Aku terhenyak mendengar perkataan Indah. Entah ini kebetulan nama yang sama dengan orang yang berbeda. Atau bahkan benar, kalau mama Indah itu adalah orang yang sedang dalam penyelidikanku saat ini.
“Kok, Bu Rindu diam?” tanya murid cantikku itu polos.
“Nggak apa-apa, Nak, Ibu hanya terpesona mendengar ceritamu tadi. Bagus banget.”
Indah hanya tersenyum mendengar pujian dariku.
Bel istirahat telah berbunyi, aku bergegas kembali ke ruang guru. Sesampainya di sana, nampak ruang itu hening karena memang guru-guru lain biasanya sudah di kantin.
Ketika hendak duduk di kursi, mataku membentur sebuah kotak yang telah dibungkus rapi dengan kertas kado.
Aku penasaran kotak itu berisi apa, dan siapa yang meletakkannya di atas mejaku. Sekali lagi aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, namun benar-benar tak kudapati seorangpun.
Hadiah untuk Rindu.
Tulisan secarik kertas yang menempel pada kado itu berhasil membuatku mengulum senyum. Aku kemudian membuka kotak itu, tak sabar rasanya ingin segera mengetahui isinya yang akupun belum tahu dari mana asalnya.
Mataku terpanah, menyaksikan sebuah sepatu Garucci Heels formal berwarna hitam mengkilap yang telah lama kuimpi-impikan.
Mimpiku kini jadi kenyataan.
Sungguh jika aku harus merogo kocek sendiri, pasti takkan pernah terbeli pada sepatu idaman itu.
“Ciye! yang dapat kejutan,” kata Bu Tiara yang baru saja masuk sembari mengunyah bakwan di mulutnya. Sementara tangan kanannya masih memegang separuh sisa bakwan itu.
Mukaku memerah setelah mendengar ucapan Bu Tiara. “Dari siapa ya, Bu?”
“Ada deh. Orangnya nggak mau disebut namanya, Bu,” ujar wanita itu membuatku semakin penasaran.
Aku mengenakan sepatu itu, lalu berjalan beberapa langkah di dekat Bu Tiara.
“Cantik banget, Bu Rin.” Bu Tiara memujiku. “Pasti harganya mahal.”
“Ayolah, Bu. Kasih tau siapa yang memberikan hadiah ini?” rengekku pada teman sekantorku itu.
“Ada deh, nanti Bu Rindu juga bakalan tahu sendiri.”
“Ehm. Udah pake rahasia-rahasiaan ya sekarang?”
“Hehehe. Maaf Bu Rindu. Aku sudah janji untuk tidak mengatakannya.”
“Iya deh. Pokoknya siapapun yang memberikan sepatu ini, bilang makasih banget.”
“Siap, Bu,” jawab Bu Tiara kemudian melahap habis sisa bakwan di tangannya tadi.
Akhirnya waktu untuk pulang tiba juga.
Tiba-tiba petir menyambar begitu kuat, air hujan membesar. Suara berisik jatuhan air yang menimpa atap kantor sekolah semakin nyaring.
Aku telah menunggu Mang Toyib di depan kantor sekolah. Namun, pasti tukang ojek itu tak datang menjemputku. Kasian juga jika lelaki paruh baya itu harus menerobos hujan.
"Hujan nih, Bu. Nanti sepatu barunya malah rusak sebelum dipakai," ujar Pak Arif menggoda. Aku hanya tersenyum sembari memeluk kotak sepatu tadi.
Lelaki itu baru saja datang menghampiriku. Dia harus menunggu sesaat, karena posisi mobilnya terparkir agak jauh di halaman depan kantor sekolah.
"Iya nih, Pak. Deres banget hujannya," jawabku singkat.
"Gimana kalau saya antar, Bu?" Pak Arif menatapku dengan penuh rasa kasihan.
Aku sedikit mengernyitkan dahi, bingung rasanya. Jika menolak, tentu saja aku harus berlama-lama menunggu hingga hujan reda. Tapi, kalau menerima tawaran itu, bisa terjadi perang dunia kedua jika sampai Mas Dimas tahu.
"Gimana, Bu?" tanya Pak Arif sekali lagi.
"Om, Arif. Antar Indah pulang ya," celetuk bocah cantik itu. Dia baru saja tiba dengan nafas yang ngos-ngosan sehabis berlari ke arah kami.
