Home / Romansa / RINDU MENJANDA / Pertemuan Serius

Share

Pertemuan Serius

last update Last Updated: 2021-04-14 11:36:17

Saat aku terjaga, ternyata hari sudah mulai gelap. Aku beranjak untuk menyalakan lampu kamar.

Kring! Kring! Kring!

Suara nyaring ponsel memecah keheningan kamar.

"Halo!"

"Halo Bu Rindu," sapa Pak Rudi kepala sekolah kami. "Saya mau kasih info mendadak. Indah, muridmu, diminta mewakili Kabupaten kita, untuk berangkat ke Palembang besok pagi."

"Palembang? Acara apa ya, Pak?"

"Lomba siswa berprestasi dan lomba catur tingkat Propinsi. Tahun kemarin 'kan dia menang mewakili kabupaten kita. Nah, tahun ini bapak Kepala Dinas ingin dia maju lagi."

"Oh, alhamdulillah kalau gitu, Pak"

"Saya minta kamu mendampingi dia ya, sama Pak Arif juga."

Aku tertegun sejenak. "Baik, Pak."

"Tolong segera kasih tahu Indah. Tadi saya menghubungi nomor Pak Arif, tapi belum aktif kayaknya. Kasih tau juga sama beliau."

"Baik, Pak. Nanti aku kasih tahu sama mereka."

"Akomodasi dan sebagainya, sudah saya minta ditransfer ke rekening Bu Rindu."

"Iya, Pak."

Setelah telepon diakhiri, aku beranjak menuju ruang tamu.

Kemana Mas Dimas? Kenapa belum pulang juga?

Perasaan pagi tadi dia bilang kalau mau kerja. Masa sih dia lembur sampai jam segini?

Aku kemudian mandi, setelah itu kembali ke kamar untuk ganti baju.

Saat membuka lemari pakaian, mataku menatap ke arah kantong berwarna hitam yang menyembul di balik tumpukan baju Mas Dimas.

Tanganku meraih kantong plastik itu kemudian membukanya.

Susu Prenugen Momy? Apa ini dibelikan oleh Mas Dimas untukku? Tapi aku kan belum hamil. Atau jangan-jangan dia salah beli.

Aku teringat obrolan kami seminggu yang lalu. Bahwa aku ingin meminum susu program kehamilan itu. 

Ah, sudahlah. Aku tidak memikirkan hal itu lagi.

Aku merapikan kantong plastik itu lalu meletakkannya pada posisi semula.

Setelah mengenakan pakaian, aku duduk di bibir ranjang sembari menimbang-nimbang permintaan dari kepala sekolah tadi.

Saat menghubungi nomor telepon Pak Arif, ternyata benar, nomornya tak aktif.

Aku mulai berpikir keras, memberanikan diri menghubungi nomor Lina untuk memberikan informasi ke Indah.

Demi Indah.

Aku mengumpulkan segenap mental keberanian untuk menelpon wanita itu. Perlahan, aku mulai mengatur napas lalu menelponnya.

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi."

Arght!

Setelah termenung beberapa saat. Akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri wanita itu ke rumahnya. Sambil menyelam minum air. Ya, Aku akan bicara dari hati ke hati dengan wanita itu. Sekalian memberitahu ke Indah rencana keberangkatan besok.

"Mau kemana kamu, kok rapi banget?" tanya ibu sambil menonton televisi di ruang tamu.

"Aku mau keluar. Mau cari Mas Dimas," jawabku berbohong tanpa menoleh ke arah ibu. Aku tak begitu menghiraukan pertanyaannya.

Mang Toyib telah siap dengan motornya. Lelaki itu akan mengantarku menuju rumah Lina.

Motor melaju pelan, kilatan petir berulang kali menyambar dari arah kejauhan. Sepertinya hujan sudah tak sabar ingin turun.

Setiba di depan rumah Lina. Kebetulan pagar rumahnya tidak dikunci.

"Saya ada kerjaan sebentar ya. Nanti telepon saja kalau mau pulang," ujar Mang Toyib menjelaskan.

"Baik, Mang."

Lelaki itu berlalu meninggalkanku. Sementara aku bergegas masuk ke halaman rumah Lina.

Ketika tiba di depan rumah, aku mencoba untuk memberi isyarat dengan mengetuk pintunya.

Tok! Tok! Tok!

Belum ada tanda-tanda dari arah dalam.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamualaikum."

