Home / Fantasi / REINCARNATION / [2] Mereka yang Bereinkarnasi

Share

[2] Mereka yang Bereinkarnasi

Author: Cr-Azy
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

~¤THE CURSE OF ETERNAL LIFE¤~

____________________________

"Beberapa pertemuan terasa menyakitkan, meskipun bagian dari hal yang didambakan."

~¤~

Beberapa minggu kemudian....

Caroline.

Gadis dengan usia tujuh belas tahun itu tengah berjalan dengan tempo yang teratur, rambut cokelat keemasan miliknya berkibar searah dengan embusan angin. Setelah berjalan beberapa meter dari halte bus, akhirnya ia sampai di depan gerbang Origin High School.

Gerbang itu menjulang tinggi dengan bagian atas bak bentuk segi tiga. Warna emas klasik yang membalut benda terbuat dari besi itu memantulkan cahaya mentari, membuat permukaannya tampak mengkilap.

Bersama Caroline, ada ratusan siswa yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sedang mengobrol, memainkan ponsel, atau sekadar menelisik keadaan sekitar seperti yang Caroline lakukan sekarang. Kendati demikian, mereka memiliki alasan yang sama, yaitu menunggu gerbang Origin High School terbuka.

Pukul tujuh tepat, menara yang ada di dalam wilayah ORIS menyebarkan bunyi denting jam. Bersamaan dengan itu, gerbang ORIS pun terbuka lebar. Para siswa langsung mengambil langkah lebar dan memasuki wilayah ORIS. Caroline yang masih mematung di tempatnya beberapa kali terkena senggolan dari siswa yang tak sabaran. Beberapa di antaranya menggerutu karena Caroline menghalangi jalan. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka hanya lewat dan tak acuh.

Suasana itu ... membuat Caroline déjà vu. Begitu banyak manusia yang memasuki gerbang, tak teratur dan berbagai macam obrolan saling sahut-menyahut. Bedanya, saat ini tidak ada kobaran api.

Setelah menetralisasi perasaannya dari kenangan masa lalu, Caroline mulai mengayunkan sepasang kakinya dan melangkah teratur dengan anggun. Menapaki jalan menuju gedung utama ORIS.

Tak seberapa lama, langkah kakinya kembali terhenti tepat di depan pintu masuk lobi, tempat yang cukup jauh dari gerbang utama. Bangunan ini lebih mirip asrama penyihir alih-alih sekolah di zaman modern. Semua arsitekturnya tampak antik dan klasik, mengingatkan Caroline pada sebuah tempat yang pernah menjadi istana untuknya.

Caroline jarang sekali mengagumi atau menghentikan kegiatannya hanya untuk menikmati sebuah arsitektur, tetapi ia menjadi lebih melankolis saat sejak menginjakan kaki di Kota Oswald.

Sekarang, Caroline tidak ingin membuang waktu dengan wisata masa lalu. Hal itu hanya akan membuatnya tersiksa oleh rindu. Ia pun berjalan memasuki lobi dan menghampiri meja resepsionis. Menanyakan tempat yang harus ia tuju kepada petugas di sana. Segera setelah mendapat jawaban, Caroline berjalan ke arah lorong di sebelah kanan. Ia melewati koridor demi koridor. Beberapa di antaranya sepi, sedang yang lain diisi segerombolan siswa yang langsung mengalihkan perhatiannya ke arah Caroline.

Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit, Caroline akhirnya tiba di depan ruang guru. Ia baru saja hendak membuka pintu kuno itu, tetapi seseorang dari dalam sana mendahuluinya.

Setelah bunyi kenop pintu mengudara, Caroline dibuat terkejut dengan seseorang yang baru saja ditangkap penglihatannya. Orang yang masih memegang kenop pintu itu pun tak kalah terkejut melihat kehadiran Caroline.

Beruntung, Caroline sudah sering menghadapi situasi seperti ini. Sehingga seterkejut apa pun ia, raut wajahnya akan tetap datar tanpa menunjukan emosi apa pun. Sangat berbeda dengan seseorang di depannya.

"Violine?" kaget orang itu.

Caroline dengan sengaja memiringkan kepalanya, menampilkan wajah kebingungan yang terlihat imut. Sangat kontra dengan kepribadiannya. Pada detik berikutnya, ia sedikit membungkuk seraya tersenyum. "Saya Caroline, Bu. Murid pindahan."

Orang itu membentuk huruf O dengan mulutnya. "Ah, saya pikir kamu ... kamu...."

