Home / Romansa / RINDU MENJANDA / Mandi di Sungai Musi

Share

Mandi di Sungai Musi

last update Last Updated: 2021-04-14 11:29:18

Malam telah menjelang. Aku hanya meringkuk di atas kasur. Mata pun sembab akibat meratapi nasib diri yang kini bagai orang terbuang.

Keluarga yang telah aku tinggalkan, papa dan mama. Dua tahun silam, hingga saat ini aku tahu persis kalau mereka masih belum merestui pernikahan kami. Kini bagai hadir kembali di benakku.

Maafkan anakmu yang hina ini, Pa, Ma.

"Kamu tidak makan?" tanya Mas Dimas mencoba membujuk. Tiba-tiba saja lelaki itu datang lalu duduk di bibir ranjang.

Aku tak menghiraukan ucapannya. Bujukan itu hanya basa-basi busuk bagiku. Hati ini sudah terlanjur luka oleh sikapnya tadi siang.

"Rindu! Kamu tak menyahut pertanyaanku?!"

Lengan Mas Dimas perlahan meraih bahuku. Dengan sedikit tenaga, lelaki itu mencoba untuk membalik tubuhku yang sedari tadi masih berbaring membelakanginya.

"Rindu! Kamu masih punya mulut kan?"

Kali ini, ucapan Mas Dimas memaksaku berbalik. Aku memberanikan diri menatapnya.

"Aku benci sama kamu, Mas!"

Mas Dimas tak menjawab, dia malah membuang tatapannya. Perlahan dia membaringkan tubuhnya di sampingku. Lengannya dilipat, lalu kepalanya menumpu pada tangan itu. Dia terlentang sembari menatap kosong ke arah atap rumah, dengan tangan tadi sebagai bantalnya.

"Rin, ada yang ingin aku tanyakan sama kamu. Tolong jawab dengan jujur?" Nada bicara Mas Dimas mulai melemah.

Aku mulai antusias, amarahku berangsur memudar berganti dengan rasa penasaran. Heran rasanya melihat tingkah suamiku yang aneh.

"Apa?" jawabku masih kesal padanya.

"Apa kamu menyesal menikah denganku?"

Aku menghela nafas panjang. Bari kali ini aku mendengar pertanyaan yang baru saja di lontarkan oleh Mas Dimas.

"Maksud kamu?" Aku belum bisa mencerna perkataannya dan tak paham arah pembicaraan lelaki itu.

"Ya, setelah sekarang hidup melarat bersamaku. Apa kamu menyesal?!" Sekali lagi pertanyaan itu mengusikku.

Aku mulai mendongak ke arah Mas Dimas. Posisi kepalaku kini bagai seekor ular yang sedang mengawasi mangsa.

"Mas. Aku rela kabur dari rumah demi hidup bersamamu. Aku rela meninggalkan kedua orang tuaku. Kenapa kamu malah mempertanyakan hal seperti itu?"

Aku masih tak habis pikir dengan ucapannya. Tak pantas rasanya dia meragukan pilihan yang telah aku ambil.

"Apa sebaiknya kamu kembali pada orang tuamu?"

Hah?! 

Aku tersentak mendengar ucapan itu.

"Kenapa, Mas? Kok bisa-bisanya kamu ngomong kayak gitu?"

"Ibuku ingin segera menimang cucu."

"Oh, jadi itu sumbernya?" Aku mulai tahu maksud hati Mas Dimas.

"Iya, Rin. Tolong kamu bisa mengerti."

"Mengerti bagaimana, Mas?!" tanyaku dengan penuh penekanan.

"Jangan ngegas, dong!" celah Mas Dimas.

Lelaki itu mulai duduk, begitupun denganku. Sekarang kami saling berhadapan, dan juga saling terpancing emosi.

"Mas, tolong tatap aku!" Aku mulai serius, "Apakah kamu sudah tidak mencintaiku lagi?!"

Mas Dimas mulai terpojok dengan pertanyaanku. Dia sedang memikirkan sesuatu untuk menjawab.

