Api yang berkobar-kobar membakar kayu yang membentuk membundar, agar apinya tak padam dan tetap awet, tak lupa juga tenda yang lumayan besar dengan beberapa peralatan di dalamnya. Puspita menatap menatap api itu, hawa panas tak membuat hatinya yang dingin mencair malah semakin membeku, membuat gadis itu semakin memeluk lututnya. Tak lama Nicky keluar membawa beberapa makan yang bisa dibakar, mereka beruntung karena terlihat hamparan bintang di langit, membuat suasana yang gelap itu terlihat sangat indah dari atas. Sedangkan Puspita melihatnya hanya cahaya kecil yang tak tergapai, seperti hatinya yang mengharap pria itu. "Puspita!" panggil Nicky yang membuat gadis itu menoleh kebelakang."Om?" ucap Puspita yang kembali melihat api unggun yang pria itu buat, tak lama Nicky duduk di sampingnya sambil memberikan jagung mentah yang di tusuk menggunakan kayu yang panjang. "Nih! Jangan ngelamun aja nanti kesambet!" Puspita mengambil jagung itu dan membakarnya, tapi tetap saja hatinya m
Matanya terbuka lebar, kala merasakan bibir Nicky mulai bergerak perlahan. Tangan menyentuh pipi Puspita menyapu beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya. Hingga pergerakan itu berhenti di gantikan Nicky yang jatuh tak sadarkan diri, detak jantung Puspita tak beraturan dia masih terdiam melihat pria yang sudah mengobrak-abrik isi hatinya. Matanya kini melihat banyak kaleng yang pria itu minum, entah dari mana asalnya bir itu hingga membuat Nicky seperti ini. Walau terlihat tak sadarkan diri matanya sesekali bergerak, merasakan teriknya matahari yang mulai menyoroti wajahnya. Pada akhirnya Puspita memapah tubuh Nicky hingga ke tenda. Saat keluar ia hanya bisa menghela nafas, detakan masih terasa jelas dan begitu kencang kala mengingat hal tadi. Setahunya kalau orang mabuk itu biasanya tak sadar atas apa yang ia lakukan, jadi bisa jadi Nicky juga begitu. Tapi orang mabuk itu jujur biasanya, membuat mata Puspita kembali terbuka, dia menutup wajahnya menghentikan bahagia yang ia
Nicky menggosok rambutnya basah karena habis mandi, membuat Puspita menatapnya, bingung sejak tadi gadis itu hanya diam di sana lalu sesekali Melihatnya. "Kenapa? Lapar?" tanya Nicky yang membuat Puspita mengangguk. Sejak pagi hingga sore ia hanya makan ciki pemberian ibunya, dia ingin membeli makan tapi ia takut ke sasar, apalagi ia baru saja datang ke sini. "Sebentar, nanti kita cari makanan. Tapi rumah makan yang buka paling restoran, mau?" tanya Nicky yang membuat Puspita kembali mengangguk. Nicky pun memegang kepalanya lalu duduk di samping anak itu, entah kesambet setan mana gadis ini hingga hanya mengangguk ucapannya tanpa berniat mengeluarkan suara. "Kenapa? Tak mau bicara?" "Aku bosan om." Mendengar itu Nicky tertawa, ini memang salahnya karena mabuk hingga sadar ketika sudah sore. "Maafkan aku ya, oke malam ini kita lihat pantai dibawah, mau?" Tanpa menunggu lama Puspita mengangguk dengan senyuman, membuat Nicky gemas dan mencubit pipinya."Ah aduh om, sakit, iya-iya
