Beranda / Fantasi / REINCARNATION / [1] Dalang dari Segala Penderitaan

Share

[1] Dalang dari Segala Penderitaan

Penulis: Cr-Azy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Ibu sangat mencintaiku, sebesar aku membencinya.

- Caroline

•••

Malam menjadi lebih panjang setelah tragedi hari itu; setelah nyanyian terkutuk nyaris merusak gendang telinganya. Duduk di atas bukit di tepi pantai tak pernah semenyenangkan dulu. Dulu seseorang duduk di sampingnya, meminjamkan Caroline bahunya, mereka larut dalam hening yang dihancurkan deburan ombak. Namun, itu adalah sebuah masa yang tidak bisa kau datangi kembali; masa lalu.

Sekarang Caroline hanya duduk seorang diri, memandang jauh ke ujung samudra di depan sana. Dengan hati yang terus mendamba, berharap waktu bisa berjalan atas kehendaknya. Dan membawa orang itu ke dekapannya, lagi.

"Carol."

Caroline benci suara itu. Entah sejak kapan, yang pasti suara itu adalah salah satu hal yang tidak ingin ia dengar lagi.

"Sayang, Ibu mempunyai sesuatu—ah tidak, seekor anjing yang harus kau lihat."

Caroline melirik sebentar, hanya untuk mendapati Ratu Odelia dengan seekor anjing di sampingnya.

"Aku tidak tertarik, Yang Mulia. Anda bisa pergi dari sini." Setelahnya, ia pun kembali memandangi samudra. Mengabaikan Ratu Odelia begitu saja.

"Carol, kau akan menyukainya," bujuk Ratu Odelia. Berharap hati putrinya sedikit melunak.

Sementara Caroline menoleh dengan tatapan yang tidak ingin ia dapatkan. Bagaimanapun, sakit rasanya ketika ia menjadi dalang dari penderitaan putrinya. empat tahun berlalu, tetapi putrinya masih dengan tatapan kecewa yang sama; yang teramat menyiksanya.

Perlahan sinar dari mata Caroline berubah menusuk. "Apa kau berpikir seekor anjing bisa membuatku melupakan Chaiden?"

Ratu Odelia mengendik. "Ibu bahkan tidak memikirkannya, tetapi jika iya kenapa tidak?"

Ada kemarahan di dalam bola mata Caroline. Rasa dendam akan apa yang telah dilakukan Ratu Odelia benar-benar berhasil membakar seluruh kasih sayangnya. Ia sungguh-sungguh membenci manusia di hadapannya, amat, teramat, sangat. "Apa kau tahu apa yang telah kau ambil dariku?"

Pertanyaan itu membuat Ratu Odelia terdiam beberapa saat. Yang baru saja Caroline ucapkan, menunjukkan betapa banyak yang telah ia renggut dari putrinya. Betapa berharga sesuatu yang telah ia ambil. Dan betapa dalam luka yang telah ia ukir. Hal itu cukup untuk membuat hatinya kembali merasa bersalah, cukup untuk membuat hatinya tersentil. Meskipun ia mampu menyembunyikan segalanya dan hidup dalam sandiwara, tetap saja, naif jika ia mengatakan bahwa ia tidak menyesal.

Sementara Caroline masih dengan amarahnya menatap Ratu Odelia penuh sangsi. Entah harus dengan kata apa ia ungkapkan rasa bencinya, karena tak ada kata "sangat" yang benar-benar mewakili kebenciannya terhadap manusia di depannya. Seorang wanita dengan gaun terindah di sepenjuru negeri, dengan tiara tercantik di kepalanya, dan dengan hati terkotor yang pernah ia tahu. Bagian tersialnya, orang itu adalah ibunya. Seseorang yang seharusnya ia hormati dan sayangi sepenuh hati.

"Dia hanya seorang Blackton, Carol." Kalimat itu meluncur dengan mudah dari bibir Ratu Odelia. Sangat kontradiktif dengan hatinya yang digumuli rasa bersalah.

"Dia kekasihku, Yang Mulia. Laki-laki Blackton itu kekasihku." Caroline membalas dengan penuh penekanan. Seolah pernyataan itu benar-benar harus dideklarasikan.

"Ya, dia kekasihmu. Dan dia meninggal empat tahun lalu."

"Itu karena ulahmu!"

Caroline beranjak dari duduknya. Menatap Ratu Odelia nyalang, sungguh, ia tidak mengerti sudut pandang bagian mana yang digunakan Ratu Odelia dalam menghadapi hal ini.

"Itu karena kau. Kau yang membuatnya begitu," bantah Ratu Odelia.

"Aku?" tanya Caroline skeptis.

"Ya. Seandainya kau menikah dengan pria pilihan Yang Mulia Raja, seorang Halu. Chaiden tidak akan berakhir tragis."

Caroline memicing. "Jika itu salahku. Apa kematian ayah juga kesalahanmu?"

