“Oh, ya, Pak. Jadi kapan saya kerjain borongannya?” tanya Parman kepada Pak Brahim.
“Harusnya pagi ini, Mas Parman mulai mengukur tembok. Tapi saya masih ada keperluan. Gimana kalo sore saja?”“Boleh! Kebetulan semalam saya habis lembur. Ini barusan pulang, mampir toko buat beliin istri.”“Yaudah. Mas Parman istirahat dulu. Nanti jam 5 sore, saya tunggu di rumah baru," ucap Pak Brahim sambil mengamati barang belanjaan Parman.“Baik, Pak. Saya permisi duluan," balas Parman sambil mengangguk.“Silakan!”Parman menyalami Pak Brahim lalu berjalan menuju tempat motor terparkir. Pria berkulit gelap tersebut mengendarai kendaraan roda duanya ke arah rumah. Sepeninggal tukang bangunan tersebut, pria berkepala plontos segera masuk toko.Saimah yang berada dalam mobil mengawasi kepergian suaminya. Ia membuka tas untuk mengambil ponsel lalu menghidupkannya. Dugaan wanita ini tepat dan sesaat kemudian ponsel berbunyi.“Assalammu'alaikum, Mas,” jawab Saimah sembari tersenyum.Untung aku segera sadar dengan keadaan, batin wanita berkulit bersih ini.“Wa'alaikumussalam.Masih di rumah Mak?”tanya Parman dari seberang telepon.“Aku masih belanja di pasar. Semua kebutuhan pokok habis.”“Pasar mana?Aku jemput aja. Kebetulan aku baru saja pulang. Belum sampe rumah juga."“Eh, gak usah! Mas pasti ngantuk. Tidur aja! Aku masih mau ke tukang jahit juga," balas Saimah panik. Ia tak bisa bayangkan jika Parman balik ke arah pasar, bisa ketahuan kebersamaannya dengan Pak Brahim.“Yodah. Mas,langsung pulang tidur. Ati-ati di jalan, Dek. Assalammu'alaikum.”“Wa’alaikumussalam," balas Saimah lega.Wanita berwajah bersih tersebut segera mematikan ponsel lalu memasukkan kembali ke tas. Tampak Pak Brahim keluar dari toko melangkah menuju mobil. Pria berkepala plontos segera membuka pintu lalu naik dan menutup kembali.“Ini makan rotinya lalu minum obat,” ucap Pak Brahim sambil mengulurkan plastik berlogo nama minimarket.“Makasih, Pak,”balas Saimah sembari menerima plastik tersebut.Wanita ini membuka plastik lalu mengeluarkan sebungkus roti. Ia membuka plastik pembungkus lalu menyodorkan ke mulut pria sebelahnya. Pak Brahim pun segera membuka mulut. Beberapa saat kemudian, ia pun mengunyah roti.“Udah, kamu makan saja," ucap Pak Brahim berusaha menolak, saat Saimah hendak menyuapinya kembali.“Bapak harus ikutan makan," balas Saimah setengah memaksa dengan tangan menggantung.“Iya, deh."Saimah tersenyum lega lalu mendekatkan tangkupan ujung jari ke mulut pria di sebelahnya.Pak Brahim mulai mengunyah roti tersebut. Ia tersenyum menerima perlakuan Saimah yang manis barusan. Ia merasa baru kali ini merasakan jadi seorang pria yang dihargai. Pria berkepala plontos tersebut jadi kepikiran tentang wanita yang telah dinikahinya selama dua puluh tahun.Wanita yang telah tega meninggalkan Pak Brahim saat usahanya mengalami kebangkrutan. Kini dengan sisa harta yang tersisa, Pak Brahim harus membeli sebuah rumah untuk segera bisa mengurus surat cerai. Pria berkepala plontos ini memenuhi keinginan istrinya karena rasa tanggung jawab kepada anak yang telah diadopsi mereka.“Pak, minum dulu,” ucap Saimah sembari menyodorkan sebotol air mineral yang sudah dibuka penutupnya.Pak Brahim yang sedang melamun, seketika kaget dan langsung menoleh ke arah wanita di sebelahnya.“Oh, iya.Terima kasih," jawab Pak Brahim.Pria ini menerima botol lalu meminumnya isinya hingga separuh bagian. Saimah segera mengambil botol dari tangan pria tersebut lalu meletakkan kembali di atas dashboard.“Pak, bisa turunkan saya di depan pasar?” tanya Saimah dengan ragu-ragu.“Badan masih sakit mau belanja?”tanya Pak Brahim bernada protes.