"Kakak!" panggil Nicky dari kejauhan, membuat wanita yang sedang fokus pada laptopnya menoleh. Terlihat Nicky yang berjalan menghampiri wanita itu sambil menggandeng Puspita yang tampak malu, tapi tidak melepaskan tangannya. Mereka berada di kedai kecil penjual es kepala dan es lain-lain, tempatnya yang barada di bawa pohon kelapa langsung tak membuat sang pemilik toko takut terkena kalau pelanggannya terkena bahan yang ia jual. Terlihat selain wanita itu ada juga dua teman laki-laki dan satu orang wanita. Meja yang mereka duduki cukup memanjang jadi tak masalah berapapun orang yang bergabung. Wanita itu tersenyum sambil menyangga kepalanya di meja. "Ada apa ini, kalian sudah jadian?" Nicky menatap tajam pada wanita itu yang membuat kakak perkuliahannya tertawa jail di susul teman-temannya yang tersenyum. "Siapa mereka?" tanya teman laki-laki di sampingnya, wajahnya pun mirip dengan wanita itu, kebangsaan Eropa. "Adik kuliahku dulu, dan di sampingnya kekasihnya." Puspita terse
"Maaf kak, kamarnya hanya tersisa satu," ucap resepsionis hotel dengan mimik tak enak hati pada dua orang di depannya. Nicky menatap gadis di sampingnya, lalu kembali menatap wanita di depannya. "Apa ranjangnya terpisah?"Sang resepsionis melihat data kamar yang tersisa itu, lalu perasaan sedih kembali tergambar di wajahnya. "Maaf kak, ranjang tidak terpisah, jadi bagaimana?" Nicky menghela nafas, dia mendekati gadis kecil di sampingnya. Hari sudah malam dan mereka butuh istirahat, setelah siang berjalan-jalan di beberapa tempat untuk foto-foto atau bermain, lalu setelah menonton film. Membuat dua orang itu tak sadar kalau sudah larut, dan berakhir di sini. "Jadi bagaimana?" Puspita menatap ragu pada Nicky. "Apanya om?" "Hanya ada satu kamar dan satu ranjang, kamu mau atau tidak?" Puspita terdiam beberapa detik, ia tak mau satu ranjang, walau ia masih terhitung belia tapi tetap saja dia ini anak gadis yang beranjak dewasa. Walau ia yakin pria di depannya tidak akan macam-macam,
"Tiga." Wajah Nicky mendekat kearah gadis itu, membuat Puspita menutup matanya dengan kencang, mulutnya pun tertutup rapat. Ia yakin Nicky sudah merasakan detak jantung tak beraturan kencangnya itu, tak lupa pipinya yang panas membuat malunya semakin bertambah saja. Selang beberapa detik, Puspita merasakan tubuhnya ringan lalu ia membuka matanya untuk tau apa yang terjadi, Nicky sekarang menaikkan selimut guna menghangatkan gadis itu, setelah mengambil bantal yang ada di bawah. "Tetap diam di sana, atau om akan menyuruhmu tidur di dalam mobil, paham?!" ujar Nicky dengan wajah serius, saat hendak pergi untuk kembali melakukan aktivitasnya Puspita menarik lengan bajunya. Tentu saja Nicky menoleh. "Ada apa?" "Om, om tidur aja di kasur." Mimik Nicky yang tadi mulai melembut kembali tak bersahabat. "Om sudah bilang, biar om saja yang tidur di sofa, lagipula tidak baik untuk kamu!" "Maksud Puspita kita tidur bareng, satu kasur." Raut wajah pria itu kembali berubah, kali ini tersenyu
Tok, tok, tok! Sebuah ketukan membuat seorang wanita yang baru saja terlelap kembali bangkit dari tidurnya, sambil sesekali ia menguap kala mendekati pintu. Pintu terbuka memperlihatkan seorang pria yang menggendong gadis yang begitu nyenyak tidur sambil memeluknya. Mata wanita itu melotot kala melihat anaknya yang tertidur di gendongan majikan mudanya. "Astaga Puspita."Kala ibunya akan mengambilnya, Nicky tak kunjung melepaskannya. "Bi, Puspita cukup berat, kalau nanti bibi gendong jatuh gimana?"Nicky menatap ragu wanita yang sudah melahirkan anak itu, hingga pad akhirnya Ibu berjalan masuk membuka pintu untuk pria itu mengantarkan anaknya hingga masuk kamar. Pria tampan itu meletakan Puspita ke kasur, dia menaruh bantal guling di sampingnya yang langsung di balas pelukan dari gadis itu. Setelahnya dia memberikan selimut pada Puspita, melihat perhatian yang tak pernah dia berikan pada anaknya membuat ibu Puspita menatap Nicky cukup heran. "Tuan muda!" Nicky menoleh. "Iya Bi?"
