Home / Romansa / RINDU MENJANDA / Terbakar Api Cemburu

Share

Terbakar Api Cemburu

last update Last Updated: 2021-04-14 11:32:58

Walaupun hari ini libur, aku tetap saja sibuk. Setelah mandi dan mengenakan daster, aku melakukan rutinitas seperti biasa. Cuci piring, bikin sarapan untuk ibu mertua dan suami, nyapu, ngepel dan bersih-bersih rumah.

Aku melirik jam dinding yang ada di ruang tamu. Sudah pukul tujuh lewat namun Mas Dimas belum juga pulang. Aku semakin gelisah dibuatnya. Hati diselimuti berjuta tanya, kemana gerangan suamiku itu?

Aku duduk di atas kursi ruang tamu. Kuraih remote televisi yang tergeletak di atas meja. Seperti biasa, aku akan menghabiskan pagi minggu dengan menonton berita gosip selebrity tanah air.

Ya, aku sangat senang mendengar berita seputar pesohor dunia keartisan. Apalagi tentang gosip kawin cerai dengan usia pernikahan yang masih seumur jagung. Gemes rasanya.

Tiba-tiba ibu mertuaku keluar dari pintu kamarnya. Sepertinya dia baru saja bangun dan pasti perutnya kosong. Kalau saja sarapan belum ada, singa betina itu akan mengamuk dengan perut keroncongan.

Aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama, nasi goreng kampung dengan irisan bawang merah plus taburan teri akan menjadi santapan ternikmat bagi ibu.

Tin! Tin!

Dua kali suara klakson mobil itu dipencet oleh pengendaranya. Aku menurunkan volume televisi, mencoba memastikan apakah isyarat dari arah depan rumah, betul ditujukan pada kami. Tapi, kayaknya pengemudi mobil tadi tidak mengulang klaksonnya.

Tok! Tok! Tok!

“Assalamualaikum!”

Aku belum menjawab salam yang di ucapkan oleh seseorang dari luar pintu. Yang pasti, itu bukanlah Mas Dimas.

“Waalaikumsallam!” sahutku sebagai jawaban pada seorang lelaki yang kini sedang berdiri tepat di depan pintu rumah kami.

Aku baru saja membuka pintu, wajah yang tak asing bagiku seketika mengembangkan senyuman renyah ke arahku.

“Pak Arif!” sapaku sedikit heran.

“Maaf Bu Rindu, saya mendadak ke sini,” ujar lelaki yang mengenakan kaos olahraga dengan celana training warna hitam. Dia adalah guru Penjaskes di Sekolah Dasar tempat aku mengajar.

“Iya, nggak apa-apa, Pak. Ada apa ya? Kok tumben pagi-pagi.”

Belum sempat aku menawarkan untuk masuk ke dalam rumah, Pak Arif malah langsung mengambil inisiatif untuk duduk di kursi plastik berwarna hijau yang ada di teras.

“Di sini aja ya, Bu. Aku juga agak buru-buru nih!”

“Oh, iya silahkan, Pak.”

Aku juga mengambil posisi duduk di kursi yang ada di sana, hanya meja plastik sebagai pembatas antara kami berdua.

“Jadi gini, Bu. Aku kemaren lupa menanyakan data ukuran seragam olahraga anak kelas empat. Nah, pagi ini aku akan berangkat ke Palembang untuk melakukan pemesanan pakaian olahraga sekalian sama anak-anak kelas lain.”

“Oh, sebentar ya. Aku ambilkan dulu daftar namanya.” Aku mulai berdiri lalu bermaksud menwarkan minum pada Pak Arif, “Pak Arif mau kopi atau teh?”

“Nggak usah repot-repot, Bu,” tolak lelaki itu secara halus.

“Tunggu ya, Pak.”

Aku berlalu mengarah ke dalam rumah. Langkahku agak lebar menuju kamar, mengingat perkataan Pak Arif tadi bahwa dia sedang buru-buru. Setelah selembar kertas A4 berisi daftar nama murid-muridku itu dipegang, aku bergegas keluar dari kamar.