“Iya, Pak. Gimana lagi. Kebetulan bahan makanan di rumah lagi habis," jelas Saimah dengan bibir bergetar karena demam yang dirasakannya.“Kamu catat semua keperluannya. Biar aku yang belanja," ucap Pak Brahim tegas. Pria ini memandangi Saimah dengan rasa kasihan.“Jangan, Pak!” larang Saimah dengan menggelengkan kepala.“Gak papa. Ingat! Kita telah mulai semalam, dengan begitu kita sah menjadi pasangan ritual dalam 8 bulan ke depan. Anggap aku suami kedua," jelas Pak Brahim bermaksud mempertegas posisi mereka.“Emang bisa gitu?” tanya Saimah yang belum paham dengan maksud Pak Brahim.“Bisa dong! Asal kita sama-sama jaga rahasia agar misi berhasil. Kamu akan kuberi bonus," urai Pak Brahim.“Makasih, Pak," balas Saimah dengan senyum mengembang. Baru sekarang dirinya mendapat pelanggan bersikap kebapakan.Mobil telah mengarah ke sebuah pasar tradisional. Pak Brahim pun mengurangi laju mobil karena jalan sekitar pasar padat oleh kendaraan pengunjung pasar dan orang berlalu lalang. Saat mobil berhenti di tempat parkir mata Saimah awas mengamati sekeliling. Matanya menatap pada sebuah motor yang dikendarai wanita bertubuh subur.Ia hapal betul perawakan pedagang sayur keliling langganan ibu-ibu di kompleks perumahan.“Pak, aku sembunyi, ya. Ada banyak tetanggaku yang belanja. Aku catatkan sebentar," ucap Saimah yang segeramengambil buku dan bolpoint dari dalam tas.Ia segera menulis daftar belanja kebutuhan sehari-hari lalu menyodorkan kepada pria di sebelahnya.“Banyak loh, Pak," ucap Saimah merasa tak enak hati.“Enggaklah. Ini belanjaan sedikit. Gak ada lainnya?" tanya Pak Brahim sambil meneliti satu per satu daftar belanjaan yang tertulis pada kertas putih tersebab.“Udah cukup.Itu aja, Pak. Aku sembunyi, ya," balas Saimah dengan kedua mata awas melihat sekeliling.“Yaudah, buat tiduran aja. Pakai topi ini, biar tersamar.”Saimah menerima topi dan segera memakainya lalu ia mengatur posisi jok agak nyaman untuk rebahan. Sekujur tubuh dan wajahnya kini tertutup sarung dan topi. Pak Brahim tersenyum melihat wanita yang telah memberinya kepuasan semalam.“Aku buka kaca separuh. Tinggal belanja dulu,” ucap Pak Brahim membuka pintu lalu turun darimobil.Terdengar suara langkah menjauh dari tempat parkir. Saimah pun tertidur karena efek dari obat yang diminumnya.••¤•°•¤▪▪¤•°•¤••Satu jamkemudianPak Brahim telah kembali dengan banyak barang belanjaan. Seorang tukang panggul membantu membawa sekarung beras dan satu dus mie instan lalu Pak Brahim membuka bagasi untuk memasukkan barang-barang belanjaan termasuk sebuah tas besar berisi penuh bahan makanan.Beberapa saat tukang angkat masuk pasar lalu kembali dengan satu krat telur dan satu dirigen minyak goreng. Setelah meneliti struk belanjaan, Pak Brahim mengangguk lalu menutup pintu bagasi. Ia mengeluarkan dompet dan mengambil satu lembar uang berwarna merah lalu memberikannya kepada tukang angkat.Setelah kepergian tukang angkat, Pak Brahim segera membuka pintu mobil. Kemudian ia naik dan menutup pintu kembali. Saimah tampak tertidur pulas dengan berbalut kain sarung. Pria berkepala plontos ini meraba kening wanita ini, terasa demam mulai reda.Oleh karena tak tega membangunkan sang wanita, akhirnya Pak Brahim membawanya pulang ke rumah. Jarak dari pasar ke rumah pria ini hanya memerlukan dua puluh menit perjalanan. Mobil akhirnya berhenti tepat di depan sebuah rumah berpagar tinggi.Pak Brahim turun dari mobil untuk membuka pintu gerbang. Pria ini menggeser pintu gerbang secukupnya lalu gegas menuju mobil. Kendaraan tersebut masuk halaman langsung menuju garasi. Mobil berhenti di tengah-tengah tempat parkir luas yang bisa muat untuk tiga mobil. Pria ini turun dengan berlari segera menutup pintu gerbang.Ia