"Jawab jujur, kamu ngapain aja sama Om kamu itu?" tanya ibunya sambil melotot, sontak Puspita mundur kebelakang karena terkejut karena ibunya tiba-tiba mendekat. Mata wanita yang sudah melahirkan itu kini melihat kebawah tepat di area miliknya, Puspita menutup hal itu karena merasa malu. Tentu saja ibu Puspita semakin curiga saja pada anaknya. "Ngapain di tutup?" Sekarang keduanya masih di kamar Puspita, jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi sehingga suasana di luar amat terik juga panas. "Malu mah." "Ngapain malu? Kamu lahir aja mama udah lihat punya kamu kok," balasnya lebih Sewot."Mah Puspita udah gede mah." "Oh jadi karena kamu udah gede, kamu bebas ngapain aja?" tanya ibunya yang seperti ingin sekali membunuh anak yang ia besarkan. Lagipula dia sendiri yang mengizinkan Puspita untuk ikut, dan sekarang ia malah di interogasi seakan ia baru saja melakukan kejahatan besar. "Mama tuh apa-apa sih? Marah-marah gak jelas, Puspita gak ngapa-ngapain kok sama Om, cuma--" Puspita men
Saat ini keduanya melihat Archer dengan tatapan kasihan, ayah Nicky betul-betul kehilangan akal setelah kematian mendingang isterinya. Terlihat bingkai foto tanpa kaca yang terdapat foto ibu Nicky yang tersenyum lebar membuat keduanya saling bertatapan, dokter bilang tak ada perubahan sama sekali selama masa pengobatan, membuat mereka tak tau harus apa. Puspita menatap pria di sampingnya iba, dia mengelus lengannya pelan. Gadis itu tak bisa berkata apapun jika situasinya seperti ini, kenyataan memang amat pahit bagi pria itu. Orang yang kerap kali tersenyum lembut itu, sekarang memiliki kehidupan yang kelam, yang tak pernah orang lain bayangkan. Ibunya meninggal karena kanker yang dia derita selama 5 tahun dan itu tanpa pengetahuan semua orang, bahkan sebelum Nicky kembali melanjutkan S2nya di Singapura penyakit wanita itu sudah mulai terlihat dan sialnya dia juga sedang mengandung adik Nicky. Kematian yang mendadak dan tanpa menduga, membuat 4 orang terluka secara bersamaan namu
“Mentalnya terganggu, membuat dia seperti ini. Karena saya bukan dokter kejiwaan dan ini bukan rumah sakit seperti itu, saya sarankan untuk membawanya ke rumah sakit jiwa untuk penanganan lebih baik, hanya ini yang bisa saya sarankan, saya permisi!”Nicky terduduk di kursi tunggu, dimana ayahnya sekarang mengamuk di dalam kamar pasien VVIP yang mereka minta. Ketiganya hanya bisa menghembuskan nafas kasar mendengar apa yang dikatakan dokter, dan Puspita menatap pria itu dengan iba. Sudah ibunya tiada sekarang ayahnya yang kacau balau pasti pikiran begitu runyam saat ini. Sedangkan Angga menatap Nicky dengan tatapan serius. “Tuan muda! Dikarenakan Tuan Archer mengalami hal ini, sebaiknya anda memegang perusahaan terlebih dahulu sampai beliau dinyatakan sembuh.” Puspita menatap tak paham pada majikannya. “Tuan Angga, apa ini tidak terlalu terburu-buru? Bagaimanapun Om baru saja terkena musibah yang bertubi-tubi.” “Saya tau, tapi perusahaan tetap berjalan dan saya sebagai tangan kanan