"Seseorang dari masa lalu?" potong Caroline.

"Ya. Tapi seharusnya dia seusia saya, jadi tidak mungkin itu kamu."

Caroline tersenyum tipis mendengar penuturan guru di depannya. Bila telinga bisa mendengar isi hati seseorang, maka saat itu pula guru di depannya akan tahu kalau Caroline membatin, "Ya. Yang kau maksud adalah aku, Daisy."

"Jadi, siapa namamu?"

"Caroline."

~¤~

Waktu terasa berjalan lebih cepat, mengambil beberapa kesempatan Caroline untuk sekadar istirahat. Setelah menjalani hari pertamanya sebagai murid ORIS, sekarang saatnya Caroline kembali ke rumah dan mengistirahatkan tubuhnya.

Bus yang ia tumpangi berjalan dengan kecepatan konstan, kemudian berhenti di sebuah halte dan beberapa penumpang pun naik. Di kursi tempatnya terduduk, Caroline tengah memperhatikan jalanan, kendaraan umum dan beberapa mobil pribadi yang hilir mudik pun menjadi objek penglihatannya. Ketika bola matanya menelisik ke sana-kemari, tiba-tiba pandangannya terhenti, sesuatu berhasil menarik seluruh perhatiannya. Ia terus memperhatikan objek itu. Bahkan ketika bus mulai berjalan, kepalanya ikut menoleh ke belakang, seolah tak ingin kehilangan objek yang begitu menarik.

Caroline pun memutuskan untuk berpaling saat objek yang ia perhatikan telah hilang ditelan jarak. Ia memejamkan matanya sembari menekan punggungnya ke sandaran kursi, seperti tengah melampiaskan suatu emosi. Hatinya membatin, "Aku hanya berhalusinasi."

Mungkin karena hari ini cukup melelahkan, Caroline jadi berhalusinasi melihat seseorang yang selama ini ia cari. Pertemuan tak terduganya dengan Daisy, seorang kawan lama yang kini sudah menjadi guru sosiologi, cukup membuatnya terkejut. Dan ia yakin, masih ada banyak kejutan yang harus ia hadapi di sini, di Kota Oswald.

Halte demi halte telah Caroline lewati, hingga akhirnya ia sampai di halte nomor 7 dan bergegas untuk turun. Dari halte ia berjalan memasuki sebuah perumahan yang terlihat kuno. Perumahan Gladiolus namanya. Rumah-rumah yang ia lewati terbuat dari batu bata merah dan ditumbuhi tanaman merambat, bukan kotor atau tak terawat, melainkan semua rumah di perumahan ini memang seperti itu.

Melangkah semakin jauh ke dalam perumahan ini selalu membuatnya teringat masa lalu. Saat kota yang dipenuhi hiruk pikuk kendaraan masih berupa kerajaan.

Saat ia masih menjadi gadis normal.

Saat ia masih bisa menua.

Dulu, telah lama sekali.

Kini, Caroline hidup dengan jiwa yang telah lama mati walaupun raganya abadi. Gadis tujuh belas tahun ini tak sudi hidup abadi, tetapi takdir yang tertulis ternyata sekejam ini. Bagi gadis zaman sekarang, penuaan merupakan hal yang sangat dihindari. Namun, bagi Caroline penuaan merupakan hal yang sangat ia nanti.

Abadi, hal yang lebih buruk dari sekadar kematian. Caroline menyadari itu sekarang.

Abadi hanya akan membuatmu menyaksikan kematian dan kelahiran ribuan kali. Kematian orang yang kau sayang. Lalu, melihat orang itu terlahir kembali. Masih dengan wajah yang sama, juga senyum yang sehangat di masa lalu. Bagian menyedihkannya, ia tak dapat mengingatmu.

"Caroline."

Caroline tersentak dari lamunannya, lalu menoleh ke arah panggilan itu berasal. Pandangan Caroline disambut senyum hangat oleh seseorang yang dulu Caroline panggil ibu. Senyumnya masih sehangat dulu.

"Baru pulang?"

Caroline tersenyum, senyum yang dulu tak pernah ia tampilkan di depan sang ibu. "Iya."

"Boleh aku meminta tolong?"

"Tentu," jawab Caroline seraya mengangguk.