“Siapa lelaki itu?!” tanya ibu sinis.

Wanita itu nampak sedang asik menonton televisi sembari mencongkel-congkel mulutnya dengan tusuk gigi. Mungkin ada teri yang nyempil di sela-sela giginya yang karatan dan sulit dijangkau olehnya.

“Oh, itu Pak Arif, Bu.”

Dahi ibu mengkerut, setelah mendengar nama yang masih asing di telinganya. Aku terus saja menuju ke luar rumah.

Saat hendak menyodorkan daftar nama itu pada Pak Arif, tiba-tiba saja kertas yang kupegang itu terlepas lalu jatuh ke bawah meja.

Aku berusaha jongkok bermaksud untuk memungutnya, begitupun dengan Pak Arif yang juga menjulurkan tangannya ke arah bawah meja. Dan, dalam waktu bersamaan tangan kami memegang kertas itu.

Brum! Brum! Brum!

Tepat betul, Mas Dimas baru saja datang kemudian memarkirkan motor bututnya. Tentu saja, pemandangan itu pasti tak mengenakan hati bagi seorang suami. Apalagi, Mas Dimas tadi tak ada di rumah sementara aku sebagai istri malah menerima tamu.

Aku sudah berdiri menyambut kedatangan suamiku itu. Sedangkan Pak Arif kembali duduk di kursi setelah memegang kertas tadi.

“Mas, kamu baru pulang?” tanyaku dengan muka sedikit takut. Aku tak ingin Mas Dimas salah paham.

Dia tak menjawab pertanyaanku, hanya raut emosi yang tergambar pada wajahnya yang kelihatan kusut. Namun, emosi itu sepertinya masih tertahan oleh Mas Dimas.

“Pagi, Mas. Saya Arif,” ujar Pak Arif mulai berdiri sembari menyodorkan tangannya bermaksud untuk memperkenalkan diri pada Mas Dimas.

Namun, suamiku itu sepertinya sedang terbakar api cemburu buta. Ia tak menggubris ajakan bersalaman dari Pak Arif. Malah, Mas Dimas bergegas menuju masuk ke rumah.

Sekilas lirikan penuh amarah ia tujukan padaku. Aku tahu maksud Mas Dimas. Lelaki yang baru memiliki sifat tempramen beberapa bulan belakangan ini pasti marah besar.

Braght!

Suara pintu kamar dibanting keras, terdengar begitu nyata dari teras rumah. Kalau saja daun pintu itu tak kuat, pasti sudah remuk menghantam kusen.

Aku melirik Pak Arif, mukanya nampak ketakutan, “Maafkan suamiku, Pak.”

Hanya senyum dipaksa yang dilontarkan oleh Pak Arif padaku, “Nggak apa-apa, Bu. Kalau begitu aku permisi dulu, ya!”

“Baik, Pak. Sekali lagi maaf ya.”

Kedewasaan Pak Arif jelas lebih nampak ketika dia menghadapi situasi seperti ini, malah senyumnya sudah mulai normal.  Mas Dimas yang mungkin seumuran dengan lelaki itu, seharusnya tak pantas bersikap kekanak-kanakan seperti tadi.

Perlahan mobil Pak Arif menjauh meninggalkan rumah kami.

Aku mulai khawatir, pasti pertengkaran sengit sebentar lagi terjadi. Mau bagaimana lagi, tak ada maksud untuk menyakiti hati Mas Dimas. Dianya saja yang lebay.

Saat berada di ruang tamu, aku berpapasan sama ibu. Wanita itu telah mematikan televisi dan hendak menuju ke arah teras.

“Tanggung sendiri akibatnya. Ibu tidak ikut campur!” ujar ibu menakut-nakutiku.

Tarikan nafas begitu dalam, lalu aku menghembuskannya lagi secara perlahan. Aku berusaha mengusir segenap rasa takut yang menggelayut di otak ini.