"Kamu belum bisa memberiku keturunan! Ibu memintaku menikah lagi." Juga dengan tatapan yang tak main-main ia bidikan padaku.

Sungguh perkataan Mas Dimas berhasil meremukkan dadaku. Hati wanita mana yang tak hancur mendengar pernyataan suami seperti itu. Aku tak rela hidup dimadu.

"Enggak, Mas! Aku nggak mau!" Aku menggeleng beberapa kali. Air mata kembali meleleh di pipiku.

Mungkin ini salah satu faktor perubahan drastis sikap Mas Dimas terhadapku akhir-akhir ini.

"Tolong kamu mengerti keadaanku, Rin. Aku stres menghadapi kenyataan hidup ini."

Tiba-tiba jemari Mas Dimas menyeka air mataku.

"Jangan tinggalkan aku, Mas. Aku mohon. Aku tak punya siapa-siapa lagi selain kamu." Tanganku mencengkeram kuat lengan kekar suamiku itu. Sekuat harapan untuk tetap bersamanya.

"Rindu, aku mohon maaf. Aku tak bisa menentang permintaan ibu. Kamu tahu sendiri beliau sangat sayang padaku. Dan harapan satu-satunya diujung usia ibu, dia menginginkan cucu."

"Beri aku sedikit waktu, Mas. Mungkin saat ini Tuhan belum mempercayakan keturunanmu melalui rahimku. Tapi, aku yakin suatu saat itu bakal terjadi."

Mas Dimas menarik nafasnya yang mulai berat. Dia sedang menimbang-nimbang omonganku.

"Baik, tolong beri aku sedikit waktu juga. Aku akan mencoba meyakinkan ibu sekali lagi."

Ucapan Mas Dimas bagai memberi suguhan rasa damai dalam hatiku. Berangsur, batinku yang berkecamuk kini sedikit tentram.

"Kalau ibu tetap pada pendiriannya, gimana, Mas?!" desakku penuh pengharapan.

Mas Dimas mulai berdiri. Lalu beranjak meninggalkanku.

"Kamu mau kemana, Mas?"

Langkah lelaki itu terhenti sejenak, kemudian wajahnya berbalik menatapku, "Aku mau keluar, cari angin."

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, Mas!"

Kali ini, sorotan mata Mas Dimas penuh arti, "Kita lihat saja nanti."

Kemudian dia pergi begitu saja.

Batinku mulai mencurigai gelagat buruk suamiku. Akhir-akhir ini dia sering keluyuran malam. Dan yang paling mengherankan, dandanannya selalu rapi dengan aroma parfum yang semerbak.

Tak wajar rasanya jika hanya ingin keluar cari angin dengan baju kemeja kinclong setrikaanku, jeans warna donker, lengkap dengan sepatu kulit andalannya.

Penampilan Mas Dimas memang terbilang menarik. Ditunjang oleh perawakan tegap, hidung mancung, alis tebal, dan kulit sawo matang. Cukup sudah syarat sebagai pria gagah yang membuatku tergila-gila semenjak pertama aku mengenalnya tiga tahun silam.

Hanya saja takdir tak berpihak padanya. Waktu kami menikah dulu, dia masih menyandang jabatan yang cukup penting di perusahaan perkebunan sawit swasta.

Saling sikut untuk memperebutkan jabatan manager, membuat suamiku itu disingkirkan lalu di pecat tanpa alasan yang masuk akal.

Aku kembali menarik selimut, mencoba memejamkan mata. Gelisah dan gelisah. Miring salah tengkurap salah. Dari siang hingga ke malam, tak sedikitpun aku bernafsu untuk menelan makanan.

Perkataan Mas Dimas tadi, begitu membekas di hatiku. Betapa tidak, lelaki itu lebih memenangkan permintaan ibunya dari pada mempedulikan perasaanku.

****

Sungai Musi, dengan lebar tak kurang dari dua ratus meter membentang di pinggiran kota Sekayu. Bantarannya padat oleh rumah penduduk. Airnya tak pernah kering sepanjang tahun, banyak orang menggantungkan hidupnya di sana. Mulai dari mencari ikan, mandi, cuci, dan sebagainya.