Rasa gugup perlahan mulai menjalar di tubuh ini. Entah mengapa tiba-tiba saja perasaanku tak enak.

"Waalaikumsallam," sahut seorang wanita dari arah dalam.

Ceklek!

Daun pintu menganga. Pesona kecantikan wajah janda muda itu terpancar menyambut kedatanganku. Bibirnya yang merah, hidung mancung, bulu mata lentik, lengkap dengan bodinya yang montok. Wajar saja kalau Mas Dimas terpikat olehnya.

"Siapa, ya?" tanyanya penasaran. Kami memang belum saling mengenal. Ketika mengantar Indah siang tadi, kami memang tak sempat bertemu langsung.

"Saya Rindu, Mbak. Guru Indah," jawabku sedikit gugup.

Debar-debar tak menentu kini memacu darah mengalir deras. Kalau saja tak bisa menguasai diri, mungkin saat itu juga sudah kulabrak pelakor itu. Namun, sekuat tenaga aku membuang rasa luka yang kini tersemat di hati.

"Oh, silahkan masuk, Bu." Senyum manis ia lontarkan padaku.

Senyum yang kini tengah membuat suamiku mabuk kepayang dibuat olehnya. Senyum yang akan memporak porandakan rumah tangga kami.

Aku menyunggingkan bibir, membalas senyum itu.

"Ada apa ya? Tumben malam-malam Bu Rindu ke sini." Kami telah berada di sofa empuk ruang tamunya.

Pandanganku beredar ke penjuru ruang besar itu. Nampak barang-barang mewah ada di dalamnya.

"Besok pagi Indah harus berangkat ke Palembang. Dia terpilih mewakili Kabupaten kita dalam lomba siswa berprestasi dan lomba catur. Aku yang akan mendampinginya nanti, Mbak," terangku pada Lina.

"Wah, alhamdullilah akhirnya dia terpilih lagi. Tapi maaf, Bu. Kayaknya Indah lagi ngambek. Dari sore tadi dia tidak mau ke luar kamar. Dia lagi marah samaku. Biasa anak kecil."

Aku kembali mengembangkan senyum palsu. "Gitu, ya."

"Iya, Bu. Coba ibu bujuk dia. Kasian Indah belum makan dari sore," pinta wanita itu sembari mengaduk susu berwarna coklat dalam gelas panjang.

"Nanti coba aku bujuk dia, Mbak."

"Bu Rindu mau minum apa?"

"Nggak usah repot-repot, Mbak. Sebenarnya ada hal penting juga yang ingin aku sampaikan."

"Hal penting apa, Bu?" tanya Lina penasaran.

Aku menghela nafas panjang. Mengatur irama jantung supaya tak kelihatan gugup.

"Mbak Lina kenal sama Dimas?" tanyaku dengan nada biasa saja. Walaupun sebenarnya perasaan bergejolak kuat.

Wanita itu terdiam, dia menghentikan mengaduk susunya tadi. Lalu menatap wajahku penuh selidik.

"Iya, kenal."

Tutur kata wanita itu begitu lembut. Dia sangat pandai membuat grogiku hilang.

"Kenal sejauh apa?"

"Maksud Bu Rindu?" tanya Lina bingung. Wanita itu menautkan sepasang alisnya.

"Apakah Mbak Lina ada hubungan spesial dengan Dimas?"

Matanya membulat. Sepertinya dia mulai terusik oleh pertanyaan yang barusan kulontarkan.

"Maaf, Bu. Kayaknya pertanyaan Bu Rindu sangat personal. Ada apa ya?" Lina bertanya balik. Lagi-lagi dengan tempo bicara yang sangat teratur.

Deg!

Tentu saja aku terpojok mendengar ucapannya. Aku sudah tak sabar lagi untuk mengatakan yang sebenarnya.

Tenang Rindu. Tetap kuasai keadaan. Batinku bergejolak hebat.

Tanganku merogoh ke dalam tas jinjing, mencari sebuah buku kecil dari dalamnya. Lalu aku menyodorkan buku itu pada Lina.

Wanita itu mengambilnya, kemudian ia membaca halaman buku itu.

Lina tersentak menyaksikan sepasang foto suami istri yang menempel di sana. Iya, itu adalah buku nikah yang sengaja aku bawa untuk diperlihatkan pada wanita itu.

Dengan refleks sebelah telapak tangan wanita itu menutup mulutnya. Sedangkan yang satunya lagi masih memegang buku nikahku. Ia tak percaya atas apa yang barusan dilihatnya.