tersenyum karena hari ini ada yang menemaninya di rumah. Langkah kakinya kembali ke mobil untuk mengangkat tubuh Saimah dan mengunci semua pintu mobil secara otomatis. Langkah Pak Brahim agak tertatih-tatih karena membopong tubuh wanita di usianya yang tak lagi muda.Ia membuka handle pintu kamar tamu dengan perlahan. Tubuh Saimah pun diturunkan di sebuah ranjang empuk. Nafsu pria berkepala plontos ini pun tak tertahankan saat melihat bibir merona si wanita. Ia segera mengecupnya.Beruntung sebuah panggilan telepon segera menyadarkannya dari perbuatan yang bisa membuat gagal menyelesaikan misi ritual. Pak Brahim segera merogoh ponsel dari saku celana. Ia pun melihat nama tukang langganannya pada layar. Pria plontos tersebut menjawab panggilan telepon“Assalammu'alaikum.”“Wa'alaikumussalam. Maaf, Pak. Saya lupa tanya. Rumah yang akan direnovasi yang ditempati Bapak?” tanya Parman dari ujung telepon.“Bukan, Mas Parman. Renovasi rumah baru saya. Terletak di pusat kota.”“Oh, pantas saja. Saya sudah di depan rumah lama, kok sepi. Gerbang tergembok.” Pak Brahim seketika kaget, begitu mendengar ucapan Parman barusan.“Saya sedang di luar, Mas. Maaf, tadi lupa gak kasih alamat. Segera saya kirim alamat via pesan. Oh, ya. Hampir lupa. Hari ini saya kasih Dp dulu. Segera saya transfer. Mohon ditunggu," ucap Pak Brahim yang segera bisa mengatasi keadaan.“Baik, Pak. Terimakasih sebelumnya. Assalammu'alaikum.”“Wa'alaikumussalam.”Pak Brahim terdiam sejenak. Ia tadi tak salah ucap pada tukang barusan saat bertemu di depan minimarket. Ia telah mengatakan sore hari, tetapi kenapa pria tersebut datang saat ini? Sedangkan jam masih menunjukkan pukul 10 pagi.“Bukan, Mas Parman. Rumah baru saya beli.”“Oh, pantas saja. Saya sudah di depan rumah lama, kok sepi. Gerbang tergembok.”“Saya sedang diluar, Mas. Maaf, tadi lupa gak kasih alamat. Segera saya kirim alamat via pesan. Oh ya. Hampir lupa. Hari ini saya kasih Dp dulu. Segera saya transfer. Mohon ditunggu.”“Baik, Pak.Terima kasih sebelumnya. Assalammu'alaikum.”“Wa'alaikumussalam.”Pak Brahim terdiam sejenak. Ia tadi tak salah ucap pada tukang barusan saat bertemu di depan minimarket. Ia telah mengatakan sore hari, tetapi kenapa pria tersebut datang saat ini? Sedangkan jam masih menunjukkan pukul 10 pagi.Akhirnya tanpa sadar Pak Brahim yang kecapekan ikut tertidur di samping Saimah. Keduanya tertidur pulas hingga memasuki alam mimpi. Di alam ini, semua terlihat indah dan menyenangkan.Alam perbukitan nan asri dengan berbagai macam tumbuhan buah yang ranum dan bunga-bunga bermekaran beraroma wangi. Ada tiga sungai mengalirkan cairan berbeda. Sebuah sungai cukup besar mengalirkan susu s
“Dek, tadi Mas jemput kamu ke pasar. Dicari sampe dalam, gak ada. Ponsel mati. Akhirnya iseng-iseng ke rumah juragan. Maunya tanya kerjaan buat nanti sore. Gak taunya dibayar lunas. Heran.”Cerita Parman sesaat setelah taksi telah pergi. Saimah yang mendengar omongan suaminya seketika kaget dan buru-buru bersikap normal agar tak ketahuan.“Juragan siapa, Mas?”“Pak Brahim yang dulu kasih borongan proyek besar. Mau minta pasang keramik di dapur. Sore ini rencananya, Mas ke rumah baru dia. Katanya mau kirim alamat lewat pesan. Belum ada pesan masuk.”“Mas, udah telepon dia?”“Gak. Bisa jadi makasih rehat. Pagi tadi baru perjalanan jauh. Mungkin kecapekan.”Dalam hati, Saimah menjerit, orangnya udah mati, Mas. Gimana mau kirim pesan? Dia pelanggan baruku, yang meninggalkan tanda tanya.“Mas, udah coba hubungi, ponsel gak aktif. Kayaknya, Benar-benar kecapekan. Gimana mau ngukur borongannya? Alamat gak tau? Janjian jam lima, sekarang udah jam empat.”“Kurang sejam lagi, Mas. Tunggu aja.”