Pagi ini masih gelap, aku harus ekstra hati-hati menuruni tebing sungai Musi. Meniti tapakan tanah yang telah dibuat seperti tangga. Cukup curam, dan kalau sampai terpeleset, alamat terguling, nyemplung di sana.

'Menyebalkan' batinku menggerutu.

Ini gara-gara kebiasaan di hari libur air ledeng tak hidup, dan air di bak mandi hanya tinggal sedikit. Membuatku terpaksa memilih untuk mandi ke sungai saja, dari pada nanti kena semprot ibu mertua gara-gara air habis. Walaupun sebenarnya ini pengalaman pertamaku untuk mencoba mandi ke sungai.

Ternyata aku tak sendiri, dari tengah tebing sayup-sayup terdengar suara orang mengobrol.

*"Kalu Ayuk nga ikak! mahap bae nak di due ke. Tunggu la Lina tu! Kapan Bae die betemu, denggut ke ku rambutnye," ujar wanita paruh baya dengan logat kentalnya.

*["Kalau Saya ini! Nggak bakalan rela didua-in. Kalo Ketemu, akan saya Jambak rambutnya si Lina itu."]

Wanita itu bercakap pada ibu-ibu lain di sebelahnya dengan bahasa Sekayu, sambil memghempas-hempaskan baju yang sedang dicucinya.

Ramai juga orang yang ada di sana, di atas kayu-kayu bulat besar yang disusun semacam rakit, mengapung. Mereka menyebutnya 'Batang'.

Fasilitas baru yang aku temui, di ujungnya lengkap dengan toilet dadakan dibuat berbentuk kotak berdinding papan setinggi lutut. Jadi kalo kita sedang buang air, nongkrong di dalamnya, bisa sambil nge-gosip.

"Pagi , Bik," sapaku ke wanita yang dari tadi ngomel-ngomel menyebut nama Lina. Entah siapa Lina itu, wanita yang sejak tadi ia maki-maki.

"Pagi, Dik," sahut wanita itu, senyum ramah dilontarkannya padaku. Dia tahu kalo aku baru pertama datang ke sana untuk mandi.

Aku menyerok air dan menyiramnya ke kepala.

Byur!

Huh! Dingin sekali. Hanya secukupnya aku mengguyur tubuh ini.

Sepertinya aku akan bersahabat dengan sungai Musi, komplit dengan pasukan ibu-ibu ratu gosip.

Sehabis mandi aku meninggalkan sungai itu. Dengan langkah kecil, berlalu sembari memikirkan Mas Dimas yang tak pulang kerumah.

Entah dia menginap di mana semalam. Sudah tiga kali dia kelayapan tidur di luar. Aku masih belum berani mempertanyakan hal itu. Karena selain akan menjadi sumber keributan, aku juga tak sempat mengajaknya mengobrol serius. Sebab, kami sama-sama sibuk untuk kerja.

Kebetulan hari ini libur sekolah, jadi aku tak mengajar. Rasanya ini waktu yang tepat untuk membahas tuntas tentang keluyuran suamiku akhir-akhir ini.

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • RINDU MENJANDA   Terbakar Api Cemburu

    Walaupun hari ini libur, aku tetap saja sibuk. Setelah mandi dan mengenakan daster, aku melakukan rutinitas seperti biasa. Cuci piring, bikin sarapan untuk ibu mertua dan suami, nyapu, ngepel dan bersih-bersih rumah.Aku melirik jam dinding yang ada di ruang tamu. Sudah pukul tujuh lewat namun Mas Dimas belum juga pulang. Aku semakin gelisah dibuatnya. Hati diselimuti berjuta tanya, kemana gerangan suamiku itu?Aku duduk di atas kursi ruang tamu. Kuraihremotetelevisi yang tergeletak di atas meja. Seperti biasa, aku akan menghabiskan pagi minggu dengan menonton berita gosipselebritytanah air.Ya, aku sangat senang mendengar berita seputar pesohor dunia keartisan. Apalagi tentang gosip kawin cerai dengan usia pernikahan yang masih seumur jagung. Gemes rasanya.Tiba-tiba ibu mertuaku keluar dari pintu kamarnya. Sepertinya dia baru saja bangun dan pasti perutnya kosong. Kalau saja sarapan belum ada, singa betina itu a