Mereka berjalan beriringan memasuki salah salah satu rumah. Rumah sederhana dengan pintu bercat hijau, dan taman bunga yang berada tepat di halamannya. Sejak pertama kali tinggal di perumahan itu, Caroline sudah penasaran tentang siapa pemilik rumah ini. Sampai pada akhirnya, beberapa hari yang lalu ia dipertemukan dengan sang pemilik rumah. Saat itu pula Caroline tersadar, bahawa semesta memang paling tahu cara menyiksanya.

"Ini hari pertamamu sekolah di ORIS, ya?"

Caroline mengangguk, matanya tak pernah berhenti memperhatikan wajah itu. Munafik jika Caroline bilang ia tidak rindu.

"Nah, Caroline apa kau bisa membantuku untuk mencicipi masakan ini?" tanya Bibi Odelia saat langkah kaki mereka telah sampai di dapur rumahnya.

Caroline tersenyum tipis seraya berkata, "Kau berbohong, Bibi."

Perkataan Caroline dibalas dengan kekehan kecil. "Iya-iya, aku berbohong. Sebenarnya aku ingin mengajakmu dan kakakmu untuk makan malam bersama, sebagai sambutan dari kami karena kalian warga baru di sini."

"Tetapi kalian begitu sulit untuk ditemui," lanjutnya.

"Odelia!"

Panggilan itu menginterupsi interaksi antara Caroline dan sang ibu. Ya, seharusnya Caroline masih bisa memanggil sosok di depannya ibu. Toh, tak ada mantan ibu, 'kan?

"Aku pulang!" Seseorang merentangkan tangannya ke arah Bibi Odelia yang langsung disambut dengan pelukan.

Caroline memperhatikan adegan itu, saat ibunya memeluk sang ayah dan saat sang ayah memberikan kecupan pada kening sang ibu. Dulu, ayahnya tidak sehangat itu.

"Hei, Caroline?"

Caroline tersenyum ke arah sang ayah, tidak, sekarang hanya tetangganya. "Hai, Paman William," sapa Caroline seraya sedikit membungkuk.

"Kau terlalu kaku, Nak." William terkekeh.

"Ayo kita makan," ajak Bibi Odelia.

"Di mana Agatha?"

"Dia di atas."

"Agatha!"

"Agatha, makan malam!"

"Iya!"

Suara demi suara itu menyapa indra pendengaran Caroline, sementara ia masih setia memperhatikan interaksi keluarga kecil ini. Ada banyak kehangatan asing di dalam sini, sesuatu yang tak pernah Caroline dapatkan saat dua orang di hadapannya masih berstatus orang tuanya. Agatha, putri dari kedua orang tuanya, putri baru mereka, kini ikut bergabung di tempat makan.

"Hai, Caroline!" sapa Agatha dengan wajah riangnya.

"Hai," balas Caroline tentu dengan tersenyum. Di depan keluarga kecil ini Caroline tak pernah ragu untuk menampilkan senyum, walaupun dalam senyumnya tersirat kesedihan yang mendalam. Serta rasa iri yang tak tertahankan.

Mereka makan dalam keheningan, sesekali Agatha membuat lelucon dan Paman William memintanya diam, lalu Bibi Odelia tertawa seraya meminta suaminya untuk tidak berlebihan. Rasa sakit itu tanpa permisi hinggap di hati Caroline, semakin melekat daripada sebelumnya, sesak pun membelenggu dadanya. Teramat menyiksa. Harusnya, Caroline yang ada di posisi Agatha sekarang. Ah, Caroline terlalu kaku untuk seriang Agatha, bukan?

Makan malam telah usai, satu per satu dari mereka mulai meninggalkan tempat makan, tentu dengan pamit kepada Caroline terlebih dahulu. Hingga akhirnya Caroline tinggal berdua dengan Bibi Odelia.

"Agatha, bantu ibu!" teriak Bibi Odelia.

"Malam, Bu!" sahut Agatha sambil berlari menuju kamarnya. Ada gelak tawa kecil yang menghiasi wajah riang itu.

"Anak itu," geram Bibi Odelia sambil tersenyum memandang kepergian putrinya.

"Aku bantu." Caroline berdiri dari duduknya dan mulai merapikan piring kotor.

"Ah, kau anak yang baik, Caroline."

Caroline hanya tersenyum miris mendengar penuturan itu.

"Kau tahu ada warga pindahan baru di perumahan ini?"

Caroline mengernyit. "Aku dan Oriel?"

Bibi Odelia menggeleng. "Mereka baru saja datang kemarin, hanya selang beberapa hari setelah kedatanganmu."