Melihat Ratu Odelia membisu, Caroline kembali mengeluarkan suara, "Tentu, ya. Kau yang membuatnya melakukan itu."

Nada ketus yang amat kentara di dalam kalimat Caroline menusuk begitu dalam bagi Ratu Odelia. Ia sadar, ia telah kehilangan putrinya empat tahun lalu.

"Berhenti bicara omong kosong, Carol." Namun, tetap saja. Ia selalu mengatakan hal sebaliknya dari yang ia inginkan, dari yang ia rasakan. Ia selalu hidup dalam kepura-puraan, membuat putrinya semakin tenggelam dalam lautan kebencian. Sungguh, ia adalah gambaran dari aktor berbakat sungguhan.

"Ayahku mati karena dirimu, kekasihku pun begitu. Dan sekarang aku bukan lagi putrimu. Aku membencimu, sangat."

•••

Benda kemerahan itu semakin mengamuk, menenggelamkan apa pun yang dilewatinya. Menggulung-gulung begitu tinggi dan tidak memiliki kendali. Sementara orang-orang sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing, berlari ke sana-kemari demi menghindari keganasan api itu.

Caroline yakin istana akan habis sebentar lagi, ia harus membawa Ratu cepat-cepat pergi dari sini. Tangannya sudah hendak menarik Ratu Odelia bangkit, tetapi sang Ratu menahannya.

Sorot matanya sudah tak setegas biasanya, atau bahkan kemarin, saat wanita ini masih sempat berdebat dengannya. Sekarang yang bisa dia lakukan hanya termegap-megap, mencoba meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Caroline tak banyak bicara, ia hanya diam menunggu sesuatu yang ingin dikatakan Ratu Odelia agar segera menyapa gendang telinganya.

"Carol...."

Entah mengapa, panggilan itu membuat Caroline merinding sekarang. Ada perasaan takut aneh yang menyelimutinya. Membuatnya lupa akan benci yang menghuni di dada.

"Kita buang-buang waktu. Pintu gerbang sudah dekat, jadi sebaik—"

"Apa pun yang terjadi, kau harus membawa anjing itu bersamamu," potong Ratu Odelia.

Caroline melirik ke arah anjing peliharaan Ratu yang sedari tadi menjadi saksi bisu. Anjing itu tidak sedikit pun bergerak ketakutan saat api melahap nyaris seluruh bagian istana. Ia diam, mematung, dan memperhatikan sang Ratu. Itu sedikit membuat Caroline terharu. Hanya sedikit.

"Ibu ... sa-sangat mencintaimu," ungkap Ratu Odelia dengan susah payah.

Ratu Odelia menggenggam pergelangan tangan Caroline. Mungkin ia ingin menggenggamnya dengan erat, mencoba menyalurkan apa pun yang ingin ia sampaikan melalui genggaman itu. Akan tetapi, tubuhnya sudah terlalu lemah. Alhasil, ia hanya menatap putrinya sendu, betapa ia mencintai gadis itu. Bahkan sejak sebelum gadis itu lahir, ia benar-benar mencintai putrinya, lebih dari apa pun yang bisa ia cintai di dunia.

Dengan agak tertatih, tangannya mengelus rambut Caroline. Menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga putrinya. Menelisik betapa rupawan ia. Ratu Odelia berharap suatu hari nanti bisa menjadi ibu yang baik, seorang ibu yang tak bertakhta sebagai Ratu. Hanya seorang ibu. Tanpa mahkota dan apa pun yang dapat membebani langkahnya.

Dengan sangat pelan ia menarik kepala Caroline mendekat, meninggalkan kecupan di keningnya. Cukup lama dan terasa hangat yang Caroline rasakan. Gemuruh di dada Caroline semakin menggebu, ada perasaan aneh yang menahannya. Sesuatu yang mendorongnya untuk tetap di sana, menemani sang Ratu menemui ajalnya.

"Kau harus pergi."

"Aku akan tetap di sini, aku tidak akan mati kau tahu itu," kilah Caroline. Perasaan takut kehilangan itu benar-benar menahan niatnya untuk pergi.

Senyum terbit dari bibir Ratu Odelia saat melihat kilatan rasa khawatir pada netra putrinya, saat itu pula ia merasa telah kembali memiliki putrinya. Ada rasa bahagia yang begitu menyenangkan yang tiba-tiba memenuhi dadanya. Hanya dengan sedikit rasa khawatir dari Caroline, ia akan menutup usianya dengan bahagia.

Dengan suara agak serak, ia bertutur, "Justru karena itu. Luka-lukanya akan menetap sementara kau hidup abadi, Carol...."

"....pergilah."

Bertepatan dengan itu, terdengar ledakan dari istana. Membuat gumpalan api semakin menggulung, asapnya bak memenuhi seisi bumi, menenggelamkan warna biru cerah milik sang langit.