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Petunjuk Perselingkuhan

    Aku membuka mata, memberanikan diri menatap wajah Mas Dimas. Sorotan tajam mata lelaki itu kembali ditujukannya padaku.Aku mengalah, lalu membuang tatapan. Tak ingin rasanya berlama-lama berada dalam kamar bersama suami yang sedang terbakar emosi. Perlahan aku bergegas menuruni kasur."Mau kemana kamu?!" Mas Dimas mencegah langkahku yang baru saja hendak meninggalkan kamar."Aku mau keluar, Mas.""Tunggu!" Tangan lelaki itu mendorong bagian bahuku. Tentu saja dengan tenaga kuatnya aku terpental satu langkah ke belakang.Aku menghela nafas dalam. Mencoba mengatur irama jantung yang sedari tadi berdegup tak berirama.Aku memperkuat mentalku. "Cukup, Mas! Aku ini istrimu. Jangan seenaknya memperlakukanku dengan sikap kasarmu itu.""Oh! Jadi kamu sudah berani melawan suami? Ha!"Hentakan suara di ujung kalimat yang diucapkan Mas Dimas, mencoba untuk menghancurkan pertahananku. Tapi aku tahu kalau saat itu dia hanya menggertak.

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Pertemuan Pertama dengan Lina

    Aku terhenyak mendengar perkataan Indah. Entah ini kebetulan nama yang sama dengan orang yang berbeda. Atau bahkan benar, kalau mama Indah itu adalah orang yang sedang dalam penyelidikanku saat ini.“Kok, Bu Rindu diam?” tanya murid cantikku itu polos.“Nggak apa-apa, Nak, Ibu hanya terpesona mendengar ceritamu tadi. Bagus banget.”Indah hanya tersenyum mendengar pujian dariku.Bel istirahat telah berbunyi, aku bergegas kembali ke ruang guru. Sesampainya di sana, nampak ruang itu hening karena memang guru-guru lain biasanya sudah di kantin.Ketika hendak duduk di kursi, mataku membentur sebuah kotak yang telah dibungkus rapi dengan kertas kado.Aku penasaran kotak itu berisi apa, dan siapa yang meletakkannya di atas mejaku. Sekali lagi aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, namun benar-benar tak kudapati seorangpun.Hadiah untuk Rindu.Tulisan secarik kertas yang menempel pada kado itu berhasil

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Perang Mulut

    Setelah mencium punggung tanganku dan Pak Arif. Indah lalu membuka pintu mobil dan keluar menghampiri mamanya.Pak Arif menurunkan kaca mobilnya, lalu ia menyapa Lina. “Mbak, kami tinggal dulu ya.”“Makasih ya, Rif,” balas wanita itu singkat. Pak Arif hanya memberikan senyuman pada wanita itu.Sementara aku hanya membeku duduk di sebelah. Sengaja aku tak ingin melihat wanita itu lebih lama lagi, karena takut emosi besar ini nanti meluap.Mobil perlahan menjauh meninggalkan Indah bersama mamanya.“Sepatunya sudah dicoba, Bu?” tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil.“Sudah, Pak. Pas banget di kakiku.”“Bu Rindu suka sepatunya?” Lelaki itu menatapku penuh arti.Aku mulai canggung berada dalam posisi itu. “Itu sepatu impian saya, Pak.”Dia mengembangkan senyum manis di bibirnya. Aku mulai curiga, jangan-jangan hadiah itu dari Pak Arif.“Pa