“Siapa lelaki itu?!” tanya Mas Dimas penuh penekanan.

Belum sempat aku masuk ke kamar, pertanyaan itu sudah keluar dari mulut suamiku. 

Aku tak salah, ngapain aku harus takut?

Rileks Rindu, kuasai keadaan. Jangan sampai kali ini kelihatan gugup.

“Pak Arif,” jawabku singkat. Aku mencoba mendekati lelaki itu lalu duduk di atas kasur.

Mas Dimas tak menatap ke arahku, dia masih sibuk melucuti baju kemejanya yang sudah kelihatan kucel. Setelah ia melempar baju itu ke sudut kamar, lelaki itu mulai nanar menatapku.

“Jadi ini yang kamu lakukan saat suamimu tidak di rumah!” Mata Mas Dimas melotot penuh emosi menghujam ke arahku.

“Maksud kamu apa, Mas?” Aku masih belum gentar. Nyali ini masih kuat untuk mengadu argumen yang tentu saja masuk akal bagiku.

“Hey! Kamu menantangku? Istri macam apa kamu ini! Ha!” bentak lelaki itu dengan suara menggelegar.

Mas Dimas mulai mendekat. Sekitar satu jengkal saja jarak dari ia berdiri terhadap tempat tidur yang aku duduki saat ini.

Entah mengapa, seketika aku mulai melempem. Mendengar suara lantang yang keluar dari rongga mulut suamiku itu, aku bagai terserang lumpuh sesaat. Habis sudah segala keberanian dalam diri.

“Tolong dengarkan aku dulu. Mas Dimas hanya salah paham.”

“Salah paham katamu? Setelah jelas-jelas aku menyaksikan kalian bermesraan di depan batang hidungku!”

“Mas---“

“Cukup, Rindu!”

Mas Dimas mengepalkan tangannya, emosinya sudah tak tertahankan lagi. Ia mulai mengayun lengan yang penuh otot itu dengan tinju yang cukup besar.

Mentalku sudah hancur. Aku telah bersiap menerima tingkah kasar lelaki itu. Aku menutup muka dengan kedua telapak tangan. Tak ingin menyaksikan Mas Dimas yang sedang dirasuki setan.

Bught!

Satu pukulan yang cukup keras berhasil mendarat ke pintu lemari.  Kalau saja tinju itu menghantam kepala, tentunya hal buruk yang akan terjadi.

Bersambung ....

Related chapters

  • RINDU MENJANDA   Petunjuk Perselingkuhan

    Aku membuka mata, memberanikan diri menatap wajah Mas Dimas. Sorotan tajam mata lelaki itu kembali ditujukannya padaku.Aku mengalah, lalu membuang tatapan. Tak ingin rasanya berlama-lama berada dalam kamar bersama suami yang sedang terbakar emosi. Perlahan aku bergegas menuruni kasur."Mau kemana kamu?!" Mas Dimas mencegah langkahku yang baru saja hendak meninggalkan kamar."Aku mau keluar, Mas.""Tunggu!" Tangan lelaki itu mendorong bagian bahuku. Tentu saja dengan tenaga kuatnya aku terpental satu langkah ke belakang.Aku menghela nafas dalam. Mencoba mengatur irama jantung yang sedari tadi berdegup tak berirama.Aku memperkuat mentalku. "Cukup, Mas! Aku ini istrimu. Jangan seenaknya memperlakukanku dengan sikap kasarmu itu.""Oh! Jadi kamu sudah berani melawan suami? Ha!"Hentakan suara di ujung kalimat yang diucapkan Mas Dimas, mencoba untuk menghancurkan pertahananku. Tapi aku tahu kalau saat itu dia hanya menggertak.

