Tak satu pun sesuatu di depannya menjadi objek penglihatan Caroline. Justru pikirannya mengelana ke suatu tempat yang hanya bisa dijangkau imajinasinya. Masa lalu. Tempat yang benar-benar ingin ia datangi kembali.
"Kau mengabaikanku lagi?" Wajah Caroline memberengut saat menyadari bahwa Chaiden tidak mendengarkan celotehannya, laki-laki itu malah sibuk dengan seonggok buku usang.
"Aku tidak mengabaikanmu," sanggah Chaiden, tetapi pandangannya tak sedikit pun berusaha menatap Caroline.
"Lalu apa yang tengah kau lakukan, Mr. Chai?"
"Mengamatimu."
Mendengar pengakuan Chaiden membuat kedua alis Caroline menyatu, ia mengernyit tak paham. Lantas giginya bergemelatuk akibat rasa kesal yang membuncah. "Kau bahkan tidak menoleh ke arahku!"
"Kau benar-benar tidak sopan, Tuan. Aku ini putri, pewaris tunggal Oswald Kingdom."
"Ah, kalau begitu tulisan ini sama sekali tidak benar. Bagaimana seorang putri yang sombong nan sarkas sepertimu disebut anggun dan baik hati?"
Caroline melihat ke arah buku yang tengah dipegang Chaiden. Buku itu menampilkan ilustrasi putri Oswald Kingdom, yang tak lain adalah dirinya, dengan kisah hidup yang menyertainya. Juga kata-kata yang mengagung-agungkan para penghuni istana, termasuk dirinya. Ternyata sedari tadi Chaiden membaca buku tentang orang-orang istana, dan laki-laki itu terpaku memperhatikan Caroline dalam bentuk gambar.
Chaiden kembali berbicara, "Hei, lihat! Mereka bahkan mengatakan kau memesona, sedangkan yang aku lihat kau benar-benar menjengkelkan."
"Beraninya kau!" Caroline menggeram.
Tak seberapa lama, Caroline mengambil paksa buku itu dan melemparnya ke sembarang arah. Setelah itu, suara khasnya yang dibalut amarah menyapa gendang telinga Chaiden.
"Jika ingin mengamatiku, kenapa tidak secara langsung?! Kenapa kau perhatikan gambar itu dan mengabaikanku? Apa aku terlihat lebih cantik saat di dalam kertas?!"
Napas Caroline tampak tersengal setelah mengucapkan kalimat itu. Ia benar-benar kesal. Sejak pertemuan pertamanya dengan Chaiden, laki-laki itu selalu saja mengabaikannya. Padahal, laki-laki lain di seluruh penjuru kerajaan sangat ingin bertemu dengan Caroline.
Setelah melihat Caroline selesai dengan ucapannya, Chaiden melangkah mendekat ke arah gadis itu. Pelan dan mengintimidasi. Tatapannya menusuk tepat ke manik mata Caroline, ia tak berniat untuk mengalihkan pandangan sedikit pun. Benar-benar hanya Caroline yang menjadi objek penglihatannya.
Hal itu membuat Caroline merasa gugup. Sebelumnya, tak ada seorang pun yang berhasil mengintimidasi Caroline, kecuali sang raja. Akan tetapi, tatapan Chaiden benar-benar baru baginya. Sepasang mata itu tampak meneduhkan di bawah kedua garis alis yang tegas, tetapi tatapan meneduhkan itu terlalu dalam. Memberikan kesan menakutkan dan romantis di saat yang bersamaan.
"Apa yang akan kau lakukan?" lirih sekali suara yang Caroline keluarkan. Maklum saja, detak jantungnya semakin tak terkendali seiring dengan jarak yang semakin dekat di antara keduanya.
Caroline nyaris tidak bisa bernapas, bahkan ia kehilangan wibawanya saat dengan lancang Chaiden menarik pinggulnya. Lengan lelaki itu yang lain berjalan di atasnya punggungnya dengan teramat pelan. Mulai dari punggung bagian bawah, hingga berakhir di punggung atas Caroline yang tak terbalut gaun. Otomatis telapak tangan Chaiden yang agak kasar bersentuhan langsung dengan punggungnya. Laki-laki itu menekan telapak tangannya di sana, sampai membuat Caroline terdorong mendekat.