Mukanya mulai kelihatan pucat. Tiba-tiba terdengar isak kecil yang keluar dari mulutnya, air matanya seketika bergelinang. Semakin lama semakin deras air itu bercucuran.

Tangisnya pecah setelah membaca nama Dimas Anugerah dan Rindu Anisa yang tertera pada buku sakral itu.

Hiks! Hiks! Hiks!

"Jadi? Dimas---"

Kata-katanya terhenti, ia semakin sesegukan melawan tangis yang begitu mengiris.

"Iya, Mbak. Mas Dimas adalah suamiku."

Aku menguatkan diri, mencoba tak ikut hanyut dalam kepiluan yang sedang wanita itu rasakan.

Entah apakah Lina benar-benar belum tahu kalau Mas Dimas telah beristri. Atau itu hanya aktingnya saja supaya aku tidak melabraknya.

Aku menyunggingkan senyum kemenangan. Lega rasanya dapat mengungkap kebenaran yang hampir saja terlambat ini.

Sementara Lina terus saja larut dalam tangisnya.

Bersambung ....

Related chapters

  • RINDU MENJANDA   Dosa yang Terbongkar

    Tiba-tiba wanita itu meletakkan buku nikahku ke atas meja, lalu ia mendekap tubuh ini dengan erat. Tubuhnya bergetar akibat isak tangis. Kini ia tenggelam dalam pelukanku.Seketika itu, rasa iba menyelinap ke relung hatiku. Tak tega rasanya membiarkan wanita cantik itu terus menangis.Aku menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Mencoba untuk menenangkannya.Perlahan Lina melepaskan pelukan. Matanya telah membengkak nanar menatapku. Aku membalas tatapan mata itu."Sebagai sesama wanita, Mbak Lina tentunya dapat mengerti apa maksudku. Sebelum semua ini berlanjut lebih jauh lagi," ucapku penuh keseriusan.Aku sudah berada di atas angin, kemenangan sebentar lagi aku dapatkan. Rasanya sudah tak sabar lagi ingin mendengar pengakuan kekalahannya."Maafkan aku, Bu Rindu." Tangisnya terus berlangsung.Aku sudah dapat melengkungkan garis bibir, mengembangkan senyum kepuasan.Tiba-tiba wanita itu kembali memelukku. Kali ini dekapannya sa

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Akhir dari Pertengkaran

    Nyali Mas Dimas semakin ciut. Mulutnya terkunci, ia tak dapat menjawab pertanyaanku."Jawab! Mas," pekikku sekali lagi. Kadar emosiku terus bertambah. Entah bagaimana ekspresiku saat ini. Yang jelas, gertakan itu berhasil mendominasi keadaan.Mas Dimas membuang tatapan mataku. Ia beringsut menuju kursi. Sepertinya lelaki itu telah sadar kalau aku baru saja membuka semua tabir rahasia besarnya.

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Drama Mie Instan

    Pak Arif menekan saklar lampu yang berada di dinding ruang tamu rumahnya. “Silahkan duduk dulu, Bu,” ujar lelaki itu sembari tersenyum.Aku dan Indah menuruti permintaan Pak Arif. Kami berdua duduk di sofa empuk berwarna abu muda yang memiliki sandaran agak rendah.Setelah duduk, aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu rumah Pak Arif. Nampak tata letak dan dekorasinya cukup apik. Di dindingnya menempel sebuah lukisan abstrak yang didominasi warna hitam dan merah. Pas betul dengan paduan warna cat interior bernuansa putih lembut. Ternyata bagus juga selera lelaki yang masih betah menjomblo itu.Pak Arif menuju kamar yang berada di ruang tengah rumahnya. Sepertinya ada dua kamar yang saling berdempetan di sana.“Bu, aku nggak mau pulang ke rumah lagi,” cetus Indah memecah keheningan ruang tamu