Diam menjadi hal satu-satunya hal yang Caroline lakukan sekarang. Ia tidak tahu harus merespons atau menjawab apa. Hal itu membuat Bibi Odelia terkekeh. "Kau dan kakakmu terlalu sibuk, padahal orang itu tinggal di samping rumah kalian."

"Ini, kau bawa untuk kakakmu, dan ini untuk tetanggamu." Bibi Odelia menyerahkan dua kotak makanan kepada Caroline.

"Kau harus beramah-tamah dengan tetanggamu, Caroline. Suatu saat kau akan membutuhkan bantuan mereka," lanjut Bibi Odelia.

"Baiklah, terima kasih."

Caroline menerima kotak makanan yang diberikan kepadanya. Ia bertekad, di kehidupan yang kali ini, ia akan banyak mendengarkan nasihat ibunya. Ya, meskipun ia harus memanggilnya Bibi sekarang.

"Aku pamit pulang."

"Hati-hati di jalan, Caroline!"

Sebelum benar-benar pergi, Caroline mengangguk seraya tersenyum tipis. "Tentu."

~¤~ ✡ ~¤~

Related chapters

  • REINCARNATION    [3] Sebuah Pengalihan

    ~¤THE CURSE OF ETERNAL LIFE¤~ ____________________________ "Manusia tak pernah benar-benar mengerti, alasan Tuhan mengirim seseorang lalu mengambilnya kembali." ~¤~ Oriel. Gadis yang lebih tua beberapa tahun dari Caroline itu dikenal sebagai kakak Caroline. Akan tetapi, itu kebohongan besar. Caroline merupakan anak tunggal. Lagi pula, seharusnya, Caroline lah yang menjadi kakak Oriel. Sebab, saat Caroline menemukan Oriel mengemis di jalanan, gadis itu baru berusia sembilan tahun. Terlihat kumuh dan menyedihkan. Sampai akhirnya, Caroline memberi Oriel hidup yang lebih layak. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, ia memperlakukan orang lain bak keluarga sendiri. Bahkan lebih baik daripada saat ia memperlakukan ibunya. Oriel istimewa, dia berbeda. Betapa pun sulitnya, Oriel tetap mencoba memahami keadaan Caroline yang selalu di us

  • REINCARNATION    [4] Wajah yang Sama

    Tak satu pun sesuatu di depannya menjadi objek penglihatan Caroline. Justru pikirannya mengelana ke suatu tempat yang hanya bisa dijangkau imajinasinya. Masa lalu. Tempat yang benar-benar ingin ia datangi kembali. "Kau mengabaikanku lagi?" Wajah Caroline memberengut saat menyadari bahwa Chaiden tidak mendengarkan celotehannya, laki-laki itu malah sibuk dengan seonggok buku usang. "Aku tidak mengabaikanmu," sanggah Chaiden, tetapi pandangannya tak sedikit pun berusaha menatap Caroline. "Lalu apa yang tengah kau lakukan, Mr. Chai?" "Mengamatimu." Mendengar pengakuan Chaiden membuat kedua alis Caroline menyatu, ia mengernyit tak paham. Lantas giginya bergemelatuk akibat rasa kesal yang membuncah. "Kau bahkan tidak menoleh ke arahku!" "Kau benar-benar tidak sopan, Tuan. Aku ini putri, pewaris tunggal Oswald Kingdom." "Ah, kalau begitu tulisan ini sama sekali tidak benar. Bagaimana seorang putri yang sombong

  • REINCARNATION    [5] Kecupan Singkat

    Ada saatnya Caroline ingin berhenti menyalahkan semesta, mungkin semua memang salahnya. Tidak seharusnya ia memiliki hubungan dengan seseorang dari kasta Blackton. Akan tetapi, sulit untuk melakukan itu semua. Sebab sampai saat ini, Caroline masih tidak mengerti mengapa jatuh cinta beda kasta adalah sebuah dosa?Sudah beberapa hari terakhir, ia kesulitan untuk fokus. Itu semua karena Chaiden, oh tidak, Garvin. Percakapan mereka tempo hari; saat di tepi lapangan, masih begitu membekas di ingatan Caroline. Ada sesuatu di dalam mata laki-laki itu yang lagi-lagi menariknya dan membuatnya semakin yakin kalau dia adalah Chaiden."Melamun lagi, huh?"Caroline memilih diam dan tidak menanggapi pertanyaan Frank. Terhitung sejak kedatangannya ke ORIS laki-laki berambut pirang itu selalu mengganggunya. Menyebalkan dan sangat membuat ia risih. Namun, ada hal yang membuat Caroline membiarkan Frank tetap berada di si