Tubuh keduanya benar-benar menempel, hanya tersisa jarak beberapa inci di antara wajah mereka. Caroline bisa merasakan hangat embusan napas Chaiden, bau roti dari tubuh laki-laki itu menguar dan memenuhi penciumannya. Ia nyaris terbawa suasana dan hendak mencium bibir kenyal Chaiden, jika saja kekehan laki-laki itu tidak menggema di telinganya.
"Yang kulakukan adalah mengamatimu, Nona," kekeh Chaiden sembari menyelipkan anak rambut Caroline ke belakang telinganya.
"Dan apa yang sedang kau lakukan? Menikmati sentuhanku, hm?"
Ejekan Chaiden membuat Caroline kembali menguasai kewarasannya, ia langsung mendorong dada bidang laki-laki itu kuat-kuat. Mundur satu langkah dan bersiap mengomeli Chaiden dengan berbagai kata sumpah serapah. Namun, laki-laki itu lebih dulu berkata, "Tidak usah menyangkal, matamu mengatakan segalanya tadi."
Caroline terdiam. Ia sungguh dibuat malu sekarang.
"Lain kali, jika ingin menggangguku jangan pada jam kerja. Datanglah ke tepi dermaga setiap pukul sembilan malam. Sampai jumpa, Nona," pungkas Chaiden, kemudian ia berlalu dari hadapan Caroline setelah memberi penghormatan.
Perlahan bangunan-bangunan kerajaan di pandangan Caroline mengabur, semakin buram seiring menjauhnya Chaiden dari jangkauan. Sampai pada akhirnya, semuanya berubah menjadi putih, bahkan sosok Chaiden pun mengabur di pandangannya. Semakin jauh dan semakin tak terjangkau penglihatan. Kemudian, pemandangan di depannya berubah menjadi lapangan baseball, beberapa manusia tengah sibuk beraktivitas di sana.
Di sisi lain Caroline pun sudah tak mengenakan gaun bangsawannya. Tak ada mahkota di kepalanya. Yang ada hanyalah topi baseball dan seragam olahraga khas Origin High School.
Ia telah sepenuhnya kembali dari nostalgia masa lalu. Sebab di sinilah ia berada sekarang, lapangan baseball Origin High School, tengah menjalani mata pelajaran olahraga bersama teman-teman sekelasnya. Terlihat seperti gadis normal pada umumnya, tetapi ia jelas-jelas berbeda dari mereka.
Kringgg....
Bunyi bel berdering teramat nyaring, memenuhi seantero sekolah dan berhasil menghentikan kegiatan teman-teman sekelasnya. Banyak di antara mereka yang bergegas meninggalkan lapangan dan beralih menuju kafetaria, sedangkan sisanya tetap bermain baseball walaupun jam pelajaran telah usai.
Tak usah bertanya mengenai Caroline, karena gadis itu masih bergeming di tempatnya. Memperhatikan seorang siswa yang masih sibuk dengan tongkat baseballnya, badannya sudah bermandi keringat. Tangannya bahkan berkali-kali mengusap kening, menghalau keringat yang hendak menyentuh matanya. Kedua alisnya yang tertaut pun turut menjadi perhatian Caroline dan ia berani bersumpah, bahwa setiap pahatan wajahnya sangat mirip dengan Chaiden.
Tidak. Melainkan Caroline memang percaya kalau Garvin adalah Chaiden, kekasihnya. Seseorang yang Caroline pikir tidak akan melupakannya, meskipun telah lahir untuk yang kesekian kalinya. Namun, semesta memang tidak pernah suka melihatnya bahagia. Hingga untuk kesekian kalinya, Caroline bertemu dengan seseorang yang begitu penting di hidupnya, dan untuk kesekian kalinya pula, Caroline telah dilupakan begitu saja.
Kenangan tentang hubungan mereka, benar-benar tak bersisa bagi Chaiden.
"Kenapa kau juga menjadi bagian dari mereka, orang-orang yang melupakanku, Mr. Chai?"
***
"Hei, Carol!"
