"Prospek kalian kali ini gagal?" tanyaku, mengingat tampang kecut Danar tadi. Arin menoleh dan menggeleng. "Prospek gue nggak mungkin gagal, soalnya kan bareng Pak Danar." Dia nyengir. Lalu menarik beberapa berkas dan mulai membukanya. "Gue pikir gagal. Soalnya tampang Danar asem! Kayak mangga setengah mateng." "Kan setting-an dia memang seperti itu. Dingin-dingin gitu deh." Aku mengarahkan bola mata ke atas. Sekali bucin tetap saja bucin. Setelah menyelesaikan proposal permintaannya, aku segera menuju ke ruangan Danar agar dia bisa mengeceknya sebentar sebelum aku membuat janji pada bagian finansial. "Ada yang kurang engga?" tanyaku sedikit melongok, menatap proposal yang sedang dicek oleh Danar. "Anggaran buat sosial media nggak lo tambah?" Danar masih memperhatikan dokumen tanpa menoleh padaku. "Enggak, sih. Gue pikir segitu juga cukup." "Selain membuat adsens sendiri kita juga akan membuat iklan singkat di Youtube, kan?" "Iya, sih." "Tambahin aja anggarannya. Kalau nggak
Tama : Oh gitu ya.Balasan dari Tama terlalu singkat, aku kurang nyaman membacanya. Tapi mungkin itu bentuk kekecewaannya karena aku menolak pulang bersama lantaran akan pulang bersama Danar. Aku berusaha bersikap tidak peduli dengan tidak membalas pesannya lagi. Arin sudah pulang terlebih dulu ketika Danar menghampiriku. Akan menyebalkan kalau wanita berponi itu mencurigaiku memiliki perasaan terhadap Danar seperti biasanya. Aku bosan mendengar dia terus memastikan akan hal itu. "Pulang sekarang?" tanya Danar seraya melepas jas dan menyampirkannya ke partisi. Dia lantas membuka kancing lengan kemejanya. Lalu menggulungnya hingga siku. Aku yang memang sudah bersiap sejak tadi berdiri dan meraih tas. "Yuk!" Sekilas aku melihat dia mengambil jasnya kembali dan menaruhnya di siku. Sebelah tangan lainnya menjinjing tas kerja. Kami lantas berjalan bersisian melewati pintu divisi. "Giko beneran nggak aktifin HP-nya. Gue rasa masalahnya kali ini lumayan besar," ujarku ketika kami menung
Masa periodeku masih sekitar seminggu lagi. Namun, menghindari pertanyaan aneh-aneh yang mungkin Danar lontarkan, aku terpaksa berbohong. Hm, ya, berbohong lagi. Aku memang terlalu overthinking. Bisa jadi Tama sudah menjelaskan kenapa dia bisa tinggal di gedung ini. Semua tanpa kesengajaan. Baiklah, over ini timbul karena aku memiliki perasaan lebih kepada Tama. Seharusnya aku bersikap biasa saja agar Danar atau pun Giko nggak curiga. Tapi nyatanya aku kucing-kucingan begini. Aku takut dua lelaki itu mengetahui perasaanku, mengingat status Tama yang sudah tidak sendiri lagi. Aku memperhatikan dua botol minuman kunyit yang katanya bisa meredakan nyeri datang bulan. Tanpa sadar aku menyunggingkan senyum. Danar dan Giko itu sering melakukan hal-hal yang nggak terduga. Minuman ini mengingatkan aku saat Giko tiba-tiba memepetku ke dinding. Saat itu aku lagi banjir-banjirnya datang bulan. Aku memelotot horor. "Tembus, ya?" Aku mendadak kaku dan tidak mau bergerak. Giko mengangguk. "Bawa