  • REINCARNATION    [6] Manusia atau Bukan

    "Aku nyaris saja percaya dengan ucapanmu."Kedua kaki Caroline berhenti melangkah, pandangan yang tadinya memperhatikan ujung sepatu miliknya kini beralih ke arah Garvin. Sontak saja kedua iris mata mereka bersitatap, karena sedari tadi Garvin memang sedang memperhatikan Caroline. Hari ini mereka pulang sekolah bersama, hanya secara kebetulan bukan atas perencanaan.Setelah membiarkan Garvin menerawang ke dalam mata hazel miliknya, akhirnya Caroline berujar, "Itu semua memang benar."Mereka membiarkan beberapa saat berlalu tanpa sepatah kata pun terucap. Keduanya sama-sama membatu. Masing-masing dari mereka menyimpan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Garvin, ia masih mempertanyakan kebenaran dari ucapan Caroline. Apa benar mereka pernah hidup bersama di kehidupan sebelumnya?Berbeda dengan Caroline, kini ada pertanyaan baru yang hinggap di kepalanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Chaiden sebagai hukuman dari perbuatan mereka? Apakah Chaiden dihuk

  • REINCARNATION    [7] Nostalgia Masa Lalu

    Caroline sedang merapikan mejanya, memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas, saat embusan angin datang bersama seseorang yang menyerukan namanya. Orang itu berambut pirang dan berwajah ceria saat menyapa Caroline. "Carol!" Caroline yang saat ini meraih jaket hitam lusuh untuk dikenakan tidak sedikit pun memberi Frank balasan. Tidak dengan bergumam ataupun melirik meski hanya sebentar. Kendati demikian, laki-laki berambut pirang itu tidak sedikit pun kehilangan keceriaannya. Masih dengan nada bersemangat yang serupa ia mengajak, "Ayo ke perpustakaan hari ini." "Aku tidak ke sana," balas Caroline tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama. "Tidak jadi menemui Dorothy?" Mata biru langit milik Frank menatap penuh tanda tanya tepat ke arah mata hazel gadis di depannya. Yang membuat Caroline nyaris berdecak kagum karena keindahan matanya. "Hm." "Ada apa? Bukankah kasusmu harus diselesaikan?" "Kasus?" Kali ini gadis bermata hazel yang menampilkan tatapan bertanya. Antara merasa h

  • REINCARNATION    [8] Nostalgia Masa Lalu (lagi)

    "Aku tidak tahu ada tempat seperti ini di Oswald."Frank benar, Caroline pun sepemikiran dengannya. Ia tidak pernah menyangka—dan cukup yakin orang lain pun sama—ada tempat seperti ini di Kota Oswald. Arsitekturnya terlihat sangat kuno—seperti telah di desain sejak puluhan ribu tahun lalu—dengan warna krem dan cokelat keemasan yang mendominasi. Meskipun warnanya telah kusam dimakan cuaca dan usia, tetapi tetap tidak menghilangkan kesan mewah sekaligus tradisionalnya.Bangunan-bangunan yang menjulang berhimpitan itu mirip pertokoan yang dulu pernah ia lihat di Oswald Kingdom, London merupakan salah satu tempat yang menurut Caroline menyerupai Oswald. "Ini pasar?" cetus Caroline saat ia yakin kalau tempat yang saat ini mereka jelajahi memang sebuah pasar. Sadar bahwa ia yang dihadiahi pertanyaan, secara refleks Garvin menoleh ke arah gadis di sampingnya. Mata cokelat terang yang dibingkai sepasang alis tebal itu menatap Caroline dalam. "Ya, dulunya." Caroli