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Pertemuan Pertama dengan Lina

    Aku terhenyak mendengar perkataan Indah. Entah ini kebetulan nama yang sama dengan orang yang berbeda. Atau bahkan benar, kalau mama Indah itu adalah orang yang sedang dalam penyelidikanku saat ini.“Kok, Bu Rindu diam?” tanya murid cantikku itu polos.“Nggak apa-apa, Nak, Ibu hanya terpesona mendengar ceritamu tadi. Bagus banget.”Indah hanya tersenyum mendengar pujian dariku.Bel istirahat telah berbunyi, aku bergegas kembali ke ruang guru. Sesampainya di sana, nampak ruang itu hening karena memang guru-guru lain biasanya sudah di kantin.Ketika hendak duduk di kursi, mataku membentur sebuah kotak yang telah dibungkus rapi dengan kertas kado.Aku penasaran kotak itu berisi apa, dan siapa yang meletakkannya di atas mejaku. Sekali lagi aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, namun benar-benar tak kudapati seorangpun.Hadiah untuk Rindu.Tulisan secarik kertas yang menempel pada kado itu berhasil

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Perang Mulut

    Setelah mencium punggung tanganku dan Pak Arif. Indah lalu membuka pintu mobil dan keluar menghampiri mamanya.Pak Arif menurunkan kaca mobilnya, lalu ia menyapa Lina. “Mbak, kami tinggal dulu ya.”“Makasih ya, Rif,” balas wanita itu singkat. Pak Arif hanya memberikan senyuman pada wanita itu.Sementara aku hanya membeku duduk di sebelah. Sengaja aku tak ingin melihat wanita itu lebih lama lagi, karena takut emosi besar ini nanti meluap.Mobil perlahan menjauh meninggalkan Indah bersama mamanya.“Sepatunya sudah dicoba, Bu?” tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil.“Sudah, Pak. Pas banget di kakiku.”“Bu Rindu suka sepatunya?” Lelaki itu menatapku penuh arti.Aku mulai canggung berada dalam posisi itu. “Itu sepatu impian saya, Pak.”Dia mengembangkan senyum manis di bibirnya. Aku mulai curiga, jangan-jangan hadiah itu dari Pak Arif.“Pa

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Pertemuan Serius

    Saat aku terjaga, ternyata hari sudah mulai gelap. Aku beranjak untuk menyalakan lampu kamar.Kring! Kring! Kring!Suara nyaring ponsel memecah keheningan kamar."Halo!""Halo Bu Rindu," sapa Pak Rudi kepala sekolah kami. "Saya mau kasih info mendadak. Indah, muridmu, diminta mewakili Kabupaten kita, untuk berangkat ke Palembang besok pagi.""Palembang? Acara apa ya, Pak?""Lomba siswa berprestasi dan lomba catur tingkat Propinsi. Tahun kemarin 'kan dia menang mewakili kabupaten kita. Nah, tahun ini bapak Kepala Dinas ingin dia maju lagi.""Oh, alhamdulillah kalau gitu, Pak""Saya minta kamu mendampingi dia ya, sama Pak Arif juga."Aku tertegun sejenak. "Baik, Pak.""Tolong segera kasih tahu Indah. Tadi saya menghubungi nomor Pak Arif, tapi belum aktif kayaknya. Kasih tau juga sama beliau.""Baik, Pak. Nanti aku kasih tahu sama mereka.""Akomodasi dan sebagainya, sudah saya minta ditransfer ke rekeni

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Dosa yang Terbongkar

    Tiba-tiba wanita itu meletakkan buku nikahku ke atas meja, lalu ia mendekap tubuh ini dengan erat. Tubuhnya bergetar akibat isak tangis. Kini ia tenggelam dalam pelukanku.Seketika itu, rasa iba menyelinap ke relung hatiku. Tak tega rasanya membiarkan wanita cantik itu terus menangis.Aku menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Mencoba untuk menenangkannya.Perlahan Lina melepaskan pelukan. Matanya telah membengkak nanar menatapku. Aku membalas tatapan mata itu."Sebagai sesama wanita, Mbak Lina tentunya dapat mengerti apa maksudku. Sebelum semua ini berlanjut lebih jauh lagi," ucapku penuh keseriusan.Aku sudah berada di atas angin, kemenangan sebentar lagi aku dapatkan. Rasanya sudah tak sabar lagi ingin mendengar pengakuan kekalahannya."Maafkan aku, Bu Rindu." Tangisnya terus berlangsung.Aku sudah dapat melengkungkan garis bibir, mengembangkan senyum kepuasan.Tiba-tiba wanita itu kembali memelukku. Kali ini dekapannya sa