Ratu Odelia membiarkan tangannya jatuh menyentuh tanah. Sementara Caroline beranjak dengan perasaan ragu, langkahnya terasa amat berat. Ia membenci Ibunya, ia tidak berbohong mengenai hal itu. Kendati demikian, rasanya tetap sulit kalau harus membiarkan seseorang mati dimakan gumpalan api, sementara kau bisa saja membawanya ikut pergi.

Dengan segala perasaan bimbang yang tersisa, Caroline bangkit dan pergi meninggalkan istana. Menggendong anjing kesayangan Ibunya ikut serta. Ia tak menoleh sedikit pun. Tidak sama sekali. Tidak untuk melihat Ratu Odelia meregang nyawa.

Di sisi lain, sang Ratu memandang punggung putrinya penuh makna. Bersamaan dengan setetes air mata yang berhasil jatuh, ia berucap lirih, "Maaf atas segala kesalahan yang pernah Ibu pilih."

Tak seberapa lama, pandangan Ratu Odelia mengabur. Yang terakhir kali dilihatnya adalah sosok Caroline yang berbalik, kembali berjalan ke arahnya. Putrinya terlihat amat khawatir. Akan tetapi, langkahnya selalu tertahan, tubuhnya selalu terdorong oleh orang-orang yang berlarian. Bahkan orang-orang itu tak peduli bahwa Caroline adalah seorang putri. Sebelum Caroline benar-benar ditenggelamkan oleh kelopak matanya, Ratu Odelia tersenyum tipis. Tipikal senyum perpisahan yang juga menandakan kedamaian.

"Violine!"

Suara itu menyusup ke dalam telinganya, menghentikan langkah Caroline yang hendak melawan arus para manusia yang tengah lari dari kobaran api.

"Violine!"

Lagi, suara itu terasa menggema di seluruh sudut kerajaan. Namun, anehnya, hanya Caroline yang mampu mendengarnya. Hanya Caroline yang diinterupsi gerakannya, bahkan ia sampai terjatuh saat orang-orang yang berlari benar-benar tak terkendali.

"Violine, wake up!"

Ia terinjak, terdorong, dan kesulitan untuk bangkit. Sedangkan suara itu terus memenuhi gendang telinganya, meneriakinya, membuatnya menutup telinga kuat-kuat dengan kedua tangan. Ia terisak di antara kekacauan, tersisih, sembari memeluk dirinya ketakutan.

Di sisi lain, anjing kesayangan Ratu Odelia berbaik hati menemaninya. Layaknya manusia yang memiliki simpati, anjing itu mengelus kepala Caroline menggunakan tangannya.

"Wake up!"

Tiba-tiba, sesuatu seperti menarik kesadaran Caroline. Membuatnya pening bukan kepalang. Sampai akhirnya, ia terbangun di atas kasur empuk dengan napas terengah-engah. Tubuhnya bak mandi keringat sekarang, pendingin ruangan yang ada di sana sama sekali tidak membantu. Caroline sadar, sudah sepenuhnya sadar, dan ini bukan lah kali pertama Caroline memimpikan hal yang sama. Bahkan setiap detailnya tak pernah terlupa sedikit pun.

Mimpi itu, tidak, kenangan itu benar-benar menjelma menjadi mimpi buruk baginya. Menghiasi hampir setiap malamnya dan terkadang merusak jam tidurnya.

"Are you okay?"

Pertanyaan itu keluar dari bibir seseorang yang memanggilnya Violine tadi. Caroline tahu siapa pemilik suara itu sekarang. Dia adalah Oriel, dulu adik angkatnya, tetapi sekarang menjelma menjadi gadis cantik yang lebih cocok menjadi kakaknya. Sebab usia Oriel bertambah, tetapi Caroline tak sedikit pun menua.

Caroline hanya memberikan pandangan kosong pada Oriel, dengan sedikit gumam untuk menjawab pertanyaan gadis itu.

"Kau bermimpi tentang Ibumu lagi?"

Meskipun benci mengakuinya, tetapi tak dapat dimungkiri kalau perasaan hangat itu menyetubuhinya setiap kali seseorang menatapnya dengan perasaan khawatir, seperti yang dilakukan Oriel saat ini. Wanita ini terlihat sangat tulus, Caroline diperlakukan seperti keluarga sungguhan.

"Tenangkan dirimu, setelah itu kita berkemas," pungkas Oriel sesaat setelah mengelus rambut Caroline.

"Kita mau ke mana?" tanya Caroline pelan. Ia masih kehilangan sebagian suaranya.

"Kau sudah tinggal terlalu lama di kota ini, orang bisa tau kau tidak menua."

"Hanya karena itu?"

Oriel berhenti sejenak. "Nope. Ada kasus yang harus aku tangani, dan itu tidak di sini."

"Kau bersiaplah, aku akan membuatkan identitas baru untukmu." Oriel beranjak pergi setelah mengungkapkan hal itu, ia membuka lemari pakaian dan mulai mengemasi barang-barangnya sendiri.