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Digerebek Warga

    Mendengar suara membentak dari seseorang yang berada di ruang depan, nyali Indah ciut. Ia mendempetkan tubuhnya padaku. Tangannya mencengkeram erat ke lenganku.“Sabar dulu, Pak RT. Dia itu sodaraku. Dia hanya numpang menginap di rumahku satu malam ini saja. Besok pagi langsung berangkat ke Palembang. Lagian kami tidak hanya berdua, ada ponakanku juga,” terang Pak Arif panjang lebar.Lelaki itu mencoba membela dirinya. Ia tak ingin ada fitnah atas kehadiranku ke rumahnya malam ini."Bohong!" teriak beberapa orang hampir berbarengan. Sepertinya Pak RT tak sendirian. Kalau dari suaranya, tak kurang tujuh sampai delapan orang yang berada di depan sana."Kita usir saja wanita yang Pak Arif bawa tadi, Pak!" ujar seseorang dengan suara meninggi. Kayaknya orang itu provokatornya.Genggaman tangan

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Tapi Bukan Aku

    Aku malu bukan kepalang. Mukaku terasa merah menyalah. Kentut berirama panjang yang baru saja aku keluarkan, tentunya terdenger jelas dari arah Pak Arif berdiri sekarang.Aku membuang tatapanku, tak kuasa membendung rasa yang sangat tak enak untuk diungkapkan itu.Mataku beralih mentap wajah Indah, anak kecil itu nampak menahan tawanya sembari menutup mulut dengan telapak tangan. Sungguh, aku telah berhasil mempermalukan diriku sendiri dihadapan mereka.“Aku nggak dengar kok,” ujar Pak Arif pura-pura. Aku tahu kalau lelaki itu sedang meledekku. Ia berlalu menuju dinspenser yang berada di sebelah meja kompor.Glek! Glek! Glek!Lelaki itu meneguk segelas air putih itu hingga tak bersisa di gelas beningnya. “Aku duluan ya, udah nggak tahan mau buang air,” terang lelaki itu sambil

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Pesona Jembatan Ampera

    Tiada terasa kami telah sampai di tepi kota Palembang. Semakin mendekati pusat kota, jalan semakin padat. Hingar-bingar kesibukan pengguna jalan lengkap dengan panasnya mentari yang memanggang.“Kita nanti nginap dimana, Bu?” tanya Pak Arif sembari melirikku.“Acaranya di gedung dekat PS Mall, Pak. Panitia sudah menyiapkan hotel di dekat sana. Siang ini kita harus melakukan registrasi dulu untuk Indah. Ini alamatnya, Pak,” terangku sambil memperlihatkan alamat yang barusan kusebut itu melalui layar ponselku.“Oke, kita langsung ke sana ya,” ujar Pak Arif sambil mengangguk paham.Aku membalikkan badanku, melirik ke arah belakang. Nampak Indah masih pulas dalam tidurnya. Ia duduk bersandar di kursi mobil.Sebenarnya aku sedikit cemas, karena baru pertama kali mendampi

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Ketemu Teman Lama

    Beruntung kami masih mendapatkan meja. Karena biasanya sangat susah kalau tidak memesan terlebih dulu. Mungkin karena hari ini hari biasa, kalau week end sudah pasti kami tak kebagian tempat.Kami duduk di sana, lalu seorang pelayan mengenakan seragam sembari membawa kertas lengkap dengan pena, sudah berdiri menunggu untuk mencatat semua menu yang akan dipesan."Indah mau makan apa?" tanyaku membuat bocah itu menghentikan pandangannya ke arah jembatan Ampera."Nih silahkan pesan, Pak Arif juga." Aku menyodorkan buku menu yang tadi tergeletak di atas meja. Pak Arif dan Indah mulai membuka halaman buku menu makanan itu. Membaca-baca satu demi satu."Aku mau kepiting saus tiram, minumnya jus mangga aja," ucap Indah sembari menatap pelayan tadi.Pak Arif nampaknya masih bingung dengan pilihannya. Beberapa

    Last Updated : 2021-04-28
  • RINDU MENJANDA   Ingin Pulang

    Aku menatap wajah Indah secara seksama. Pertanyaan yang baru saja keluar dari mulutnya itu berhasil mengusikku."Indah, suatu saat kamu bakal tau sendiri kenapa ibu bercerai. Saat ini ibu belum bisa menceritakannya."Mendengar penjelasan dariku, Indah nampak tak puas. Mukanya sedikit ditekuk, lalu ia berbaring lagi di atas kasurnya.Kembali aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam perutku. Aku menghambur ke arah toilet yang ada di dalam kamar hotel kami.Uwek! Uwek!Rasa mual itu memaksaku untuk memuntahkan sesuatu, tapi tak ada yang keluar dari mulutku. Aku jongkok di pintu toilet itu dengan posisi tubuh condong ke arah dalamnya.Aku mendorong sekali lagi, tetap saja tak berhasil.Indah bergegas mendekati kemudian memijat-mijat belakang le