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Akhir dari Pertengkaran

    Nyali Mas Dimas semakin ciut. Mulutnya terkunci, ia tak dapat menjawab pertanyaanku."Jawab! Mas," pekikku sekali lagi. Kadar emosiku terus bertambah. Entah bagaimana ekspresiku saat ini. Yang jelas, gertakan itu berhasil mendominasi keadaan.Mas Dimas membuang tatapan mataku. Ia beringsut menuju kursi. Sepertinya lelaki itu telah sadar kalau aku baru saja membuka semua tabir rahasia besarnya.

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Drama Mie Instan

    Pak Arif menekan saklar lampu yang berada di dinding ruang tamu rumahnya. “Silahkan duduk dulu, Bu,” ujar lelaki itu sembari tersenyum.Aku dan Indah menuruti permintaan Pak Arif. Kami berdua duduk di sofa empuk berwarna abu muda yang memiliki sandaran agak rendah.Setelah duduk, aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu rumah Pak Arif. Nampak tata letak dan dekorasinya cukup apik. Di dindingnya menempel sebuah lukisan abstrak yang didominasi warna hitam dan merah. Pas betul dengan paduan warna cat interior bernuansa putih lembut. Ternyata bagus juga selera lelaki yang masih betah menjomblo itu.Pak Arif menuju kamar yang berada di ruang tengah rumahnya. Sepertinya ada dua kamar yang saling berdempetan di sana.“Bu, aku nggak mau pulang ke rumah lagi,” cetus Indah memecah keheningan ruang tamu

    Last Updated : 2021-04-14
  • RINDU MENJANDA   Digerebek Warga

    Mendengar suara membentak dari seseorang yang berada di ruang depan, nyali Indah ciut. Ia mendempetkan tubuhnya padaku. Tangannya mencengkeram erat ke lenganku.“Sabar dulu, Pak RT. Dia itu sodaraku. Dia hanya numpang menginap di rumahku satu malam ini saja. Besok pagi langsung berangkat ke Palembang. Lagian kami tidak hanya berdua, ada ponakanku juga,” terang Pak Arif panjang lebar.Lelaki itu mencoba membela dirinya. Ia tak ingin ada fitnah atas kehadiranku ke rumahnya malam ini."Bohong!" teriak beberapa orang hampir berbarengan. Sepertinya Pak RT tak sendirian. Kalau dari suaranya, tak kurang tujuh sampai delapan orang yang berada di depan sana."Kita usir saja wanita yang Pak Arif bawa tadi, Pak!" ujar seseorang dengan suara meninggi. Kayaknya orang itu provokatornya.Genggaman tangan

    Last Updated : 2021-04-14

Latest chapter

  • RINDU MENJANDA   Terpaksa Keluyuran Malam

    "Please, untuk malam ini aja, Rin. Aku udah kepalang janji sama Om Samsul," rengek Cica sembari memegang lenganku."Siapa Om Samsul, Ca?" Aku tambah penasaran dengan nama yang asing di telingaku itu."Kamu masih ingat sama lelaki saat pertama kita ketemu makan malam?" tanya Cica mencoba agar aku mengingat kembali.Aku tertegun sejenak, bayanganku teringat pada Om-Om setengah botak yang makan bersama Cica di restauran tepi sungai Musi tempo hari."O ...," Aku manggut-manggut. "Iya aku ingat, Ca.""Nah, itu namanya Om Samsul. Dia adalah pengusaha sukses di kota ini, Rin. Aku sudah mengenalnya tiga bulan terakhir. Dia punya rekan bisnis yang tajir, rekannya itu meminta Om Samsul mencarikannya kenalan juga. Jadi aku menjanjikan malam ini bertemu denganmu. Mau ya?" terang sahabatku itu sembari memasang rau

