"Istrinya, kan, udah tau kalo kalian pasangan ritual hampir setaon ini?”
“Iya. Aku mau dinikahin Mas Win, jadi istri kedua.”“Kamu mau?”“Enggaklah! Bisa tutup buku rekening kalo aku nikah dengan dia.”“Kalo dicukupi sama dia. Udah kaya tuh! Warung bakso dia udah banyak cabang.”“Enggak enak, Im. Cuma dapat duit dari dia.”Akhirnya, Saimah terpaksa mengakhiri pembicaraan karena harus segera pergi. Kesi adalah teman Saimah semasa SMP, sejak menikah ia pindah ke lain kota. Akhirnya setelah bercerai, wanita hitam manis ini kembali ke tempat asal dan bertemu dengan Saimah, sahabat masa kecilnya.Saimah segera mengganti dasternya dengan celana jeans dipadukan tank top berwarna merah maron dan ditutup dengan jaket kulit warna cokelat. Penampilan wanita berusia tiga puluh lima tahun ini tak kalah seksi dengan gadis umur dua puluhan.Wajah ayu khas wanita Jawa dengan kulit kuning langsat hasil perawatan klinik kecantikan ternama, tak dipungkiri merupakan saya pikat paling manjur untuk menjerat para pria pelaku ritual Gunung Kemukus.Kenapa ia lebih suka dengan pria pelaku ritual?Ia selalu beranggapan, para pria tersebut lebih bersih dari penyakit kelamin daripada pria hidung belang. Lebih dari itu, ada iming-iming duit dalam jumlah besar dari pria pelaku ritual selama ritual belum tuntas.Apalagi ritual telah tuntas dan sang pria berhasil dalam bisnis yang dijalankan dengan mantra pesugihan. Keuntungan surga dunia akan selalu menaungi kehidupan Saimah selama mereka bersikap profesional tak main perasaan dalam setiap ritual intim.Namun nyatanya, pria-pria pelanggan Saimah tak mau lepas, meski ritual telah tuntas sebanyak tujuh kali dan sesajen telah dimantra dalam perjanjian dengan penguasa Gunung Kemukus. Saimah adalah wanita lihai dalam mengatur strategi dengan semua pria, termasuk suaminya.Hartanya dari hasil menjadi teman ritual selama setahun lebih telah menggunung. Empat buah rumah telah mampu dia beli termasuk renovasi rumah yang ia tempati dengan Parman, beberapa hektar sawah kebun telah tergenggam dan beberapa mas batangan serta uang telah ia depositokan.Beberapa perhiasan yang ia pakai adalah seujung kuku dari kekayaan Saimah. Lebih hebat lagi, Parman hanya tahu sebatas perhiasan yang dipakai sang istri dan dana renovasi rumah saja. Itu pun, setahu Parman dari bisnis skin care.Saimah telah siap di teras rumahnya yang bergaya minimalis modern menunggu kedatangan taksi online yang telah dipesan. Selama ini ia tak mau membeli mobil, padahal persoalan sepele buatnya untuk membeli kendaraan roda empat. Itu semua demi menghindari perampokan atau orang yang iri dengki padanya.“Malam, udah sampe mana, Pak?” tanyanya kepada sopir taksi online yang menghubunginya.“Lima menit lagi sampe, Bu.”“Okey. Saya tunggu di depan gerbang.”Saimah pun segera berjalan keluar halaman lalu menggembok pintu gerbang. Kini ia berdiri menunggu taksi sambil sesekali bertegur sapa dengan para tetangga yang berlalu lalang.“Malem-malem mau ke mana, Im?”“Mau pergi ke rumah Mak, Bu Sobir.”“Emang mak kamu sakit?”“Enggak, Bu. Cuma kangen aja. Mo nginap di sana, daripada di rumah sendiri.”“Lah, Parman ke mana?”“Ada borongan.”“Kok tumben, gak ngajak suamiku?”“Oalah, Bu. Renovasi dapur punya kenalan. Borongan sedikit. Mas Parman dan 1 kuli aja udah cukup.”“Halah, ngomong aja, emang sengaja suamimu gak mau berbagi rezeki.”“Beneran borongan kecil, Bu. Kalo pake tukang 2, gak dapat hasil. Entar Bu Sobir, protes. Besok ada teman Imah mau bangun rumah, entar Imah bilang ke dia. Biar boleh diborong Mas Parman dengan Pak Sobir.”“Wah, boleh tuh, Im. Beneran loh, yo?”“Beneran. Bulan depan mungkin, mulai bangun.”