sebuah batu besar dengan tubuh tanpa dibalut sehelai benang pun. Kulit tubuhnya yang bersih memancarkan sinar diterpa cahaya mentari pagi. Wanita baru tersadar bahwa tubuhnya telanjang. Ia segera berlari ke sebuah rumah satu-satunya yang ada di situ.Di dalam rumah, wanita ini mencari selembar kain untuk menutupi tubuh. Namun, tak dijumpainya barang yang bisa untuk sekadar menutup bagian sensitifnya.Ia berlari ke arah kebun untuk mencari pohon pisang. Satu pelepah daun pisang telah diambil lalu ia melepas helaian daun dari tangkainya. Kemudian ia mengupas pelepah pohon pisang yang kering untuk membuat sebuah tali untuk mengikat daun saat dipakai.Kedua benda tersebut telah siap dipakainya. Pertama daun pisang dibalutkan tubuh bagian atas lalu diikat dengan tali pelepah. Kemudian selembar daun dibebatkan pada tubuh bagian bawah dan diikat juga dengan tali pelepah.Saimah kini telah berpakaian ala kadarnya dengan daun pisang. Namun, baru beberapa menit dipakai, pakaian daun pisangnya tiba-tiba hangus menjadi abu. Anehnya, kulittubuh wanita ini tak merasakan panas terbakar sama sekali.Tiba-tiba dari kejauhan terdengar derap langkah kuda. Saimah segera berlari masuk rumah. Suara derap dan ringkikan kuda semakin mendekat. Wanita ini mengintip dari jendela. Kini tampak seorang pria usia separuh abad sedang menunggang kuda dengan tubuh telanjang. Sama persis seperti yang dialami Saimah.Pak Brahim?Kenapa ada disini?Bagaimana aku?Memalukan!Pak Brahim yang sedang menunggang kuda tentu saja bisa melihat dengan jelas Saimah yang sedangbmengintip. Posisi duduk pria ini lebih tinggi dari jendela. Seketika pria berkepala plontos ini tersenyum gembira. Harapannya dalam hati terkabul. Ia menginginkan akan berdiam berdua dengan Saimah tanpa ada orang lain.“Sayang, tak usah takut! Keluarlah! Hanya ada kita berdua,” ucap Pak Brahim dari atas kuda.“Bapak liat aku?”“Tentu saja! Percuma sembunyi. Keluarlah!”Hening. Tak ada jawaban.“Kenapa malu! Kita sama-sama telanjang.”Pak Brahim yang tak mau bersabar, segera turun dari kuda. Pria ini mendorong pintu tak terkunci. Kini keduanya berhadapan dan Saimah hanya bisa menutup mata saat kedua tangan pria berkepala plontos ini memboyongnya.Langkah pria ini menuju sungai beraliran susu segar. Di sungai ini, tubuh Saimah diturunkan oleh Pak Brahim. Keduanya bersenang-senang dalam aliran yang manis serta gurih.“Aach! Terimakasih, Sayang! Kini kurela sebagai pengabdi abadi Ratu.”Saimah seketika kaget tubuh Pak Brahim telah hangus terbakar setelah mereka selesai berhubungan intim. Lebih mengagetkan lagi, posisi mereka di dalam kamar dan bukan di alam bebas yang ia rasakan barusan.Wanita ini kebingungan, tetapi harus segera menyelamatkan diri. Ia segera memesan taksi online. Namun, betapa kaget dirinya setelah melihat selembar kertas di meja tertulis sesuatu.Untuk: SaimahWaktuku telah habis dan ternyata hari terakhir bersamamu.Tak perlu khawatir! Kau tak akan dicari polisi karena jasadku akan sirna. Ambil dompetku. Semua saldo telah kutransfer ke nomor rekeningmu. Jangan lupa, bawa semua sembako yang ada di mobil. Terimakasih atas kebersamaan kita yang indah.