"Caroline," tukas Caroline tiba-tiba.

Oriel terdiam, mengernyit tak mengerti. Bahkan ia menghentikan gerakan tangannya yang tengah memasukkan baju ke dalam koper.

Oriel tak perlu mengajukan tanya, karena Caroline sendiri yang memberikan penjelasannya. "Aku ingin memakai nama itu."

"Baiklah, Violine—oh tidak, Caroline."

Mereka bertukar tatap. Mata indah keduanya memiliki binar yang berbeda, yang masing-masing membawa maknanya sendiri.

•••

Beberapa hari kemudian....

Benda besi itu berjalan konstan dengan empat roda di bawahnya. Entah bagaimana caranya bekerja, Caroline tidak paham dan memang tidak mencoba memahaminya. Satu hal yang pasti, benda itu berhasil membawa Caroline dan Oriel sampai di kota tempat tinggal baru mereka.

Kota ke sekian yang harus menjadi rumahnya. Entah sudah berapa lama Caroline pindah dari satu kota ke kota lain, mengubah nama dan segala hal tentangnya. Semua itu ia lakukan tak lain dan tak bukan agar tak ada yang mengetahui kondisinya, tak ada yang menyadari bahwa Caroline hidup abadi.

Caroline bukan tipe gadis romantis seperti Oriel. Pemandangan apa pun di luar sana, yang saat ini menjadi perbincangan Oriel karena katanya sangat cocok untuk menikmati akhir pekan bersama pasangan, tidak sedikit pun menarik minat Caroline. Ia tetap terpejam, sembari mendengarkan apa pun yang dikatakan gadis di sampingnya.

Agak berisik dan mengganggu telinga sebenarnya. Namun, itu lebih baik daripada tak mendengar suaranya sedikit pun. Hidup mengajari Caroline banyak hal, termasuk menghargai eksistensi seseorang yang masih ia miliki. Yang masih ditangkap indra-indranya. Sebelum mereka tak dapat dilihat lagi.

"Nah, Vio—ah Carol. Kita tinggal di sini sekarang. Di Kota Oswald," ungkapan Oriel membuat Caroline membuka kelopak matanya yang tertutup. Bahkan kini agak membelalak, terbuka sedikit lebih lebar dari biasanya. Sesuatu telah berhasil menarik atensinya.

"Oswald?" Ada nada keterkejutan di sana, tetapi Caroline cukup pandai untuk tidak terlalu menampilkannya.

"Ya." Oriel masih sibuk dengan setirnya, sambil memperhatikan sekeliling dengan tatapan penuh minat. Senyum semringah tidak pernah lepas dari wajah rupawan miliknya. Sampai akhirnya, ia menyadari ada yang janggal dari keterdiaman Caroline.

Oriel memalingkan wajahnya ke arah Caroline dan mendapati gadis itu tengah membisu, dengan pandangan yang terus menelisik apa pun yang dilewati mereka, di luar jendela sana. Padahal Oriel tahu, seharusnya tak satu pun hal di luar sana menarik minat Caroline.

Gadis itu sudah hidup ratusan tahun, tinggal di banyak kota, dan seharusnya Oswald tak memiliki apa pun untuk kembali menarik minatnya memandang dunia. Kecuali ... kecuali sesuatu pernah terjadi di kota ini, Kota Oswald.

"Carol, ada yang salah?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
AK-17
Bahasanya enak banget buat dinikmati
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • REINCARNATION    [2] Mereka yang Bereinkarnasi

    ~¤THE CURSE OF ETERNAL LIFE¤~ ____________________________ "Beberapa pertemuan terasa menyakitkan, meskipun bagian dari hal yang didambakan." ~¤~ Beberapa minggu kemudian....Caroline. Gadis dengan usia tujuh belas tahun itu tengah berjalan dengan tempo yang teratur, rambut cokelat keemasan miliknya berkibar searah dengan embusan angin. Setelah berjalan beberapa meter dari halte bus, akhirnya ia sampai di depan gerbang Origin High School. Gerbang itu menjulang tinggi dengan bagian atas bak bentuk segi tiga. Warna emas klasik yang membalut benda terbuat dari besi itu memantulkan cahaya mentari, membuat permukaannya tampak mengkilap. Bersama Caroline, ada ratusan siswa yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sedang mengobrol, memainkan ponsel, atau sekadar menelisik keadaan sekitar seperti yang Caroline lakukan sekarang. Kendati demikian, mereka memiliki alasan yang sama, yaitu menunggu gerbang Origin High School terbuka. Pukul tujuh tepat, menara yang ada di dalam wi