Om? Kok Indah memanggil Pak Arif dengan sebutan itu? Batinku bertanya keras.
"Iya, sayang. Om antar kamu pulang ya," ujar Pak Arif yang tentu saja membuat bocah itu girang.
"Eh, Bu Rindu. Kayaknya hujan bakal lama deh. Mending ikut kami aja. Mau ya, Bu?" rengek murid kesayanganku itu. Aku tersenyum dibuat olehnya.
Ide cemerlang baru saja terbersit di benakku. Sepertinya penyelidikan akan mulai hari ini juga. Dengan ikut bersama mereka aku akan tahu di mana rumah Indah.
"Boleh 'kan, Om. Bu Rindu ikut kita?" Indah meraih lengan Pak Arif sembari melancarkan akting memelas.
"Boleh dong," sahut lelaki itu dengan senyum renyah.
Indah membidikkan pandangannya padaku, berharap agar mengiyakan permintaannya.
"Oke deh. Ibu ikut. Nanti ke rumah Indah dulu ya. Habis itu baru mengantar Ibu," ucapku yang tentu saja membuat rona muka Indah riang.
"Hore!" teriak anak itu dengan luapan rasa gembiranya.
Hujan masih belum kunjung reda. Akhirnya Pak Arif bergegas berlari menuju mobilnya. Setelah itu kendaraan roda empat miliknya mendekat. Aku dan Indah masuk ke dalamnya.
Indah duduk di kursi belakang mobil, sedangkan aku duduk di sebelah kiri Pak Arif yang sedang menyetir.
"Pak, boleh nanya nggak?" Aku menatap ke arah Pak Arif.
"Boleh, nanya apa, Bu?"
"Pak Arif siapanya Indah ya? Kok manggilnya om?"
"Oh. Almarhum papanya indah itu sepupuku, Bu. Jadi Indah ini ponakanku."
Aku mengangguk beberapa kali setelah mendengar penjelasan dari lelaki itu.
"Aku juga bisa pindah mengajar ke sini karena rekomendasi dari Mbak Lina, mamanya Indah," sambung Pak Arif lagi.
Ya, Pak Arif memang baru satu bulan mengajar di Sekolah Dasar kami. Lelaki berkulit putih itu berasal dari Kota Pagar Alam, sebuah daerah yang terletak di dataran tertinggi Sumatera Selatan.
Sebenarnya aku heran, lelaki yang lumayan tampan itu masih saja betah hidup membujang. Padahal, secara materi ia sudah mapan, dan tentu saja berpenampilan cukup menarik.
Kadang-kadang aku juga tak tega menyaksikan Pak Arif sering dibully oleh teman-teman sekantor dengan status bujang seniornya.
Beberapa saat kemudian, mobil yang kami kendarai mulai melambat.
"Nah, ini rumah Indah, Bu," ujar muridku itu sembari menunjuk ke arah rumahnya yang lumayan besar.
Sebuah senyum kulontarkan sebagai respon pada Indah.
Perlahan Pak Arif telah menepikan mobilnya di depan pagar rumah itu. Namun, Hujan masih saja setia membasahi bumi.
"Pagarnya masih dikunci, Om. Bisa teleponin mama nggak?" pinta Indah pada Pak Arif.
"Biar aku yang menelpon mamamu ya, Nak," pintaku padanya.
Ini kesempatan aku untuk memastikan nomor telepon yang telah aku simpan di ponselku itu.
"Pak Arif ada nomor telepon mamanya Indah?" Aku menatap ke arah lelaki itu.
Belum sempat Pak Arif menjawab, Indah menyerobot omongan. "Indah hafal nomor telepon mama. Biar Indah sebutin ya, Bu."
Setelah aku memencet beberapa angka yang disebut oleh Indah. Aku menekan tombol call pada ponselku.
Lina.
Sontak aku terperanjat dibuatnya. Jantungku mulai memacu kuat. Desiran darah mengalir deras hingga ke ubun-ubun. Ternyata benar wanita itu yang mengirim pesan singkat ke Mas Dimas kemarin.
Aku mencoba menguasai diriku, dengan mengatur nafas yang sudah tak menentu.
"Halo!" sapa dari balik telepon.
"Halo, ini benar mamanya indah?"