  • REINCARNATION    [9] Panti Asuhan Dorothy

    A Place Without A Name***Caroline semakin menggila, gerak bibirnya semakin brutal. Begitu pun dengan Chaiden, pandangannya sudah dipenuhi api gairah yang Caroline tidak yakin laki-laki itu bisa menahannya. Tepat ketika Chaiden mengecup leher jenjang Caroline, saat itu pula Caroline terkekeh sembari berkata, "Kita tidak mungkin melakukannya di sini, 'kan?" Ini hutan. Caroline cukup yakin ada banyak binatang buas di dalamnya. Lagi pula, terlalu sembrono jika mereka harus melakukannya di sini. Maksudnya, hei, Caroline adalah seorang putri mahkota, ia bisa melakukannya di tempat yang lebih layak. Akan tetapi, Caroline tidak yakin Chaiden mendengarkan. Laki-laki itu tetap dengan aktivitasnya. Lidahnya menelusuri kulit putih Caroline dari mulai tulang selangka sampai ke belakang telinga. Begitu berulang-ulang sampai-sampai Caroline tak mampu menahan desahannya. Ia juga tidak sanggup untuk menolak—karena ia pun menginginkannya—alhasil ia hanya menengadah dengan jari-jemari yang terus memai

  • REINCARNATION    [10] Rahasia Garvin

    Suasana di dalam panti asuhan sungguh di luar perkiraan Caroline. Ia pikir suasananya akan sedikit menyeramkan atau setidaknya keheningan tanpa alasan akan menyambut mereka. Akan tetapi, yang menyambut mereka adalah segerombolan anak-anak. Anak-anak itu sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sedang mencoret-coret tembok, bermain kejar-kejaran, saling melempar makanan ke wajah satu sama lain, dan yang paling Caroline tidak habis pikir adalah...."Hei, lihat! Apa yang sedang dilakukan bocah itu?!" Frank berteriak sambil menunjuk anak laki-laki yang berada di atas lemari. Anak laki-laki itu juga yang membuat Caroline tidak habis pikir dengan tingkahnya. Lemari yang dinaikinya berada tepat di belakang meja resepsionis dan berisi pelbagai macam dokumen. Seorang pegawai—yang Caroline duga adalah resepsionis—sedang membujuknya agar mau turun. Dari arah lorong beberapa pegawai atau mungkin para suster berdatangan, sebagian dari mereka meminta anak-anak untuk tenang dan kembali ke kam

Latest chapter

  • REINCARNATION    (23) Akhir dari Wisata Masa Lalu

    Oriel mendengar degup jantungnya lebih jelas daripada bisingnya hiruk pikuk kelab. Dentuman musik yang biasanya membuat kepala pening mendadak kesulitan untuk menyampaikan getar pada daun telinganya. Terdengar hiperbolis, dan memang benar adanya, Oriel terlalu berlebihan mendeskripsikan segala sesuatunya. Akan tetapi, ia berani bersumpah kalau saat ini detak jantungnya memang terdengar sangat jelas di telinganya sendiri.Beberapa orang selalu terdengar lebay ketika membicarakan kupu-kupu terbang yang ditimbulkan seseorang; perasaan bergejolak aneh yang mampu menyedot habis kewarasanmu. Dan sialnya, saat ini Oriel menjadi bagian dari beberapa orang itu. Tidak tahu sejak kapan. Namun, sudah bukan rahasia kalau senyum yang dimiliki Frank mampu menimbulkan efek luar biasa. Persis seperti saat ini. Frank terlihat berkali-kali lipat lebih tampan saat menggunakan setelan kasual daripada seragam sekolahnya. Meskipun begitu, karisma yang ditimbulkan tawanya tidak pernah menjadi lebih baik ata

  • REINCARNATION    [22] Laki-Laki Babi

    Tiga belas tahun silam....Wajah kumal gadis kecil itu tecermin di kaca kedai. Gaunnya yang koyak moyak mendukung kata suram untuk disematkan padanya. Ia terlihat seperti sedang memandangi pantulan wajahnya sendiri, meratapi nasib tentang betapa buruk rupanya dia—padahal tidak, dia sebenarnya cantik, gadis kecil yang rupawan. Dan padahal tidak, dia sebenarnya tengah memperhatikan orang asing yang sedang melahap sarapannya. Entah apa nama makanan itu, dia tidak tahu, tetapi tumpukan daging, selada, tomat (dan entah apa lagi) yang ditumpuk roti di kedua sisinya itu sukses membuat perutnya semakin keroncongan. Rasa lapar yang sejak tadi pagi ia tahan semakin menggebu-gebu untuk dipuaskan. Malam tadi, ia berhasil mencuri dua buah croissant dari sebuah bakery di ujung jalan, tetapi ia tidak yakin keberuntungan akan tetap berpihak padanya hari ini. Di tengah pergulatan isi kepala dengan perutnya yang keroncongan, gadis kecil itu tiba-tiba memekik agak keras tatkala wajah laki-laki babi bera