  • REINCARNATION    [3] Sebuah Pengalihan

    ~¤THE CURSE OF ETERNAL LIFE¤~ ____________________________ "Manusia tak pernah benar-benar mengerti, alasan Tuhan mengirim seseorang lalu mengambilnya kembali." ~¤~ Oriel. Gadis yang lebih tua beberapa tahun dari Caroline itu dikenal sebagai kakak Caroline. Akan tetapi, itu kebohongan besar. Caroline merupakan anak tunggal. Lagi pula, seharusnya, Caroline lah yang menjadi kakak Oriel. Sebab, saat Caroline menemukan Oriel mengemis di jalanan, gadis itu baru berusia sembilan tahun. Terlihat kumuh dan menyedihkan. Sampai akhirnya, Caroline memberi Oriel hidup yang lebih layak. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia memperlakukan orang lain bak keluarga sendiri. Bahkan lebih baik daripada saat ia memperlakukan ibunya. Oriel istimewa, dia berbeda. Betapa pun sulitnya, Oriel tetap mencoba memahami keadaan Caroline yang selalu di us

  • REINCARNATION    [4] Wajah yang Sama

    Tak satu pun sesuatu di depannya menjadi objek penglihatan Caroline. Justru pikirannya mengelana ke suatu tempat yang hanya bisa dijangkau imajinasinya. Masa lalu. Tempat yang benar-benar ingin ia datangi kembali. "Kau mengabaikanku lagi?" Wajah Caroline memberengut saat menyadari bahwa Chaiden tidak mendengarkan celotehannya, laki-laki itu malah sibuk dengan seonggok buku usang. "Aku tidak mengabaikanmu," sanggah Chaiden, tetapi pandangannya tak sedikit pun berusaha menatap Caroline. "Lalu apa yang tengah kau lakukan, Mr. Chai?" "Mengamatimu." Mendengar pengakuan Chaiden membuat kedua alis Caroline menyatu, ia mengernyit tak paham. Lantas giginya bergemelatuk akibat rasa kesal yang membuncah. "Kau bahkan tidak menoleh ke arahku!" "Kau benar-benar tidak sopan, Tuan. Aku ini putri, pewaris tunggal Oswald Kingdom." "Ah, kalau begitu tulisan ini sama sekali tidak benar. Bagaimana seorang putri yang sombong

  • REINCARNATION    [5] Kecupan Singkat

    Ada saatnya Caroline ingin berhenti menyalahkan semesta, mungkin semua memang salahnya. Tidak seharusnya ia memiliki hubungan dengan seseorang dari kasta Blackton. Akan tetapi, sulit untuk melakukan itu semua. Sebab sampai saat ini, Caroline masih tidak mengerti mengapa jatuh cinta beda kasta adalah sebuah dosa?Sudah beberapa hari terakhir, ia kesulitan untuk fokus. Itu semua karena Chaiden, oh tidak, Garvin. Percakapan mereka tempo hari; saat di tepi lapangan, masih begitu membekas di ingatan Caroline. Ada sesuatu di dalam mata laki-laki itu yang lagi-lagi menariknya dan membuatnya semakin yakin kalau dia adalah Chaiden."Melamun lagi, huh?"Caroline memilih diam dan tidak menanggapi pertanyaan Frank. Terhitung sejak kedatangannya ke ORIS laki-laki berambut pirang itu selalu mengganggunya. Menyebalkan dan sangat membuat ia risih. Namun, ada hal yang membuat Caroline membiarkan Frank tetap berada di si

  • REINCARNATION    [6] Manusia atau Bukan

    "Aku nyaris saja percaya dengan ucapanmu."Kedua kaki Caroline berhenti melangkah, pandangan yang tadinya memperhatikan ujung sepatu miliknya kini beralih ke arah Garvin. Sontak saja kedua iris mata mereka bersitatap, karena sedari tadi Garvin memang sedang memperhatikan Caroline. Hari ini mereka pulang sekolah bersama, hanya secara kebetulan bukan atas perencanaan.Setelah membiarkan Garvin menerawang ke dalam mata hazel miliknya, akhirnya Caroline berujar, "Itu semua memang benar."Mereka membiarkan beberapa saat berlalu tanpa sepatah kata pun terucap. Keduanya sama-sama membatu. Masing-masing dari mereka menyimpan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Garvin, ia masih mempertanyakan kebenaran dari ucapan Caroline. Apa benar mereka pernah hidup bersama di kehidupan sebelumnya?Berbeda dengan Caroline, kini ada pertanyaan baru yang hinggap di kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Chaiden sebagai hukuman dari perbuatan mereka? Apakah Chaiden dihuk