Tama tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Mereka nggak akan betah tinggal di Jakarta. Sintia juga tidak mengizinkan." "Oh." Aku mengangguk. Seandainya aku istrinya, aku nggak mungkin membiarkan suami tampan seperti Tama berkeliaran di kota metropolitan ini sendirian. Bahaya. "Enak es krimnya?" tanya Tama melirik mangkok es krimku yang baru aku sentuh sedikit. "Enak. Kamu sering nyetok es krim begini?" "Nggak, sih. Aku beli es krim karena ingat kamu. Dulu waktu sekolah kamu suka makan es krim, kan?" Tama menoleh, dan menyeringai. Bagaimana dia bisa tahu hal itu? "Setiap kali aku menemui Giko di kelas, kamu pasti sedang menyantap es krim." Aku menatapnya takjub. Aku bahkan tidak ingat sedang posisi bagaimana saat itu. Fokusku hanya mendengar percakapan mereka dan mencuri pandang ke arah Tama. "Iya, kah? Aku suka es krim sih, tapi enggak terlalu. Biasanya Giko atau Danar yang membelikannya." Dua lelaki itu dulu sering jajanin aku. Mereka sangat tahu kondisi keluargaku yang pas-pasan
Pintu IGD terbuka, dan sosok Tama muncul dari sana. Dia berjalan mendekati kami dengan seulas senyum. "Lo datang sama Tama?" tanya Giko yang agak kaget melihat kedatangan Tama. Aku hanya mengangguk pelan, dan diam-diam melirik Danar. Lelaki itu nggak bereaksi apa pun. "Kalian kenapa bisa babak belur gini?" tanya Tama begitu langkahnya sampai ke depan kami. "Biasalah namanya juga cowok. Nggak babak belur nggak afdol," sahut Giko seraya terkekeh. "Siapa yang melakukannya? Kalian nggak lapor ke polisi?" Giko dan Danar saling tatap selama beberapa saat, lalu kepala Giko menggeleng. "Ini cuma urusan sepele nggak perlu melibatkan polisi. By the way, thanks, ya udah nganterin Wina ke sini." "Nggak masalah."Aku bergeser ke sisi Danar dan melihat luka di wajahnya. "Mudah-mudahan Arin masih suka liat muka bonyok lo gini," ujarku pada manusia sok pemberani ini. Danar mendengus, tampak nggak berminat menanggapi ucapanku. "Jadi kalian dirawat inap?" tanya Tama lagi. "Gue enggak. Tapi kal
Aku nggak berniat membalas chat Tama, dan langsung mematikan data internet. Lalu menarik ujung selimut dan merapatkan mata. Kejadian hari ini membuatku teramat lelah. Semoga Danar dan Giko baik-baik saja. Seandainya tidak dalam kondisi luka, aku yakin kemunculan Tama bersamaku akan menjadi masalah. Meski sejauh ini belum ada reaksi dari dua lelaki itu. Entah mengapa aku yakin mereka akan segera menyadarinya. Sekitar pukul setengah enam pagi aku keluar dari apartemen. Sengaja bangun cepat setelah baru pulas pukul dua belas malam. Aku berencana mampir ke rumah sakit dan membelikan Giko sarapan. Karena tidak ada jatah makanan bagi penunggu pasien. Kedua lelaki itu masih tidur ketika aku membuka pintu. Giko tidur di atas sofa sambil meringkuk. Sementara Danar tidur dengan napas teratur di atas ranjang. Aku menyimpan makanan yang aku beli di atas meja, lalu mendekati Danar. Aku sedikit terkejut karena mata Danar terbuka ketika aku berdiri di dekatnya. Dia menggeliat dan meringis. "Sete
Hasil rapat nggak memuaskan. Bagian keuangan tidak menyetujui proposal tambahan budget marketing yang kami ajukan. Danar pasti nggak akan suka mendengar berita ini. Orang keuangan kenceng banget menggenggam duit anggaran. Padahal yang kami lakukan agar bisa menarik banyak nasabah dan memajukan perusahaan. Arin mendesah, menjatuhkan diri ke atas kursi. "Pak Danar pasti kecewa. Gimana dong, Win?" Jujur aku paling males berhadapan dengan orang keuangan. Hal tentang pengajuan anggaran baru biasanya Danar yang maju. Dia lebih pandai memersuasi dan menekan lawan. Tidak seperti kami yang ketika ditolak hanya bisa pasrah. Ah, tidak. Arin di rapat tadi sempat mendebat kepala bagian keuangan berkepala botak yang terkenal pelit itu. "Nggak apa-apa. Nanti gue yang bilang aja." Arin kembali menegakkan punggung dan menyeret kursinya mendekat padaku. "Pak Danar sakit apa?" Aku belum sempat memberitahu Arin tentang kondisi Danar karena kami sudah disibukkan dengan persiapan meeting. "Tangan kan