    Last Updated : 2021-04-28

Latest chapter

  • RINDU MENJANDA   Terpaksa Keluyuran Malam

    "Please, untuk malam ini aja, Rin. Aku udah kepalang janji sama Om Samsul," rengek Cica sembari memegang lenganku."Siapa Om Samsul, Ca?" Aku tambah penasaran dengan nama yang asing di telingaku itu."Kamu masih ingat sama lelaki saat pertama kita ketemu makan malam?" tanya Cica mencoba agar aku mengingat kembali.Aku tertegun sejenak, bayanganku teringat pada Om-Om setengah botak yang makan bersama Cica di restauran tepi sungai Musi tempo hari."O ...," Aku manggut-manggut. "Iya aku ingat, Ca.""Nah, itu namanya Om Samsul. Dia adalah pengusaha sukses di kota ini, Rin. Aku sudah mengenalnya tiga bulan terakhir. Dia punya rekan bisnis yang tajir, rekannya itu meminta Om Samsul mencarikannya kenalan juga. Jadi aku menjanjikan malam ini bertemu denganmu. Mau ya?" terang sahabatku itu sembari memasang rau

  • RINDU MENJANDA   Kembali ke Rumah Cica

    Perpisahan yang sungguh menguras air mata. Aku bukan hanya berpisah dengan keluarga besar Sekolah Dasar tempatku mengajar, tapi juga berpisah dengan kota kecil yang telah dua tahun aku tinggali.Betapa banyak kisah yang telah terjadi di kota itu. Aku terlena selama dua tahun menetap di sana, bahkan aku hampir tak percaya bahwa aku saat ini telah menjanda.Bukan hanya kehilangan suami, namun aku juga telah kehilangan kedua orang tuaku. Hingga detik ini belum juga aku ketahui kemana mereka pindah.Mataku menatap ke arah luar, menikmati pemandangan dari balik kaca mobil. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke Palembang, menggunakan jasa mobil travel."Mbak, diantar ke Sekip kan?" tanya sopir itu memastikan."Iya, Mas.""Nanti, tolong bilang aja arah ke rumahnya," pinta lel

  • RINDU MENJANDA   Perihnya Perpisahan

    Mobil yang dikemudikan oleh Pak Arif melaju dengan santai. Memecah jalanan yang masih gelap. Subuh ini kami berlalu meninggalkan kota Palembang untuk kembali ke Sekayu.Indah kelihatan tertidur di kursi belakang mobil. Ia telah siap dengan seragam putih merahnya untuk mengikuti upacara di sekolah nanti. Sedangkan aku duduk membisu menemani Pak Arif menyetir."Bu, siapa sebenarnya lelaki yang Bu Rindu temui di Mall waktu itu?" tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil. Dari nada bicaranya, jelas kalau lelaki itu menaruh curiga padaku.Aku mengernyitkan dahi, lalu melirik Pak Arif. "Maksud Pak Arif, Fikri?""Iya," jawabnya mantap."O ..., Itu anak Pak Agus. Kebetulan waktu itu aku ke rumahnya.""Ke rumahnya?" seru Pak Arif penasaran. "Ada keperluan apa Bu Rindu ke sana?" P

  • RINDU MENJANDA   Sang Juara

    Aku dan pak Arif duduk di kursi bagian belakang bersama guru pendamping lainnya. Sedangkan Indah duduk di barisan paling depan. Nampak suasana ruangan sangat menegangkan, karena sebentar lagi hasil perlombaan yang digelar selama hampir satu minggu itu akan segera diumumkan."Baiklah, para hadirin dan peserta lomba sebentar lagi kami akan mengumumkan hasil pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar se-Propinsi Sumatra Selatan ini," ujar pemandu acara yang berada di atas podium.Aku melirik ke arah pak Arif dengan raut wajah penasaran, aku sangat berharap agar Indah menjadi juara."Dan inilah pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar tahun ini," seru pemandu acara bertubuh gemuk itu sengaja menjedah ucapannya.Tentu saja, membuat hatiku berdebar-debar tak menentu. Begitupun dengan pak Arif, ekspresi wajahnya y