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Pertemuan Serius

    Saat aku terjaga, ternyata hari sudah mulai gelap. Aku beranjak untuk menyalakan lampu kamar.Kring! Kring! Kring!Suara nyaring ponsel memecah keheningan kamar."Halo!""Halo Bu Rindu," sapa Pak Rudi kepala sekolah kami. "Saya mau kasih info mendadak. Indah, muridmu, diminta mewakili Kabupaten kita, untuk berangkat ke Palembang besok pagi.""Palembang? Acara apa ya, Pak?""Lomba siswa berprestasi dan lomba catur tingkat Propinsi. Tahun kemarin 'kan dia menang mewakili kabupaten kita. Nah, tahun ini bapak Kepala Dinas ingin dia maju lagi.""Oh, alhamdulillah kalau gitu, Pak""Saya minta kamu mendampingi dia ya, sama Pak Arif juga."Aku tertegun sejenak. "Baik, Pak.""Tolong segera kasih tahu Indah. Tadi saya menghubungi nomor Pak Arif, tapi belum aktif kayaknya. Kasih tau juga sama beliau.""Baik, Pak. Nanti aku kasih tahu sama mereka.""Akomodasi dan sebagainya, sudah saya minta ditransfer ke rekeni

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Dosa yang Terbongkar

    Tiba-tiba wanita itu meletakkan buku nikahku ke atas meja, lalu ia mendekap tubuh ini dengan erat. Tubuhnya bergetar akibat isak tangis. Kini ia tenggelam dalam pelukanku.Seketika itu, rasa iba menyelinap ke relung hatiku. Tak tega rasanya membiarkan wanita cantik itu terus menangis.Aku menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Mencoba untuk menenangkannya.Perlahan Lina melepaskan pelukan. Matanya telah membengkak nanar menatapku. Aku membalas tatapan mata itu."Sebagai sesama wanita, Mbak Lina tentunya dapat mengerti apa maksudku. Sebelum semua ini berlanjut lebih jauh lagi," ucapku penuh keseriusan.Aku sudah berada di atas angin, kemenangan sebentar lagi aku dapatkan. Rasanya sudah tak sabar lagi ingin mendengar pengakuan kekalahannya."Maafkan aku, Bu Rindu." Tangisnya terus berlangsung.Aku sudah dapat melengkungkan garis bibir, mengembangkan senyum kepuasan.Tiba-tiba wanita itu kembali memelukku. Kali ini dekapannya sa

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Akhir dari Pertengkaran

    Nyali Mas Dimas semakin ciut. Mulutnya terkunci, ia tak dapat menjawab pertanyaanku."Jawab! Mas," pekikku sekali lagi. Kadar emosiku terus bertambah. Entah bagaimana ekspresiku saat ini. Yang jelas, gertakan itu berhasil mendominasi keadaan.Mas Dimas membuang tatapan mataku. Ia beringsut menuju kursi. Sepertinya lelaki itu telah sadar kalau aku baru saja membuka semua tabir rahasia besarnya.

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Drama Mie Instan

    Pak Arif menekan saklar lampu yang berada di dinding ruang tamu rumahnya. “Silahkan duduk dulu, Bu,” ujar lelaki itu sembari tersenyum.Aku dan Indah menuruti permintaan Pak Arif. Kami berdua duduk di sofa empuk berwarna abu muda yang memiliki sandaran agak rendah.Setelah duduk, aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu rumah Pak Arif. Nampak tata letak dan dekorasinya cukup apik. Di dindingnya menempel sebuah lukisan abstrak yang didominasi warna hitam dan merah. Pas betul dengan paduan warna cat interior bernuansa putih lembut. Ternyata bagus juga selera lelaki yang masih betah menjomblo itu.Pak Arif menuju kamar yang berada di ruang tengah rumahnya. Sepertinya ada dua kamar yang saling berdempetan di sana.“Bu, aku nggak mau pulang ke rumah lagi,” cetus Indah memecah keheningan ruang tamu