“Kakak pita!” tangis dua anak lelaki yang baru saja kehilangan ibunya, Puspita sengaja datang kemari untuk menenangkan dia bocah itu. Dan ternyata benar mereka masih menangis meratapi kepergian ibu mereka, dua anak yang masih kecil itu malah mendapatkan kenyataan pahit yang begitu menyiksa jiwa polos mereka. Puspita segera memeluk keduanya, dan menenangkan tangisan mereka. “Kenapa kalian terus menangis, hhhmm? Ini sudah malam sebaiknya kalian tidur.” “Hiks! Kami tidak bisa tidur karena mama gak ada, huuuaa. Mama hiks, mama hiks,” tangis Vano yang begitu menyayat hati, Puspita tak tega melihat mereka dia serasa ingin menangis juga, tapi jika ikut melakukan hal itu makan suasana akan semakin kacau. “Vano! Vino! Dengar kakak! Mama gak kemana-mana! Dia hanya sekarang pindah tempat.” “Pindah tempat?” tanya Vino yang merasa bingung dengan ucapan wanita muda di depannya. Puspita tersenyum. “Iya, saat ini mereka ada di hati kecil kalian, mama akan selalu ada sama kalian dan mama gak per
Pemakaman ini Nicky berlangsung dengan air mata, ucapan menyesal bercampur tangisan kerasa dari bibir kecil adik kembar Nicky, begitu terdengar pilu memecahkan keheningan yang ada di sana. Puspita juga ikut terisak, dia mengenang semua kebaikan wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kedua, walau harusnya tidak pantas namun sikapnya membuat dia tak pernah percaya apa yang terjadi. Puspita berdiri cukup jauh dari pemakaman itu, lagipula dia bukan siapa-siapa untuk maju paling depan. Ia sekarang melihat Nicky yang terdiam mematung dengan air mata yang kering, tentu saja Puspita merasa lebih sakit lagi melihatnya. Pasti pria itu sangat terpukul, Puspita yang melihatnya kembali tak dapat menahan tangisannya. Ibu dan ayahnya sekarang ada di sampingnya, mereka juga ikut menangis sedih, tapi tidak seperti Puspita yang terdengar begitu pilu.Satu persatu orang pergi meninggalkan pemakaman yang masih basah itu tersebut, Nicky menoleh kebelakang dan pandangan mereka bertemu. Setelahnya Nick
Puspita mengemas beberapa baju yang akan di pakai nanti, saat ini jam baru menunjukkan pukul 5:54. Pukul 6 lewat Angga akan menjemput, walau sore mereka akan kembali tapi tetap saja dia harus mempersiapkan dengan baik. Mulai dari makeup juga peralatan lainnya, setelah semuanya ia hafal puspita cukup percaya diri untuk hadir di acara meeting itu. Ibu Puspita masuk ke kamar sambil membawa beberapa kue juga minuman. “Lama emang kerjanya?” Puspita menggeleng. “Enggak tau juga mah, tapi sore pita pulang kok.” “Iya ya udah, hati-hati aja di jalan!” ujar Ibunya yang nampak khawatir, apalagi Puspita adalah anak satu-satunya tentu saja orang tua takut terjadi sesuatu. Puspita mengangguk, sambil tersenyum lebar. “Iya mah.” Saat sedang berbincang-bincang dengan ibunya, sebuah suara klakson mobil membuat keduanya menoleh. “Itu mobilnya Puspita?” “Iya kali mah, katanya jam 6 lewat untung aja aku udah siap semua.” “Ya udah buru-buru sana! Mungkin rapatnya lebih cepet.” Puspita mengangguk p
Gadis belia itu sekarang bergerutu kesal, karena pusing dengan semua pekerjaan yang seperti tak ada habisnya, kenapa ia harus mengiyakan hal yang tak ia suka, walau gajinya lumayan juga mendapat bonus tapi sama saja dia menggali kuburnya sendiri. Saat sedang frustasi, sebuah ketukan di meja membuat dia menoleh. Wajahnya sekarang terkejut juga merasa malu, dengan apa yang terjadi. Namun ada yang aneh dengan pria yang menatapnya kosong, juga penampilan yang terkesan berantakan, apalagi wajahnya yang terlihat basah. Puspita bangkit dari duduknya, dengan mimik khawatir. “Om! Ada apa? Om gak apa-apa?” Nicky masih terdiam sambil mengatur nafas. “Bisa kita keluar sebentar?” Puspita seketika tau apa yang baru saja terjadi, pria di depannya ini baru saja menangis, terbukti dari suaranya yang serak dan nada yang sedih namun tertahan. Akan tetapi dia juga banyak kerjaan sekarang, matanya sekarang melihat sekitar. Beberapa orang yang melihat mereka kembali bekerja, lagipula tak ada yang bis