  • REINCARNATION    [7] Nostalgia Masa Lalu

    Caroline sedang merapikan mejanya, memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas, saat embusan angin datang bersama seseorang yang menyerukan namanya. Orang itu berambut pirang dan berwajah ceria saat menyapa Caroline. "Carol!" Caroline yang saat ini meraih jaket hitam lusuh untuk dikenakan tidak sedikit pun memberi Frank balasan. Tidak dengan bergumam ataupun melirik meski hanya sebentar. Kendati demikian, laki-laki berambut pirang itu tidak sedikit pun kehilangan keceriaannya. Masih dengan nada bersemangat yang serupa ia mengajak, "Ayo ke perpustakaan hari ini." "Aku tidak ke sana," balas Caroline tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama. "Tidak jadi menemui Dorothy?" Mata biru langit milik Frank menatap penuh tanda tanya tepat ke arah mata hazel gadis di depannya. Yang membuat Caroline nyaris berdecak kagum karena keindahan matanya. "Hm." "Ada apa? Bukankah kasusmu harus diselesaikan?" "Kasus?" Kali ini gadis bermata hazel yang menampilkan tatapan bertanya. Antara merasa h

  • REINCARNATION    [8] Nostalgia Masa Lalu (lagi)

    "Aku tidak tahu ada tempat seperti ini di Oswald."Frank benar, Caroline pun sepemikiran dengannya. Ia tidak pernah menyangka—dan cukup yakin orang lain pun sama—ada tempat seperti ini di Kota Oswald. Arsitekturnya terlihat sangat kuno—seperti telah di desain sejak puluhan ribu tahun lalu—dengan warna krem dan cokelat keemasan yang mendominasi. Meskipun warnanya telah kusam dimakan cuaca dan usia, tetapi tetap tidak menghilangkan kesan mewah sekaligus tradisionalnya.Bangunan-bangunan yang menjulang berhimpitan itu mirip pertokoan yang dulu pernah ia lihat di Oswald Kingdom, London merupakan salah satu tempat yang menurut Caroline menyerupai Oswald. "Ini pasar?" cetus Caroline saat ia yakin kalau tempat yang saat ini mereka jelajahi memang sebuah pasar. Sadar bahwa ia yang dihadiahi pertanyaan, secara refleks Garvin menoleh ke arah gadis di sampingnya. Mata cokelat terang yang dibingkai sepasang alis tebal itu menatap Caroline dalam. "Ya, dulunya." Caroli

  • REINCARNATION    [9] Panti Asuhan Dorothy

    A Place Without A Name***Caroline semakin menggila, gerak bibirnya semakin brutal. Begitu pun dengan Chaiden, pandangannya sudah dipenuhi api gairah yang Caroline tidak yakin laki-laki itu bisa menahannya. Tepat ketika Chaiden mengecup leher jenjang Caroline, saat itu pula Caroline terkekeh sembari berkata, "Kita tidak mungkin melakukannya di sini, 'kan?" Ini hutan. Caroline cukup yakin ada banyak binatang buas di dalamnya. Lagi pula, terlalu sembrono jika mereka harus melakukannya di sini. Maksudnya, hei, Caroline adalah seorang putri mahkota, ia bisa melakukannya di tempat yang lebih layak. Akan tetapi, Caroline tidak yakin Chaiden mendengarkan. Laki-laki itu tetap dengan aktivitasnya. Lidahnya menelusuri kulit putih Caroline dari mulai tulang selangka sampai ke belakang telinga. Begitu berulang-ulang sampai-sampai Caroline tak mampu menahan desahannya. Ia juga tidak sanggup untuk menolak—karena ia pun menginginkannya—alhasil ia hanya menengadah dengan jari-jemari yang terus memai

Bab terbaru

  • REINCARNATION    (23) Akhir dari Wisata Masa Lalu

    Oriel mendengar degup jantungnya lebih jelas daripada bisingnya hiruk pikuk kelab. Dentuman musik yang biasanya membuat kepala pening mendadak kesulitan untuk menyampaikan getar pada daun telinganya. Terdengar hiperbolis, dan memang benar adanya, Oriel terlalu berlebihan mendeskripsikan segala sesuatunya. Akan tetapi, ia berani bersumpah kalau saat ini detak jantungnya memang terdengar sangat jelas di telinganya sendiri.Beberapa orang selalu terdengar lebay ketika membicarakan kupu-kupu terbang yang ditimbulkan seseorang; perasaan bergejolak aneh yang mampu menyedot habis kewarasanmu. Dan sialnya, saat ini Oriel menjadi bagian dari beberapa orang itu. Tidak tahu sejak kapan. Namun, sudah bukan rahasia kalau senyum yang dimiliki Frank mampu menimbulkan efek luar biasa. Persis seperti saat ini. Frank terlihat berkali-kali lipat lebih tampan saat menggunakan setelan kasual daripada seragam sekolahnya. Meskipun begitu, karisma yang ditimbulkan tawanya tidak pernah menjadi lebih baik ata