Caroline menoleh ke sumber suara. Hasilnya, seorang laki-laki berambut pirang lah yang menyapa penglihatannya. Laki-laki itu bertubuh lebih pendek darinya, dengan wajah ceria yang menambah kesan imut dalam dirinya. Caroline sedikit tidak percaya kalau laki-laki itu adalah teman sekelasnya.
"Ayo ikut denganku!"
Laki-laki itu menarik lengan Caroline tanpa meminta izin terlebih dahulu. Caroline yang diperlakukan seperti itu, bergeming di tempatnya, bahkan ia menepis tangan laki-laki itu.
"Kau siapa?"
Laki-laki itu memiringkan kepalanya, tatapannya tampak seperti bocah polos yang sedang terheran-heran. "Bukankah kita sudah pernah kenalan? Beberapa hari yang lalu, di hari pertamamu, kau lupa? Aku Frank, namaku Frank "
"Ah, ya."
"Karena kau tidak punya teman, jadi ayo ke kafetaria bersamaku."
Di kala laki-laki itu hendak menariknya lagi, Caroline menyela, "Aku ada urusan lain."
"Oh, ayolah, kau tidak diizinkan menolak, Nona."
Lagi-lagi Frank hendak menarik pergelangan tangan Caroline lagi, tetapi kali ini seseorang melepasnya. Menepis tangan Frank dengan cara yang cukup kasar.
"Dia tidak mau."
Frank menatap Garvin tak suka, begitu pun sebaliknya. Atmosfer di sana mendadak agak menegangkan. Namun, yang Caroline lakukan hanyalah memperhatikan wajah Garvin. Menelusuri setiap lekuk wajah laki-laki itu dengan kedua bola matanya, hasilnya, dari sisi mana pun Caroline yakin dia adalah Chaiden.
"Jangan ikut campur," tegas Frank dengan nada rendah yang sangat kontras dengan wajahnya. Image imut yang tadi melekat bak lenyap tertelan embusan angin.
"Aku ada urusan dengannya, Frank," sela Caroline. Ia tidak sepenuhnya berbohong, karena memang harus ada yang dibicarakan antaranya dengan Garvin.
"Tapi Carol—"
"Bisa tinggalkan kami berdua, Frank?" Pertanyaan Caroline yang satu ini dihiasi nada perintah yang teramat kentara. Ia benar-benar mengusir Frank rupanya.
Dengan wajah tertekuk yang imut, Frank berlalu dari hadapan mereka. Menyisakan atmosfer canggung yang tercipta antara dua insan yang mendadak bisu itu.
Tak ada sepatah kata pun yang berhasil lolos dari bibir Caroline. Suaranya entah hilang ke mana, ia malah tergagu memperhatikan Garvin. Sementara laki-laki itu pun mulai merasa risih dengan tatapan Caroline, sampai akhirnya ia membuka suara lebih dulu. "Bisa bertindak lebih sopan? Cukup kejadian semalam saja yang kelewatan, paham?"
Caroline tersenyum kecut. Semalam, ia sungguh hilang kendali dan memeluk Garvin secara tiba-tiba. Akan tetapi, ia tak pernah mengira bahwa hal itu akan membuat laki-laki yang ia kira Chaiden merasa risih.
"Semudah itu kau melupakanku?" lirih Caroline, tetapi tetap berhasil masuk gendang telinga Garvin.
"Apa semua yang sudah kita lalui setidak berharga itu?"
Tidak ada sumpah serapah ataupun kata-kata kasar yang menjadi balasan dari Garvin. Laki-laki itu sama terdiamnya dengan Caroline. Ia memang merasa tidak pernah mengenal bahkan bertemu gadis itu sebelumnya, tetapi setiap tatapan dan kalimat yang gadis itu lontarkan, berhasil membuat sesuatu di dalam dirinya tersentil.
Garvin tidak suka saat sepasang mata hazel itu menatapnya dengan luka yang amat kentara. Ada perasaan bersalah aneh setiap Garvin melihat Caroline. Dan sejak pertemuan pertama mereka semalam, tak dapat Garvin mungkiri bahwa ada sesuatu dari dalam diri Caroline yang seolah menariknya mendekat.