“Nah, gitu dong. Setia kawan. Biar aku bisa beli kalung kayak kamu.”“Oalah, kalung ini tho? Ini loh kalung karat dikit tak semprot lagi. Cuma menang semprotan.”“Halah, tak kira emas 24 karat. Lah gede segitu, udah berapa duit. Tibak e, mas semprot.”Bu Sobir pun tertawa terbahak-bahak hingga mengundang perhatian orang lewat.“Ndak usah bilang-bilang, Bu. Entar pada mau beli ginian semua nanti.”“Enggaklah, Im. Aku ndak jadi beli yang kayak punya kamu. Mau beli mas asli aja.”Dari kejauhan tampak taksi online yang dipesan Saimah mendekati tempat mereka berdiri. Taksi pun telah berhenti di depan mereka.“Yodah, Bu. Aku pergi dulu.”“Ati-ati di jalan. Cepet kabarin soal borongan tadi.”“Pasti, Bu. Pamit dulu, ya.”Saimah segera membuka pintu belakang lali masuk dan menutup pintu. Wanita berdandan modis ini pun melambaikan ke arah Bu Sobir dari kaca jendela yang diturunkan separuh.Perlahan taksi meninggalkan Bu Sobir yang masih berdiri terpaku menatap kepergian Saimah.“Ah bisa jadi mas yang dipake Im itu imitasi. Cuma dia malu mengakui.”Wanita berperawakan gemuk ini terus tertawa cekikikan dengan bibir padat berisinya. Ia merasa bahagia, kekayaan Saimah tak seheboh yang dilihatnya. Hatinya merasa puas dan tentu saja berita ini bisa jadi bahan obrolan terhangat di antara ibu-ibu se-kompleks.•○•°•¤•°•○•Dalam perjalanan, Saimah tersenyum simpul mengingat kekonyolan Bu Sobir yang bisa ia bohongi. Saimah menyempatkan kirim pesan kepada Parman dan memberitahu kalau ia akan menginap di rumah maknya karena sudah lama tidak berkunjung ke sana.Ponsel suaminya dalam keadaan tak aktif, seperti biasa karena sibuk bekerja ditarget waktu sengaja dimatikan. Kini, ia sibuk membalas pesan dari pelanggan yang telah menunggu di tempat mereka biasa bertemu.Dua puluh menit kemudian taksi telah sampai di sebuah pusat perbelanjaan. Saimah segera bersikap turun dari taksi tak perlu membayar cash karena ia masih punya saldo cukup dalam aplikasi taksi online tersebut.“Makasih, Pak.”“Terima kasih kembali, Bu.”Saimah segera membuka pintu segera turun dan menutupnya kembali. Taksi pun berlalu meninggalkan wanita itu. Tak seberapa lama sebuah mobil Terios telah mendekatinya dan Saimah gegas membuka pintu lalu naik.“Aku tepat waktu, ya.”“Bener juga, Mas. Aku gak kelamaan nungguin jadinya.”“Kita makan dulu, ya. Dari sore belum makan nih.”“Pasti sibuk?”“Iya, ada toko baru di luar kota.”“Lah, berarti waktu aku kasih tau tadi, Mas di perjalanan?”“Iya. Gak jauh juga. Lima jam dari sini.”“Jauh itu, Mas. Maaf, ya. Aku gak tau.”“Enggaklah! Gak apa-apa. Yang perlu, kan, aku. Kamu jadi mempermudahnya. Lagian diajak enak sama kamu, masak gak mau?”Saimah yang mendengarnya jadi tersipu malu. Memang diakui dalam hati, pelanggannya ini adalah pria idaman dari bentuk fisik dan tutur kata daripada pelanggannya yang lain. Namun, tiap kali dirinya akan terhanyut cinta, perasaan itu buru-buru ia tepiskan.“Enggaklah! Gak apa-apa. Yang perlu, kan, aku. Kamu jadi mempermudahnya. Lagian diajak enak sama kamu, masak gak mau?”Saimah yang mendengarnya jadi tersipu malu. Memang diakui dalam hati, pelanggannya ini adalah pria idaman dari bentuk fisik dan tutur kata daripada pelang yang lain. Namun, tiap kali dirinya akan terhanyut cinta, perasaan itu buru-buru ia tepiskan.Dalam otak Saimah hanya tersimpan harta. Seperti rencana awal dirinya, mencari pesugihan di Gunung Kemukus tak kesampaian karena tak berweton genap. Ia kelahiran Jumat Pon yang berjumlah weton 13, tak bisa mengikuti ritual.Akhirnya secara kebetulan mendapat tawaran dari seorang pria untuk menjadi pasangan ritualnya. Dari pelanggan pertama ini, Saimah mendapat cipratan hasil pesugihan dan menjadi candu baginya.Ia semakin lihai memainkan peran sebagai pasangan ritual para pria pelaku pesugihan. Hingga mendapat empat pelanggan, yang harus ia ikuti ritual mereka sampai tuntas. Tentu saja ada imbalan sejumlah harta untuknya.“