-Ibrahim Hasan-Saimah semakin bengong. Ia segera berpakaian dan mengambil surat dari Pak Brahim dan dompet lalu memasukkan ke tas. Ia mengambil kunci mobil lalu keluar rumah.Apa ini?Sebuah permainan?Apakah aku dijebak?Saimah berlari ke arah pintu gerbang dan membukanya untuk lewat taksi online yang telah dipesannya. Ia melangkahkan kaki ke mobil Pak Brahim, membuka bagasi lalu mengeluarkan semua barang dan ditaruh lantai. Tak lama kemudian, taksi telah datang dan langsung menghampiri Saimah.“Selamat siang! Benar dengan Bu Saimah?” tanya sopir setelah keluar dari taksi.“Selamat siang! Benar, Pak. Tolong bantu masukin barang-barang ini ke taksi!"Sang sopir segera mengangkat barang-barang lalu dimasukan bagasi taksi. Saimah membantu mengangkat barang yang ringan. Kini Saimah telah siap pergi dan kunci dibiarkan menempel di bagasi mobil Pak Brahim.Saimah menyuruh sopir mengemudi sampai keluar gerbang. Ia berjalan untukmu menutup gerbang terlebih dulu. Pintu gerbang sengaja tak digembok karena kuncinya ada jadi satu dengan kunci mobil.Saimah segera naik taksi dan memandang rumah Pak Brahim dari kaca belakang taksi. Wanita muda ini tak percaya dengan yang baru saja dialaminya. Namun, semua nyata dan bisa dipegang olehnya.Ia membuka tas, sebuah surat tulisan tangan Pak Brahim dan dompet pria tersebut masih ada. Ia tak berani menoleh lagi dan takut terjadi keanehan lagi. Mata Saimah terpejam, dari kedua pelupuk mata keluar buliran bening.Apa maksud semua ini?Apakah ini akhir dari semua petualangannya?Wanita ini didera rasa takut dan cemas. Mimpi barusan yang dialami bersama Pak Brahim seakan-akan nyata. Ia bagai masuk ke surga, tetapi mengapa telanjang?Angin dingin menerpa kulit pipi dan telinga. Sebuah bisikan masuk gendang telinganya.“Saimah! Kutunggu kau besok malam di punden!”Wanita ini seketika menoleh, tetapi tak ada siapa pun di sampingnya. Ia memejamkan mata kembali dan ingin segera sampai rumah. Ia tak ingin gila karena kejadian-kejadian aneh yang dialaminya.Wanita berparas ayu ini mencubit kulit lengan kanan dengan jemari kiri, masih terasa sakit. Terbukti, dirinya tak gila. Ia masih bisa merasakan sakit. Taksi akhirnya telah sampai depan rumah dan kebetulan Parman sedang duduk di teras menunggu kedatangannya.“Mas, tolong bantuin!” teriak Saimah setelah menurunkan kaca mobil.Parman segera menuju taksi. Ia keheranan dengan barang belanjaan yang berada dalam bagasi.“Banyak sekali, Dek? Kayak mau buka warung.”“Iya, Mas. Sekalian buat stok di rumah. Biar gak sering belanja.”“Dek, tadi Mas jemput kamu ke pasar. Dicari sampe dalam, gak ada. Ponsel mati. Akhirnya iseng-iseng ke rumah juragan. Maunya tanya kerjaan buat nanti sore. Gak taunya dibayar lunas. Heran.”Cerita Parman sesaat setelah taksi telah pergi. Saimah yang mendengar omongan suaminya seketika kaget dan buru-buru bersikap normal agar tak ketahuan.“Juragan siapa, Mas?”“Pak Brahim yang dulu kasih borongan proyek besar. Mau minta pasang keramik di dapur. Sore ini rencananya, Mas ke rumah baru dia. Katanya mau kirim alamat lewat pesan. Belum ada pesan masuk.”“Mas, udah telepon dia?”“Gak. Bisa jadi makasih rehat. Pagi tadi baru perjalanan jauh. Mungkin kecapekan.”Dalam hati, Saimah menjerit, orangnya udah mati, Mas. Gimana mau kirim pesan? Dia pelanggan baruku, yang meninggalkan tanda tanya.“Mas, udah coba hubungi, ponsel gak aktif. Kayaknya, Benar-benar kecapekan. Gimana mau ngukur borongannya? Alamat gak tau? Janjian jam lima, sekarang udah jam empat.”“Kurang sejam lagi, Mas. Tunggu aja.”