Semua perasaan aneh yang Garvin rasakan, perlahan menimbulkan satu pertanyaan. Apa mereka memang pernah bertemu di kehidupan sebelumnya?
Akan tetapi, alih-alih menanyakan pertanyaan itu pada Caroline, atau mencari jawabannya seorang diri. Garvin justru bertukas, "Aku tidak percaya dengan ucapanmu."
Rangkaian kata itu sukses membuat Caroline terbahak. Tipe tawa yang memilukan, alih-alih membahagiakan. Suara gadis itu pun berubah menjadi serak saat ia berkata, "Kalau bisa, aku akan membawamu ke masa lalu. Tempat di mana dunia hanya milik kita berdua."
***
I write this part in the middle of the night, dan gatau apakah isinya make sense haha. Hope u guys enjoy it (≧▽≦)
Ada saatnya Caroline ingin berhenti menyalahkan semesta, mungkin semua memang salahnya. Tidak seharusnya ia memiliki hubungan dengan seseorang dari kasta Blackton. Akan tetapi, sulit untuk melakukan itu semua. Sebab sampai saat ini, Caroline masih tidak mengerti mengapa jatuh cinta beda kasta adalah sebuah dosa?Sudah beberapa hari terakhir, ia kesulitan untuk fokus. Itu semua karena Chaiden, oh tidak, Garvin. Percakapan mereka tempo hari; saat di tepi lapangan, masih begitu membekas di ingatan Caroline. Ada sesuatu di dalam mata laki-laki itu yang lagi-lagi menariknya dan membuatnya semakin yakin kalau dia adalah Chaiden."Melamun lagi, huh?"Caroline memilih diam dan tidak menanggapi pertanyaan Frank. Terhitung sejak kedatangannya ke ORIS laki-laki berambut pirang itu selalu mengganggunya. Menyebalkan dan sangat membuat ia risih. Namun, ada hal yang membuat Caroline membiarkan Frank tetap berada di si
"Aku nyaris saja percaya dengan ucapanmu."Kedua kaki Caroline berhenti melangkah, pandangan yang tadinya memperhatikan ujung sepatu miliknya kini beralih ke arah Garvin. Sontak saja kedua iris mata mereka bersitatap, karena sedari tadi Garvin memang sedang memperhatikan Caroline. Hari ini mereka pulang sekolah bersama, hanya secara kebetulan bukan atas perencanaan.Setelah membiarkan Garvin menerawang ke dalam mata hazel miliknya, akhirnya Caroline berujar, "Itu semua memang benar."Mereka membiarkan beberapa saat berlalu tanpa sepatah kata pun terucap. Keduanya sama-sama membatu. Masing-masing dari mereka menyimpan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Garvin, ia masih mempertanyakan kebenaran dari ucapan Caroline. Apa benar mereka pernah hidup bersama di kehidupan sebelumnya?Berbeda dengan Caroline, kini ada pertanyaan baru yang hinggap di kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Chaiden sebagai hukuman dari perbuatan mereka? Apakah Chaiden dihuk
Caroline sedang merapikan mejanya, memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas, saat embusan angin datang bersama seseorang yang menyerukan namanya. Orang itu berambut pirang dan berwajah ceria saat menyapa Caroline. "Carol!" Caroline yang saat ini meraih jaket hitam lusuh untuk dikenakan tidak sedikit pun memberi Frank balasan. Tidak dengan bergumam ataupun melirik meski hanya sebentar. Kendati demikian, laki-laki berambut pirang itu tidak sedikit pun kehilangan keceriaannya. Masih dengan nada bersemangat yang serupa ia mengajak, "Ayo ke perpustakaan hari ini." "Aku tidak ke sana," balas Caroline tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama. "Tidak jadi menemui Dorothy?" Mata biru langit milik Frank menatap penuh tanda tanya tepat ke arah mata hazel gadis di depannya. Yang membuat Caroline nyaris berdecak kagum karena keindahan matanya. "Hm." "Ada apa? Bukankah kasusmu harus diselesaikan?" "Kasus?" Kali ini gadis bermata hazel yang menampilkan tatapan bertanya. Antara merasa h