"Iya benar."
"Ini Indah, Ma!" Pekik bocah itu dari arah belakang. Ia menjulurkan kepalanya ke arah depan. Kemudian aku menyodorkan ponsel ke arah wajahnya.
"Indah? Kenapa, Nak."
"Bukain pintu pagar, Indah udah di depan sama Om Arif, sama Bu Rindu juga."
"Oh, ya udah tunggu sebentar ya. Mama cari payung dulu."
"Baik, Ma."
Aku belum sempat ngomong apa-apa lagi. Namun, telepon telah diputus.
"Bu, mampir dulu ya ke rumah Indah?" pinta bocah cerdas itu padaku.
"Lain kali aja ya ibu mampir. Ibu harus buru-buru pulang."
"Mmm ..., iya deh," jawabnya sedikit kecewa.
Aku menatap ke arah seorang wanita yang baru saja tiba di balik pagar. Karena derasnya hujan, belum begitu jelas wajahnya terlihat.
Saat dia menghampiri pintu mobil bagian belakang, wajah cantik dengan tubuh putih sedikit berisi itu kutatap dalam-dalam. Ia mengenakan daster panjang selutut warna toska dengan motif kembang.
Kehadiran janda beranak satu itu benar-benar membuat hatiku luka namun tak berdarah.
Bersambung ....
Setelah mencium punggung tanganku dan Pak Arif. Indah lalu membuka pintu mobil dan keluar menghampiri mamanya.Pak Arif menurunkan kaca mobilnya, lalu ia menyapa Lina. “Mbak, kami tinggal dulu ya.”“Makasih ya, Rif,” balas wanita itu singkat. Pak Arif hanya memberikan senyuman pada wanita itu.Sementara aku hanya membeku duduk di sebelah. Sengaja aku tak ingin melihat wanita itu lebih lama lagi, karena takut emosi besar ini nanti meluap.Mobil perlahan menjauh meninggalkan Indah bersama mamanya.“Sepatunya sudah dicoba, Bu?” tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil.“Sudah, Pak. Pas banget di kakiku.”“Bu Rindu suka sepatunya?” Lelaki itu menatapku penuh arti.Aku mulai canggung berada dalam posisi itu. “Itu sepatu impian saya, Pak.”Dia mengembangkan senyum manis di bibirnya. Aku mulai curiga, jangan-jangan hadiah itu dari Pak Arif.“Pa
Saat aku terjaga, ternyata hari sudah mulai gelap. Aku beranjak untuk menyalakan lampu kamar.Kring! Kring! Kring!Suara nyaring ponsel memecah keheningan kamar."Halo!""Halo Bu Rindu," sapa Pak Rudi kepala sekolah kami. "Saya mau kasih info mendadak. Indah, muridmu, diminta mewakili Kabupaten kita, untuk berangkat ke Palembang besok pagi.""Palembang? Acara apa ya, Pak?""Lomba siswa berprestasi dan lomba catur tingkat Propinsi. Tahun kemarin 'kan dia menang mewakili kabupaten kita. Nah, tahun ini bapak Kepala Dinas ingin dia maju lagi.""Oh, alhamdulillah kalau gitu, Pak""Saya minta kamu mendampingi dia ya, sama Pak Arif juga."Aku tertegun sejenak. "Baik, Pak.""Tolong segera kasih tahu Indah. Tadi saya menghubungi nomor Pak Arif, tapi belum aktif kayaknya. Kasih tau juga sama beliau.""Baik, Pak. Nanti aku kasih tahu sama mereka.""Akomodasi dan sebagainya, sudah saya minta ditransfer ke rekeni
Tiba-tiba wanita itu meletakkan buku nikahku ke atas meja, lalu ia mendekap tubuh ini dengan erat. Tubuhnya bergetar akibat isak tangis. Kini ia tenggelam dalam pelukanku.Seketika itu, rasa iba menyelinap ke relung hatiku. Tak tega rasanya membiarkan wanita cantik itu terus menangis.Aku menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Mencoba untuk menenangkannya.Perlahan Lina melepaskan pelukan. Matanya telah membengkak nanar menatapku. Aku membalas tatapan mata itu."Sebagai sesama wanita, Mbak Lina tentunya dapat mengerti apa maksudku. Sebelum semua ini berlanjut lebih jauh lagi," ucapku penuh keseriusan.Aku sudah berada di atas angin, kemenangan sebentar lagi aku dapatkan. Rasanya sudah tak sabar lagi ingin mendengar pengakuan kekalahannya."Maafkan aku, Bu Rindu." Tangisnya terus berlangsung.Aku sudah dapat melengkungkan garis bibir, mengembangkan senyum kepuasan.Tiba-tiba wanita itu kembali memelukku. Kali ini dekapannya sa
Nyali Mas Dimas semakin ciut. Mulutnya terkunci, ia tak dapat menjawab pertanyaanku."Jawab! Mas," pekikku sekali lagi. Kadar emosiku terus bertambah. Entah bagaimana ekspresiku saat ini. Yang jelas, gertakan itu berhasil mendominasi keadaan.Mas Dimas membuang tatapan mataku. Ia beringsut menuju kursi. Sepertinya lelaki itu telah sadar kalau aku baru saja membuka semua tabir rahasia besarnya.