“Saimah! Datanglah, temui aku di punden!”Saimah tak adajadwal ke Gunung Kemukus sampai minggu depan karena tak ada hari pasaran untuk ritual. Otomatis, tempat tersebut sepi. Tak bisa mencari pelanggan. Namun, suara barusan telah dua kali menghampirinya. Ada sesuatu yang harus ia tahu soal ini.Saimah pun harus cari alasan ke suaminya agar malam ini bisa pergi ke Gunung Kemukus lagi. Selagi ia sibuk berpikir, taksi telah sampai di depan sebuah swalayan yang dituju. Wanita berpenampilan menarik tak kalah dengan artis di televisi ini segera turun dari taksi.Entah karena wajah dan tubuhnya yang menarik mata para pria terpana atau memang daya seksual telah menyatu di dirinya. Semua pria yang ia lewati seakan-akan enggan berkedip. Bahkan, satpam swalayan sempat mencolok dagunya saat wanita berambut hitam arang ini melewati pintu akan masuk.Saimah berbisik lembut di telinga satpam tersebut.“Kamu mau mati jam berapa, Bang?”Seketika wajah satpam tersebut pucat pasi begitu mendengar suara
“Mas, ada apa?”“Pak Brahim menghilang. Di rumah hanya ada ponsel beliau saja sebagai barang bukti. Kebetulan nomor Mas yang terakhir menghubungi. Akhirnya sekalian Mas ajak ke sini, kafe beliau. Siapa tahu para pegawainya mengetahui keberadaan Pak Brahim.”“Yang bikin laporan siapa?” tanya Sarto yang penasaran.“Istrinya, Mas," jawab Parman.“Kasian banget Pak Brahim. Terus borongan yang dikasih ke Mas, gimana?”tanya Saimah demi menutupi rasa gugupnya semenjak kedatangan Parman bersama para polisi.“Lanjut. Tadi ketemu istrinya. Mas kerjakan sesuai kesepakatan dari Pak Brahim. Kalo ada kerjaan lain, tambah biaya.”“Aman kalo gitu,” ucap Saimah sambil berpikir cari akal agar sang suami segera pergi dari situ.“Maaf, Mas Parman. Jika gak keberatan ini. Mumpung belum ngerjain borongan karena pemilikdalam pencarian. Gimana kalo diukur dulu ruko saya. Langsung ketemu dengan orang saya di ruko," kata Sarto yang seketika membuyarkan lamunan Saimah.“Boleh. Saya gak bareng Mas ke sana?”tanya
“Mas, ada apa?”“Pak Brahim menghilang. Di rumah hanya ada ponsel beliau saja sebagai barang bukti. Kebetulan nomor Mas yang terakhir menghubungi. Akhirnya sekalian Mas ajak ke sini, kafe beliau. Siapa tahu para pegawainya mengetahui keberadaan Pak Brahim.”“Yang bikin laporan siapa?” tanya Sarto yang penasaran.“Istrinya, Mas," jawab Parman.“Kasian banget Pak Brahim. Terus borongan yang dikasih ke Mas, gimana?”tanya Saimah demi menutupi rasa gugupnya semenjak kedatangan Parman bersama para polisi.“Lanjut. Tadi ketemu istrinya. Mas kerjakan sesuai kesepakatan dari Pak Brahim. Kalo ada kerjaan lain, tambah biaya.”“Aman kalo gitu,” ucap Saimah sambil berpikir cari akal agar sang suami segera pergi dari situ.“Maaf, Mas Parman. Jika gak keberatan ini. Mumpung belum ngerjain borongan karena pemilikdalam pencarian. Gimana kalo diukur dulu ruko saya. Langsung ketemu dengan orang saya di ruko," kata Sarto yang seketika membuyarkan lamunan Saimah.“Boleh. Saya gak bareng Mas ke sana?”tanya