"Aku tidak tahu ada tempat seperti ini di Oswald."Frank benar, Caroline pun sepemikiran dengannya. Ia tidak pernah menyangka—dan cukup yakin orang lain pun sama—ada tempat seperti ini di Kota Oswald. Arsitekturnya terlihat sangat kuno—seperti telah di desain sejak puluhan ribu tahun lalu—dengan warna krem dan cokelat keemasan yang mendominasi. Meskipun warnanya telah kusam dimakan cuaca dan usia, tetapi tetap tidak menghilangkan kesan mewah sekaligus tradisionalnya.Bangunan-bangunan yang menjulang berhimpitan itu mirip pertokoan yang dulu pernah ia lihat di Oswald Kingdom, London merupakan salah satu tempat yang menurut Caroline menyerupai Oswald. "Ini pasar?" cetus Caroline saat ia yakin kalau tempat yang saat ini mereka jelajahi memang sebuah pasar. Sadar bahwa ia yang dihadiahi pertanyaan, secara refleks Garvin menoleh ke arah gadis di sampingnya. Mata cokelat terang yang dibingkai sepasang alis tebal itu menatap Caroline dalam. "Ya, dulunya." Caroli
A Place Without A Name***Caroline semakin menggila, gerak bibirnya semakin brutal. Begitu pun dengan Chaiden, pandangannya sudah dipenuhi api gairah yang Caroline tidak yakin laki-laki itu bisa menahannya. Tepat ketika Chaiden mengecup leher jenjang Caroline, saat itu pula Caroline terkekeh sembari berkata, "Kita tidak mungkin melakukannya di sini, 'kan?" Ini hutan. Caroline cukup yakin ada banyak binatang buas di dalamnya. Lagi pula, terlalu sembrono jika mereka harus melakukannya di sini. Maksudnya, hei, Caroline adalah seorang putri mahkota, ia bisa melakukannya di tempat yang lebih layak. Akan tetapi, Caroline tidak yakin Chaiden mendengarkan. Laki-laki itu tetap dengan aktivitasnya. Lidahnya menelusuri kulit putih Caroline dari mulai tulang selangka sampai ke belakang telinga. Begitu berulang-ulang sampai-sampai Caroline tak mampu menahan desahannya. Ia juga tidak sanggup untuk menolak—karena ia pun menginginkannya—alhasil ia hanya menengadah dengan jari-jemari yang terus memai
Suasana di dalam panti asuhan sungguh di luar perkiraan Caroline. Ia pikir suasananya akan sedikit menyeramkan atau setidaknya keheningan tanpa alasan akan menyambut mereka. Akan tetapi, yang menyambut mereka adalah segerombolan anak-anak. Anak-anak itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sedang mencoret-coret tembok, bermain kejar-kejaran, saling melempar makanan ke wajah satu sama lain, dan yang paling Caroline tidak habis pikir adalah...."Hei, lihat! Apa yang sedang dilakukan bocah itu?!" Frank berteriak sambil menunjuk anak laki-laki yang berada di atas lemari. Anak laki-laki itu juga yang membuat Caroline tidak habis pikir dengan tingkahnya. Lemari yang dinaikinya berada tepat di belakang meja resepsionis dan berisi pelbagai macam dokumen. Seorang pegawai—yang Caroline duga adalah resepsionis—sedang membujuknya agar mau turun. Dari arah lorong beberapa pegawai atau mungkin para suster berdatangan, sebagian dari mereka meminta anak-anak untuk tenang dan kembali ke kam