"Wina!" Aku baru saja memasuki lobi ketika mendengar suara Tama memanggil. Suaranya akhir-akhir ini sering berkeliaran di sekitarku. Jadi, tanpa melihat pun aku tahu itu suara miliknya. Aku menoleh dan mendapati lelaki tinggi itu setengah berlari menghampiriku. Di tangannya membawa sebuah kantong plastik, mengingatkan pada beberapa hari lalu saat kami bertemu dalam situasi yang sama. "Lembur lagi?" tanya dia sesampainya di depanku. Aku mengangguk dan melirik kantong plastik yang dia bawa. "Kamu habis dari mana?" "Take away dari restoran di ujung itu. Kamu udah makan belum? Aku beli dua nasi bebek," ujarnya mengangkat kantong plastik itu. Modus apa lagi ini? Kenapa Tama seolah tahu jadwal pulangku sehingga kerap kali tanpa sengaja bertemu seperti ini? "Nggak usah, Tam. Kamu makan aja. Aku masih kenyang, kok." Aku berjalan menuju pintu lift diiringi Tama di sampingku. "Aku beli dua karena aku yakin kamu belum makan malam." Aku diam-diam menghela napas panjang. "Lain kali jangan
Aku menyisir rambut tebal Danar dengan jemari. Dia masih terlelap dengan nyaman di atas dadaku. Lengan kekarnya memeluk perutku, terlihat nyaman. Sama sekali nggak merasa engap karena semalaman tidur dengan posisi begini. Setelah kumpul-kumpul bersama yang lain, lalu bertemu sebentar dengan ibu dan mama—ibu mertuaku, kami baru kembali ke kamar sekitar pukul sebelas malam. Meski begitu, Danar tidak membiarkanku tidur hingga lewat tengah malam. Danar dan gairahnya membuatku sedikit kuwalahan. Aku nggak mungkin menolak meski jujur sangat mengantuk. Nyatanya setelah itu dia berhasil membuat kantukku hilang. Rasa penasaran sebagai pengantin baru membuat kami ingin terus mencoba. Senyumku terbit saat kembali mengingat sentuhannya semalam. Masih bisa membuat tubuhku merinding hingga sekarang. Setelah melewati yang pertama, kedua dan seterusnya aku merasa lebih nyaman."Nar, bangun...." Aku menepuk pipinya pelan. "Hm." Dia melenguh namun tidak mengubah posisi tidurnya. "Nanti kita nggak
"Norak banget, sumpah. Bisa nggak itu tangan kalian lepas? Kalau mau show off ke gue tuh jangan tanggung-tanggung, live streaming malam pertama kalian minimal tuh!" Tanganku dan Danar masih saling tertaut meskipun sekarang sudah duduk berdampingan di salah satu sudut kafe. Itu yang bikin Giko jengkel setengah mampus. Aku sih bodo amat. "Lepas kagak?!" Entah dapat dari mana karet gelang yang Giko pegang sekarang. Detik berikutnya tautan kami sontak terlepas karena kunyuk itu menjepret-nya dengan karet sialan itu. Yang kena jepretan Danar, tapi yang terkejut aku. "Resek lo!" Aku langsung meraih kembali tangan Danar dan mengabaikan decakan Giko. "Aku nggak apa-apa, Win," ucap Danar tersenyum. "Lebay! Cuma jepret karet doang itu. Sakitnya nggak ada apa-apanya dibanding malam pertama lo." Aku menggeram sebal. Dari tadi Giko nyinggung soal malam pertama terus. Dia beneran kurang belaian kurasa. "Katanya Marissa mau ke sini? Kok nggak datang-datang?" tanya Giko menengok jam tangannya.