“Kenapa kami, Mbah?” tanya Saimah dan Kesi hampir bersamaan.“Nanti Mbah jelaskan. Sekarang minumlah air itu!”Pria tua ini menunjuk sebuah kendil yang terletak di atas punden. Keduanya pun meminum cairan dari kendil secara bergantian. Cairan kental serupa darah dan berbau amis telah masuk ke kerongkongan mereka. Itu menyisakan rasa getir dan anyir di mulut serta lidah“Kini kalian telah jadi pengikut utama. Tanpa ikut ritual, kekayaan kalian akan setara dengan pelaku ritual yang kalian dampingi dan bonus seperti Saimah.”“Bonus seperti Saimah?” Kesi seketika menoleh ke arah sahabatnya dengan ekspresi ingin tahu.Saimah hanya tersenyum dan mengangguk. Ia tahu kuncen akan memberi penjelasan karena dirinya pun tak pernah menyangka kejadian yang sempat membuat syok adalah bonus untuknya. Saimah segera mencubit kecil tangan sahabatnya.Saimah agak mendekat ke telinga Kesi lalu berbisik, “Sst, dengerin kuncen!”“Dengerkan dulu! Saya akan jelaskan semua.”“Baik, Mbah.Maaf,” kata Saimah dan
“Mereka dari mana minta antar ke mana, Pak?” tanya Kesi sambil melihat ke arah sopir yangmasih menyisakan rasa takut dengan bibir gemetar.“Arah dari atas dan naik ke tempat duduk penumpang tanpa membuka pintu. Mereka minta antar ke kampung. Setelah itu saya tak ingat apa-apa lagi, Bu. Ngeri!”“Cuma mimpi, Pak,” ucap Saimah berusaha menenangkan hati sopir, padahal ia tahu betul bahwa fenomena seperti itu sering kali terjadi di Gunung Kemukus.“Beneran, Bu. Saya masih melek. Setelah itu langsung pingsan.”“Emang ada, Im?” tanya Kesi sambil menatap sahabatnya.“Gak tau! Ayo kita pulang!”“Biar saya yang nyetir, Bu,” ucap pria tersebut sambil bangkit lalu membuka pintu.“Yaudah. Silakan!”Begitu sang sopir turun menuju tempat kemudi, Saimah pun segera naik ke kursi penumpang. Kini, kedua wanita bersahabat ini duduk berdampingan.“Im, beneran gak tau?”“Apaan, sih?”“Yang barusan.”“Entahlah. Aku juga gak pernah alami.”Saimah paling kesal kalau Kesi sudah muncul rasa penasaran seperti ini
“Bu, fokus sama Pak Sobir aja. Soal biaya dan lain-lain, biar aku yang urus dan jangan uangku dari mana? Yang penting Pak Sobir tertangani.”“Iya, ya. Maaf, Im. Mulut ini emang ...,” ucap Bu Sobir sambil menutup mulut dengan telapak tangan.Saimah hanya tersenyum melihat tingkah tukang gosip nomor wahid di perumahan mereka. Akhirnya mereka telah sampai di rumah sakit. Tubuh Pak Sobir dipindahkan ke brankar lalu dibawa ke UGD.Bau busuk yang menguar dari bagian tubuh Pak Sobir membuat seisi ruangan menutup hidung. Saimah berdiri menunggu di depan pintu UGD.Ia bersama Pak RT dan seorang warga menunggu kelanjutan proses pemeriksaan Pak Sobir. Wanita bercelana jeans ini mendekat ke arah mobil lalu berjalan ke arah sopir yang sedang duduk di dalam.“Bapak bisa pulang sekarang. Tunggu telepon dari saya.”“Ya, Bu. Terimakasih banyak.”“Saya yang terima kasih, Pak.”“Saya permisi pulang kalo gitu.”“Silakan!”Saimah agak menjauh lalu mobil mulai bergerak ke luar dari area rumah sakit. Wanita