Lampu-lampu mulai mati secara otomatis, menyisakan lentera tradisonal yang terpasang di sepanjang lorong. Tidak terlalu membantu sebenarnya. Lorong-lorong panjang itu tetap didominasi kegelapan dan suasana terasa hampa. Garvin sendiri kehilangan kata-kata untuk waktu yang cukup lama. Mungkin pelbagai hal menjadi pertimbangannya. Caroline sudah tidak berharap banyak saat Garvin berujar, "Aku tidak tahu jawaban yang kau harapkan, tetapi, ya. Dia bukan ayahku." Dunia seperti berhenti berputar, indra-indra Caroline bak berhenti berfungsi untuk sesaat. Ada sesuatu yang menjalari tubuhnya, yang membuat darahnya terasa berdesir. Entah perasaan macam apa yang saat ini bertahkta di hatinya. Akan tetapi, saat ini ia cukup yakin kalau Garvin bukan Chaiden. Atau dengan kata lain, ia mulai begitu goyah, mungkin dugaannya selama ini salah. Meskipun reinkarnasi terjadi, tetapi biasanya tidak banyak hal yang berubah. Beberapa orang yang semasa hidupnya baik hanya terlahir kembali untuk membuat memo
Berada di dalam kamar bersama seorang laki-laki bukan sesuatu yang baru bagi Caroline. Ia pernah beberapa kali di situasi yang sama, bahkan lebih buruk, saat tengah membantu Oriel menyelesaikan kasusnya. Yah, pada beberapa waktu hidupnya berganti genre menjadi action. Untuk saat ini, ia tidak tahu jenis film apa yang sedang diputar di hidupnya. Terlalu banyak misteri dan membuatnya bingung, sebenarnya apa yang sedang ia cari? Ia nyaris lupa kalau tujuannya menemui Dorothy adalah untuk menyelidiki kematian Adrian. Mungkin karena Caroline terlalu sering memikirkan masa lalu beberapa waktu terakhir. "Aku akan tidur di sofa," cetus Garvin yang baru saja mengambil selimut dari dalam lemari. "Belum saatnya untuk istirahat."Tentu saja Garvin tidak mengerti dengan perkataan Caroline, jadi ia hanya menatap gadis itu dengan tatapan bertanya tanpa benar-benar mempertanyakan kebingungannya. "Kau belum menjelaskan tentang Cecilia."Caroline benar. Sejak perdebatan mereka tadi, Garvin tidak sed
Oriel mendengar degup jantungnya lebih jelas daripada bisingnya hiruk pikuk kelab. Dentuman musik yang biasanya membuat kepala pening mendadak kesulitan untuk menyampaikan getar pada daun telinganya. Terdengar hiperbolis, dan memang benar adanya, Oriel terlalu berlebihan mendeskripsikan segala sesuatunya. Akan tetapi, ia berani bersumpah kalau saat ini detak jantungnya memang terdengar sangat jelas di telinganya sendiri.Beberapa orang selalu terdengar lebay ketika membicarakan kupu-kupu terbang yang ditimbulkan seseorang; perasaan bergejolak aneh yang mampu menyedot habis kewarasanmu. Dan sialnya, saat ini Oriel menjadi bagian dari beberapa orang itu. Tidak tahu sejak kapan. Namun, sudah bukan rahasia kalau senyum yang dimiliki Frank mampu menimbulkan efek luar biasa. Persis seperti saat ini. Frank terlihat berkali-kali lipat lebih tampan saat menggunakan setelan kasual daripada seragam sekolahnya. Meskipun begitu, karisma yang ditimbulkan tawanya tidak pernah menjadi lebih baik ata
Tiga belas tahun silam....Wajah kumal gadis kecil itu tecermin di kaca kedai. Gaunnya yang koyak moyak mendukung kata suram untuk disematkan padanya. Ia terlihat seperti sedang memandangi pantulan wajahnya sendiri, meratapi nasib tentang betapa buruk rupanya dia—padahal tidak, dia sebenarnya cantik, gadis kecil yang rupawan. Dan padahal tidak, dia sebenarnya tengah memperhatikan orang asing yang sedang melahap sarapannya. Entah apa nama makanan itu, dia tidak tahu, tetapi tumpukan daging, selada, tomat (dan entah apa lagi) yang ditumpuk roti di kedua sisinya itu sukses membuat perutnya semakin keroncongan. Rasa lapar yang sejak tadi pagi ia tahan semakin menggebu-gebu untuk dipuaskan. Malam tadi, ia berhasil mencuri dua buah croissant dari sebuah bakery di ujung jalan, tetapi ia tidak yakin keberuntungan akan tetap berpihak padanya hari ini. Di tengah pergulatan isi kepala dengan perutnya yang keroncongan, gadis kecil itu tiba-tiba memekik agak keras tatkala wajah laki-laki babi bera