Pak Arif menekan saklar lampu yang berada di dinding ruang tamu rumahnya. “Silahkan duduk dulu, Bu,” ujar lelaki itu sembari tersenyum.Aku dan Indah menuruti permintaan Pak Arif. Kami berdua duduk di sofa empuk berwarna abu muda yang memiliki sandaran agak rendah.Setelah duduk, aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu rumah Pak Arif. Nampak tata letak dan dekorasinya cukup apik. Di dindingnya menempel sebuah lukisan abstrak yang didominasi warna hitam dan merah. Pas betul dengan paduan warna cat interior bernuansa putih lembut. Ternyata bagus juga selera lelaki yang masih betah menjomblo itu.Pak Arif menuju kamar yang berada di ruang tengah rumahnya. Sepertinya ada dua kamar yang saling berdempetan di sana.“Bu, aku nggak mau pulang ke rumah lagi,” cetus Indah memecah keheningan ruang tamu
Mendengar suara membentak dari seseorang yang berada di ruang depan, nyali Indah ciut. Ia mendempetkan tubuhnya padaku. Tangannya mencengkeram erat ke lenganku.“Sabar dulu, Pak RT. Dia itu sodaraku. Dia hanya numpang menginap di rumahku satu malam ini saja. Besok pagi langsung berangkat ke Palembang. Lagian kami tidak hanya berdua, ada ponakanku juga,” terang Pak Arif panjang lebar.Lelaki itu mencoba membela dirinya. Ia tak ingin ada fitnah atas kehadiranku ke rumahnya malam ini."Bohong!" teriak beberapa orang hampir berbarengan. Sepertinya Pak RT tak sendirian. Kalau dari suaranya, tak kurang tujuh sampai delapan orang yang berada di depan sana."Kita usir saja wanita yang Pak Arif bawa tadi, Pak!" ujar seseorang dengan suara meninggi. Kayaknya orang itu provokatornya.Genggaman tangan
Aku malu bukan kepalang. Mukaku terasa merah menyalah. Kentut berirama panjang yang baru saja aku keluarkan, tentunya terdenger jelas dari arah Pak Arif berdiri sekarang.Aku membuang tatapanku, tak kuasa membendung rasa yang sangat tak enak untuk diungkapkan itu.Mataku beralih mentap wajah Indah, anak kecil itu nampak menahan tawanya sembari menutup mulut dengan telapak tangan. Sungguh, aku telah berhasil mempermalukan diriku sendiri dihadapan mereka.“Aku nggak dengar kok,” ujar Pak Arif pura-pura. Aku tahu kalau lelaki itu sedang meledekku. Ia berlalu menuju dinspenser yang berada di sebelah meja kompor.Glek! Glek! Glek!Lelaki itu meneguk segelas air putih itu hingga tak bersisa di gelas beningnya. “Aku duluan ya, udah nggak tahan mau buang air,” terang lelaki itu sambil
Tiada terasa kami telah sampai di tepi kota Palembang. Semakin mendekati pusat kota, jalan semakin padat. Hingar-bingar kesibukan pengguna jalan lengkap dengan panasnya mentari yang memanggang.“Kita nanti nginap dimana, Bu?” tanya Pak Arif sembari melirikku.“Acaranya di gedung dekat PS Mall, Pak. Panitia sudah menyiapkan hotel di dekat sana. Siang ini kita harus melakukan registrasi dulu untuk Indah. Ini alamatnya, Pak,” terangku sambil memperlihatkan alamat yang barusan kusebut itu melalui layar ponselku.“Oke, kita langsung ke sana ya,” ujar Pak Arif sambil mengangguk paham.Aku membalikkan badanku, melirik ke arah belakang. Nampak Indah masih pulas dalam tidurnya. Ia duduk bersandar di kursi mobil.Sebenarnya aku sedikit cemas, karena baru pertama kali mendampi