l"Sejam lagi sampe, Mas.”“B-bisa pulih, gak? Kayaknya udah tak utuh lagi ini. Aauch ... hati-hati.”“Tenang, Mas. Bisa. Aku udah kasih tau soal ini kemarin.”Mobil menembus gelap malam di jalan yang semakin sunyi menuju Gunung Kemukus. Kini, mereka telah sampai di jalan utama menuju tempat pesugihan. Kabut hitam menyelimuti sepanjang perjalanan hingga akhirnya mobil telah sampai di tempat parkir.Saimah segera turun dari mobil lalu membantu sang pria turun dan memapahnya menuju tangga, jalan menuju puncak Gunung Kemukus. Sang pria dengan langkah tertatih-tatih dan mulut meringis menapaki tangga dipapah Saimah.Beruntung anak tangga menuju puncak telah terpasang lampu penerangan berjarak setiap meter. Jadi mempermudah bagi peziarah maupun pelaku ritual pesugihan melaluinya saat malam hari seperti ini.“Mas, berhenti sebentar, ya. Nafasku habis. Ada air nih, Mas mau minum juga?”“Airnya berisi obat anti nyeri?”“Aish ... apaan? Buat tambah tenaga. Obat Mas ada di atas. Bentar juga samp
"Mas, ini kunci mobilnya. Aku izin pulang dulu, kebetulan ada kenalan mengajak barengan.”“Kenalan pria?”“Wanita Mas. Pelaku ritual juga. Udah selesai dan akan pulang. Aku harus buru-buru pulang, takut suamiku sudah sampe rumah. Maaf, Mas.”“Iya, gak papa. Makasih, ya. Entar siang, aku hubungi.”“Baik, Mas.”Saimah pun melangkah pergi diiringi tatapan pria pelanggan. Wanita berkulit bersih ini terpaksa berpura-pura menuruni anak tangga untuk mengelabui pria barusan. Ia harus menunggu dulu sampai sang pria melaksanakan ritual persembahan dulu. Oleh karena Saimah tak kunjung datang calon pelanggan baru mencarinya ke bawah kembali.“Mbak! Ngapain di situ?”“Maaf, barusan liat teman. Saya kehilangan jejak, Pak.”Akhirnya, mereka menapaki anak tangga menuju atas kembali. Saimah merasa bersyukur sang pria pelanggan telah khusyuk melakukan persembahan bersama kuncen. Wanita ini bersama pria berkepala plontos langsung menuju sendang untuk memulai ritual awal permohonan pada Sang Ratu.Berunt
“Oh, ya, Pak. Jadi kapan saya kerjain borongannya?” tanya Parman kepada Pak Brahim.“Harusnya pagi ini, Mas Parman mulai mengukur tembok. Tapi saya masih ada keperluan. Gimana kalo sore saja?”“Boleh! Kebetulan semalam saya habis lembur. Ini barusan pulang, mampir toko buat beliin istri.”“Yaudah. Mas Parman istirahat dulu. Nanti jam 5 sore, saya tunggu di rumah baru," ucap Pak Brahim sambil mengamati barang belanjaan Parman.“Baik, Pak. Saya permisi duluan," balas Parman sambil mengangguk.“Silakan!”Parman menyalami Pak Brahim lalu berjalan menuju tempat motor terparkir. Pria berkulit gelap tersebut mengendarai kendaraan roda duanya ke arah rumah. Sepeninggal tukang bangunan tersebut, pria berkepala plontos segera masuk toko.Saimah yang berada dalam mobil mengawasi kepergian suaminya. Ia membuka tas untuk mengambil ponsel lalu menghidupkannya. Dugaan wanita ini tepat dan sesaat kemudian ponsel berbunyi.“Assalammu'alaikum, Mas,” jawab Saimah sembari tersenyum.Untung aku segera sad