Tidak ada pengait bra di punggung. Tidak ada adegan romantis saat bra itu melonggar di dada. Cup silicon yang kukenakan aku lepas sendiri lantaran Danar sepertinya agak kejang melihat bentukan asli dadaku. Diam-diam aku mengulum senyum saat pria itu dengan hati-hati dan perlahan menyentuh area itu. Telapak tangannya yang agak kasar sedikit membuatku menggelinjang. Apalagi ketika jemarinya bermain di puncak dadaku. Ya Tuhan aku bisa merasakan sekujur tubuhku merinding seketika. Ciuman Danar berpindah ke pipi lantas rahang. Kepalaku sontak mendongak ketika dia menyasar area leher. Dan lagi-lagi aku dibuat merinding saat bisa merasakan jejak basah yang dia tinggalkan. Danar sedikit mendorongku agar bergerak mundur. Dia dengan pelan menuntun duduk di tepian tempat tidur, dan tanpa melepas ciumannya menjatuhkan tubuhku ke atas permukaan tempat tidur. Dia sendiri lantas memposisikan diri di atasku. Desahan pertamaku lolos saat step ciumannya turun ke dada. Sebelah tanganku refleks merem
Pernah punya sahabat rasa suami? Atau suami rasa sahabat? Aku merasakannya hari ini. Not bad, bahkan terlalu manis. Di saat pria lain membawa pengantinnya ke kamar dengan cara membopong, Danar malah menggendongku di punggungnya. Alasannya karena badanku berat, sialan sekali. Resepsi pernikahan sederhana kami, sudah berakhir beberapa puluh menit yang lalu. Aku dan Danar memutuskan kembali ke kamar setelah sebelumnya pamit kepada Ibu, Mama dan Papa mertuaku, serta lainnya. Lantaran pernikahan kami berlangsung pagi, dan dihadiri hanya oleh sanak famili, acaranya cuma berlangsung hingga pukul sepuluh pagi. Rencananya kami akan mengadakan tour wisata keluarga setelah ini. Jangan berharap aku dan Danar bisa bobo cantik di sini, ya. Hehe."Gimana kalau kita nggak usah ikut tour? Pasti mereka paham, kok," ujar Danar saat kami melewati lorong-lorong menuju kamar kami. Aku masih berada di gendongannya."Ih, nggak enak. Kayak ketahuan nggak sabarnya." "Ya biarin, kita kan emang nggak sabar
"White gold, mewah juga ya konsepnya." Giko memasuki ballroom yang disulap menjadi taman bunga dengan dominasi warna putih dan emas.Sembari mengisi buku tamu aku mengedarkan pandang. Beberapa kali aku menghadiri resepsi pernikahan indoor seperti ini. Undangan pernikahan teman tidak pernah aku lewatkan. Hitung-hitung mencari referensi dekorasi yang cantik.Aku menyerahkan pena pada Danar yang ada di belakangku. Setelah dia mengisi buku tamu, kami bertiga melewati lorong taman bunga buatan yang lumayan panjang."Ini kira-kira mereka menghabiskan berapa ribu tangkai, ya?" tanya Giko, tangannya dengan usil mengambil salah satu kelompok bunga."Yang jelas ratusan ribu. Bunga satu kebon kayaknya diangkut ke sini," sahutku lantas terkikik."Beb, lo mau konsep pernikahan kayak gini juga enggak?"Pertanyaan yang bikin mood-ku lumayan naik. "Gue nggak mau ribet, sih. Cukup outdoor party aja.""Di mana?" Giko berbalik. "Di hutan aja, kayaknya belum pernah ada yang ngadain acara pernikahan di hu
