Tama menoleh padaku. Ada gestur gusar yang aku lihat di wajahnya. Tatapnya seolah bertanya 'kenapa kamu izinkan Giko menginap di sini?' Lalu dia membuang napas kasar dan menyusul Giko ke balkon. Sejenak aku melihat Giko menawarinya rokok, tapi Tama menolak. "Gue ngantuk. Boleh gue tidur?" tanyaku, menahan mata yang sudah terasa berat. Beberapa kali aku menahan kuap. "Lo istirahat aja gih. Jangan lupa kunci pintu kamar biar Tama tenang," sahut Giko. Aku mengernyit sebentar, tapi nggak menimpali ucapan Giko. Masa bodo dengan mereka yang sedang mengobrol aku pun beranjak ke kamar. Paginya aku dikejutkan pemandangan yang menakjubkan. Kedua lelaki itu tidur di sofa dengan kaki naik ke atas meja. Giko di sisi kanan, Tama di sisi kiri. Keduanya tidur dengan posisi kepala meneleng, saling menjauh. Tidur mereka terlihat nggak nyaman, padahal sofa itu bisa diubah menjadi bed. Tangan keduanya melipat di depan dada. Aku baru sadar pendingin udara di ruangan ini juga dimatikan. Aku pikir Tam
Untuk pertama kalinya aku menaiki mobil Tama. Ya Tuhan ampuni dosaku, nggak seharusnya aku berada di sini. Aku lemah di depan dia, nggak bisa menolak tegas tiap ajakan yang dia tawarkan. "Daripada naik bus atau taksi, kamu bisa kok berangkat bareng aku. Kantor kita kan searah," ucapnya saat kami dalam perjalanan menuju kantor. Jalan raya mulai padat. Tapi, untungnya nggak terlalu macet. Sedikit macet di persimpangan lampu merah dan akan terurai dengan cepat. Aku biasanya memilih alternatif naik bus trans-Jakarta. Cukup satu kali naik, dan bisa turun langsung di depan gedung kantor yang berada di pusat kota. "Itu kayaknya enggak efisien buat kamu karena harus nungguin aku.""Enggak masalah, Wina. Paling juga sebentar, nggak mungkin kan kamu berangkat siang. Kecuali kalau kamu memang bangun kesiangan." Ada nada pemaksaan yang bisa kudengar. Tapi, aku nggak peduli. Nggak mungkin juga setiap hari aku nebeng padanya. Meski dia menawarkan, aku cukup tahu diri. "Aku memang sering bangun
Aku benar-benar menemukannya di lobi. Ya Tuhan, kenapa dia nekat sekali? Padahal jarak kantornya dengan kantorku lumayan memakan waktu. Lima belas menit memang singkat, cuma kondisi jalanan Jakarta yang bisa membuat waktunya menjadi panjang. Aku tersenyum tipis saat melihat keberadaan Tama. "Kita jalan kaki aja, ya. Kafenya dekat kok," ujarku sesampainya di depan lelaki itu. Tama menurut dan tersenyum. "Sori, ya. Jadi ganggu waktu kamu."Mau bagaimana lagi? Dia sudah mencuri start dengan lebih dulu sampai di lobi. Aku nggak mungkin menolaknya. Mungkin saja, tapi... Entahlah. "Selama nggak korupsi banyak waktu nggak akan mengganggu, kok." Kami lantas beriringan melewati pintu otomatis lobi.Tama terkekeh dan berjalan menyeimbangi langkahku yang pendek. "Tadi aku ada meeting di gedung sebelah. Jadi, aku ingat kamu makanya sekalian ke sini." Berarti aku yang bodoh. Seharusnya aku tetap menolak ajakannya. Tapi mungkin karena aku juga ingin, makanya bisa sampai di sini sekarang. Kami
"Prospek kalian kali ini gagal?" tanyaku, mengingat tampang kecut Danar tadi. Arin menoleh dan menggeleng. "Prospek gue nggak mungkin gagal, soalnya kan bareng Pak Danar." Dia nyengir. Lalu menarik beberapa berkas dan mulai membukanya. "Gue pikir gagal. Soalnya tampang Danar asem! Kayak mangga setengah mateng." "Kan setting-an dia memang seperti itu. Dingin-dingin gitu deh." Aku mengarahkan bola mata ke atas. Sekali bucin tetap saja bucin. Setelah menyelesaikan proposal permintaannya, aku segera menuju ke ruangan Danar agar dia bisa mengeceknya sebentar sebelum aku membuat janji pada bagian finansial. "Ada yang kurang engga?" tanyaku sedikit melongok, menatap proposal yang sedang dicek oleh Danar. "Anggaran buat sosial media nggak lo tambah?" Danar masih memperhatikan dokumen tanpa menoleh padaku. "Enggak, sih. Gue pikir segitu juga cukup." "Selain membuat adsens sendiri kita juga akan membuat iklan singkat di Youtube, kan?" "Iya, sih." "Tambahin aja anggarannya. Kalau nggak