Setelah kejadian itu, Puspita hampir malu setiap saat, dia kadang berbicara sendiri sambil berteriak pelan, membuat beberapa orang yang melihat itu merasa heran. Yang tak pernah ia bayangkan, bagaimana mungkin dia melakukan hal itu. Puspita memang agak tak sadar saat itu, dan yang mengingatkan semuanya adalah orang yang ia cium hampir secara paksa. Saat ini dia benar-benar malu untuk bertemu pria itu, hampir dua hari sejak kejadian tersebut. Brugh! Sebuah tumpukan berkas di taruh begitu saja di sampingnya, membuat ia kini menatap orang yang melakukan itu. Ternyata biang keroknya seperti biasa adalah sang bos tercinta yaitu asisten Angga. “Kenapa kamu melihatku begitu?” tanya Angga yang merasa risih dengan tatapan memelas dari anak itu. Mata Puspita kini melihat tumpukan itu lagi, kali ini lebih banyak dari pada kemarin. “Kenapa banyak banget, Tuan?” “Nyonya Emery sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, jadi dia tidak masuk ke kantor selama beberapa waktu. Kamu bantu saya dulu
“Lepaskan aku! Jangan!” ujar Puspita yang sekarang sedang dikepung oleh beberapa lelaki yang ia tak kenal, saat hendak menunggu orang yang ingin menjemputnya, dia malah mendapat musibah seperti ini. “Manis! Ayolah main sama kami nanti kami kasih uang, lagipula gak baik cewek sendiri di malem hari kayak gini!” ujar salah satu dari mereka, tentu saja Puspita menggeleng. “Enggak! Lepaskan! Aku mau pulang!” ucap Puspita sambil menangis, dia amat ketakutan sekarang, apalagi toko ini sudah tutup, sedangkan orang yang ia tunggu tak kunjung sampai. “Ayo pulang sama kita aja, gratis kok tapi colek-colek dikit gak apa-apa kan, hahahaha?” ucap yang satu lagi, sambil tersenyum nafsu pada Puspita. Beberapa mereka sudah mencoba memegang tubuh gadis itu, semakin menjadi saja rasa takutnya sekarang. “Jangan! Aku gak mau! Tolong!” Gadis itu pun berjongkok karena tak tau harus bagaimana lagi, dia menangis sejadi-jadinya sambil terus menepis tangan para orang jahat itu. Bugh! Bugh! Bugh! Sebuah
Satu Minggu berlalu, keduanya sekarang sibuk dengan urusan masing-masing. Kadang keduanya hanya bisa menelpon jika waktu luang, itupun hanya sebentar karena tak ada waktu bagi keduanya. Puspita sekarang sedang fokus memperbaiki berkas yang sangat berantakan, karena perbuatan anak magang yang sama sekali tak paham bagaimana bekerja membuat dia yang terkena imbasnya saat ini. Walau begitu ia merasa cukup senang karena hasil kerja di puji Angga sang asisten ayah Nicky, berarti dia harus bekerja lebih giat lagi agar segera mejadi karyawan di perusahaan ini. “Puspita!” panggil seseorang yang cukup familiar, membuat gadis itu menoleh. “Ah iya Tuan Angga?” Pria dewasa itu melirik kearah jam yang menunjukkan pukul 6 sore, lalu melihat gadis belia itu. “Apa pekerjaanmu sudah selesai?” “Hampir Tuan, memang ada apa? Apa perlu sekarang?” Angga menggeleng sambil memberi beberapa map yang berisikan pekerjaan yang harus Puspita kerjakan nanti. “Tolong kamu revisi ini! Karena lusa akan diperlu