  • REINCARNATION    [22] Laki-Laki Babi

    Tiga belas tahun silam....Wajah kumal gadis kecil itu tecermin di kaca kedai. Gaunnya yang koyak moyak mendukung kata suram untuk disematkan padanya. Ia terlihat seperti sedang memandangi pantulan wajahnya sendiri, meratapi nasib tentang betapa buruk rupanya dia—padahal tidak, dia sebenarnya cantik, gadis kecil yang rupawan. Dan padahal tidak, dia sebenarnya tengah memperhatikan orang asing yang sedang melahap sarapannya. Entah apa nama makanan itu, dia tidak tahu, tetapi tumpukan daging, selada, tomat (dan entah apa lagi) yang ditumpuk roti di kedua sisinya itu sukses membuat perutnya semakin keroncongan. Rasa lapar yang sejak tadi pagi ia tahan semakin menggebu-gebu untuk dipuaskan. Malam tadi, ia berhasil mencuri dua buah croissant dari sebuah bakery di ujung jalan, tetapi ia tidak yakin keberuntungan akan tetap berpihak padanya hari ini. Di tengah pergulatan isi kepala dengan perutnya yang keroncongan, gadis kecil itu tiba-tiba memekik agak keras tatkala wajah laki-laki babi bera

  • REINCARNATION    [21] Kejujuran Oriel

    Keheningan kali ini terasa berbeda dari biasanya, ada kepanikan yang diam-diam menyebar. Menular dari satu sama lain antara dua insan yang berada di dalam benda besi beroda empat itu. "Apa keadaan di sana sangat kacau?" Caroline bertanya lebih dulu setelah melihat betapa cemas wajah Garvin. Garvin tak cepat-cepat menjawab, ada sesuatu yang sedari tadi mengganggu pikirannya, menghalau pertanyaan Caroline untuk menyapa indra pendengarannya.Detik berganti menit, Caroline tak kunjung mendapat jawaban, tetapi laju mobil yang semakin dipercepat Garvin cukup untuk memperjelas keadaan di sana. Sepertinya saat Garvin mengatakan Cecilia mengamuk, itu dalam artian benar-benar mengamuk. Caroline tidak tahu seberapa besar kerugian yang akan ditimbulkan gadis pemilik liontin puzzle itu. Ia memiliki firasat buruk tentang nyawa orang-orang. Mungkin hal ini terdengar tiba-tiba, tetapi saat Caroline berusaha mengaitkan benang merah satu per satu, ia mulai berpikir mungkin saja pembunuh Adrian Joe a

  • REINCARNATION    [20] Perihal Lupa Melupakan

    Perasaan apa pun yang saat ini tengah dirasakan oleh anjingnya, hal itu seolah terhubung dengan Caroline. Membuat gadis itu dapat merasakan hal yang sama. Amarah bercampur rasa sedih menyatu di dalam dirinya, menimbulkan rasa sesak yang menjerat dada.Pasti ada sesuatu yang baru saja dialami anjing itu, pikir Caroline. Bahkan, ketika mentari hendak kembali ke peraduannya dan rembulan akan menempati singgasana, anjingnya masih tampak berbeda. Dia menjadi lebih pendiam dan tidak mengganggu Caroline seperti biasanya. Mendadak Caroline juga hilang keberanian untuk menghampiri anjing itu. Ia takut. "Besok pagi, dia akan mengganggumu lagi," cetus Frank yang entah datang dari mana. Tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Caroline. "Bagaimana kau bisa berpikir begitu?" balas Caroline dengan sebuah pertanyaan, tetapi ia sama sekali tidak menengok ke arah Frank yang saat ini mengambil alih tempat di sampingnya, serta mendudukkan bokongnya di sana. Sekarang mereka berdua sama-sama duduk di an

  • REINCARNATION    [19] Will, Si Anjing

    Dari yang Caroline tangkap, sejak hari itu Frank dan Oriel sering bertemu dan berlatih menembak bersama. Serta yang Caroline tahu, Frank dengan senang hati membantu Oriel karena dia sangat menyukai apa pun tentang detektif. Caroline nyaris berpikir kalau itu hanya alibi dan sebenarnya Frank menyukai Oriel. Yah, usia mereka memang terpaut cukup jauh, dan Oriel tidak mungkin mau menjalin hubungan dengan bocah ingusan yang usil seperti Frank. Namun, itu tidak mustahil bagi Frank, dia bisa saja jatuh cinta pada Oriel dan tidak mementingkan usia. Dua orang itu sedang sibuk membicarakan hal-hal remeh saat tiba-tiba Garvin berujar, "Boleh aku ikut terlibat?"Oriel yang sedang mengendalikan kemudi menoleh sebentar, begitu pun dengan Caroline. Si gadis berlesung pipi—Oriel—itu terkekeh dulu sebelum membalas, "Kau sebenarnya sudah terlibat cukup jauh, Chai.""Ori," geram Caroline saat mendengar nama Chai. Ia bahkan belum yakin apakah Chaiden dan Garvin adalah dua orang yang sama. Akan tetapi,