Tama : Oh gitu ya.Balasan dari Tama terlalu singkat, aku kurang nyaman membacanya. Tapi mungkin itu bentuk kekecewaannya karena aku menolak pulang bersama lantaran akan pulang bersama Danar. Aku berusaha bersikap tidak peduli dengan tidak membalas pesannya lagi. Arin sudah pulang terlebih dulu ketika Danar menghampiriku. Akan menyebalkan kalau wanita berponi itu mencurigaiku memiliki perasaan terhadap Danar seperti biasanya. Aku bosan mendengar dia terus memastikan akan hal itu. "Pulang sekarang?" tanya Danar seraya melepas jas dan menyampirkannya ke partisi. Dia lantas membuka kancing lengan kemejanya. Lalu menggulungnya hingga siku. Aku yang memang sudah bersiap sejak tadi berdiri dan meraih tas. "Yuk!" Sekilas aku melihat dia mengambil jasnya kembali dan menaruhnya di siku. Sebelah tangan lainnya menjinjing tas kerja. Kami lantas berjalan bersisian melewati pintu divisi. "Giko beneran nggak aktifin HP-nya. Gue rasa masalahnya kali ini lumayan besar," ujarku ketika kami menung
Masa periodeku masih sekitar seminggu lagi. Namun, menghindari pertanyaan aneh-aneh yang mungkin Danar lontarkan, aku terpaksa berbohong. Hm, ya, berbohong lagi. Aku memang terlalu overthinking. Bisa jadi Tama sudah menjelaskan kenapa dia bisa tinggal di gedung ini. Semua tanpa kesengajaan. Baiklah, over ini timbul karena aku memiliki perasaan lebih kepada Tama. Seharusnya aku bersikap biasa saja agar Danar atau pun Giko nggak curiga. Tapi nyatanya aku kucing-kucingan begini. Aku takut dua lelaki itu mengetahui perasaanku, mengingat status Tama yang sudah tidak sendiri lagi. Aku memperhatikan dua botol minuman kunyit yang katanya bisa meredakan nyeri datang bulan. Tanpa sadar aku menyunggingkan senyum. Danar dan Giko itu sering melakukan hal-hal yang nggak terduga. Minuman ini mengingatkan aku saat Giko tiba-tiba memepetku ke dinding. Saat itu aku lagi banjir-banjirnya datang bulan. Aku memelotot horor. "Tembus, ya?" Aku mendadak kaku dan tidak mau bergerak. Giko mengangguk. "Bawa
Tama tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Mereka nggak akan betah tinggal di Jakarta. Sintia juga tidak mengizinkan." "Oh." Aku mengangguk. Seandainya aku istrinya, aku nggak mungkin membiarkan suami tampan seperti Tama berkeliaran di kota metropolitan ini sendirian. Bahaya. "Enak es krimnya?" tanya Tama melirik mangkok es krimku yang baru aku sentuh sedikit. "Enak. Kamu sering nyetok es krim begini?" "Nggak, sih. Aku beli es krim karena ingat kamu. Dulu waktu sekolah kamu suka makan es krim, kan?" Tama menoleh, dan menyeringai. Bagaimana dia bisa tahu hal itu? "Setiap kali aku menemui Giko di kelas, kamu pasti sedang menyantap es krim." Aku menatapnya takjub. Aku bahkan tidak ingat sedang posisi bagaimana saat itu. Fokusku hanya mendengar percakapan mereka dan mencuri pandang ke arah Tama. "Iya, kah? Aku suka es krim sih, tapi enggak terlalu. Biasanya Giko atau Danar yang membelikannya." Dua lelaki itu dulu sering jajanin aku. Mereka sangat tahu kondisi keluargaku yang pas-pasan
Pintu IGD terbuka, dan sosok Tama muncul dari sana. Dia berjalan mendekati kami dengan seulas senyum. "Lo datang sama Tama?" tanya Giko yang agak kaget melihat kedatangan Tama. Aku hanya mengangguk pelan, dan diam-diam melirik Danar. Lelaki itu nggak bereaksi apa pun. "Kalian kenapa bisa babak belur gini?" tanya Tama begitu langkahnya sampai ke depan kami. "Biasalah namanya juga cowok. Nggak babak belur nggak afdol," sahut Giko seraya terkekeh. "Siapa yang melakukannya? Kalian nggak lapor ke polisi?" Giko dan Danar saling tatap selama beberapa saat, lalu kepala Giko menggeleng. "Ini cuma urusan sepele nggak perlu melibatkan polisi. By the way, thanks, ya udah nganterin Wina ke sini." "Nggak masalah."Aku bergeser ke sisi Danar dan melihat luka di wajahnya. "Mudah-mudahan Arin masih suka liat muka bonyok lo gini," ujarku pada manusia sok pemberani ini. Danar mendengus, tampak nggak berminat menanggapi ucapanku. "Jadi kalian dirawat inap?" tanya Tama lagi. "Gue enggak. Tapi kal