  • RINDU MENJANDA   Kembali ke Rumah Cica

    Perpisahan yang sungguh menguras air mata. Aku bukan hanya berpisah dengan keluarga besar Sekolah Dasar tempatku mengajar, tapi juga berpisah dengan kota kecil yang telah dua tahun aku tinggali.Betapa banyak kisah yang telah terjadi di kota itu. Aku terlena selama dua tahun menetap di sana, bahkan aku hampir tak percaya bahwa aku saat ini telah menjanda.Bukan hanya kehilangan suami, namun aku juga telah kehilangan kedua orang tuaku. Hingga detik ini belum juga aku ketahui kemana mereka pindah.Mataku menatap ke arah luar, menikmati pemandangan dari balik kaca mobil. Aku sedang dalam perjalanan kembali ke Palembang, menggunakan jasa mobil travel."Mbak, diantar ke Sekip kan?" tanya sopir itu memastikan."Iya, Mas.""Nanti, tolong bilang aja arah ke rumahnya," pinta lel

  • RINDU MENJANDA   Perihnya Perpisahan

    Mobil yang dikemudikan oleh Pak Arif melaju dengan santai. Memecah jalanan yang masih gelap. Subuh ini kami berlalu meninggalkan kota Palembang untuk kembali ke Sekayu.Indah kelihatan tertidur di kursi belakang mobil. Ia telah siap dengan seragam putih merahnya untuk mengikuti upacara di sekolah nanti. Sedangkan aku duduk membisu menemani Pak Arif menyetir."Bu, siapa sebenarnya lelaki yang Bu Rindu temui di Mall waktu itu?" tanya Pak Arif memecah kebisuan di mobil. Dari nada bicaranya, jelas kalau lelaki itu menaruh curiga padaku.Aku mengernyitkan dahi, lalu melirik Pak Arif. "Maksud Pak Arif, Fikri?""Iya," jawabnya mantap."O ..., Itu anak Pak Agus. Kebetulan waktu itu aku ke rumahnya.""Ke rumahnya?" seru Pak Arif penasaran. "Ada keperluan apa Bu Rindu ke sana?" P

  • RINDU MENJANDA   Sang Juara

    Aku dan pak Arif duduk di kursi bagian belakang bersama guru pendamping lainnya. Sedangkan Indah duduk di barisan paling depan. Nampak suasana ruangan sangat menegangkan, karena sebentar lagi hasil perlombaan yang digelar selama hampir satu minggu itu akan segera diumumkan."Baiklah, para hadirin dan peserta lomba sebentar lagi kami akan mengumumkan hasil pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar se-Propinsi Sumatra Selatan ini," ujar pemandu acara yang berada di atas podium.Aku melirik ke arah pak Arif dengan raut wajah penasaran, aku sangat berharap agar Indah menjadi juara."Dan inilah pemenang lomba siswa berprestasi tingkat Sekolah Dasar tahun ini," seru pemandu acara bertubuh gemuk itu sengaja menjedah ucapannya.Tentu saja, membuat hatiku berdebar-debar tak menentu. Begitupun dengan pak Arif, ekspresi wajahnya y

  • RINDU MENJANDA   Dibuat Malu

    "Hei Lepaskan!" teriakku kencang. Aku merasa sakit di bagian pergelangan tangan yang masih dicengkeram kuat olehnya.Sampai di sebuah tempat makan, lelaki yang dari tadi menyeretku itu duduk di sana. Ia telah melepaskan tanganku."Apa-apaan sih kamu ini! Sakit, tau!" protesku sembari mengusap-usap bagian pangkal lenganku. Bekas cengkeraman tangannya memerah, dan aku merasakan bagian itu agak panas."Duduk!" seru lelaki itu sembari melotot. Iya, dia adalah Fikri. Lelaki yang dari awal hingga detik ini masih melangsungkan perang dinginnya denganku.Aku menuruti permintaannya. Kami duduk saling berhadapan dengan sebuah meja kecil berada di antara kami.Mataku membentur piring yang berisi ikan bakar berwarna kehitaman. Satu lagi, mangkok berukuran sedang di dalamnya kelihatan sayur asem. Tak lupa mangkok