  • REINCARNATION    [21] Kejujuran Oriel

    Keheningan kali ini terasa berbeda dari biasanya, ada kepanikan yang diam-diam menyebar. Menular dari satu sama lain antara dua insan yang berada di dalam benda besi beroda empat itu. "Apa keadaan di sana sangat kacau?" Caroline bertanya lebih dulu setelah melihat betapa cemas wajah Garvin. Garvin tak cepat-cepat menjawab, ada sesuatu yang sedari tadi mengganggu pikirannya, menghalau pertanyaan Caroline untuk menyapa indra pendengarannya.Detik berganti menit, Caroline tak kunjung mendapat jawaban, tetapi laju mobil yang semakin dipercepat Garvin cukup untuk memperjelas keadaan di sana. Sepertinya saat Garvin mengatakan Cecilia mengamuk, itu dalam artian benar-benar mengamuk. Caroline tidak tahu seberapa besar kerugian yang akan ditimbulkan gadis pemilik liontin puzzle itu. Ia memiliki firasat buruk tentang nyawa orang-orang. Mungkin hal ini terdengar tiba-tiba, tetapi saat Caroline berusaha mengaitkan benang merah satu per satu, ia mulai berpikir mungkin saja pembunuh Adrian Joe a

  • REINCARNATION    [20] Perihal Lupa Melupakan

    Perasaan apa pun yang saat ini tengah dirasakan oleh anjingnya, hal itu seolah terhubung dengan Caroline. Membuat gadis itu dapat merasakan hal yang sama. Amarah bercampur rasa sedih menyatu di dalam dirinya, menimbulkan rasa sesak yang menjerat dada.Pasti ada sesuatu yang baru saja dialami anjing itu, pikir Caroline. Bahkan, ketika mentari hendak kembali ke peraduannya dan rembulan akan menempati singgasana, anjingnya masih tampak berbeda. Dia menjadi lebih pendiam dan tidak mengganggu Caroline seperti biasanya. Mendadak Caroline juga hilang keberanian untuk menghampiri anjing itu. Ia takut. "Besok pagi, dia akan mengganggumu lagi," cetus Frank yang entah datang dari mana. Tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Caroline. "Bagaimana kau bisa berpikir begitu?" balas Caroline dengan sebuah pertanyaan, tetapi ia sama sekali tidak menengok ke arah Frank yang saat ini mengambil alih tempat di sampingnya, serta mendudukkan bokongnya di sana. Sekarang mereka berdua sama-sama duduk di an

  • REINCARNATION    [19] Will, Si Anjing

    Dari yang Caroline tangkap, sejak hari itu Frank dan Oriel sering bertemu dan berlatih menembak bersama. Serta yang Caroline tahu, Frank dengan senang hati membantu Oriel karena dia sangat menyukai apa pun tentang detektif. Caroline nyaris berpikir kalau itu hanya alibi dan sebenarnya Frank menyukai Oriel. Yah, usia mereka memang terpaut cukup jauh, dan Oriel tidak mungkin mau menjalin hubungan dengan bocah ingusan yang usil seperti Frank. Namun, itu tidak mustahil bagi Frank, dia bisa saja jatuh cinta pada Oriel dan tidak mementingkan usia. Dua orang itu sedang sibuk membicarakan hal-hal remeh saat tiba-tiba Garvin berujar, "Boleh aku ikut terlibat?"Oriel yang sedang mengendalikan kemudi menoleh sebentar, begitu pun dengan Caroline. Si gadis berlesung pipi—Oriel—itu terkekeh dulu sebelum membalas, "Kau sebenarnya sudah terlibat cukup jauh, Chai.""Ori," geram Caroline saat mendengar nama Chai. Ia bahkan belum yakin apakah Chaiden dan Garvin adalah dua orang yang sama. Akan tetapi,

  • REINCARNATION    [18] Darkling Beetle

    Gelapnya langit malam tidak pernah sekelam jubah yang ia kenakan dan terangnya biru lautan tak bisa mengalahkan sorot matanya. Sayang beribu sayang, tidak ada yang dapat melihat mata biru terang di balik jubahnya. Hanya seonggok senyum culas yang terlihat. Frank tidak pernah benar-benar menikmati hidupnya, kecuali ketika ia bersama si gadis abadi—Caroline. Ia sudah cukup lama berkelana, dari satu kota ke kota lainnya, tidak satu pun gadis yang ia temui berhasil menggantikan posisi Caroline. Katakan Frank hanya terobsesi dan kalian sudah pasti salah besar. Frank sama sekali tidak terobsesi, dia sungguh-sungguh mencintai gadis itu. Kalau ada kata yang akan membuatnya terdengar lebih hiperbolis, Frank akan dengan senang hati mengucapkannya sekarang juga. Frank sudah mengikuti ke mana pun Caroline pergi, menyaksikan bagaimana gadis itu mengubah namanya berkali-kali dan sekarang gadis itu bernama Violin. Tidak penting nama apa yang dipilihnya, Caroline tetap akan menjadi Caroline. Putri t