    Last Updated : 2021-04-14

Latest chapter

  • RINDU MENJANDA   Terpaksa Keluyuran Malam

    "Please, untuk malam ini aja, Rin. Aku udah kepalang janji sama Om Samsul," rengek Cica sembari memegang lenganku."Siapa Om Samsul, Ca?" Aku tambah penasaran dengan nama yang asing di telingaku itu."Kamu masih ingat sama lelaki saat pertama kita ketemu makan malam?" tanya Cica mencoba agar aku mengingat kembali.Aku tertegun sejenak, bayanganku teringat pada Om-Om setengah botak yang makan bersama Cica di restauran tepi sungai Musi tempo hari."O ...," Aku manggut-manggut. "Iya aku ingat, Ca.""Nah, itu namanya Om Samsul. Dia adalah pengusaha sukses di kota ini, Rin. Aku sudah mengenalnya tiga bulan terakhir. Dia punya rekan bisnis yang tajir, rekannya itu meminta Om Samsul mencarikannya kenalan juga. Jadi aku menjanjikan malam ini bertemu denganmu. Mau ya?" terang sahabatku itu sembari memasang rau

  • RINDU MENJANDA   Kembali ke Rumah Cica

    Perpisahan yang sungguh menguras air mata. Aku bukan hanya berpisah dengan keluarga besar Sekolah Dasar tempatku mengajar, tapi juga berpisah dengan kota kecil yang telah dua tahun aku tinggali.Betapa banyak kisah yang telah terjadi di kota itu. Aku terlena selama dua tahun menetap di sana, bahkan aku hampir tak percaya bahwa aku saat ini telah menjanda.Bukan hanya kehilangan suami, namun aku juga telah kehilangan kedua orang tuaku. Hingga detik ini belum juga aku ketahui kemana mereka pindah.Mataku menatap ke arah luar, menikmati pemandangan dari balik kaca mobil. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke Palembang, menggunakan jasa mobil travel."Mbak, diantar ke Sekip kan?" tanya sopir itu memastikan."Iya, Mas.""Nanti, tolong bilang aja arah ke rumahnya," pinta lel

  • RINDU MENJANDA   Perihnya Perpisahan

    Mobil yang dikemudikan oleh Pak Arif melaju dengan santai. Memecah jalanan yang masih gelap. Subuh ini kami berlalu meninggalkan kota Palembang untuk kembali ke Sekayu.Indah kelihatan tertidur di kursi belakang mobil. Ia telah siap dengan seragam putih merahnya untuk mengikuti upacara di sekolah nanti. Sedangkan aku duduk membisu menemani Pak Arif menyetir."Bu, siapa sebenarnya lelaki yang Bu Rindu temui di Mall waktu itu?" tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil. Dari nada bicaranya, jelas kalau lelaki itu menaruh curiga padaku.Aku mengernyitkan dahi, lalu melirik Pak Arif. "Maksud Pak Arif, Fikri?""Iya," jawabnya mantap."O ..., Itu anak Pak Agus. Kebetulan waktu itu aku ke rumahnya.""Ke rumahnya?" seru Pak Arif penasaran. "Ada keperluan apa Bu Rindu ke sana?" P

  • RINDU MENJANDA   Sang Juara

    Aku dan pak Arif duduk di kursi bagian belakang bersama guru pendamping lainnya. Sedangkan Indah duduk di barisan paling depan. Nampak suasana ruangan sangat menegangkan, karena sebentar lagi hasil perlombaan yang digelar selama hampir satu minggu itu akan segera diumumkan."Baiklah, para hadirin dan peserta lomba sebentar lagi kami akan mengumumkan hasil pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar se-Propinsi Sumatra Selatan ini," ujar pemandu acara yang berada di atas podium.Aku melirik ke arah pak Arif dengan raut wajah penasaran, aku sangat berharap agar Indah menjadi juara."Dan inilah pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar tahun ini," seru pemandu acara bertubuh gemuk itu sengaja menjedah ucapannya.Tentu saja, membuat hatiku berdebar-debar tak menentu. Begitupun dengan pak Arif, ekspresi wajahnya y