"Please, untuk malam ini aja, Rin. Aku udah kepalang janji sama Om Samsul," rengek Cica sembari memegang lenganku."Siapa Om Samsul, Ca?" Aku tambah penasaran dengan nama yang asing di telingaku itu."Kamu masih ingat sama lelaki saat pertama kita ketemu makan malam?" tanya Cica mencoba agar aku mengingat kembali.Aku tertegun sejenak, bayanganku teringat pada Om-Om setengah botak yang makan bersama Cica di restauran tepi sungai Musi tempo hari."O ...," Aku manggut-manggut. "Iya aku ingat, Ca.""Nah, itu namanya Om Samsul. Dia adalah pengusaha sukses di kota ini, Rin. Aku sudah mengenalnya tiga bulan terakhir. Dia punya rekan bisnis yang tajir, rekannya itu meminta Om Samsul mencarikannya kenalan juga. Jadi aku menjanjikan malam ini bertemu denganmu. Mau ya?" terang sahabatku itu sembari memasang rau
Perpisahan yang sungguh menguras air mata. Aku bukan hanya berpisah dengan keluarga besar Sekolah Dasar tempatku mengajar, tapi juga berpisah dengan kota kecil yang telah dua tahun aku tinggali.Betapa banyak kisah yang telah terjadi di kota itu. Aku terlena selama dua tahun menetap di sana, bahkan aku hampir tak percaya bahwa aku saat ini telah menjanda.Bukan hanya kehilangan suami, namun aku juga telah kehilangan kedua orang tuaku. Hingga detik ini belum juga aku ketahui kemana mereka pindah.Mataku menatap ke arah luar, menikmati pemandangan dari balik kaca mobil. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke Palembang, menggunakan jasa mobil travel."Mbak, diantar ke Sekip kan?" tanya sopir itu memastikan."Iya, Mas.""Nanti, tolong bilang aja arah ke rumahnya," pinta lel
Mobil yang dikemudikan oleh Pak Arif melaju dengan santai. Memecah jalanan yang masih gelap. Subuh ini kami berlalu meninggalkan kota Palembang untuk kembali ke Sekayu.Indah kelihatan tertidur di kursi belakang mobil. Ia telah siap dengan seragam putih merahnya untuk mengikuti upacara di sekolah nanti. Sedangkan aku duduk membisu menemani Pak Arif menyetir."Bu, siapa sebenarnya lelaki yang Bu Rindu temui di Mall waktu itu?" tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil. Dari nada bicaranya, jelas kalau lelaki itu menaruh curiga padaku.Aku mengernyitkan dahi, lalu melirik Pak Arif. "Maksud Pak Arif, Fikri?""Iya," jawabnya mantap."O ..., Itu anak Pak Agus. Kebetulan waktu itu aku ke rumahnya.""Ke rumahnya?" seru Pak Arif penasaran. "Ada keperluan apa Bu Rindu ke sana?" P
Aku dan pak Arif duduk di kursi bagian belakang bersama guru pendamping lainnya. Sedangkan Indah duduk di barisan paling depan. Nampak suasana ruangan sangat menegangkan, karena sebentar lagi hasil perlombaan yang digelar selama hampir satu minggu itu akan segera diumumkan."Baiklah, para hadirin dan peserta lomba sebentar lagi kami akan mengumumkan hasil pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar se-Propinsi Sumatra Selatan ini," ujar pemandu acara yang berada di atas podium.Aku melirik ke arah pak Arif dengan raut wajah penasaran, aku sangat berharap agar Indah menjadi juara."Dan inilah pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar tahun ini," seru pemandu acara bertubuh gemuk itu sengaja menjedah ucapannya.Tentu saja, membuat hatiku berdebar-debar tak menentu. Begitupun dengan pak Arif, ekspresi wajahnya y