  • RINDU MENJANDA   Dibuat Malu

    "Hei Lepaskan!" teriakku kencang. Aku merasa sakit di bagian pergelangan tangan yang masih dicengkeram kuat olehnya.Sampai di sebuah tempat makan, lelaki yang dari tadi menyeretku itu duduk di sana. Ia telah melepaskan tanganku."Apa-apaan sih kamu ini! Sakit, tau!" protesku sembari mengusap-usap bagian pangkal lenganku. Bekas cengkeraman tangannya memerah, dan aku merasakan bagian itu agak panas."Duduk!" seru lelaki itu sembari melotot. Iya, dia adalah Fikri. Lelaki yang dari awal hingga detik ini masih melangsungkan perang dinginnya denganku.Aku menuruti permintaannya. Kami duduk saling berhadapan dengan sebuah meja kecil berada di antara kami.Mataku membentur piring yang berisi ikan bakar berwarna kehitaman. Satu lagi, mangkok berukuran sedang di dalamnya kelihatan sayur asem. Tak lupa mangkok

  • RINDU MENJANDA   Bertemu Kembali

    "Iya, Bu. Cowok yang ngangkatnya," timpal Pak Arif meyakinkan."Hapeku tadi jatuh. Dia bilang apa, Pak?" tanyaku penasaran."Dia tak bilang apa-apa hanya menyebutkan namanya saja, lalu telepon diputus.""Siapa namanya?" Aku semakin tak sabar ingin tahu."Fikri," jawab Pak Arif singkat."O ...," Mulutku membulat dengan bibir maju hampir dua jari. "Jatuh di sana rupanya.""Siapa Fikri, Bu?" tanya Indah kepo."Anak Pak Agus.""Pak Agus?" tanya Pak Arif tak mau kalah."Nanti aku ceritain. Bisa tolong teleponkan lagi, Pak?" pintaku pada lelaki yang masih duduk di dekat Indah itu.Pak Arif tak menjawab, ia menatap layar ponselnya lalu menempelkannya

  • RINDU MENJANDA   Tawaran Cica

    Bismillah.Aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk menelepon nomor papa.Perlahan kutempelkan hapeku ke telinga. Aku berharap kali ini tak salah nomor lagi."Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi."Sial. Nomor telepon itu masih belum tersambung.Sekali lagi aku menghubungi nomor itu, ternyata masih suara wanita sama yang menyatakan kalau nomor itu tidak aktif.Huft!Aku menghembuskan napas, setelah itu melemaskan bahuku. Perjuanganku sampai detik ini belum membuahkan hasil."Gimana, aktif?" tanya Pak Agus penasaran.Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Lalu memasang raut kecewa beralih menatap wajah Cica. Sahabatku

  • RINDU MENJANDA   Lelaki Aneh

    Ceklek!Seorang lelaki paruh baya membuka pintu rumahnya. Kalau melihat dari warna rambutnya yang sudah delapan puluh persen uban, sepertinya lelaki yang memiliki perut buncit itu, angkatan tahun enam puluhan."Pak Agus, ya?" sapaku menerka nama lelaki yang masih berdiri di tengah pintu itu."Apa?" tanyanya sembari memajukan kepalannya satu jengkal.Cica menatapku, wanita itu mencoba menahan tawa yang hampir saja pecah. Ia tahu kalau aku sedang menghadapi orang yang bermasalah dengan kupingnya."Pak Agus!" teriakku juga dengan membungkuk menjulurkan kepala ke arahnya."Oh ..., iya," jawab lelaki itu singkat. "Kamu yang menelepon tadi? Anaknya Badri?"Aku hanya mengangguk saja. Tak mau terlalu banyak bercakap.

  • RINDU MENJANDA   Orang yang Beda

    "Iya halo," jawabku gugup."Siapa?" tanya lelaki itu dengan suara agak besar. Aku menjauhkan ponselku dari telinga."Ini Rindu," kataku menjawab pertanyaannya."Rindu? Namamu Rindu?"Aku mulai curiga, sepertinya aku salah orang. Kalau dia benar papaku, mana mungkin lelaki itu bertanya demikian.Kulihat layar ponselku. Nama kontak yang kutulis papa itu terlihat jelas. Tak salah. Atau bapak yang tadi salah kasih lihat nomor."Hei! Kok diam?" cetusnya lagi."Maaf, kalau boleh tau, anda siapa?""Loh, situ yang nelpon. Kok saya yang ditanya," sindir lelaki itu dengan nada sewot.Aku mulai kesal, sudah bisa dipastikan kalau aku telah salah orang."Ha

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status