  • RINDU MENJANDA   Dibuat Malu

    "Hei Lepaskan!" teriakku kencang. Aku merasa sakit di bagian pergelangan tangan yang masih dicengkeram kuat olehnya.Sampai di sebuah tempat makan, lelaki yang dari tadi menyeretku itu duduk di sana. Ia telah melepaskan tanganku."Apa-apaan sih kamu ini! Sakit, tau!" protesku sembari mengusap-usap bagian pangkal lenganku. Bekas cengkeraman tangannya memerah, dan aku merasakan bagian itu agak panas."Duduk!" seru lelaki itu sembari melotot. Iya, dia adalah Fikri. Lelaki yang dari awal hingga detik ini masih melangsungkan perang dinginnya denganku.Aku menuruti permintaannya. Kami duduk saling berhadapan dengan sebuah meja kecil berada di antara kami.Mataku membentur piring yang berisi ikan bakar berwarna kehitaman. Satu lagi, mangkok berukuran sedang di dalamnya kelihatan sayur asem. Tak lupa mangkok

  • RINDU MENJANDA   Bertemu Kembali

    "Iya, Bu. Cowok yang ngangkatnya," timpal Pak Arif meyakinkan."Hapeku tadi jatuh. Dia bilang apa, Pak?" tanyaku penasaran."Dia tak bilang apa-apa hanya menyebutkan namanya saja, lalu telepon diputus.""Siapa namanya?" Aku semakin tak sabar ingin tahu."Fikri," jawab Pak Arif singkat."O ...," Mulutku membulat dengan bibir maju hampir dua jari. "Jatuh di sana rupanya.""Siapa Fikri, Bu?" tanya Indah kepo."Anak Pak Agus.""Pak Agus?" tanya Pak Arif tak mau kalah."Nanti aku ceritain. Bisa tolong teleponkan lagi, Pak?" pintaku pada lelaki yang masih duduk di dekat Indah itu.Pak Arif tak menjawab, ia menatap layar ponselnya lalu menempelkannya

  • RINDU MENJANDA   Tawaran Cica

    Bismillah.Aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk menelepon nomor papa.Perlahan kutempelkan hapeku ke telinga. Aku berharap kali ini tak salah nomor lagi."Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi."Sial. Nomor telepon itu masih belum tersambung.Sekali lagi aku menghubungi nomor itu, ternyata masih suara wanita sama yang menyatakan kalau nomor itu tidak aktif.Huft!Aku menghembuskan napas, setelah itu melemaskan bahuku. Perjuanganku sampai detik ini belum membuahkan hasil."Gimana, aktif?" tanya Pak Agus penasaran.Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Lalu memasang raut kecewa beralih menatap wajah Cica. Sahabatku

  • RINDU MENJANDA   Lelaki Aneh

    Ceklek!Seorang lelaki paruh baya membuka pintu rumahnya. Kalau melihat dari warna rambutnya yang sudah delapan puluh persen uban, sepertinya lelaki yang memiliki perut buncit itu, angkatan tahun enam puluhan."Pak Agus, ya?" sapaku menerka nama lelaki yang masih berdiri di tengah pintu itu."Apa?" tanyanya sembari memajukan kepalannya satu jengkal.Cica menatapku, wanita itu mencoba menahan tawa yang hampir saja pecah. Ia tahu kalau aku sedang menghadapi orang yang bermasalah dengan kupingnya."Pak Agus!" teriakku juga dengan membungkuk menjulurkan kepala ke arahnya."Oh ..., iya," jawab lelaki itu singkat. "Kamu yang menelepon tadi? Anaknya Badri?"Aku hanya mengangguk saja. Tak mau terlalu banyak bercakap.

  • RINDU MENJANDA   Orang yang Beda

    "Iya halo," jawabku gugup."Siapa?" tanya lelaki itu dengan suara agak besar. Aku menjauhkan ponselku dari telinga."Ini Rindu," kataku menjawab pertanyaannya."Rindu? Namamu Rindu?"Aku mulai curiga, sepertinya aku salah orang. Kalau dia benar papaku, mana mungkin lelaki itu bertanya demikian.Kulihat layar ponselku. Nama kontak yang kutulis papa itu terlihat jelas. Tak salah. Atau bapak yang tadi salah kasih lihat nomor."Hei! Kok diam?" cetusnya lagi."Maaf, kalau boleh tau, anda siapa?""Loh, situ yang nelpon. Kok saya yang ditanya," sindir lelaki itu dengan nada sewot.Aku mulai kesal, sudah bisa dipastikan kalau aku telah salah orang."Ha

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status