  • REINCARNATION    [17] Alibi Oriel

    Serangkaian kebohongan keluar dari bibir Oriel ketika Caroline bertanya, "Jadi kalian bertemu di bus? Pertemuan yang romantis, tetapi aku tidak mengerti mengapa Frank bisa ikut andil dalam kasus ini."Oriel tidak memikirkan jawaban apa pun sebelumnya, hal-hal yang ia tuturkan kepada Caroline terjadi karena refleks. Dia tahu betul kalau identitas Frank sebagai Darkling Beetle tidak boleh diketahui siapa pun. Kalaupun Caroline boleh tahu, bukan Oriel yang memiliki hak untuk memberi tahunya. Jadi, Oriel mengisahkan kalau dia mengikuti Frank turun di halte ... entah nomor berapa dan dia tidak tahu bagaimana caranya pulang ke rumah. Hal itu tidak sepenuhnya alibi, saat itu Oriel memang tidak tahu dia sedang di mana. Maklum, Oswald masih begitu asing di matanya. Oriel bilang, saat itu Frank menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Akan tetapi, mereka masih sibuk berdiskusi saat tiba-tiba sebuah mobil mercedes berhenti di depan halte. Atasan Oriel keluar dari mobil itu dan memberi tahu ka

  • REINCARNATION    [16] Sepenggal Kisah Oriel

    Setelah mendengar cerita Oriel tentang pertemuannya dengan Frank, si rambut pirang jadi tidak terlalu mencurigakan sekarang. Wajar saja laki-laki itu mengetahui kasus Andrian Joe yang sedang diselidikinya dan percuma saja Caroline menyembunyikannya dari Frank. Toh, laki-laki itu juga ikut andil dalam kasus ini. Caroline tidak berniat meminta maaf kepada Frank walaupun saat ini Oriel dan laki-laki itu tengah menertawakannya. Bagi Caroline bukan suatu hal buruk kalau ia mencurigai Frank, toh, si rambut pirang memang pantas dicurigai. Kisah pertemuan kedua orang itu cukup menarik dan cukup berkesan untuk diingat. Kalau tidak salah—berarti benar—pertemuan mereka terjadi pada hari kedua Oriel menghirup udara Oswald. Saat itu...."Carol, apa kau tidak akan ikut?"Caroline tahu Oriel sedang melakukan pemanasan di teras rumah saat ini, gadis yang sudah pasti berusia jauh lebih muda (tentu saja, 'kan Caroline abadi) darinya itu bersiap hendak jogging sambil mengenal lingkungan sekitar. Akan

  • REINCARNATION    [15] Perjalanan Pulang

    Frank tidak membiarkan perjalanan pulang mereka diselimuti keheningan, ia sudah siap dengan berbagai pertanyaan. Dan pertanyaan pertamanya adalah, "Bagaimana? Kau sudah menemukan yang kau cari?"Tentu saja Caroline sudah tahu pertanyaan seperti itu akan didengarnya. Oleh sebab itu ia meminta buku kepada Dorothy, yang entah bagaimana wanita tua itu memiliki buku langka Oswald. Tidak tahu dia sudah pernah membacanya atau tidak. Akan tetapi, Caroline berharap opsi kedua yang menunjukkan kebenaran, karena kalau Dorothy sudah membacanya, dia pasti melihat wajah Caroline di dalam buku itu. Kalaupun opsi pertama yang benar, Caroline berharap wanita tua itu cukup pikun untuk melupakan keseluruhan isi bukunya. "Ini." Caroline menunjukkan buku yang tadi diambilnya dari Dorothy. Tales of Royal Aristocrat dicetak dalam ratusan—bahkan ribuan pada masanya. Seiring bergulirnya zaman buku itu masih terkenal dan beberapa dicetak dalam bentuk yang lebih modern, tetapi yang Caroline pegang saat ini adal

DMCA.com Protection Status