“Saimah! Datanglah, temui aku di punden!”Saimah tak adajadwal ke Gunung Kemukus sampai minggu depan karena tak ada hari pasaran untuk ritual. Otomatis, tempat tersebut sepi. Tak bisa mencari pelanggan. Namun, suara barusan telah dua kali menghampirinya. Ada sesuatu yang harus ia tahu soal ini.Saimah pun harus cari alasan ke suaminya agar malam ini bisa pergi ke Gunung Kemukus lagi. Selagi ia sibuk berpikir, taksi telah sampai di depan sebuah swalayan yang dituju. Wanita berpenampilan menarik tak kalah dengan artis di televisi ini segera turun dari taksi.Entah karena wajah dan tubuhnya yang menarik mata para pria terpana atau memang daya seksual telah menyatu di dirinya. Semua pria yang ia lewati seakan-akan enggan berkedip. Bahkan, satpam swalayan sempat mencolok dagunya saat wanita berambut hitam arang ini melewati pintu akan masuk.Saimah berbisik lembut di telinga satpam tersebut.“Kamu mau mati jam berapa, Bang?”Seketika wajah satpam tersebut pucat pasi begitu mendengar suara
“Mas, ada apa?”“Pak Brahim menghilang. Di rumah hanya ada ponsel beliau saja sebagai barang bukti. Kebetulan nomor Mas yang terakhir menghubungi. Akhirnya sekalian Mas ajak ke sini, kafe beliau. Siapa tahu para pegawainya mengetahui keberadaan Pak Brahim.”“Yang bikin laporan siapa?” tanya Sarto yang penasaran.“Istrinya, Mas," jawab Parman.“Kasian banget Pak Brahim. Terus borongan yang dikasih ke Mas, gimana?”tanya Saimah demi menutupi rasa gugupnya semenjak kedatangan Parman bersama para polisi.“Lanjut. Tadi ketemu istrinya. Mas kerjakan sesuai kesepakatan dari Pak Brahim. Kalo ada kerjaan lain, tambah biaya.”“Aman kalo gitu,” ucap Saimah sambil berpikir cari akal agar sang suami segera pergi dari situ.“Maaf, Mas Parman. Jika gak keberatan ini. Mumpung belum ngerjain borongan karena pemilikdalam pencarian. Gimana kalo diukur dulu ruko saya. Langsung ketemu dengan orang saya di ruko," kata Sarto yang seketika membuyarkan lamunan Saimah.“Boleh. Saya gak bareng Mas ke sana?”tanya
“Mas, ada apa?”“Pak Brahim menghilang. Di rumah hanya ada ponsel beliau saja sebagai barang bukti. Kebetulan nomor Mas yang terakhir menghubungi. Akhirnya sekalian Mas ajak ke sini, kafe beliau. Siapa tahu para pegawainya mengetahui keberadaan Pak Brahim.”“Yang bikin laporan siapa?” tanya Sarto yang penasaran.“Istrinya, Mas," jawab Parman.“Kasian banget Pak Brahim. Terus borongan yang dikasih ke Mas, gimana?”tanya Saimah demi menutupi rasa gugupnya semenjak kedatangan Parman bersama para polisi.“Lanjut. Tadi ketemu istrinya. Mas kerjakan sesuai kesepakatan dari Pak Brahim. Kalo ada kerjaan lain, tambah biaya.”“Aman kalo gitu,” ucap Saimah sambil berpikir cari akal agar sang suami segera pergi dari situ.“Maaf, Mas Parman. Jika gak keberatan ini. Mumpung belum ngerjain borongan karena pemilikdalam pencarian. Gimana kalo diukur dulu ruko saya. Langsung ketemu dengan orang saya di ruko," kata Sarto yang seketika membuyarkan lamunan Saimah.“Boleh. Saya gak bareng Mas ke sana?”tanya