"Hei Lepaskan!" teriakku kencang. Aku merasa sakit di bagian pergelangan tangan yang masih dicengkeram kuat olehnya.Sampai di sebuah tempat makan, lelaki yang dari tadi menyeretku itu duduk di sana. Ia telah melepaskan tanganku."Apa-apaan sih kamu ini! Sakit, tau!" protesku sembari mengusap-usap bagian pangkal lenganku. Bekas cengkeraman tangannya memerah, dan aku merasakan bagian itu agak panas."Duduk!" seru lelaki itu sembari melotot. Iya, dia adalah Fikri. Lelaki yang dari awal hingga detik ini masih melangsungkan perang dinginnya denganku.Aku menuruti permintaannya. Kami duduk saling berhadapan dengan sebuah meja kecil berada di antara kami.Mataku membentur piring yang berisi ikan bakar berwarna kehitaman. Satu lagi, mangkok berukuran sedang di dalamnya kelihatan sayur asem. Tak lupa mangkok
"Iya, Bu. Cowok yang ngangkatnya," timpal Pak Arif meyakinkan."Hapeku tadi jatuh. Dia bilang apa, Pak?" tanyaku penasaran."Dia tak bilang apa-apa hanya menyebutkan namanya saja, lalu telepon diputus.""Siapa namanya?" Aku semakin tak sabar ingin tahu."Fikri," jawab Pak Arif singkat."O ...," Mulutku membulat dengan bibir maju hampir dua jari. "Jatuh di sana rupanya.""Siapa Fikri, Bu?" tanya Indah kepo."Anak Pak Agus.""Pak Agus?" tanya Pak Arif tak mau kalah."Nanti aku ceritain. Bisa tolong teleponkan lagi, Pak?" pintaku pada lelaki yang masih duduk di dekat Indah itu.Pak Arif tak menjawab, ia menatap layar ponselnya lalu menempelkannya
Bismillah.Aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk menelepon nomor papa.Perlahan kutempelkan hapeku ke telinga. Aku berharap kali ini tak salah nomor lagi."Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi."Sial. Nomor telepon itu masih belum tersambung.Sekali lagi aku menghubungi nomor itu, ternyata masih suara wanita sama yang menyatakan kalau nomor itu tidak aktif.Huft!Aku menghembuskan napas, setelah itu melemaskan bahuku. Perjuanganku sampai detik ini belum membuahkan hasil."Gimana, aktif?" tanya Pak Agus penasaran.Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Lalu memasang raut kecewa beralih menatap wajah Cica. Sahabatku
Ceklek!Seorang lelaki paruh baya membuka pintu rumahnya. Kalau melihat dari warna rambutnya yang sudah delapan puluh persen uban, sepertinya lelaki yang memiliki perut buncit itu, angkatan tahun enam puluhan."Pak Agus, ya?" sapaku menerka nama lelaki yang masih berdiri di tengah pintu itu."Apa?" tanyanya sembari memajukan kepalannya satu jengkal.Cica menatapku, wanita itu mencoba menahan tawa yang hampir saja pecah. Ia tahu kalau aku sedang menghadapi orang yang bermasalah dengan kupingnya."Pak Agus!" teriakku juga dengan membungkuk menjulurkan kepala ke arahnya."Oh ..., iya," jawab lelaki itu singkat. "Kamu yang menelepon tadi? Anaknya Badri?"Aku hanya mengangguk saja. Tak mau terlalu banyak bercakap.
"Iya halo," jawabku gugup."Siapa?" tanya lelaki itu dengan suara agak besar. Aku menjauhkan ponselku dari telinga."Ini Rindu," kataku menjawab pertanyaannya."Rindu? Namamu Rindu?"Aku mulai curiga, sepertinya aku salah orang. Kalau dia benar papaku, mana mungkin lelaki itu bertanya demikian.Kulihat layar ponselku. Nama kontak yang kutulis papa itu terlihat jelas. Tak salah. Atau bapak yang tadi salah kasih lihat nomor."Hei! Kok diam?" cetusnya lagi."Maaf, kalau boleh tau, anda siapa?""Loh, situ yang nelpon. Kok saya yang ditanya," sindir lelaki itu dengan nada sewot.Aku mulai kesal, sudah bisa dipastikan kalau aku telah salah orang."Ha