“Bukan, Mas Parman. Rumah baru saya beli.”“Oh, pantas saja. Saya sudah di depan rumah lama, kok sepi. Gerbang tergembok.”“Saya sedang diluar, Mas. Maaf, tadi lupa gak kasih alamat. Segera saya kirim alamat via pesan. Oh ya. Hampir lupa. Hari ini saya kasih Dp dulu. Segera saya transfer. Mohon ditunggu.”“Baik, Pak.Terima kasih sebelumnya. Assalammu'alaikum.”“Wa'alaikumussalam.”Pak Brahim terdiam sejenak. Ia tadi tak salah ucap pada tukang barusan saat bertemu di depan minimarket. Ia telah mengatakan sore hari, tetapi kenapa pria tersebut datang saat ini? Sedangkan jam masih menunjukkan pukul 10 pagi.Akhirnya tanpa sadar Pak Brahim yang kecapekan ikut tertidur di samping Saimah. Keduanya tertidur pulas hingga memasuki alam mimpi. Di alam ini, semua terlihat indah dan menyenangkan.Alam perbukitan nan asri dengan berbagai macam tumbuhan buah yang ranum dan bunga-bunga bermekaran beraroma wangi. Ada tiga sungai mengalirkan cairan berbeda. Sebuah sungai cukup besar mengalirkan susu s
“Dek, tadi Mas jemput kamu ke pasar. Dicari sampe dalam, gak ada. Ponsel mati. Akhirnya iseng-iseng ke rumah juragan. Maunya tanya kerjaan buat nanti sore. Gak taunya dibayar lunas. Heran.”Cerita Parman sesaat setelah taksi telah pergi. Saimah yang mendengar omongan suaminya seketika kaget dan buru-buru bersikap normal agar tak ketahuan.“Juragan siapa, Mas?”“Pak Brahim yang dulu kasih borongan proyek besar. Mau minta pasang keramik di dapur. Sore ini rencananya, Mas ke rumah baru dia. Katanya mau kirim alamat lewat pesan. Belum ada pesan masuk.”“Mas, udah telepon dia?”“Gak. Bisa jadi makasih rehat. Pagi tadi baru perjalanan jauh. Mungkin kecapekan.”Dalam hati, Saimah menjerit, orangnya udah mati, Mas. Gimana mau kirim pesan? Dia pelanggan baruku, yang meninggalkan tanda tanya.“Mas, udah coba hubungi, ponsel gak aktif. Kayaknya, Benar-benar kecapekan. Gimana mau ngukur borongannya? Alamat gak tau? Janjian jam lima, sekarang udah jam empat.”“Kurang sejam lagi, Mas. Tunggu aja.”
“Saimah! Datanglah, temui aku di punden!”Saimah tak adajadwal ke Gunung Kemukus sampai minggu depan karena tak ada hari pasaran untuk ritual. Otomatis, tempat tersebut sepi. Tak bisa mencari pelanggan. Namun, suara barusan telah dua kali menghampirinya. Ada sesuatu yang harus ia tahu soal ini.Saimah pun harus cari alasan ke suaminya agar malam ini bisa pergi ke Gunung Kemukus lagi. Selagi ia sibuk berpikir, taksi telah sampai di depan sebuah swalayan yang dituju. Wanita berpenampilan menarik tak kalah dengan artis di televisi ini segera turun dari taksi.Entah karena wajah dan tubuhnya yang menarik mata para pria terpana atau memang daya seksual telah menyatu di dirinya. Semua pria yang ia lewati seakan-akan enggan berkedip. Bahkan, satpam swalayan sempat mencolok dagunya saat wanita berambut hitam arang ini melewati pintu akan masuk.Saimah berbisik lembut di telinga satpam tersebut.“Kamu mau mati jam berapa, Bang?”Seketika wajah satpam tersebut pucat pasi begitu mendengar suara
“Mas, ada apa?”“Pak Brahim menghilang. Di rumah hanya ada ponsel beliau saja sebagai barang bukti. Kebetulan nomor Mas yang terakhir menghubungi. Akhirnya sekalian Mas ajak ke sini, kafe beliau. Siapa tahu para pegawainya mengetahui keberadaan Pak Brahim.”“Yang bikin laporan siapa?” tanya Sarto yang penasaran.“Istrinya, Mas," jawab Parman.“Kasian banget Pak Brahim. Terus borongan yang dikasih ke Mas, gimana?”tanya Saimah demi menutupi rasa gugupnya semenjak kedatangan Parman bersama para polisi.“Lanjut. Tadi ketemu istrinya. Mas kerjakan sesuai kesepakatan dari Pak Brahim. Kalo ada kerjaan lain, tambah biaya.”“Aman kalo gitu,” ucap Saimah sambil berpikir cari akal agar sang suami segera pergi dari situ.“Maaf, Mas Parman. Jika gak keberatan ini. Mumpung belum ngerjain borongan karena pemilikdalam pencarian. Gimana kalo diukur dulu ruko saya. Langsung ketemu dengan orang saya di ruko," kata Sarto yang seketika membuyarkan lamunan Saimah.“Boleh. Saya gak bareng Mas ke sana?”tanya