“Kenapa kami, Mbah?” tanya Saimah dan Kesi hampir bersamaan.“Nanti Mbah jelaskan. Sekarang minumlah air itu!”Pria tua ini menunjuk sebuah kendil yang terletak di atas punden. Keduanya pun meminum cairan dari kendil secara bergantian. Cairan kental serupa darah dan berbau amis telah masuk ke kerongkongan mereka. Itu menyisakan rasa getir dan anyir di mulut serta lidah“Kini kalian telah jadi pengikut utama. Tanpa ikut ritual, kekayaan kalian akan setara dengan pelaku ritual yang kalian dampingi dan bonus seperti Saimah.”“Bonus seperti Saimah?” Kesi seketika menoleh ke arah sahabatnya dengan ekspresi ingin tahu.Saimah hanya tersenyum dan mengangguk. Ia tahu kuncen akan memberi penjelasan karena dirinya pun tak pernah menyangka kejadian yang sempat membuat syok adalah bonus untuknya. Saimah segera mencubit kecil tangan sahabatnya.Saimah agak mendekat ke telinga Kesi lalu berbisik, “Sst, dengerin kuncen!”“Dengerkan dulu! Saya akan jelaskan semua.”“Baik, Mbah.Maaf,” kata Saimah dan
“Mereka dari mana minta antar ke mana, Pak?” tanya Kesi sambil melihat ke arah sopir yangmasih menyisakan rasa takut dengan bibir gemetar.“Arah dari atas dan naik ke tempat duduk penumpang tanpa membuka pintu. Mereka minta antar ke kampung. Setelah itu saya tak ingat apa-apa lagi, Bu. Ngeri!”“Cuma mimpi, Pak,” ucap Saimah berusaha menenangkan hati sopir, padahal ia tahu betul bahwa fenomena seperti itu sering kali terjadi di Gunung Kemukus.“Beneran, Bu. Saya masih melek. Setelah itu langsung pingsan.”“Emang ada, Im?” tanya Kesi sambil menatap sahabatnya.“Gak tau! Ayo kita pulang!”“Biar saya yang nyetir, Bu,” ucap pria tersebut sambil bangkit lalu membuka pintu.“Yaudah. Silakan!”Begitu sang sopir turun menuju tempat kemudi, Saimah pun segera naik ke kursi penumpang. Kini, kedua wanita bersahabat ini duduk berdampingan.“Im, beneran gak tau?”“Apaan, sih?”“Yang barusan.”“Entahlah. Aku juga gak pernah alami.”Saimah paling kesal kalau Kesi sudah muncul rasa penasaran seperti ini
“Bu, fokus sama Pak Sobir aja. Soal biaya dan lain-lain, biar aku yang urus dan jangan uangku dari mana? Yang penting Pak Sobir tertangani.”“Iya, ya. Maaf, Im. Mulut ini emang ...,” ucap Bu Sobir sambil menutup mulut dengan telapak tangan.Saimah hanya tersenyum melihat tingkah tukang gosip nomor wahid di perumahan mereka. Akhirnya mereka telah sampai di rumah sakit. Tubuh Pak Sobir dipindahkan ke brankar lalu dibawa ke UGD.Bau busuk yang menguar dari bagian tubuh Pak Sobir membuat seisi ruangan menutup hidung. Saimah berdiri menunggu di depan pintu UGD.Ia bersama Pak RT dan seorang warga menunggu kelanjutan proses pemeriksaan Pak Sobir. Wanita bercelana jeans ini mendekat ke arah mobil lalu berjalan ke arah sopir yang sedang duduk di dalam.“Bapak bisa pulang sekarang. Tunggu telepon dari saya.”“Ya, Bu. Terimakasih banyak.”“Saya yang terima kasih, Pak.”“Saya permisi pulang kalo gitu.”“Silakan!”Saimah agak menjauh lalu mobil mulai bergerak ke luar dari area rumah sakit. Wanita
“Kamu sih, sembrono sekali. Ngapain orang dekat sini? Udah tau istrinya jago gosip dan bertengkar. Rahasia kita bisa terbongkar. Kamu bilang ke Pak Sobir dan kuncen.Biar bisa diajak kerjasama.” Saimah sangat kesal dengan perilaku Kesi yang seenaknya sendiri.“Iya, ya. Kalo kuncen bisa ditelepon, tapi Pak Sobir harus ditemui langsung," sahut Kesi sambil menggerutu.“Lakuin segera! Entar aku yang bagian anter Pak Sobir ke punden," ucap Saimah masih terdengar kesal.“Aku ikut, gak?” tanya Kesi sambil menatap Saimah dengan perasaan tak enak hati.“Gak usah! Pengen kebongkar skandal kalian?”Akhirnya mereka mulai mengatur strategi buat mencari jalan keluar tanpa dicurigai warga lain, terutama Bu Sobir. Saimah memang sudah mengamati gerak-gerik Kesi dan Pak Sobir yang mencurigakan sebulan ini.“Kamu kapan besuk?” tanya Kesi memberanikan diri.“Besok sore bareng Mas Parman.”“Ikut, ya?”“Kami naik motor. Gimana, sih?”“Yodah. Aku naik taksi aja.”“Gitu dong, punya inisiatif. Beres, ya. Aku m