Keheningan kali ini terasa berbeda dari biasanya, ada kepanikan yang diam-diam menyebar. Menular dari satu sama lain antara dua insan yang berada di dalam benda besi beroda empat itu. "Apa keadaan di sana sangat kacau?" Caroline bertanya lebih dulu setelah melihat betapa cemas wajah Garvin. Garvin tak cepat-cepat menjawab, ada sesuatu yang sedari tadi mengganggu pikirannya, menghalau pertanyaan Caroline untuk menyapa indra pendengarannya.Detik berganti menit, Caroline tak kunjung mendapat jawaban, tetapi laju mobil yang semakin dipercepat Garvin cukup untuk memperjelas keadaan di sana. Sepertinya saat Garvin mengatakan Cecilia mengamuk, itu dalam artian benar-benar mengamuk. Caroline tidak tahu seberapa besar kerugian yang akan ditimbulkan gadis pemilik liontin puzzle itu. Ia memiliki firasat buruk tentang nyawa orang-orang. Mungkin hal ini terdengar tiba-tiba, tetapi saat Caroline berusaha mengaitkan benang merah satu per satu, ia mulai berpikir mungkin saja pembunuh Adrian Joe a
Perasaan apa pun yang saat ini tengah dirasakan oleh anjingnya, hal itu seolah terhubung dengan Caroline. Membuat gadis itu dapat merasakan hal yang sama. Amarah bercampur rasa sedih menyatu di dalam dirinya, menimbulkan rasa sesak yang menjerat dada.Pasti ada sesuatu yang baru saja dialami anjing itu, pikir Caroline. Bahkan, ketika mentari hendak kembali ke peraduannya dan rembulan akan menempati singgasana, anjingnya masih tampak berbeda. Dia menjadi lebih pendiam dan tidak mengganggu Caroline seperti biasanya. Mendadak Caroline juga hilang keberanian untuk menghampiri anjing itu. Ia takut. "Besok pagi, dia akan mengganggumu lagi," cetus Frank yang entah datang dari mana. Tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Caroline. "Bagaimana kau bisa berpikir begitu?" balas Caroline dengan sebuah pertanyaan, tetapi ia sama sekali tidak menengok ke arah Frank yang saat ini mengambil alih tempat di sampingnya, serta mendudukkan bokongnya di sana. Sekarang mereka berdua sama-sama duduk di an
Dari yang Caroline tangkap, sejak hari itu Frank dan Oriel sering bertemu dan berlatih menembak bersama. Serta yang Caroline tahu, Frank dengan senang hati membantu Oriel karena dia sangat menyukai apa pun tentang detektif. Caroline nyaris berpikir kalau itu hanya alibi dan sebenarnya Frank menyukai Oriel. Yah, usia mereka memang terpaut cukup jauh, dan Oriel tidak mungkin mau menjalin hubungan dengan bocah ingusan yang usil seperti Frank. Namun, itu tidak mustahil bagi Frank, dia bisa saja jatuh cinta pada Oriel dan tidak mementingkan usia. Dua orang itu sedang sibuk membicarakan hal-hal remeh saat tiba-tiba Garvin berujar, "Boleh aku ikut terlibat?"Oriel yang sedang mengendalikan kemudi menoleh sebentar, begitu pun dengan Caroline. Si gadis berlesung pipi—Oriel—itu terkekeh dulu sebelum membalas, "Kau sebenarnya sudah terlibat cukup jauh, Chai.""Ori," geram Caroline saat mendengar nama Chai. Ia bahkan belum yakin apakah Chaiden dan Garvin adalah dua orang yang sama. Akan tetapi,