Danar tidak main-main. Setelah membawaku ke rumah mamanya, dia langsung menyusun acara melamarku ke ibu. Aku agak ngeri dengan langkahnya yang begitu cepat. Seolah sedang menjaring klien, dan takut kliennya akan hilang."Gue bilang juga apa! Lo itu udah cocok sama Bang Danar, Kak," ujar Dendy. Acara lamaran sudah kelar dari satu jam lalu. Rombongan pelamar pun sudah pulang lagi ke Jakarta. Namun, Danar tetap tinggal."Kenapa dari dulu lo nggak desak kakak lo, sih, Den?" tanya Danar duduk memepet ke dekatku. Salah satu kebiasaan baru pria itu sejak jadian, nempel terus kayak perangko."Capek gue ngomongin, Bang.""Ish! Gue kan nggak enak sama cewek lo. Dia itu naksir berat sama Danar dulu," timpalku mengernyit tak suka lantaran terus dipojokkan."Arin pernah bilang ke gue, sih. Katanya deketin Bang Danar kayak lagi deketin kayu hidup.""Ebuset, pinokio dong!" celetuk Dean yang sejak tadi makan aneka kue basah yang didapat dari lamaran."Tau tuh! Padahal Arin cantik, dilirik pun enggak,
Danar masih sibuk di depan laptopnya. Akhir bulan memang menjadi momok bagi karyawan di perusahaan keuangan. Jika biasanya dia akan lembur di kantor hingga larut, kali ini dia membawa pulang pekerjaan ke apartemen. Alasannya konyol. Lembur di kantor sudah nggak menyenangkan sejak aku nggak bekerja di sana lagi.Maksud ngana?Beberapa saat sebelum dia berkutat di depan layar laptop ada sebuah pengakuan yang mencengangkan. Seenggaknya mencengangkan bagi aku. Hehe."Aku dulu sengaja memintamu lembur, agar aku bisa berlama-lama sama kamu di kantor. Percaya enggak?"Itu diucapkan manusia yang baru dua minggu jadi pacarku tanpa ekspresi. Gila enggak? Sontak saja mataku melotot dan memekik. "Demi apa?""Demi kamu."Panggilan "lo-gue" berganti "aku-kamu" di hari kedua kami pacaran. Awalnya agak geli, tapi lama-lama terbiasa. Danar yang terus membiasakan sebenarnya.Aku menarik napas dan mengembuskannya. "Kamu tau nggak, sih, Nar. Lembur itu hal yang paling nggak aku suka.""Aku sih suka aja
Setelah mengucapkan tetek bengek doanya buatku, pria yang aslinya memiliki senyum manis itu memelukku. "Nggak usah sedih meskipun sekarang cuma gue doang yang nemenin ultah lo." Dia mengacak rambutku. Alih-alih sedih aku malah terkekeh. Ini yang aku nggak paham. Serius, muka lempeng Danar itu nggak ada lucu-lucunya sama sekali, tapi kadang bikin aku ingin tertawa. "Sebenarnya gue pengin rayain ultah bareng pacar. Tapi, nasib cinta gue masih ngenes aja dari tahun kemarin," ujarku masih terkekeh, merasa nasib konyolku ini seperti lelucon. "Pacar, ya?" Aku mengangguk. "Mungkin gue akan pertimbangin Bima, biar ultah gue tahun depan nggak jomblo lagi." "Kok Bima?" Kening Danar mengernyit."Ya, soalnya cuma dia satu-satunya cowok yang lagi prospek ke gue." Aku meraih pisau keik, dan mulai memotong kue. "Sebenarnya gue punya penawaran. Dan gue rasa ini cukup menguntungkan, buat lo atau pun gue." Aku yang sedang fokus memotong kue hanya membalas sambil lalu. "Apa tuh?"Danar tidak lan
"Lo udah kayak bodyguard Wina aja, sih? Ngapain juga pake acara jemput Wina segala? Gue bisa kok anterin dia." Bima mengatakan itu setengah sadar. Dia agak sedikit mabuk. Seperti apa yang Danar bilang, pukul sembilan malam dia sudah menyambangi privat room lokasi pesta kami. "Anggap aja begitu. Gue bawa Wina dulu, ya," ujar Danar tersenyum kecil lalu menarik tanganku untuk bergegas keluar dari ruangan itu. "Nggak asik lo!" seru Bima dari dalam yang diabaikan oleh Danar. Kami menuruni anak tangga, dan melewati lautan manusia yang tengah berpesta di lantai bawah. "Lain kali nggak usah datang kalau kantor ngadain acara di tempat kayak gini," ujar Danar begitu membawaku masuk ke mobilnya. "Gue kan nggak enak nolaknya, Nar." "Itu tempat nggak aman. Kalau lo diapa-apain mereka gimana?" Aku nggak akan mendebat si kulkas. Pikirannya yang sistematis selalu membuatku tidak bisa berkata-kata kalau memaksa debat dengannya. "Lihat, bajumu kenapa basah gitu?" Aku menunduk, sempat lupa ka