  • REINCARNATION    [18] Darkling Beetle

    Gelapnya langit malam tidak pernah sekelam jubah yang ia kenakan dan terangnya biru lautan tak bisa mengalahkan sorot matanya. Sayang beribu sayang, tidak ada yang dapat melihat mata biru terang di balik jubahnya. Hanya seonggok senyum culas yang terlihat. Frank tidak pernah benar-benar menikmati hidupnya, kecuali ketika ia bersama si gadis abadi—Caroline. Ia sudah cukup lama berkelana, dari satu kota ke kota lainnya, tidak satu pun gadis yang ia temui berhasil menggantikan posisi Caroline. Katakan Frank hanya terobsesi dan kalian sudah pasti salah besar. Frank sama sekali tidak terobsesi, dia sungguh-sungguh mencintai gadis itu. Kalau ada kata yang akan membuatnya terdengar lebih hiperbolis, Frank akan dengan senang hati mengucapkannya sekarang juga. Frank sudah mengikuti ke mana pun Caroline pergi, menyaksikan bagaimana gadis itu mengubah namanya berkali-kali dan sekarang gadis itu bernama Violin. Tidak penting nama apa yang dipilihnya, Caroline tetap akan menjadi Caroline. Putri t

  • REINCARNATION    [17] Alibi Oriel

    Serangkaian kebohongan keluar dari bibir Oriel ketika Caroline bertanya, "Jadi kalian bertemu di bus? Pertemuan yang romantis, tetapi aku tidak mengerti mengapa Frank bisa ikut andil dalam kasus ini."Oriel tidak memikirkan jawaban apa pun sebelumnya, hal-hal yang ia tuturkan kepada Caroline terjadi karena refleks. Dia tahu betul kalau identitas Frank sebagai Darkling Beetle tidak boleh diketahui siapa pun. Kalaupun Caroline boleh tahu, bukan Oriel yang memiliki hak untuk memberi tahunya. Jadi, Oriel mengisahkan kalau dia mengikuti Frank turun di halte ... entah nomor berapa dan dia tidak tahu bagaimana caranya pulang ke rumah. Hal itu tidak sepenuhnya alibi, saat itu Oriel memang tidak tahu dia sedang di mana. Maklum, Oswald masih begitu asing di matanya. Oriel bilang, saat itu Frank menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Akan tetapi, mereka masih sibuk berdiskusi saat tiba-tiba sebuah mobil mercedes berhenti di depan halte. Atasan Oriel keluar dari mobil itu dan memberi tahu ka

  • REINCARNATION    [16] Sepenggal Kisah Oriel

    Setelah mendengar cerita Oriel tentang pertemuannya dengan Frank, si rambut pirang jadi tidak terlalu mencurigakan sekarang. Wajar saja laki-laki itu mengetahui kasus Andrian Joe yang sedang diselidikinya dan percuma saja Caroline menyembunyikannya dari Frank. Toh, laki-laki itu juga ikut andil dalam kasus ini. Caroline tidak berniat meminta maaf kepada Frank walaupun saat ini Oriel dan laki-laki itu tengah menertawakannya. Bagi Caroline bukan suatu hal buruk kalau ia mencurigai Frank, toh, si rambut pirang memang pantas dicurigai. Kisah pertemuan kedua orang itu cukup menarik dan cukup berkesan untuk diingat. Kalau tidak salah—berarti benar—pertemuan mereka terjadi pada hari kedua Oriel menghirup udara Oswald. Saat itu...."Carol, apa kau tidak akan ikut?"Caroline tahu Oriel sedang melakukan pemanasan di teras rumah saat ini, gadis yang sudah pasti berusia jauh lebih muda (tentu saja, 'kan Caroline abadi) darinya itu bersiap hendak jogging sambil mengenal lingkungan sekitar. Akan

  • REINCARNATION    [15] Perjalanan Pulang

    Frank tidak membiarkan perjalanan pulang mereka diselimuti keheningan, ia sudah siap dengan berbagai pertanyaan. Dan pertanyaan pertamanya adalah, "Bagaimana? Kau sudah menemukan yang kau cari?"Tentu saja Caroline sudah tahu pertanyaan seperti itu akan didengarnya. Oleh sebab itu ia meminta buku kepada Dorothy, yang entah bagaimana wanita tua itu memiliki buku langka Oswald. Tidak tahu dia sudah pernah membacanya atau tidak. Akan tetapi, Caroline berharap opsi kedua yang menunjukkan kebenaran, karena kalau Dorothy sudah membacanya, dia pasti melihat wajah Caroline di dalam buku itu. Kalaupun opsi pertama yang benar, Caroline berharap wanita tua itu cukup pikun untuk melupakan keseluruhan isi bukunya. "Ini." Caroline menunjukkan buku yang tadi diambilnya dari Dorothy. Tales of Royal Aristocrat dicetak dalam ratusan—bahkan ribuan pada masanya. Seiring bergulirnya zaman buku itu masih terkenal dan beberapa dicetak dalam bentuk yang lebih modern, tetapi yang Caroline pegang saat ini adal

DMCA.com Protection Status