Gelapnya langit malam tidak pernah sekelam jubah yang ia kenakan dan terangnya biru lautan tak bisa mengalahkan sorot matanya. Sayang beribu sayang, tidak ada yang dapat melihat mata biru terang di balik jubahnya. Hanya seonggok senyum culas yang terlihat. Frank tidak pernah benar-benar menikmati hidupnya, kecuali ketika ia bersama si gadis abadi—Caroline. Ia sudah cukup lama berkelana, dari satu kota ke kota lainnya, tidak satu pun gadis yang ia temui berhasil menggantikan posisi Caroline. Katakan Frank hanya terobsesi dan kalian sudah pasti salah besar. Frank sama sekali tidak terobsesi, dia sungguh-sungguh mencintai gadis itu. Kalau ada kata yang akan membuatnya terdengar lebih hiperbolis, Frank akan dengan senang hati mengucapkannya sekarang juga. Frank sudah mengikuti ke mana pun Caroline pergi, menyaksikan bagaimana gadis itu mengubah namanya berkali-kali dan sekarang gadis itu bernama Violin. Tidak penting nama apa yang dipilihnya, Caroline tetap akan menjadi Caroline. Putri t
Serangkaian kebohongan keluar dari bibir Oriel ketika Caroline bertanya, "Jadi kalian bertemu di bus? Pertemuan yang romantis, tetapi aku tidak mengerti mengapa Frank bisa ikut andil dalam kasus ini."Oriel tidak memikirkan jawaban apa pun sebelumnya, hal-hal yang ia tuturkan kepada Caroline terjadi karena refleks. Dia tahu betul kalau identitas Frank sebagai Darkling Beetle tidak boleh diketahui siapa pun. Kalaupun Caroline boleh tahu, bukan Oriel yang memiliki hak untuk memberi tahunya. Jadi, Oriel mengisahkan kalau dia mengikuti Frank turun di halte ... entah nomor berapa dan dia tidak tahu bagaimana caranya pulang ke rumah. Hal itu tidak sepenuhnya alibi, saat itu Oriel memang tidak tahu dia sedang di mana. Maklum, Oswald masih begitu asing di matanya. Oriel bilang, saat itu Frank menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Akan tetapi, mereka masih sibuk berdiskusi saat tiba-tiba sebuah mobil mercedes berhenti di depan halte. Atasan Oriel keluar dari mobil itu dan memberi tahu ka
Setelah mendengar cerita Oriel tentang pertemuannya dengan Frank, si rambut pirang jadi tidak terlalu mencurigakan sekarang. Wajar saja laki-laki itu mengetahui kasus Andrian Joe yang sedang diselidikinya dan percuma saja Caroline menyembunyikannya dari Frank. Toh, laki-laki itu juga ikut andil dalam kasus ini. Caroline tidak berniat meminta maaf kepada Frank walaupun saat ini Oriel dan laki-laki itu tengah menertawakannya. Bagi Caroline bukan suatu hal buruk kalau ia mencurigai Frank, toh, si rambut pirang memang pantas dicurigai. Kisah pertemuan kedua orang itu cukup menarik dan cukup berkesan untuk diingat. Kalau tidak salah—berarti benar—pertemuan mereka terjadi pada hari kedua Oriel menghirup udara Oswald. Saat itu...."Carol, apa kau tidak akan ikut?"Caroline tahu Oriel sedang melakukan pemanasan di teras rumah saat ini, gadis yang sudah pasti berusia jauh lebih muda (tentu saja, 'kan Caroline abadi) darinya itu bersiap hendak jogging sambil mengenal lingkungan sekitar. Akan
Frank tidak membiarkan perjalanan pulang mereka diselimuti keheningan, ia sudah siap dengan berbagai pertanyaan. Dan pertanyaan pertamanya adalah, "Bagaimana? Kau sudah menemukan yang kau cari?"Tentu saja Caroline sudah tahu pertanyaan seperti itu akan didengarnya. Oleh sebab itu ia meminta buku kepada Dorothy, yang entah bagaimana wanita tua itu memiliki buku langka Oswald. Tidak tahu dia sudah pernah membacanya atau tidak. Akan tetapi, Caroline berharap opsi kedua yang menunjukkan kebenaran, karena kalau Dorothy sudah membacanya, dia pasti melihat wajah Caroline di dalam buku itu. Kalaupun opsi pertama yang benar, Caroline berharap wanita tua itu cukup pikun untuk melupakan keseluruhan isi bukunya. "Ini." Caroline menunjukkan buku yang tadi diambilnya dari Dorothy. Tales of Royal Aristocrat dicetak dalam ratusan—bahkan ribuan pada masanya. Seiring bergulirnya zaman buku itu masih terkenal dan beberapa dicetak dalam bentuk yang lebih modern, tetapi yang Caroline pegang saat ini adal