  • RINDU MENJANDA   Bertemu Kembali

    "Iya, Bu. Cowok yang ngangkatnya," timpal Pak Arif meyakinkan."Hapeku tadi jatuh. Dia bilang apa, Pak?" tanyaku penasaran."Dia tak bilang apa-apa hanya menyebutkan namanya saja, lalu telepon diputus.""Siapa namanya?" Aku semakin tak sabar ingin tahu."Fikri," jawab Pak Arif singkat."O ...," Mulutku membulat dengan bibir maju hampir dua jari. "Jatuh di sana rupanya.""Siapa Fikri, Bu?" tanya Indah kepo."Anak Pak Agus.""Pak Agus?" tanya Pak Arif tak mau kalah."Nanti aku ceritain. Bisa tolong teleponkan lagi, Pak?" pintaku pada lelaki yang masih duduk di dekat Indah itu.Pak Arif tak menjawab, ia menatap layar ponselnya lalu menempelkannya

  • RINDU MENJANDA   Tawaran Cica

    Bismillah.Aku mengumpulkan segenap keberanianku untuk menelepon nomor papa.Perlahan kutempelkan hapeku ke telinga. Aku berharap kali ini tak salah nomor lagi."Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi."Sial. Nomor telepon itu masih belum tersambung.Sekali lagi aku menghubungi nomor itu, ternyata masih suara wanita sama yang menyatakan kalau nomor itu tidak aktif.Huft!Aku menghembuskan napas, setelah itu melemaskan bahuku. Perjuanganku sampai detik ini belum membuahkan hasil."Gimana, aktif?" tanya Pak Agus penasaran.Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Lalu memasang raut kecewa beralih menatap wajah Cica. Sahabatku

  • RINDU MENJANDA   Lelaki Aneh

    Ceklek!Seorang lelaki paruh baya membuka pintu rumahnya. Kalau melihat dari warna rambutnya yang sudah delapan puluh persen uban, sepertinya lelaki yang memiliki perut buncit itu, angkatan tahun enam puluhan."Pak Agus, ya?" sapaku menerka nama lelaki yang masih berdiri di tengah pintu itu."Apa?" tanyanya sembari memajukan kepalannya satu jengkal.Cica menatapku, wanita itu mencoba menahan tawa yang hampir saja pecah. Ia tahu kalau aku sedang menghadapi orang yang bermasalah dengan kupingnya."Pak Agus!" teriakku juga dengan membungkuk menjulurkan kepala ke arahnya."Oh ..., iya," jawab lelaki itu singkat. "Kamu yang menelepon tadi? Anaknya Badri?"Aku hanya mengangguk saja. Tak mau terlalu banyak bercakap.

  • RINDU MENJANDA   Orang yang Beda

    "Iya halo," jawabku gugup."Siapa?" tanya lelaki itu dengan suara agak besar. Aku menjauhkan ponselku dari telinga."Ini Rindu," kataku menjawab pertanyaannya."Rindu? Namamu Rindu?"Aku mulai curiga, sepertinya aku salah orang. Kalau dia benar papaku, mana mungkin lelaki itu bertanya demikian.Kulihat layar ponselku. Nama kontak yang kutulis papa itu terlihat jelas. Tak salah. Atau bapak yang tadi salah kasih lihat nomor."Hei! Kok diam?" cetusnya lagi."Maaf, kalau boleh tau, anda siapa?""Loh, situ yang nelpon. Kok saya yang ditanya," sindir lelaki itu dengan nada sewot.Aku mulai kesal, sudah bisa dipastikan kalau aku telah salah orang."Ha

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status